Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Syarifa
301.0120.6817
Pembimbing :
Dr. Kurnia Dwi Astuti, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. R P
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Lebak, Grobogan
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien
yang dilakukan pada hari Sabtu, 11 Juni 2016 pukul 15.40 WIB di bangsal
Bougenville dengan didukung oleh catatan medis.
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : mimisan, muntah, nyeri kepala, ke dua tangan dingin
Riwayat Persalinan
Anak perempuan lahir dari ibu G2P1A0 hamil 40 minggu. Antenatal care
teratur, penyakit kehamilan tidak ada, masa gestasi cukup bulan, lahir secara
spontan, anak lahir langsung menangis. Berat badan lahir 2900 gram.
Kesan : Neonates Aterm, Lahir secara Spontan
Riwayat Perkembangan
Senyum : 1 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : ibu lupa
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama dilakukan pada tanggal 08 Juni 2016 dan dilanjutkan sampai
tanggal 11 Juni 2016. Anak perempuan usia 11 tahun, berat badan 30 kg, tinggi badan
125 cm
Keadaan umum : Tampak gelisah,sakit sedang
1. Status Generalis
Kulit : ptekie (-)
Kepala : mesocephal, rambut hitam terdistribusi merata dan
tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak terdapat kelainan
Mata : Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/ 3mm, refleks
cahaya +/+, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebral
(+/+)
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Telinga : Bentuk normal, tanda peradangan (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Lidah typhoid (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-),
stomatitis (-)
Leher : Trakea simetris, tidak teraba pembesaran KGB
Tenggorok : T1-T1 mukosa hiperemis (-), mukosa faring hiperemis
(-), kripte melebar (-), detritus (-)
Thorax :
Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba dengan 1 jari di ICS V 2 cm
ke medial linea midclavicula sinistra, pulsus parasternal (-),
pulsus epigastrium (-)
o Perkusi :
Paru :
o Inspeksi : Gerakan hemithorax dalam keadaan statis dan
dinamis simetris, retraksi suprasternal (-), epigastrium (-),
intercostalis (-)
o Palpasi : Stem fremitus dextra et sinistra sama kuat
o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen
o Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih
tinggi dari dinding dada, agak cembung
o Auskultasi : Peristaltik (+) normal, bising usus (+)
o Perkusi : hipertimpani, regio kanan atas pekak, shifting dullness
(-)
o Palpasi : hepar teraba 3 cm bawah arcus costa dan 5 cm bawah
proc.xiphoideus, tepi tajam,permukaan rata,konsistensi kenyal,nyeri
tekan (+),nyeri tekan epigastrium (+),lien tak teraba
i. Ekstremitas
Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Akral dingin +/+ +/+
Capillary refill time <2”/ <2” < 2”/ < 2”
Pemeriksaan Penunjang
a. 08 Juni 2016 (Lab PKM)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13,2 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Hematokrit 40 % 36 – 47 %
Lekosit 10.000 4000-10000/mm3
Trombosit 148.000 150– 450 x 103/ul
E. DIAGNOSIS BANDING
DSS
DHF
Syok hipovolemik
Syok septik
F. DIAGNOSIS SEMENTARA
Dengue Syok Syndrom
G. INITIAL PLANNING
Initial Diagnosis:
- Foto thorax RLD
- USG
- Albumin
- Elektrolit
Initial Terapi:
Oksigen 2 lt/mnt
Infus RL 20 ml/KgBB bolus selama 10-15 menit
o 20 x 30 = 600 cc/10-15 menit (maksimal pemberian 30 menit)
Bila syok teratasi dilanjutkan
o RL 10 ml/KgBB/jam10 x 30 = 300 cc/jam 75 tetes/menit 80 tpm
(selama 4 jam)
Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 7 ml/KgBB/jam 7 x 30 = 210 cc/jam 52,5 tetes/menit 50 tpm
Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 5 ml/KgBB/jam 5 x 30 = 150 cc/jam 37,5 tetes/menit 30 tpm
Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 3 ml/KgBB/jam 3 x 30 = 90 cc/jam 22,5 tetes/menit 20 tpm
o (maintenance)
Injeksi Kalnex 3 x 250 mg
Asetaminofen 3 x ¾ tab PO k/p
Ranitidin 2 x 30 mg PO
Lapifed Ekspektoran 3 x 1 cth
Initial Monitoring
o Monitor TTV tiap 15-30 menit.
o Monitor diuresis
o Observasi Ht dan trombosit tiap 4-6 jam
Initial Edukasi
o Minum air putih sedikit tapi sering
o Edukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan
3M yaitu menutup,mengurasdan mengubur barang-barang yang dapat
menampung air
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
TABEL FOLLOW UP PASIEN R.P (8 Juni – 11 Juni 2016)
ETIOLOGI
Penyebabnya adalah virus dengue (genus Flavivirus, famili flaviridae). Terdapat 4 serotipe
virus ini yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia
dimana DEN-3 adalah serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe tersebut, sedangkan antibodi terhadap serotipe lain sangat kurang
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya.
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan Aedes
albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes dapat menerima virus
dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus yang
berada di kelenjar liurnya tersebut akan berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum akhirnya dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovarian transmission). Sekali virus masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5
hari setelah demam timbul.
EPIDEMIOLOGI
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan
angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa.
Sampai akhir tahun 2005, DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 35
Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Incidence Rate
meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000
penduduk pada akhir tahun 2005.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada
suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan dapat
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus hingga kasus terbanyak pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu :
1) Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke
tempat lain
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune
enhancement.
Dalam waktu beberapa hari, terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti-dengue. Terbentuknya kompleks virus antigen-
antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes
ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan
hipovolemia hingga syok.
Hipotesis kedua yaitu antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
perembesan plasma kemudian terjadi hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi, baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman hingga terjadi aktivasi sistem kinin lalu memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus, sehingga infeksi dapat bersifat
asimptomatik, atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).
Saat masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas.
Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
Demam Dengue
Gejala klasiknya ialah demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle-back fever),
nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan
timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2
hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari
ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie.
Pada keadaan wabah, telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan
perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan
menoragi.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam. Pada saat ini terjadi penurunan suhu
yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-
ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, sedangkan pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
- Leukosit: dapat normal atau menurun.
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi
sumsum tulang.
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
- Imunoserologi
~ Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM
IgM IgG Interpretasi
+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Riwayat terpapar/ dugaan infeksi
sekunder
- - Bukan infeksi Flavivirus, ulang
3-5 hari bila curiga.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
~ Uji HI: ≥ 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
- Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
- SGOT/SGPT dapat meningkat.
- Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
- Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan
pasien.
- Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi darah untuk
keamanan pasien.
2. Pemeriksaan Radiologis
- Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam keadaan
klinis ragu-ragu dan pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
- USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.
2. Confirmed
Kasus dengan konfirmasi laboratorium berupa deteksi antigen dengue, peningkatan titer
antibodi > 4 kali pada serum akut dan serum konvalesens, dan/atau isolasi virus.
Kriteria Laboratorium:
o Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit >20% menurut standar
umur dan jenis kelamin.
Diagnosis: dua kriteria klinis pertama + trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta
dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu kebocoran plasma.
Pedoman tatalaksana DD, DBD dan SSD berbeda dari segi resusitasi cairan dan indikasi
perawatan di RS. Pasien DD dapat berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan
intensif.
Demam Dengue
Pada fase demam pasien dianjurkan untuk:
• Tirah baring, selama masih demam.
• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, dll.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Semua
pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu
turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan sulit membedakan antara DD dan DBD
pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan, sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan masif dan tanpa syok, diberi
cairan infus kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per hari:
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20)
Monitor Hb, Ht, leukosit dan trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20%
dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam.
Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan
sesuai protokol di bawah.
Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Terapi awal pemberian cairan yaitu infus kristaloid dengan dosis 6-7ml/kg/jam. Monitor
dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan adalah kadar Ht,
frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan tanda perbaikan maka dosis
cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada
perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-
48 jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik
setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan
membaik, cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15
ml/kgBB/jam. Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok.
Gambar 9. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%
Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis, perdarahan
saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital,
Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam disertai pemeriksaan trombosis dan hemostasis. Heparin
diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi
bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi pada pasien perdarahan spontan masif dengan kadar
trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).
Gambar 10. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia pada SSD.
Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila
renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120
menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120
menit kemudian tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam,
hentikan infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi
(ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi, edema paru
dan gagal jantung.
Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan darah perifer
lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus dilakukan pengawasan dini
terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48 jam karena proses patogenesis
penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam pembuluh darah
setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB
evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatikan nilai Ht. Bila ht
meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid. Bila Ht
menurun, kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka dapat diberikan transfusi
darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum
stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°C dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan
koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.
Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi setelah 10- 30
menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak
menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat
disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu
sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada
kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan
selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500 cc.
Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan. Sasaran tekanan vena sentral 15-
18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian dan koreksi ganggguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah
sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau epinephrine).
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan
larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan
ekstravaskular. Efek volume Dekstran 70 6% dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek
volume Dekstran 40 10% dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat
menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000
ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID.
Golongan Gelatin (hemacell dan gelafundin) merupakan larutan gelatin yang mempunyai
sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES): 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah
larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan
hiponkotik. Efek volume 6%/10% HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan
6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme
pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500 cc/24 jam, dan efek ini terjadi
karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.
Komplikasi.
o Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa syok.
o Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
o Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Dengue syok sindrome pada anak disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan
melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopticus. Virus dengue masuk ke sirkulasi
perifer manusia melalui gigitan nyamuk. Virus akan berada di dalam darah sejak fase akut
atau fase demam hingga klinis menghilang.
Dengue shock syndrome didiagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium dari
WHO. Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa pemberian
terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan terapi cairan pada DSS (sesuai dengan literatur).
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam
dengan dosis sebanyak injeksi 3 x 500 mg (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini
mengeluhkan adanya mual muntah maka juga diberikan injeksi ondansentron dengan dosis 2
mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari.
Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian penegakan
diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan tinjauan literature
mengenai penenganan pada dengue shock syndrome.