Anda di halaman 1dari 14

Pajak Pertambahan Nilai

1. Pengertian dan Dasar PPN


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april 1985 untuk
menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8 tahun 1983. PPN diatur
dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun
1994, lalu diubah dengan UU No. 18 tahun 2000, terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun
2009.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Pada dasarnya semua barang merupakan barang kena pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali
jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau
hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,
rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada
juga barang yang merupakan barang kena pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku
pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.

2. Karakteristik PPN
PPN mempunyai karakteristik antara lain:

1) Pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
penanggung pajak, atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan
lansung pajak yang ia tanggung. Dapat juga dikatakan pemikul beban pajak dan penanggung
jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
2) Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
3) Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.

3. Objek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jas merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga
dikenai PPN, kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4A UU no.8
tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang No.18 tahun 2000
yaitu :

1) Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP tidak berwujud, sebagai


berikut :
a. Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak tetapi belum
dikukuhkan.

b. Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
c. Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean didalam daerah pabean.

e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa
manajemen, jasa teknik dan jasa lain) didalam daerah pabean.
f. Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan
adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.

g. Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud
adalah hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
h. Ekspor JKP oleh PKP.

2) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

3) Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual
belikan sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan menurut ketentuan dapat
dikreditkan.

4. Bukan Objek PPN


Berdasarkan dengan undang-undang No.18 tahun 2000 tidak dikenai PPN, sebagai berikut :
1) Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN, sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
2) Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN, sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan kesehatan medis,
b. jasa pelayanan sosial,
c. jasa pengiriman surat dengan perangko,
d. jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan,
e. jasa pendidikan,
f. jasa kesenian dan hiburan,
g. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan,

h. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri,
i. jasa tenaga kerja,
j. jasa perhotelan,
k. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum,
l. jasa penyediaan tempat parker,
m. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam,
n. jasa pengiriman uang dengan wesel pos dan
o. jasa boga atau catering.

5. Subjek Pajak PPN


Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Subjek pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang :
1) Mempunyai omset > 600 juta setahun.
2) Pengusaha yang menyerahkan (memperdagangkan) JKP/BKP.

3) Barang berwujud berupa barang bergerak maupun tidak bergerak dan barang tidak berwujud
yang dikenai pajak berdasarkan UU. JKP adalah setiap kegiatan pelayanan termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan petunjuk
dari pemesanan yang dikenai pajak berdasarkan UU.
4) Pengusaha kecil yang mendaftar atau mengukuhkan dirinya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Contoh pengusaha kena pajak diantaranya:
a. Pabrikan;
b. Importir;
c. Agen utama;
d. Pedagang besar;
e. Pengusaha jasa;
f. Pemegang hak paten, merk dagang, hak cipta;
g. Pedagang eceran atau pengusaha kecil.

6. Bukan Subjek Pajak PPN


Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil
yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU PPN).

7. Tarif PPN
1) Tarif PPN adalah 10%.

Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan JKP di
dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia,
sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan
penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.
2) Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

8. Dasar Pengenaan PPN


1) Harga Jual

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2) Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang
dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
3) Nilai Impor

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.
4) Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
5) Nilai Lain

Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan Peraturan
Menteri Keuangan No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang
kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita
impor dan penyerahan film cerita impor.

9. Perhitungan PPN
PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :

1) PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak
yang sama.

3) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.

4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.

5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada
Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

7) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan
untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
8) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak
Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya
dan belum dilakukan pemeriksaan.

10. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan


Pengkreditan PPN adalah mekanisme dalam pelaporan SPT Masa PPN dimana PPN Masukan
(Faktur Pajak yang diperoleh dari pembelian barang/jasa) dikreditkan/dikurangkan terhadap PPN
Keluaran (Faktur Pajak yang diterbitkan dari aktivitas penjualan barang /penyerahan jasa).

PPN Masukan (Faktur Pajak Masukan) yang diperoleh boleh dikreditkan paling lambat dalam
masa 3 bulan setelah masa diterbitkannya Faktur Pajak tersebut. Misal Faktur Pajak diterbitkan di
bulan Agustus 2010, maka Faktur Pajak tersebut paling lambat dikreditkan di Masa
PajakNopember 2010. PPN Keluaran - PPN Masukan = PPN Kurang Bayar / Lebih Bayar
(tergantung mana yang lebih besar). Jika terjadi KB, maka namanya PPN terutang (yang harus
disetor ke Kas Negara)
Yang dikreditkan adalah PPN Masukan yang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU PPN, yaitu :

1) Pajak Pertambahan Nilai yangterutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
dimaksud dalamPasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)

2) Pajak Masukan dalam suatu MasaPajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak
yang sama. (UU No 18Tahun 2000)

2a) Dalam hal belum ada PajakKeluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan(UU No 18 Tahun 2000)
3) Apabila dalam suatu Masa Pajak,Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakanPajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(UU No11 Tahun 1994)

4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, PajakMasukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada
Pajak Keluaran, makaselisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali
ataudikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (UU No 18 Tahun 2000)

5) Apabila dalam suatu Masa Pajak,Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
penyerahanyang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, makajumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yangberkenaan dengan penyerahan
yang terutang pajak. (UU No 18 Tahun 2000)

6) Apabila dalam suatu Masa Pajak,Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukanpenyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan
untukpenyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, makajumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutangpajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan KeputusanMenteriKeuangan. (UU No 18 Tahun 2000)
7) Besarnya Pajak Masukan yang dapatdikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak
Penghasilan denganmenggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telahdiubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitungdengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yangditetapkan oleh Menteri Keuangan. (UU
No 18 Tahun 2000)

8) Pajak Masukan tidak dapatdikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi
pengeluaranuntuk (UU No 18 Tahun 2000) :

a. perolehan Barang Kena Pajak atau JasaKena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;

b. perolehan Barang Kena Pajak atauJasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;

c. perolehan dan pemeliharaan kendaraanbermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi
kecuali merupakan barangdagangan atau disewakan;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajaktidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabeansebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

e. perolehan Barang Kena Pajak atauJasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak
Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau JasaKena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 13 ayat (5);

g. pemanfaatan Barang Kena Pajaktidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang FakturPajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat(6);

h. perolehan Barang Kena Pajak atauJasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapanpajak;

i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa KenaPajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan MasaPajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan.

9) Pajak Masukan yang dapatdikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajakyang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3(tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belumdibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan. (UU No 18 Tahun2000)
10) dihapus. (UU No 18 Tahun 2000)
11) dihapus. (UU No 18 Tahun 2000)
12) dihapus. (UU No 18 Tahun 2000)

13) Penghitungan dan tata carapengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) diaturdengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)
14) dihapus. (UU No 18 Tahun 2000)
Penjelasan Pasal 9

Ayat (1) Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang adalah dengan mengalikan
jumlah Harga Jual, Penggantian, NilaiImpor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan
Keputusan MenteriKeuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1).
Pajak yang terutang ini merupakan PajakKeluaran, yangdipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak PertambahanNilai dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
hanya untuk menjaminrasa keadilan dalam hal :
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, NilaiImpor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan atau

b. Penyerahan Barang Kena Pajak yangdibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum,
listrik dan sejenisnya.
Contoh:
a) Pengusaha Kena Pajak menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran,yang


dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak

b) Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
PenggantianRp20.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yangterutang = 10% x Rp20.000.000,00
= Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesarRp2.000.000,00 tersebut merupakan PajakKeluaran, yang
dipungut oleh PengusahaKena Pajak

c) Seseorang mengimpor Barang KenaPajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
Rp15.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melaluiDirektorat Jenderal Bea dan
Cukai = 10% x Rp15.000.000,00= Rp1.500.000,00.

Ayat (2) Pembeli Barang Kena Pajak, penerimaJasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak,
pihak yang memanfaatkan Barang KenaPajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak
yang memanfaatkan JasaKena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan
Nilai danberhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar tersebut merupakan PajakMasukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, atau penerima Jasa
Kena Pajak, ataupengimpor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Barang Kena
Pajaktidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa KenaPajak dari
luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Masukan yang wajib
dibayartersebut di atas oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan PajakKeluaran yang
dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.

Ayat (2a) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak sehingga Pajak
Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak pada waktu perolehan Barang Kena Pajak, atau penerimaan Jasa Kena Pajak,
ataupemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud, atau impor Barang Kena Pajaktetap dapat
dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukansebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8).

Ayat (3) Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke KasNegara menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ayat (4) Pajak Masukan yang dimaksud dalamayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan. Dapat terjadi dalam suatu MasaPajak terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada PajakKeluaran. Kelebihan Pajak Masukantersebut dapat diminta kembali atau
dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2001:
Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp4.500.000,00 -/-
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dapat diminta kembali atau dapat dikompensasikan pada
MasaPajak Juni 2001.
MasaPajak Juni 2001:
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp2.000.000,00 -/-
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00

Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2001 yang dikompensasikan ke bulan Juni 2001 =
Rp2.500.000,00 -/-
Pajak yang lebih dibayar Juni2001 = Rp1.500.000,00
Ayat (5) Dalam ayat ini,yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan
barangatau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan PajakPertambahan
Nilai.

Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak yang dalamsuatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak
dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak
tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha KenaPajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukanbeberapa macam penyerahan yaitu:
a. penyerahan terutang pajak = Rp25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak dikenakan PPN = Rp5.000.000,00
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
PajakMasukan yang dibayar atas perolehan :

a. Barang Kena Pajak dan Jasa KenaPajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak
= Rp1.500.000,00

b. Barang Kena Pajak dan Jasa KenaPajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak
dikenakan PPN =Rp300.000,00

c. Barang Kena Pajak dan Jasa KenaPajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan
dari pengenaan PPN =Rp500.000,00

Menurut ketentuan ini, PajakMasukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp
2.500.000,00 hanya sebesar Rp 1.500.000,00.

Ayat (6) Dalam hal Pajak Masukan untukpenyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedomanyang diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untukmemberikan kemudahan dan
kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan duamacam penyerahan yaitu:
a. penyerahan terutang pajak = Rp 35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp 3.500.000,00
b. penyerahan tidak terutang pajak = Rp 15.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang
berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp 2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti.
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp 2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaransebesar Rp 3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Keputusan MenteriKeuangan.

Ayat (7) Pengusaha yang diijinkan menghitung penghasilan Neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya diwajibkan melakukan pencatatan yang meliputi peredaran
bruto dan penerimaan bruto. Oleh karena besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak
dapat diketahui dengan pasti sehubungan dengan pengusaha tidak membuat pencatatan atas
pembelian, maka Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menentukan besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan.
Ayat (8) Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi untuk
pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapatdikreditkan.

Huruf a Ayat ini memberikan kepastian hukumbahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
pengusaha melaporkan usahanya untukdikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat
dikreditkan.

Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanyauntuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 3 Januari 2001. Pengukuhansebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 5
Januari 2001 dan berlakusurut sejak tanggal 3 Januari 2001. Pajak Masukan yangdiperoleh
sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkan berdasarkanayat ini.

Huruf b Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungandengan kegiatan usaha
adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi,distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semuabidang usaha.
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukanyang diperoleh sebelum
pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagaiPengusaha Kena Pajak tidak dapat
dikreditkan.

Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanyauntuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 3 Januari 2001. Pengukuhansebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 5
Januari 2001 dan berlakusurut sejak tanggal 3 Januari 2001. Pajak Masukan atas
pemanfaatanBarang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabeanyang
diperoleh sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkanberdasarkan ayat ini.

Huruf e Faktur Pajak Sederhana adalahFaktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(7).

Oleh karena Faktur Pajak Sederhana merupakan Faktur Pajak yang isinya tidak mencantumkan
secara lengkap hal-hal yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), maka Faktur Pajak Sederhana hanya
merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dapat dipakai sebagai dasar
pengkreditan Pajak Masukan.
Huruf f Cukup jelas
Huruf g Cukup jelas

Huruf h Dapatterjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak Pertambahan Nilai
yangterutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapanpajak. PajakPertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut
bukan merupakanPajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i Sesuai dengan sistem self assesment, Pengusaha Kena Pajakwajib melaporkan seluruh
kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa PajakPertambahan Nilai.Disamping itu,
kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatanuntuk melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan
yang tidak dilaporkan dalam SuratPemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
DalamSurat Pemberitahuan Masa dilaporkan :
Pajak Keluaran =Rp10.000.000,00
Pajak Masukan =Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran =Rp15.000.000,00
Pajak Masukan =Rp11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan sebesar Rp 11.000.000,00 tetapi tetap
sebesar Rp 8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan :
Pajak Keluaran =Rp15.000.000,00
Pajak Masukan =Rp11.000.000,00 (-)
Kurang Bayar menurut hasilpemeriksaan = Rp7.000.000,00
Kurang Bayar menurut SuratPemberitahuan = Rp2.000.000,00 (-)
Masih kurang dibayar = Rp5.000.000,00

Ayat (9) Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak
Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain
karena Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang
tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3
(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut
telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan
sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum
dilakukan pemeriksaan.
Contoh: Pajak Masukan atas perolehan BarangKena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli
2001 dapat dikreditkan denganPajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2001 atau pada Masa Pajak
berikutnya palinglambat Masa Pajak Oktober 2001.
Ayat (10) Dihapus.
Ayat (11) Dihapus.
Ayat (12) Dihapus.
Ayat (13) Cukup jelas
Ayat (14) Dihapus.

Anda mungkin juga menyukai