Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tapi juga adalah sebuah
pengalaman.IASP (The International Association for the Study of Pain) mendefinisikan
nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan
yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan yang jelas atau potensial terjadi, atau
yang dikemukakan dalam istilah tertentu yang digunakan untuk menggambar
kerusakan tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi tidak
menjamin seseorang tidak merasakan nyeri atau tidak memerlukan manajemen
nyeri. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antar individu maupun pada
orang yang sama namun dalam waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak
faktor meliputi usia, jenis kelamin pendidikan dan budaya. WHO (World Health
Organization) membagi nyeri berdasarkan beberapa klasifikasi. Berdasarkan
patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan neuropatik,
berdasarkan durasi nyerinya menjadi nyeri akut dan kronis, berdasarkan
etiologinya menjadi keganasan dan non-keganasan, serta berdasarkan anatominya.
Tatalaksana nyeri ini sangat penting bahkan WHO menempatkannya nyeri
sebagai tanda vita ke-lima setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu.
Tatalaksana yang efektif harus bersifat multimodal sehingga semua faktor yang
menyebabkan nyeri dapat diatasi. Selain itu, juga sebaiknya melibatkan pasien
dan keluarganya, dokter, perawat dan semua pihak yang telibat. Panduan
manajemen nyeri ini dibuat dengan tujuan untuk menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas akibat nyeri serta mempercepat lama perawatan dan penyembuhan
pasien.

1
BAB II
MANAJEMEN NYERI
Nyeri secara umum dibedakan menjadi akut atau kronik. Nyeri akut
diartikan sebagai nyeri yang berlangsung kurang dari 30 hari dan kronis lebih dari
30 hari. Bagaimanapun juga definisi berdasarkan durasi tersebut tidak mutlak dan
tidak terlalu bermakna dalam menentukan strategi manajemen. Nyeri akut
biasanya dikaitkan dengan kerusakan / cedera jaringan yang baru terjadi dan
durasi yang singkat.Nyeri menghilang setelah kerusakan sembuh. Nyeri ini
menyebabkan penderita waspada untuk menghindari kerusakan / cedera lebih
lanjut dengan aktivasi sistem saraf simpatis (vasokonstriksi, nadi cepat, terkadang
menjadi agitasi). Nyeri kronis atau nyeri persisten terjadi lama setelah kerusakan /
cedera jaringan sembuh (penyebab nyeri tidak jelas). Pasien dengan nyeri kronis
dapat mengalami perubahan fisiologi dengan gejala: depresi, withdrawal (menarik
diri), anorexia, fatique (lemah), hipersomnolen atau insomnia, irritabilitas atau
ketidakstabilan emosi, kurang inisiatif dan inaktifitas. Perubahan tersebut dapat
ringan dan memerlukan observasi keluarga, kerabat, dan tenaga sosial. Pasien
mungkin sepertinya tidak merasakan nyeri (nadi dan ekspresi wajah tidak
menunjukkan rasa sakit). Nyeri kronis ini cenderung sulit untuk diatasi karena
dipengaruhi oleh faktor fisiologi dan psikologi. Manajemen yang ideal
memerlukan multidisiplin, whole-person approach dan waktu yang panjang.
Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Terjadi segera setelah terjadi kerusakan Terjadi setelahkerusakan / cedera
/ cedera jaringan jaringan hilang atau sembuh
Dianggap sebagai peringatan Tidak memiliki fungsi proteksi
kerusakan / cedera jaringan; proteksi
kerusakan jaringan lebih lanjut
Aktivasi nosiseptos Melibatkan sensitisasi sentral dan
kelainan struktur permanen susunan
saraf pusat
Aktivasi sistem saraf simpatis Adaptasi fisiologis

2
Durasi singkat Durasi lama
Hilang setelah kerusakan jaringan Terjadi lama setelah resolusi kerusakan
hilang / cedera jaringan
Secara langsung berkaitan dengan Tidak berkaitan secara langsung
kerusakan / cedera, kondisi dengan kerusakan / cedera jaringan,
postoperasi, dan proses penyakit prosedur operasi, dan proses penyakit
Respon terhadap terapi Sulit respon terhadap terapi

II.1 MANAJEMEN NYERI PEDIATRI


Pada awalnya diyakini bahwa bayi tidak memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan nyeri sehingga tidak memerlukan obat antinyeri namun
sekarang diketahui bahwa struktur nosiseptif telah berfungsi sejak janin (fetus).
Bayi, meskipun memiliki susunan saraf pusat yang sedang berkembang, juga
merasakan nyeri sehingga memerlukan penilaian dan tatalaksana lebih lanjut.
Kenyataan yang ditemukan kemudian ialah bahwa nyeri yang tidak teratasi saat
neonatus telah dikaitkan dengan efek terapi antinyeri yang kurang baik di usia
dewasa.

Untuk merespon dan mengatasi rasa nyeri pada bayi dan anak yang belum
bisa diajak berkomunikasi,seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk
menangkap segala hal atau tanda yang berkaitan dengan rasa nyeri berdasarkan
hasil pengamatan secara seksama. Manajemen nyeri pediatri:

1. Pasien berusia <17 tahun


2. Manajemen nyeri pada pasien pediatri dapat dilakukan dengan pendekatan
multimodal menggunakan farmakologi dan nonfarmakologi

3
3. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatri:
Gambar 1. Algoritme Nyeri pada Pediatri

4
4. Pemberian analgesik:
a. By the ladder (pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat)):
 Awalnya berikan analgesik ringan sedang
 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik tersebut, berikan
analgesik yang lebih poten
 Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap dilakukan sebagai analgesik adjuvant
 Analgesik adjuvant merupakan obat yang memiliki indikasi primer
bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi
tertentu
 Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik
adjuvant pada awal terapi karena lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropati:
1) Analgesik multimodal: anti depresant, agonis adrenergic alfa-2,
kortikosteroid, anestesi topical
2) Analgesik untuk nyeri neuropati: antidepresant, antikonvulsi,
agonis GABA, anestesioral lokal
3) Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot,
benzodiazepin, inhibitor osteoklas, radiofarmaka
b. By the clock (mengacu pada waktu pemberian analgesik):
 Pemberian haruslah teratur, misalnyasetiap 4-6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien, tidak
boleh (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar
intermiten dan tidak dapat diprediksi
c. By the child (mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu):
 Lakukan monitor dan asesment nyeri secara teratur
 Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

5
d. By the mouth mengacu pada jalur pemberian obat:
 Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasif, dan efektif, biasanya per oral
 Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan
 Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien
 Opioid kurang poten jika diberikan per oral
 Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan
 Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM,IV,
dan subkutan intermiten, yaitu:tidak nyeri,mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri
yang kontinu pada anak.
 Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral)
e. Analgesik dan anestesi regional: epidural
 Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
 Harus dipantau dengan baik
 Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-
obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda
vital/ skor nyeri
5. Penggunaan opioid pada pediatri:
 Pilih rute yang paling sesuai untuk pemberian jangka panhjang,pilihlah
jalur oral.
 Pada penggunaan infus kontiyu IV, sediaan obat kerja singkat dengan
dosis 50%-200% dari dosis infus perjam koniyu (bila perlu).

6
 Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat dalam 24 jam maka dibagi 24.
Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50 %.
 Jika efek analgetiknya tidak adekuat dan tidak ada toksisitas, tingkatkan
sebesar 50%.
 Saat tapering off atau penghentian obat pada semua pasien yang menerima
opoid >1 minggu. Harus dilakukan tapering off ( untuk menghindari
withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari,lalu kurangi sebesar 25%
setiap 2 hari. Jika dosis ekuiovalen dengan dosis morfin oral (
0,6mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
 Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hipereflek, dan kejang.
6. Terapi nonfarmakologi meliputi:
a. Terapi kognitif: merupakan terapibyang paling bermanfaat dan
memilikinefek yang besar dalam menajeman nyeri non-obat untuk anak.
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain sperti
musik, cahaya, warna, permainan, permen , komputer, permainan, film,
dan sebagainnya.
c. Terapi perilaku: bertujuan untuk menguirangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari
tangan,menggerakkan kaki sesuai irama,tarik nafas dalam.

7
Tabel 2. Terapi Nonfarmakologi

Kognitif Perilaku Fisik

 Informasi  Latihan  Pijat


 Pilihan dan  Terapi relaksasi  Fisioterapi
kontrol  Umpan balik  Stimulasi termal
 Distraksi dan positif  Stimilasi sensorik
atensi  Modifikasi gaya  Akupuntur
 Hypnosis hidup/perilaku  TENS
 Psikoterapi (transcutaneous
elektrical nerve
stimulation )

8
7. Melakukan manajemen efek samping opioid

Tabel 3. Manajemen Efek Samping Opioid


Efek samping Tatalaksana
Pruritus Difenhidramin (0,5 mg/kg tiap 6 jam PRN)
Atau
Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam)
Atau
Nalmefen (0,25-0,5 ug/kg tiap 8 jam)
Nausea/vomitus Ondansteron (0,15 mg/kg tiap 6 jam PRN sampai
maksimal 4 mg/kali)
Atau
Narcan gtt (0,5-2 ug/kg/jam)
Atau
Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam)
Somnolen Metilfenidat (0,1 mg/kg/kali); pikirkan preparat lepas
lambat
Retensi urin Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam)
Atau
Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam).
Dapat diperlukan pemasangan kateter urin.
Seringkali gejala dapat diatasi dengan mengurangi dosis opioid 20-25%.
Meskipun begitu, tindakan ini dapat mengurangi efek analgesia dan terapi
adjuntif sebaiknya dipertimbangkan.

9
II.2 MANAJEMEN NYERI DEWASA

II.2.1 MANAJEMEN NYERI AKUT DEWASA

1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan


penunjang
2. Menentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik
a. Nyeri dengan onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat
tajam, menusuk, atau seperti ditikam
b. Penyebab: kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kimia
dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui
nosiseptor kulit.
c. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi
b. Nyeri viseral
a. Nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti
ditekan benda berat.
b. Nyeri ini disebabkan oleh iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan
ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen
c. Nyeri neuropatik
a. Nyeri yang dirasakan seperti rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan,
alodinia (nyeri saat disentuh), atau hiperalgesia
b. Gejala nyeri biasanya dialami dari bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cedera)
c. Berasal dari cedera jaringan saraf
d. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.

3. Melakukan penilaian derajat nyeri ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) , dan
berat (VAS 7-10)

10
4. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:
Gambar 2. Analgetika sesuai dengan Step-Ladder

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan
opioid efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)

5. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
6. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian
ulang derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif /
nyeri menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid
kuat
7. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan
8. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik,
kortikosteroid, anestetika lokal, OAINS, opioid
 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid
 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan
epidural): Anestetika oral, Opioid
 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
 Topikal: Anestetika lokal
 Infiltrasi: Anestetika lokal
 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid

11
 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
9. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
 Opioid
a. Mual dan muntah: memberikan anti emetik
b. Konstipasi: memberikan stimulant buang air besar, menghindari
laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi
gas
c. Pruritus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain atau
dapat juga menggunakan antihistamin.
d. Mioklonus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid atau
memberikan benzodiazepin
e. Depresi pernapasan: memberikan nalokson ( campur 0,4 mg nalokson
dengan NaCl 0,9 % sehingga total volume mencapai 10ml).Berikan
0,02 mg ( 0,5 ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan
meningkat.Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka
panjang
 OAINS
a. Gangguan gastrointestinal: memberikan AH2 antagonis atau PPI
(proton pump inhibitor)
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti
OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet
10. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi
nonfarmakologi berupa:
a. Heat / cold pack
b. Melakukan reposisi, immbolisasi
c. Latihan relaksasi seperti menarik napas, bernapas dengan irama / pola
teratur, dan atau meditasi pernapasan yang menenangkan
d. Distraksi / pengalih perhatian
e. Analgesia neuraksial
f. Blok perifer

12
11. Melakukan penilaian talaksana

Gambar 3. Algoritme Manajemen Nyeri Akut

13
Gambar 4. Algoritme Pemberian Opioid Intermitten Intravena Untuk Nyeri Akut

14
II.2.2 MANAJEMEN NYERI PADA GERIATRI

1. Lanjut usia ( lansia ) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65


tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat
dibandingkan dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neiralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan
penyakit degeratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh,
punggung, tungkai bawah,dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai mamajemen nyeri pada
geriatri.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.
c. Keenganan dokter untuk memerapkan opoid.
6. Asesmen nyeri pada geriatri yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional and Pain Scale seperti dibawah ini:
Tabel 4. Functional Pain Scale
Skala
Keterangan
nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi ( aktivitas tidak terganggu )
Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat menggunakan
3
telepon,menonton TV, atau membaca )
Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan telepon,
4
menonton tv, atau membaca
Tidak dapt ditoleransi ( dan tidak dapt berbicara karena nyeri
5
)
Skor normal / yang diinginkan: 2

15
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area
nonseptif untuk menginduksi pelepasan opoid endogen
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf atau radiasi tumor.
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif : terapi relaksasi,
umpan balik positif,hypnosis.
e. Fisioterapi dan okupasi.
8. Inervensi farmakologi ( tekanan pada keamanan pasien )
a. Non-opoid: OAINS, p aracetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
b. Opoid :
 Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut ( jangka
pendek).
 Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol)
 Berikan opoid jangka pendek.
 Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesikbyang lebih baik
daupada pemberian intermiten.
 Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikan dengan berlahan
 Jika efek analgesia mesih kurang adekuat, dapat menaikkan opoid
sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
 OAINS dan amfetamin : meningkatkan toleransi opoid dan resolusi
nyeri
 Notriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapntin, tramadol,
mexiletiline,: efektif untuk nyeri neuropatik
 Antikonvulsan :untuk neuralgia trigeminal.
 Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3x100mg sehari dan dapat
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.

16
9. Resiko efek samping OAINS meningkatk pada lansia. Insidens perdarahan
gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien >65 tahun
10. Semua fase farmakokinetikdipengaruhi oleh penuaan, termasuk
aborsi,distribusi, metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs
sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom
malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opoid yang paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya
pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresant,dasn sedasi secara rutin harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah,lalu dinaikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
18. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik dapt mengakibatkan:
a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapt mengarah ke
depresi karena frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya
kemampuan funsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan
imunitas tubuh
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya
agitasi dan gelisah
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan resiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada geriatri:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opoid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuaran anatagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia);
metadon, levorphanol (waktu paruh panjang)

17
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresen: tertiary amine trycylics (efek samping anrikolinergik)
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opoid, sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan obat pelunak feces (buliking agents)
21. Pemilihan analgesik menggunakan 3-step ladder WHO( sama dengan
manajemen pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opoid
b. Nyeri sedang: opoid minor,dapat dikombinasikan dengan OAINS dan
analgesik adjuvant.
c. Nyeri berat: opoid poten

Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian


dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.

II.2.3 MANAJEMEN NYERI PADA PERSALINAN PERVAGINAM

1. Nyeri Pada Persalinan


Nyeri pada persalinan primipara merupakan salah satu pengalaman nyeri
yang hebat tinggi yang pernah dialami. Sekitar 50% wanita selama persalinan
mengalami nyeri hebat atau sangat hebat. Jaras nyeri pada persalinan cukup
luas, diantaranya serabut aferen dari T10 sampai S4.
Uterus, segmen bawah uterus dan serviks dipersarafi oleh serabut aferen
Aδ dan C, yang bersamaan dengan keluarnya simpatis torakolumbal dan
sakral. Nyeri pada persalinan kala 1 berasal dari dermatom pada uterus dan
serviks (T10-L1) kemudian meluas ke dermatom lumbal dan sakral seiring
dengan proses persalinan.
Persalinan kala 2 melibatkan nyeri somatik yang diakibatkan oleh distensi
dan robekan struktur pelvis dan tekanan abnormal pada otot perineal.

2. Analgesia Epidural Pada Persalinan


Analgesia dengan tehnik epidural dapat dicapai dengan 2 cara, yaitu tehnik
blok segmental dan blok komplit.

18
Tehnik blok segmental dapat digunakan pada kala 1 untuk membatasi
penyebaran analgesia sensorik pada segmen T10-L1. Ketika persalinan
memasuki kala 2, analgesia dapat ditambah untuk memblok persarafan sakral.
Dosis penuh top-up diberikan pada posisi duduk selama 5 menit. Konsentrasi
anestetik lokal yg lebih besar dapat diberikan pada kala 2 untuk memblok
motorik dan relaksasi perineal jika direncanakan untuk ekstraksi forceps atau
seksio sesaria. Kekurangan tehnik ini adalah tidak selalu dapat memblok nyeri
perineal (S2-S5).
Tehnik blok komplit (T10-S5) menghasilkan analgesia sensorik dari T10
sampai S5 saat diberikan dosis awal. Namun, insiden hipotensi lebih besar
dibandingkan dengan blok segmental. Selama analgesia epidural, diperlukan
monitoring rutin terhadap tanda vital maternal, denyut jantung fetus dan
kontraksi uterus. Tehnik blok komplit dapat dicapai dengan tehnik intermiten
atau infus kontinyu. Tehnik intermiten memerlukan pemberian anestetik lokal
setiap 11/2 sampai 2 jam atau jika pasien mulai merasa tidak nyaman.
Analgesia sensorik dijaga dari T10 sampai S5. Anestetik lokal yang biasa
digunakan adalah bupivakain 0,0625%, 0,125%, dan 0,25%.
Tehnik analgesia epidural lumbal:
 Posisi duduk atau lateral dekubitus
 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1
 Identifikasi ruang epidural, arah bevel ke sefalad
 Bila telah mencapai ruang epidural, masukkan kateter epidural 2-6 cm
 Lakukan aspirasi. Jika negatif, berikan test dose
 Dosis inisial dengan dosis terbagi (5 ml):
 0,9%-2,0% lidokain (total 10-12 ml)
 0,0625%-0,25% bupivakain (total 10-12 ml)
 0,1%-0,2% ropivakain (total 10-12 ml)
 0,0625%-0,25% ropivakain (total 10-12 ml)
 Adjuvan: fentanil (total 50μg), epinefrin (1:200.000-400.000)

19
 Dosis pemeliharaan:
 Intermiten: bolus bupivakain 0,1-0,25% + fentanil 3 μg/ml,10 ml (5
ml + 5 ml) jika diperlukan
 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-
16 ml/jam
 Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):
o Kecepatan basal: 8-10 ml/jam
o Dosis bolus 5 ml
o Lockout 10 menit
o Batas tiap jam 30 ml
 Jika nyeri menetap setelah 15 menit dari saat injeksi, tarik kateter sampai
3-4 cm di dalam ruang epidural dan berikan tambahan anestetik lokal
 Jika nyeri masih menetap selama 5 menit, cabut dan pasang kembali
kateter epidural
3. Combined Spinal Epidural (CSE) Analgesia Pada Persalinan
Tehnik CSE mengkombinasikan one-shot spinal dan epidural kontinyu
menjadi satu prosedur yang memiliki keuntungan dari kedua tehnik dan risiko
yang lebih minimal. CSE semula dianggap bermanfaat hanya pada saat awal
atau akhir persalinan. Karena opioid spinal menghasilkan analgesia tanpa
memblok motorik, pasien diberikan opioid spinal pada awal persalinan agar
dapat berjalan dan diberikan analgesia epidural bila memerlukan tambahan
analgesia. Pada pasien dengan fase akhir persalinan, dengan CSE diharapkan
dapat mengurangi kebutuhan analgesia epidural karena pada pasien ini dapat
melahirkan dengan analgesia spinal.
Tehnik CSE:
 Posisi duduk
 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1
 Identifikasi ruang epidural, kemudian jarum spinal dimasukkan ke dalam
lumen jarum epidural.
 Pastikan ujung jarum spinal melebihi 11-15 mm dari ujung jarum epidural

20
 Injeksi pada jarum spinal, bupivakain 0,25% 1,75 mg (0,7 ml) + fentanil
15 μg (0,3 ml) + epinefrin 50 μg (0,05 ml)
 Jika mungkin, aspirasi LCS sampai total 2 ml sebelum injeksi
 Cabut jarum spinal, masukkan kateter epidural 5-6 cm, cabut jarum
epidural
 Amankan kateter
 Pindahkan pasien ke posisi lateral
 Berikan test dose
 Dosis pemeliharaan:
 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-
16 ml/jam
 Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):
o Kecepatan basal: 6-10 ml/jam
o Dosis bolus 5 ml
o Lockout 10 menit
o Batas tiap jam 30 ml
4. Analgesia Spinal Pada Persalinan
Analgesia spinal dosis tunggal jarang digunakan pada persalinan karena
durasinya yang lebih singkat dibandingkan dengan proses persalinan. Namun,
dosis tunggal ini bermanfaat pada fase akhir persalinan.
Penggunaan kateter intratekal kontinyu menghasilkan onset yang cepat
dan analgesia dapat dititrasi sesuai dengan kondisi persalinan, namun
memiliki komplikasi yang lebih sering seperti terjadinya injuri neurologik
permanan atau blok spinal tinggi.
Dosis pemeliharaan analgesia spinal:

 Bolus intermiten: bupivakain 0,25% 2,5 mg + fentanil 15 μg jika


diperlukan
 Infus kontinyu: bupivakain 0,125% + fentanil 2 μg/ml, 0,5-2 ml/jam dan
dititrasi sampai blok setinggi T10

21
II.2.4 MANAJEMEN NYERI KRONIS DEWASA
1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan
penunjang
2. Menentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri neuropatik
a. Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem
somatosensorik.
b. Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-
herpetik.
c. Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, penjalaran nyeri sesuai
dengan persarafannya, baal, kesemutan, atay alodinia.
d. Fibromyalgia: gatal, kaku,dan nyeri yang difus pada musculoskeletal
(bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan
b. Nyeri otot
a. Nyeri yang mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah,
panggul, dan ekstremitas bawah.
b. Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat
kelemahan, keterbatasan gerak.
c. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi
dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitif,
faktor pekerjaan)
c. Nyeri inflamasi
a. Gontoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi
b. Karakteristik: pembengkalcan, kemerahan, panas pada tempat nyeri.
Terdapat riwayat cedera / luka.
c. Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic /
antirenatik, OAINS, kortikosteroid.
d. Nyeri mekanis / kompresi
a. Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
b. Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain;
ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur

22
kompresi, fraktur. Merupakan nyeri nosiseptif
c. Tatalaksana: beberapa kasus memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
3. Tatalaksana nyeri sesuai dengan mekanisme nyeri
4. Melakukan penilaian derajat nyeri: ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) dan
berat (VAS 7-10)
5. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan
opioid efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)

6. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
7. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian
ulang derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif /
nyeri menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid
kuat
8. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan
9. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik,
kortikosteroid, anestetika lokal, OAINS, opioid
 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid

23
 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan
epidural): Anestetika oral, Opioid
 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
 Topikal: Anestetika lokal
 Infiltrasi: Anestetika lokal
 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid
 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
10. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
11. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi
nonfarmakologi
12. Melakukan pelilaian lain:
a. Masalah pekerjaan dan disabilitas
b. Psikologi (apakah pasien mengalami masalah psikiatri seperti depresi,
cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan, atau
gangguan tidur)
c. Spiritual
d. Faktor yang mempengaruhi dan hambatan

24
13. Melakukan penilaian talaksana

Gambar 5. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik

25
Tabel 5. Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) untuk menilai
kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker

Skor Faktor Penjelasan


1= Kondisi kronik ringan dengan
temuan objektif minimal atau tidak
adanya diagnosis medis yang pasti.
Misalnya: fibromyalgia, migraine,
nyeri punggung tidak spesifik.
2= Kondisi progresif perlahan dengan
nyeri sedang atau kondisi nyeri
Diagnosis sedang menetap dengan temuan
objektif medium. Misalnya: nyeri
punggung dengan perubahan
degeneratif medium, nyeri neuropatik
3= Kondisi lanjut dengan nyeri berat
dan temuan objektif nyata. Misalnya:
penyakit iskemik vaskular berat,
neuropati lanjut, stenosis spinal berat
1= Pemberian terapi minimal dan
pasien terlibat secara minimal dalam
manajemen nyeri
2= Beberapa terapi telah dilakukan
tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat
Intractibility
dalam manajemen nyeri, atau terdapat
(keterlibatan)
hambatan (finansial, transportasi,
penyakit medis)
3= Pasien terlibat sepenuhnya dalam
manajemen nyeri tetapi respons terapi
tidak adekuat
Risiko (R) R= jumlah skor P+K+R+D

26
1= Disfungsi kepribadian yang berat
atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya:
gangguan kepribadian, gangguan
aferk berat
Psikologi 2=Gangguan jiwa/ kepribadian
medium/ sedang. Misalnya: depresi,
gangguan cemas
3=Komunikasi baik. Tidak ada
disfungsi kepribadian atau gangguan
jiwa yang signifikan
1=Penggunaan obat akhir-akhir ini,
alkohol berlebihan, penyalahgunaan
obat
Kesehatan 2=Medikasi untuk mengatasi stress,
atau riwayat remisi psikofarmaka
3=Tidak ada riwayat penggunaan
obat-obatan
1=Banyak masalah: penyalahgunaan
obat, bolos kerja/ jadwal kontrol,
komplians buruk
2=Terkadang mengalami kesulitan
Reliabilitas
dalam komplians, tetapi secara
keseluruhan dapat diandalkan
3=Sangat dapat diandalkan (medikasi,
jadwal kontrol, dan terapi)
1=Hidup kacau, dukungan keluarga
minimal, sedikit teman dekat,
Dukungan sosial
kehilangan peran dalam kehidupan
normal

27
2=Kurangnya hubungan dengan oral
dan kurang berperan dalam sosial
3=Keluarga mendukung, hubungan
dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah,
tidak ada isolasi sosial
1=Fungsi buruk atau pengurangan
nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang-tinggi
2=Fungsi meningkat tetapi kurang
Edukasi efisien (tidak menggunakan opioid
dosis sedang-tinggi)
3=Perbaikan nyeri signifikan, fungsi
dan kualitas hidup tercapai dengan
dosis yang stabil
Skor total =D+I+R+E
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

Skor14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

28
BAB III
FARMAKOLOGI OBAT ANALGETIKA
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan
adalah Obat Anti-
Inflamasi non
steroid, Aspirin, atau
Paracetamol yang
merupakan obat-
obatan yang bekerja
di perifer. Apabila
dengan obat-obatan
ini, nyeri tidak dapat
teratasi, maka
diberikan obat-
obatan golongan
Opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat
lain untuk meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak
juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan
golongan Opioid
Kuat, misalnya
Morfin.
Belakangan,
World Federation of
Societies of
Anaesthesiologists
(WFSA) Analgesic
Ladder telah

29
dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap
sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang
kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan
kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak
tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan rute
oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia
yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat
yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa
sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di
perifer.

Anestesi Lokal

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang


positif terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang
dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga
melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang
dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang
efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau
sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat
mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor
penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik.
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik

30
ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus
untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok
simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila
blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di
tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai
operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung
vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang
berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pasca-
operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau
daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum
digunakan. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia
sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan
seperti hipotensi, blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi
obat bius lokal dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi
sebagian dari masalah ini.

Analgesik Non-Opioid

Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh


dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin,
anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang
apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk

31
pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan
alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s
Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak
usia di bawah 12 tahun.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4g, per oral per hari.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis
prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan.
Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih
berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
permukaan sendi tulang.
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang
panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang
lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek
samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati.
Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis
prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat
, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

32
Tabel 6. Jenis obat OAINS

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara
klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak,
naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila rute
oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi
atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan
diserap dengan baik.

Opioid Lemah

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid
(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-
hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet.

33
Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi
memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam
kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus
diawasi.
Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai
60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat
berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan
tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari.
Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan
Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat
digunakan.

Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai
dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan.
Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih
mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah.
Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah
pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau
besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia
pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat
seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien
tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus
dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan.

34
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada
variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi
intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit
ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang
mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan dengan
demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan
mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan
hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

Metode menggunakan obat opioid

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute
yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk
mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat
keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat
mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping
itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi
rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi
obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati
metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini
adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6
jam).
Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada
metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang
berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah.
Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk
terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang
penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan
analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah

35
yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal
sangat bervariasi di seluruh dunia.
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler
setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat
sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat
ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum
untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-
operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan
fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila
dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih
cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan
intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan
berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa


kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem
di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi
dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor
kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial
sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan
tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara teori,
tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang
disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.

36
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara
rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA.
Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang,
dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping.
Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan
pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu
ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis
(kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai
contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang
diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai.
Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya
overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis
sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5
dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih
logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi
dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk
mencapai nyeri yang memadai.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke
titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan
untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran
akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan
harapan setelah operasi.

37
38
BAB IV
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu
kerusakan atau gangguan organ tubuh. Menurut International Association for
Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.
Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang
lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,
OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai
hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah
berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai
metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri
pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan
dan keadaan ekonomi pasien.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Datta S. Anesthesia for Cesarean Delivery. Dalam: Obstetric Anesthesia


Handbook. Springer: 2000.
2. Drendel AL., Kelly BT., Ali S. Pain Asessment for Children Overcoming
Challenges and Optimizing Care. Pediatr Emer Care. 2011; 27: 773-81.
3. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline:
assessment and management of acute pain. Edisi ke-6; 2008.
4. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline:
assessment and management of chronic pain. Edisi ke-5. ICSI; 2011.
5. Jean FP, Oliver B, Jean LB, Anna L, Eric N, Isabelle D et al. Assessing Pain
in Critically Ill Sedated Patients by Using a Behavioral Pain Scale. Crit Care
Med. 2001. 29(12):2258-63
6. Joint Commision on accreditation of Healthcare Organizations. Pain: current
understanding of assessment, management, and treatments.
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Morgan’s Clinical Anesthesiology.
Edisi ke-4. Appleton & Lange: 2006.
8. Pharmaceutical Council, Inc; 2001.
9. Pain management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy
Forum. Adult pain management guidelines. NHS; 2006.
10. Payen JF., Chanques G. Pain Assessment in the ICU Can Improve Outcome.
Clin Pulm Med;2012; 19: 21–6.
11. Rgoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be
asked. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.
12. Twaddle ML. Assessment of Pain & Common Pain Sydrome. Dalam: Current
Diagnosis & Treatment of Pain. McGraw Hill; 2006.
13. Von Roenn JH, Paice JA, Preodor ME. Pharmacologic Therapies for Pain.
Dalam: Current Diagnosis & Treatment Pain. McGraw Hill; 2006.
14. Wallace MS, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts.
McGraw-Hill; 2005.

40
15. Weisman SJ, Rusy LM. Pain Mangement in Infants and Children. Dalam:
Smith’s Anesthesia for Infants and Children, Motoyama EK, Davis PJ, editor.
Edisi ke-7. Mosby Elsevier: 2006; 436-51.
16. Yentis S., May A., Malhotra S. Analgesia, Anasthesia and Pregnancy A
Practical Guide. Edisi ke-2. Cambridge University Press; 2007.

41

Anda mungkin juga menyukai