Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan
spinal cord (Meningitis Foundation of America). Classic triad dari meningitis
adalah demam, leher kaku, sakit kepala, dan perubahan di status mental (van de
Beek, 2004). Sistem saraf pusat manusia dilindungi dari benda-benda asing oleh
Blood Brain Barrier dan oleh tengkorak, sehingga apabila terjadi gangguan pada
pelindung tersebut, sistem saraf pusat dapat diserang oleh benda-benda patogen
(van de Beek, 2010). Angka kejadian meningitis mencapai 1-3 orang per 100.000
orang (Centers for Disease Control and Prevention).
Penyebab paling sering dari meningitis adalah Streptococcus pneumonie (51%)
dan Neisseria meningitis (37%) (van de Beek, 2004). Vaksinasi berhasil
mengurangi meningitis akibat infeksi Haemophilus dan Meningococcal C (Tidy,
2009). Faktor resiko meningitis antara lain: pasien yang mengalami defek dural,
sedang menjalani spinal procedure, bacterial endocarditis, diabetes melitus,
alkoholisme, splenektomi, sickle cell disease, dan keramaian (Tidy, 2009).
Patogen penyebab meningitis berbeda pada setiap grup umur. Pada neonatus,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Group B beta-haemolitic
streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Pada bayi dan anak-
anak, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Haemophilus
influenza (bila lebih muda dari 4 tahun dan belum divaksinasi), meningococcus
(Neisseria meningitis), dan Streptococcus pneumonie (pneumococcus). Pada orang
remaja dan dewasa muda, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah
S. pneumonie, H. influenza, N. meningitis, gram negative Bacilli, Streptococci, dan
Listeria monocytogenes. Pada dewasa tua dan pasien immunocompromised,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Pneumococcus, Listeria
monocytogenes, tuberculosis, gram negative organis, dan Cryptococcus.
Sedangkan penyebab meningitis bukan infeksi yang paling sering antara lain sel-
sel malignan (leukemia, limpoma), akibat zat-zat kimia (obat intratekal,
kontaminan), obat (NSAID, trimetoprim), Sarkoidosis, sistemis lupus eritematosus
(SLE), dan Bechet’s disease (Tidy, 2009).
Meningitis juga dapat disebabkan oleh tindakan medis. 0,8 sampai 1,5% pasien
yang menjalani craniotomy mengalami meningitis. 4 sampai 17% pasien yang
memakai I.V. Cath. mengalami meningitis. 8% pasien yang memakai E. V. Cath.
mengalami meningitis. 5% pasien yang menjalani lumbar catheter mengalami
meningitis. Dan meningitis terjadi 1 dari setiap 50.000 kasus pasien yang menjalani
lumbar puncture (van de Beek, 2010).
Secara keseluruhan, mortality rate pasien meningitis adalah 21%, dengan
kematian pasien pneumococcal meningitis lebih tinggi dari pasien meningococcal
meningitis (van de Beek, 2004). Di Afrika, antara tahun 1988 dan 1997, dilaporkan
terdapat 704.000 kasus dengan jumlah kematian 100.000 orang. Di antara tahun
1998 dan 2002 dilaporkan adanya 224.000 kasus baru meningococcal meningitis.
Tetapi angka ini dapat saja lebih besar di kenyataan karena kurang bagusnya sistem
pelaporan penyakit. Sebagai tambahan, banyak orang meninggal sebelum mencapai
pusat kesehatan dan tidak tercatat sebagai pasien meninggal di catatan resmi
(Centers for Disease Control and Prevention).
Otitis media merupakan penyakit peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Soepardi,
2008). Di Amerika Serikat, otitis media terdiagnosis lebih dari 5 juta kali setiap
tahunnya, dan merupakan alasan paling banyak dituliskannya resep antibiotik untuk
anak-anak (Hendley, 2002). Otitis media biasanya diikuti dengan infeksi virus di
nasofaring yang kemudian mengganggu fungsi dari tuba Eustachius, yang
kemudian mengganggu ventilasi dan menimbulkan tekanan negatif di telinga
tengah (Hendley, 2002).
Di Australia, 3-5% anak meninggal tiap tahunnya akibat komplikasi otitis
media dan 15 anak menderita kehilangan pendengaran permanen akibat otitis media
(O'Connor, 2009). Komplikasi otitis media yang paling sering terjadi adalah yang
ekstrakranial yang berupa antara lain mastoiditis, kolesteatoma, dan otitis media
dengan perforasi. Sedangkan komplikasi intrakranial, yang jarang terjadi, antara
lain meningitis, abses otak, dan trombosis sinus lateral. 60% anak
yang menderita otitis media akan mengalami komplikasi, baik itu ekstrakranial
maupun intrakranial (O'Connor, 2009).
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani disertai sekret yang terus menerus atau
hilang timbul (Nursiah, 2003). Otitis media akut dengan perforasi membran timpani
menjadi OMSK apabila prosesnya telah berlangsung lebih dari 2 bulan (Soepardi,
2008). Gejala klinisnya berupa otorrhoea disertai kehilangan pendengaran
konduktif. Di dunia, terdapat 65-330 juta penderita OMSK dan 60%-nya menderita
kehilangan pendengaran yang signifikan (Borton, 2009).
Tipe klinik OMSK dibagi atas dua, yaitu tipe tubotimpanal (tipe rinogen atau
tipe sekunder atau OMSK tipe jinak) dan tipe atikoanteral (tipe primer atau tipe
mastoid atau OMSK tipe ganas). Otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe ganas
ini dapat menimbulkan komplikasi ke dalam tulang temporal dan ke intrakranial
yang dapat berakibat fatal (Aboet, 2007).
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering
dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika. Walaupun demikian, lebih dari
90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Pasifik.
Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh, status kesehatan serta
gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar meningkatnya prevalensi
OMSK pada negara yang sedang berkembang (Aboet, 2007).
Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan
pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007).
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui hubungan antara otitis media supuratif kronik dengan
meningitis.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungannya antara otitis media supuratif kronik dengan
kejadian meningitis.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara otitis media supuratif kronik dengan
kejadian meningitis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian meningitis di RSUP H Adam Malik.
2. Mengetahui angka kejadian meningitis akibat Otitis Media
Supuratif Kronik di RSUP H Adam Malik.

1.4. Manfaat Penelitian


1) Memberikan informasi tentang kejadian meningitis yang disebabkan oleh
otitis media supuratif kronik di RSUP H Adam Malik, medan.
2) Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
penerapan ilmu yang diperoleh semasa perkuliahan.
3) Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa
untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
penelitian yang telah dilakukan penulis.

1.5. Ruang Lingkup

1.5.1. Ruang Lingkup waktu


Penelitian ini dilakukan pada bulan januari sampai dengan maret 2019

1.5.2 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data dari RSUP H. Adam

Malik dengan melihat hubungan antara otitis media supuratif kronik

dengan kejadian meningitis.Tempat


1.5.3 Ruang Lingkup Penelitian

Materi dibatasi dari data rekam medis pada pasien dengan meningitis

yang berhubungan denagan ototis media supuratif kronik.

1.6 Hipotesis

Terdapat hubungan antara otitis media supuratif kronik dengan

kejadian meningitis.

Anda mungkin juga menyukai