Anda di halaman 1dari 30

Asuhan Keperawatan pada Ny.

U dengan Stroke
di R. IGD RSUP DR.KARIADI

TUGAS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Ajar
Keperawatan Gawat Darurat ( KGD )

Disusun oleh
Maria Ledy Tania
G3A017283

PROGRAM STUDI NERS TAHAP PROFESI FAKULTAS ILMU


KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
BAB I
Laporan Pendahuluan Stroke

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu gangguan fungsional otak
yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menyebabkan
kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Stroke atau
Cerebro Vascular Accident merupakan kematian mendadak jaringan otak
yang disebabkan oleh kekurangan oksigen akibat pasokan darah yang
terganggu. Infark merupakan daerah otak yang telah mati karena kekurangan
oksigen. Ada dua cara kematian jaringan otak :
1. Stroke iskemik, penyebab infark yang paling sering, merupakan keadaan
aliran darah tersumbat atau berkurang di dalam arteri yang memperdarahi
daerah otak tersebut.
2. Stroke hemoragik terjadi karena perdarahan di dalam dan di sekitar otak
yang menimbulkan kompresi dan cedera otak. (Kowalak, 2003: W13).
Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan peredaran darah ke otak
yang putus sementara. Otak kita bergantung kepada perbekalan darah yang
kaya oksigen secara terus menerus, yang dibawa oleh pembulu nadi (arteri).
Jika darah berhenti misalnya karena bekuan darah, bagian otak yang dibekali
oleh nadi itu akan mati. (leila, 1992: 2).

2. Klasifikasi
Stroke terbagi menjadi dua :
1. Stroke iskemik
Tipe stroke ini terjadi karena aliran darah tersumbat atau berkurang
aliran darah ke daerah otak. Penyumbatan ini dapat terjadi karena
aterosklerosis atau pembentukan bekuan darah. Penggolongan stroke
iskemik atau infark menurut Junaidi (2011) dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan
disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam
biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam juga
belum bisa teratasi sekitar 50 % pasien sudah terkena infark (Grofir,
2009; Brust, 2007; Junaidi, 2011).
b. Reversible Ischemic Nerurological Defisit (RIND)
Gejala neurologis dari RIND akan menghilang kurang lebih 24 jam,
biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24–48 jam.
c. Stroke In Evolution (SIE)
Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus
berkembang dimana terlihat semakin berat dan memburuk setelah 48
jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung bertahap dari
ringan sampai menjadi berat.
d. Complete Stroke Non Hemorrhagic
Kelainan neurologis yang sudah lengkap menetap atau permanen
tidak berkembang lagi bergantung daerah bagian otak mana yang
mengalami infark.
2. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan di dalam dan di
sekitar otak. Perdarahan yang mengisi ruang-ruang antara otak dan tulang
kranium dinamakan perdarahan subaraknoid. Keadaan ini terjadi karena
ruptur aneurisma, malformasi arteiovenosa, dan trauma kepala.
Perdarahan di dalam jaringan otak sendiri di kenal dengan sebutan
perdarahan intraserebral dan terutama disebabkan oleh hipertensi
(Kowalak, 2003: W14).
a. Pendarahan intraserebral (termasuk perdarahan kedalam sereberum
atau otak kecil )
Perdarahan intraserebral atau perdarahan didalam otak (serebrum) ini
terjadi kalau darah dari pembuluh darah yang pecah membanjiri
jaringan otak dan merembes kedalamnya.Jumlah perdarahan dapat
sedikit atau banyak (luas) menurut ukuran pembuluh darah yang pecah
dan keberhasilan penyumbatan tempat bocor itu oleh bekuan darah.
b. Perdarahan subaraknoid
Pada perdarahan subaraknoid, letak perdarahnya berbeda dengan
perdarahan intraserebral; pada keadaan ini, darah mengalir keluar
diantara kedua selaput otak (meningen). Darah tersebut secara cepat
menyebar pada permukaaan otak dan bukan merembes kedalamnya.
Perdarahan subaraknoid akan menimbulkan gejala nyeri kepala yang
hebat, terjadi tiba-tiba skali, dan datang dengan muntah-muntah serta
penurunan kesadaran. Kalau penderita dapat sadar kembali,kita akan
menemukan gejala kaku kuduk, keluhan silau terhadap cahaya, dan
pada kasus yang lebih ringan dapat ditemukan sedikit kelumpuhan.Para
penderita pendarahan suburaknoid kerap kali sudah mempunyai
benjolan atau kantong kecil (aneorisma) pada salah satu pembuluh otak;
kantong kecil ini terbentik akibat kelemahan atau peregangan pada
pembulu darah tersebut.Keaadaan ini dinamakan aneorisma berry dan
umumnya dapat disembuhkan dengan pembedahan. Penderita dengan
perdarahan hebat dan dalam keadaan yang sangat lemah bukan calon
yang baik bagi tindakan pembedahan; dalam keadaaan seperti ini
diperlukan tindakan yang lebih koservatif.
c. Perdarahan subdural Perdarahan ini disebabkan oleh cedera kepala, dan
letaknya tepat dibawah tengkorak sehingga mudah diatasi dengan
pembedahan (Thomas, 1988: 21).

3. Etiologi
a. Stroke iskemik
1) Aterosklerosis merupakan endapan kolesterol dan plak di dalam
dinding arteri. Endapan ini dapat cukup besar untuk mempersempit
lumen pembuluh arteri dan mengurangi aliran darah selain
menyebabkan arteri tersebut kehilangan kemampuan meregang.
2) Trombus atau bekuan darah, terbentuk pada permukaan kasar plak
aterosklerotik yang terbentuk pada dinding arteri. Trombus dapat
membesar dan akhirnya menyumbat lumen arteri tersebut.
3) Embolus. Embolus berjalan lewat aliran darah dan dapat menyumbat
pembuluh arteri yang lebih kecil. Embolus (atau emboli jika berjumlah
banyak) umumnya berasal dari jantung ; disini berbagai penyakit dapat
menyebabkan pembentukan trombus.
b. Stroke hemoragik
1) Aneurisme merupakan keadaan dinding arteri yang melemah sehingga
menyebabkan arteri tersebut meregang dan menggelembung seperti
balon. Biasanya aneurisme terjadi di tempat yang terdapat percabangan
arteri.
2) Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang dapat
menyebabkan arteriol kecil pecah di dalam otak. Darah yang dilepaskan
di dalam jaringan otak akan menimbulkan tekanan pada arteriol
sekitarnya sehingga arteriol tersebut ikut pecah dan menimbulkan
perdarahan yang lebih luas. Hipertensi dapat pula menyebabkan infark
lakuner. Bentuk ini merupakan infark miniatur yang serupa dengan
strok komplek, tetapi memiliki skala yang lebih kecil. Infark lakuner
terjadi di dalam nukleus dan traktus spinalis otak dan menyerupai danau
atau lubang kecil-kecil.
3) Malformasi arteriovenosa merupakan kelainan pembuluh darah otak
dan disini arteri berhubungan langsung ke vena tanpa melewati jaringan
kapiler (capillary bed). Tekanan darah yang datang dari arteri tersebut
terlalu tinggi bagi vena sehingga membuat vena ini melebar sehingga
dapat mengangkut darah dengan volume yang lebih besar. Pelebaran ini
dapat menyebabkan ruptur vena tersebut (Kowalak, 2003: W14).
4. Tanda dan Gejala
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer & Bare (2002), antara lain:
defisit lapang pandang, defisit motorik, defisit sensorik, defisit verbal, defisit
kognitif dan defisit emosional.
a. Defisit Lapang Pandangan
1) Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan
2) Kesulitan menilai jarak
3) Diplopia
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis (kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama).
2) Hemiplegi (Paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama).
3) Ataksia (Berjalan tidak mantap, dan tidak mampu menyatukan kaki.
4) Disartria (Kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara.
5) Disfagia (Kesulitan dalam menelan)
c. Defisit Sensorik : kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
d. Defisit Verbal
1) Afasia ekspresif (Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami)
2) Afasia reseptif (Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan)
3) Afasia global (kombinal baik afasia reseptif dan ekspresif)
e. Defisit Kognitif
1) Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
2) Penurunan lapang perhatian
3) Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
4) Perubahan penilaian
f. Defisit Emosional
1) Kehilangan kontrol diri
2) Labilitas emosional
3) Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres
4) Depresi
5) Menarik diri
6) Rasa takut, bermusuhan dan marah
7) Perasaan isolasi

5. Patofisiologi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal
maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan
peredaran darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau
pecahnya pembuluh darah otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan
oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Stroke bukan merupakan
penyakit tunggal tetapi merupakan kumpulan dari beberapa penyakit
diantaranya hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus dan peningkatan
lemak dalam darah atau dislipidemia. Penyebab utama stroke adalah
thrombosis serebral, aterosklerosis dan perlambatan sirkulasi serebral
merupakan penyebab utama terjadinya thrombus. Stroke hemoragik dapat
terjadi di epidural, subdural dan intraserebral (Smeltzer & Bare, 2002).
Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim
otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembes kesekitarnya bahkan
dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial. Ekstravasi darah
terjadi di daerah otak dan subaraknoid, sehingga jaringan yang ada
disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan
otak, sehingga dapat mengakibatkan penekanan pada arteri disekitar
perdarahan. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan
mengecil karena terjadi penekanan maka daerah otak disekitar bekuan darah
dapat membengkak dan mengalami nekrosis karena kerja enzim-enzim maka
bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga (Smeltzer &
Bare, 2002).
Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan..
Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat secara cepat dan
konstan, berlangsung beberapa menit bahkan beberapa hari. Gambaran klinis
yang sering muncul antara lain: pasien mengeluh sakit kepala berat, leher
bagian belakang kaku, muntah penurunan kesadaran dan kejang. Sembilan
puluh persen menunjukan adanya darah dalam cairan serebrospinal, dari
semua pasien ini 70-75 % akan meninggal dalam waktu 1- 30 hari, biasanya
diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke sistem ventrikel,
herniasi lobus temporal dan penekanan mesensefalon atau mungkin
disebabkan karena perembesan darah ke pusat-pusat yang vital. Penimbunan
darah yang cukup banyak di bagian hemisfer serebri masih dapat ditolerir
tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata sedangkan adanya
bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat
mengakibatkan kematian (Smeltzer & Bare, 2002).
Golden Period artinya batas waktu bilamana pembuluh darah tersumbat
dan bagian otak tidak mendapatkan aliran darah, maka ia akan rusak. Makin
lama penyumbatannya, makin rusaklah pembuluh darah itu. Masa golden
period adalah 3-6 jam setelah stroke mulai menyerang. Karena pada masa ini
penderita masih sangat mungkin untuk terhindar dari stroke, bila langsung
ditangani dengan benar maka jaringan otak masih bisa pulih. Diluar dari
waktu tersebut, jaringan otak bisa dikatakan sudah mati dan tidak bisa pulih
lagi. Jadi, dalam rentang Golden Period, sebaiknya seorang penderita stroke
harus sudah dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas yang mendukung, supaya
dampak stroke lebih mudah diterapi dan tidak permanen. Bila waktu
penanganan melewati Golden Period, maka dilakukan terapi konservatif,
yaitu pemberian terapi injuri, pengendalian faktor resiko rehabilitatif, dan
mencegah stroke berulang. Stroke yang kedua jauh lebih berbahaya dari yang
pertama, begitu pula yang ketiga dan seterusnya. Semakin berulang, stroke
menjadi semakin berbahaya. Masa golden period sebaiknya digunakan
sebaik-baiknya dan dikenali dengan baik oleh penderita hipertensi, penyakit
kardiovaskular, diabetes melitus, serta lemah jantung, karena akan sangat
menolong penderita sehingga terhindar dari stroke berat (Widjaya, 2003)

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
1) CT scan: didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja,
1993), edema, hematoma, iskemia dan infark (Doengoes, 2000:
292)
2) MRI: untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik.
(Marilynn E. Doenges, 2000: 292)
3) Angiografi serebral: untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998) atau
membantu menenukan penyebab stroke yang lebih spesifik
seperti perdarahan atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
ruptur (Doengoes, 2000: 292)
4) Pemeriksaan foto thorax: dapat memperlihatkan keadaan
jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang
merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke. (Jusuf Misbach, 1999), menggambarkan perubahan
kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari massa yang
meluas (Doengoes, 2000: 292)
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Pungsi lumbal: pemeriksaan likuor yang merah biasanya
dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan
yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom)
sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998). Tekanan
normal biasanya ada trombosis, emboli dan TIA. Sedangkan
tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau
intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
trombosis sehubungan dengan proses inflamasi (Doengoes,
2000: 292)
2) Pemeriksaan darah rutin
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum
dan kemudian berangsurangsur turun kembali. (Jusuf Misbach,
1999)
4) Pemeriksaan darah lengkap: unutk mencari kelainan pada darah
itu sendiri. (Linardi Widjaja, 1993)

7. Pathways
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan napas. Kaji adanya
obstruksi pada jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang
lain.
b. Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak teratur,
kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru, pengembangan
dada.
c. Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiak output serta
perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna kulit, nadi,
dan adanya perdarahan.
d. Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadaan serta ukutan dan reaksi
pupil.
e. Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh pakaiannya.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe)
termasuk reevaluasi pemeriksaan TTV.
a. Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Riwayat “AMPLE” (alergi, medikasi, past illness, last
meal, event/environment) perlu diingat.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka,
kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis,
thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan neurologis
juga harus dilakukan dalam secondary survey.
c. Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
d. Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti foto tambahan dari tulang belakang
serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan prosedur diagnostik
lain.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan perdarahan
intracerebral, edema serebral, gangguan oklusi.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia,
hemiparese/hemiplagia.
c. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan penekanan
pada saraf sensori, penurunan penglihatan.
d. Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan
hemiparese/hemiplegi, kerusakan neuromuskuler, kehilangan
kontrol/koordinasi otot, penurunan kekuatan/ketahanan, kerusakan
perseptual, nyeri, depresi .
e. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot mengunyah dan menelan.
f. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama
(Marilynn E. Doenges, 2000).

4. Intervensi Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan perdarahan
intracerebral, edema serebral, gangguan oklusi dibuktikan oleh perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik/sensori,
gelisah, defisit sensori, bahasa, intelektual dan emosi, perubahan VS
Tujuan: Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil:
- Klien tidak gelisah, mempertahankan tingkat kesadaran
biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensori
- Tidak ada tanda TIK meningkat
- Menunjukkan tidak ada kelanjutan deteriorasi/kekambuhan defisit
- Tanda-tanda vital stabil (nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C,
pernafasan 16-20 kali permenit)
Rencana tindakan
1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab gangguan
perfusi jaringan otak dan akibatnya
2) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total
3) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial
tiap dua jam
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung (beri bantal
tipis)
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
Rasional
1) Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Untuk mencegah perdarahan ulang
3) Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan
untuk penetapan tindakan yang tepat
4) Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan draimage vena dan
memperbaiki sirkulasi serebral.
5) Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
6) Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK.
Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan
terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya
7) Memperbaiki sel yang masih viabel
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia,
hemiparese/hemiplagia
Tujuan: Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya
Kriteria hasil:
- Tidak terjadi kontraktur sendi (mempertahankan posisi optimal dan
mempertahankan fungsi secara optimal)
- Bertambahnya kekuatan otot
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
- Mempertahankan integritas kulit
Rencana tindakan:
1) Ubah posisi klien tiap 2 jam
2) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang
tidak sakit
3) Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit
4) Berikan papan kaki pada ekstrimitas dalam posisi fungsionalnya
5) Tinggikan kepala dan tangan
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
Rasional:
1) Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan
2) Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan
3) Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untuk digerakkan
c. Gangguan persepsi sensori: perabaan yang berhubungan dengan penekanan
pada saraf sensori
Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik: perabaan secara optimal.
Kriteria hasil:
- Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi persepsi
- Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan merasa
- Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi terhadap
perubahan sensori
Rencana tindakan
1) Tentukan kondisi patologis klien
2) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul,
posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian
3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan klien suatu
benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien menyentuh dinding atau
batas-batas lainnya.
4) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lindungan yang
berbahaya. Anjurkan pada klien dan keluarga untuk melakukan
pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal.
5) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila perlu dan
menyadari posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien sadar akan semua
bagian tubuh yang terabaikan seperti stimulasi sensorik pada daerah yang
sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati garis tengah,
ingatkan individu untuk merawata sisi yang sakit.
6) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan.
7) Lakukan validasi terhadap persepsi klien
Rasional
1) Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan, sebagai
penetapan rencana tindakan.
2) Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan kinetik berpengaruh
terhadap keseimbangan/posisi dan kesesuaian dari gerakan yang
mengganggu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.
3) Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan
intepretasi diri. Membantu klien untuk mengorientasikan bagian dirinya
dan kekuatan dari daerah yang terpengaruh.
4) Meningkatkan keamanan klien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
5) Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalan
mengintegrasikan sisi yang sakit.
6) Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan/kebingungan
yang berhubungan dengan sensori berlebih.
7) Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari persepsi
dan integrasi stimulus.
d. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
Tujuan: Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil:
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan
klien
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk
memberikan bantuan sesuai kebutuhan
Rencana tindakan:
1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan
perawatan diri
2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri
bantuan dengan sikap sungguh
3) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri,
tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan
4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya
atau keberhasilannya
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi
Rasional:
1) Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan
secara individual.
2) Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus.
3) Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan
meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi,
adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-
sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
4) Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong
klien untuk berusaha secara kontinyu.
5) Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi
dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus
e. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil:
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
- Hb dan albumin dalam batas normal
Rencana tindakan
1) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
2) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah
makan.
3) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan
menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan.
4) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.
5) Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
6) Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak
ketika klien dapat menelan air.
7) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
8) Anjurkan klien untuk berpartisipasidalam program latihan/kegiatan.
9) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau
makanan melalui selang
Rasional:
1) Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
2) Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.
3) Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol
muskuler.
4) Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat
mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan.
5) Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
6) Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam
mulut, menurunkan terjadinya aspirasi.
7) Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan menurunkan resiko
terjadinya tersedak.
8) Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan
nafsu makan.
9) Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga
makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu
melalui mulut
f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil:
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
Rencana tindakan:
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi
jika mungkin.
2) Rubah posisi tiap 2 jam.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah
yang menonjol.
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisi.
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi f) Jaga
kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap
kulit.
Rasional:
1) Meningkatkan aliran darah kesemua daerah.
2) Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol.
4) Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler.
5) Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
6) Mempertahankan keutuhan kulit.
C. Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Bina aksara.
Batticaca, B. Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Black, Joice. M., & Hawk, Jane. H. 2005. Medical Surgical Nursing; clinical
management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis : Elsevier. Inc
Corwin EJ. 2009. Patofisiologi: buku saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Doengoes E. Marylin. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC.
Jakarta
Haryono. 2004. Buku Ajar Neuorologi Klinis. Edisi 1. Gadjah Mada University
Yogyakarta: Press.
Junaidi, Iskandar. 2005. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Kim, K. 2004. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative
Recovery in Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal
Surgery. Pusan : College of Nursing Catholic University of Pusan.
Kowalac, J. 2011. Buku Ajar Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Media. Jakarta: Aeskulapius.
Nanda. 2006. Buku Panduan Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Price, & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta:EGC.
Smeltzer C. Bare & Suzanne.2002. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume
3. Jakarta: EGC.
Widjaya, Linardi. 2003. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Stroke. Surabaya:
Lab/UPT Ilmu Penyakit Syaraf. FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo
Wilkinson, J. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC.
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. U
Umur : 73 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Register : 9565324
Diagnosa medis : Suspek stroke hemoragik
Tanggal masuk : 29/5/2018

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang di IGD Rumah Sakit Kariadi jam 17.00 WIB dengan
keluhan tidak sadar sejak ±12 jam yang lalu sejak akan shalat. Sebelumnya
pasien dibawa ke Rumah Sakit Banyumanik. Karena tidak ada perbaikan, pasien
dirujuk ke RSDK. Pasien sudah terpasang infus RL 20tpm, DC, NGT, OPA.
Keluarga pasien mengatakan ini merupakan pertama kalinya pasien dibawa ke
Rumah Sakit karena stroke. Keluarga pasien mengatakan, pasien sudah 2 kali
muntah sebelum dibawa ke rumah sakit. Pasien memiliki riwayat penyakit
Hipertensi sejak ±10 tahun. Keluarga pasien mengatakan dalam keluarga tidak
ada yang mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti DM, Asma dan
Hipertensi.

C. Pengkajian Fokus
1. Pengkajian primer
a. Airway:
Terdapat secret, pasien sudah terpasang oropharingeal tube dari RS
Banyumanik, terdengar suara napas ronkhi.
b. Breathing
Terlihat pengembangan dada, pasien tampak sesak, RR: 25x/menit,
SpO2 100%, irama napas tidak teratur, terlihat adanya penggunaan otot
bantu rongga dada dalam pernapasan, napas cepat dan pendek.
c. Circulation
TD: 201/83mmHg, N = 100 x/menit, Suhu:36°C, terdengar suara jantung
S1 dan S2 reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan, cappilary refille
kembali <2 detik, akral hangat. Terpasang inffus RL 20 tpm, NGT, dan
DC dari RS Banyumanik.
d. Disability
Kesadaran pasien koma dengan GCS (E1,V1,M1), keadaan umum
tampak sakit berat, hemi parese bilateral. Mata isokor diameter
±1mm/1mm.
e. Exposure
Rambut dan kulit kepala tampak bersih tidak terdapat hematoma, tidak
terdapat luka pada tubuh pasien.
2. Pengkajian sekunder
a. Alergi : pasien tidak memiliki alergi terhadap obat, makanan, minuman
dan debu.
b. Medikasi : pasien sudah lama tidak mengkonsumsi obat hipertensi.
c. Pastillness : Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah dirawat
di RS dengan penyakit yang sama sebelumnya, pasien memiliki riwayat
sakit hipertensi ±10 tahun.
d. Lastmeal : keluarga mengatakan pasien makan terakhir pada pukul 03.00
WIB saat sahur.
e. Environment : selama dirumah pasien aktif melakukan pekerjaan rumah
tangga.
f. Program terapi:
- Terapi O2 NRM 10 lpm
- intubasi
- infus RL 16 tpm
- head up 30°
- Cek laborat: darah rutin, elektrolit, Ca, Mg, ureum, creatinin.
- EKG
- Pemasangan NGT dan DC pada pasien.
- Rontgen thorak AP
- MSCT kepala
- Konsul neurologi

D. Analisa Data
No Data Problem Kemungkinan
penyebab
1. Data Subyektif : -. Pola napas tidak Depresi pusat
Data Obyektif : efektif pernapasan.
RR : 25x/menit, GCS:
E1V1M1, napas pendek dan
cepat, pasien tampak sesak
napas, irama napas tidak teratur,
suara napas ronkhi, tampak
adanya penggunaan otot bantu
pernapasan.
Data Subyektif : -.
Data Obyektif :
- TTV : TD: 201/83
mmHg, N: 100 x/menit,
RR: 25 x/menit, S: 36
°C, SpO2 100%
terdengar suara jantung
S1 dan S2 reguler, tidak
ada bunyi jantung
tambahan, cappilary
refille kembali <2 detik,
akral hangat. Terpasang
infus RL 20 tpm,NGT,
dan DC dari RS
Banyumanik.
- Keadaan umum tampak
sakit berat, hemi parese
bilateral. Mata isokor
diameter ±1mm/1mm.
- Kesadaran pasien koma
dengan GCS
(E1,V1,M1)
2. Data Subyektif : -. Ketidakefektifan Perdarahan
Data Obyektif : perfusi jaringan intra serebral
- TTV : TD: 201/83 serebral.
mmHg, N: 100 x/menit,
RR: 25 x/menit, S: 36
°C, SpO2 100%
terdengar suara jantung
S1 dan S2 reguler, tidak
ada bunyi jantung
tambahan, cappilary
refille kembali <2 detik,
akral hangat. Terpasang
infus RL 20 tpm,NGT,
dan DC dari RS
Banyumanik.
- Keadaan umum tampak
sakit berat, hemi parese
bilateral. Mata isokor
diameter ±1mm/1mm.
Kesadaran pasien koma dengan
GCS (E1,V1,M1)
3. Data Subyektif : -. Kerusakan Defisit
Data Obyektif : mobilitas fisik neurologi
Kesadaran pasien koma
dengan GCS (E1,V1,M1),
keadaan umum tampak sakit
berat, hemi parese bilateral.

E. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b/d depresi pusat pernapasan.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d perdarahan intra serebral.
3. Kerusakan mobilitas fisik b/d defisit neurologi

F. Perencanaan
No Intervensi Tujuan dan Kriteria Hasil Paraf
Dx
1 1. Monitor karakteristik Tujuan : setelah dilakukan
pola napas (frekuensi, tindakan keperawatan selama
kedalaman, irama) 1x30 menit, pola nafas menjadi
2. Kaji adanya efektif.
penggunaan otot bantu Kriteria Hasil :
pernapasan - RR dalam batas normal
3. Berikan posisi kepala (12-20 x/mnt)
lebih tinggi 30º - Irama napas teratur.
4. Kolaborasi dengan Ledy
dokter pemberian O2.
5. Kolaborasi intubasi
2 1. Monitor keadaan Tujuan : setelah dilakukan
umum dan TTV tindakan keperawatan selama
2. Berikan posisi kepala 1x15 menit, perfusi jaringan otak
lebih tinggi 30º dapat tercapai secara optimal
3. Catat perubahan Kriteria Hasil :
pasien dalam - Pasien tidak gelisah Ledy
merespon stimulus - TTV dalam batas normal
4. Anjurkan pasien bed ((TD: sistole < 140, Diastol
rest total < 90 mmHg, S: 36,5 - 37,5
5. Ciptakan lingkungan ˚C, RR: 12-20 x/menit, N:
yang nyaman dan 60-100 x/menit)
batasi pengunjung - Komunikasi jelas, GCS
6. Kolaborasi dengan normal E4V5M6,
dokter pemberian kesadaran composmentis.
obat.
3 1. Kaji kemampuan Tujuan : setelah dilakukan
pasien terhadap tindakan keperawatan selama
pergerakan 1x15 menit, mobilitas pasien
2. Ubah posisi pasien dapat meningkat.
tiap 2 jam Kriteria Hasil:
3. Ajarkan ROM pasif - tidak terjadi atropi otot Ledy
pada ekstremitas. - Sendi tidak kaku.
4. Pasang side riil di
kanan kiri tempat tidur
pasien.
5. Libatkan keluarga
dalam pemenuhan
kebutuhan ADL
pasien.
G. Implementasi Keperawatan
No Hari/ Jam Implementasi Respon Ttd
Dx Tanggal
1 Selasa/29 17..00 1. Memberi O2 NRM 10 lpm 1. Terpasang O2 NRM 10 lpm.
Mei 2018 17.15 2. Mengangambil sampel darah dan BGA 2. Sampel dapat diambil dan dikirim ke
laboratorium.
3. Memonitor adanya penggunaan otot bantu 3. Terdapat retraksi dada.
pernafasan
17.30 4. Melakukan kolaborasi pemasangan ETT 4. ETT terpasang dengan ukuran 7,,5 dan Ledy
kedalaman 21cm.
18.30 5. Memonitor ttv 5. T: 183/80 mmHg, HR: 104 x/mnt, RR:
26 x/ mnt,SpO2: 100%, S: 38°C.
2 Selasa/29 17..00 1. Memberikan posisi head up 30°. 1. Posisi head up 30°
Mei 2018 18.00 2. Memfasilitasi pemeriksaan MSCT kepala. 2. Menunggu hasil MSCT kepala.
18.30 3. Memonitor KU dan ttv 3. KU: tampak sakit berat, kesadaran:
koma,T: 183/80mmHg, HR: 104
x/mnt, RR: 26 x/ mnt,SpO2: 100%, S:
38°C.
Ledy
4. Memberikan terapi : ranitidin 50 mg (iv), 4. Obat masuk melalui NGT dan infus.
paracetamol 500mg (po), asam traneksamat
1 gr(iv), manitol 100mg 250 cc.
19.15 5. Memonitor KU dan ttv
5. KU: tampak sakit berat, kesadaran:
koma,T: 170/70 mmHg, HR: 96 x/mnt,
RR: 32 x/ mnt,SpO2: 100%, S: 37°C.
3 Selasa/29 17.00 1. Memasang side riil di kanan kiri tempat tidur 1. Side riil terpasang pada kanan dan kiri
Mei 2018 pasien. TT pasien.
Ledy
2. Melibatkan keluarga dalam pemenuhan
2. ADL pasien terpenuhi.
kebutuhan ADL pasien.
3. Memonitor kemampuan pasien terhadap 3. Hemiparese bilateral, mobilisasi
pergerakan. pasien tergantung total.
H. Kesimpulan
Kondisi pasien belum stabil. Hasil- hasil pemeriksaan belum jadi. Pasien masih
perlu pengawasan di IGD

Anda mungkin juga menyukai