Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada

usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi

(Salmonella typhi). Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu

atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa

gangguan kesadaran. Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di

berbagai negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan

subtropik. 1

Kasus demam tifoid yang terjadi diperkirakan 22 juta kasus dan

200.000 diantaranya berhubungan dengan kematian di seluruh dunia setiap

tahunnya, sedangkan demam paratifoid terjadi sekitar 6 juta kasus setiap

tahunnya. Menurut World Health Organization (WHO) 2003 demam tifoid

masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang

berkembang. Di Indonesia insiden demam tifoid diperkirakan sekitar 300-810

kasus per 100.000 penduduk per tahun, berarti jumlah kasus berkisar antara

600.000-1.500.000 pertahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2011

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2012), memperlihatkan bahwa

Demam Tifoid dan Paratifoid menduduki peringkat ke 3 dari 10 penyakit

terbanyak pada pasien rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010 menurut kode

Daftar Tabulasi Dasar (DTD) sebanyak 55.098 kasus dengan angka kematian

sebesar 2,06%.2
2

Penyakit ini endemik di Indonesia, bersifat sporadis, terpencar-pencar

di suatu daerah, dan dapat ditemukan sepanjang tahun di Indonesia. Insidensi

tertinggi pada daerah endemik yaitu pada anak-anak, dimana transmisi melalui

air tercemar ataupun makanan/minuman yang tercemar oleh karier. Penyakit

ini dapat menimbulkan komplikasi berat ataupun menyebabkan hostnya

menjadi karier apabila tidak diterapi adekuat dan tepat. Hal ini dapat terjadi

bila seseorang dalam keadaan status gizi yang kurang/buruk, imunitas jelek,

dan hidup di lingkungan padat dan sumber air yang tercemar. Oleh karena itu,

selain deteksi dini dan terapi adekuat, penting untuk menerapkan perilaku

hidup bersih dan sehat demi memutus rantai kehidupan bakteri. Hal tersebut

setidaknya akan mencegah penularan, terutama pada kelompok risiko tinggi

seperti anakanak dan balita, orangtua, dan penderita imunokompresi. Dalam

hal ini dokter keluarga memegang peranan penting dalam memberikan edukasi

mengenai perilaku hidup sehat dan bersih, penyakit-penyakit menular terutama

dengan rute oral-fekal, mendeteksi dini keluhan-keluhan pasien, perubahan

gaya hidup terutama pola makan yang benar, dan terutama bila terdapat

riwayat penyakit tertentu di lingkunan setempat.3


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada

usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi

(Salmonella typhi). Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu

atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa

gangguan kesadaran, bakteremia tanpa perubahan pada sistem endotel atau

endokardial, invasi dan multiplikasi bakteri dalam sel pagosit mononuklear

pada hati, limpa, lymphnode dan plaque peyer. Demam tifoid merupakan

masalah kesehatan yang penting di berbagai negara berkembang, karena

penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,

kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar

hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Demam tifoid

disebabkan oleh Salmonella Serotipe Typhi, Salmonella Serotipe Paratyphi

A,B dan C.4

2.2 Epidemiologi

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan

Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang

sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.

Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus

dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam tifoid tinggi

(>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan
4

Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan yang tergolong

sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya,

Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru);

serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di

bagian dunia lainnya. Di Indonesia insiden demam tifoid diperkirakan sekitar

300-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun, berarti jumlah kasus berkisar

antara 600.000-1.500.000 pertahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia

2011 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2012), memperlihatkan

bahwa Demam Tifoid dan Paratifoid menduduki peringkat ke 3 dari 10

penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010.5.2

2.3 Etiologi

Salmonella typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik

fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan

berkembang biak di dalam sel kariotik. Di samping itu mempunyai beberapa

antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane Protein

terutama porin OMP.

Penjelasan macam Antigen

1. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.

Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap

pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

2. Antigen H
5

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S.

Typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-

1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak

aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau

asam.

3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi

kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila

dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan

fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

4. OuterMembrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar

membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel

terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein

porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP,

terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran

hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya

resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein

nonporin terdiri atasprotein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat

sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan

jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat

spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.6


6

2.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang

melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,

kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke

dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri

melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan

mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi

dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke

sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui

sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya

tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil

yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh

dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di

hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi

dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan

kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia

sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia

sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan

nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila

tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di

hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di

mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi


7

melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia.

Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.

Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ

sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.

Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai

pembawa kuman atau carrier.5

2.5 Gejala Klinis

Masa Inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya

adalah 10- 12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah

khas, berupa :

 anoreksia

 rasa malas

 sakit kepala bagian depan

 nyeri otot

 lidah kotor

 gangguan perut (perut kembung dan sakit)

Gejala Khas biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja

pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid

adalah sebagai berikut.

- Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada

awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam

tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala,
8

pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara

80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan

gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan

diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih

sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan

ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh

penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika

penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam

dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit

lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan

terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak

ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.

Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa

makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada

kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila

ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai.

Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.

- Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat

setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat

pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh

penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang

tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi


9

perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat

dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat

yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.

Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah

mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap

akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan

sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai

kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.

- Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila

keadaan membaik, gejala- gejala akan berkurang dan temperatur mulai

turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot

bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan

timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut

nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka

hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat


10

dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam

tifoid pada minggu ketiga.

- Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini

dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena

femoralis.8

2.6 Diagnosa

1. Anamnesa

- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada

akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.

- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri

kepala, nyeri perut, diare atau konstipsi, muntah, perut kembung.

- Pada demam tifoid berat dapat di jumpai penurunan kesadaran, kejang

dan ikterus.7

2. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran menurun, delirium, sebagian anak mempunyai lidah tifoid yaitu

di bagian tengah kotor dan di bagian pinggir hiperemis (beslag),

meteorismus, hepatomegali lebih sering di jumpai dari pada splenomegali.

Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.7

3. Periksaan penunjang

- Pemeriksaan darah tepi


11

Pemeriksaan hematologi pada demam tifoid tidak spesifik. Dapat

ditemukan adanya anemia normokromik normositer dalam beberapa

minggu setelah sakit. Anemia dapat terjadi antara lain oleh karena

pengaruh berbagai sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi

sumsum tulang, penghentian tahap pematangan eritrosit maupun

kerusakan langsung pada eritrosit. Disamping itu anemia bisa

disebabkan perdarahan usus.. Hitung leukosit umumnya rendah,

berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, memiliki variasi

yang lebar, leukopenia, jarang dibawah 2500/ mm3, umumnya terjadi

dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah sakit. Leukositosis dapat

mencapai 20.000-25.000/mm3, yang menandakan adanya suatu abses

pyogenik. Trombositopenia dapat merupakan suatu tanda penyakit yang

berat serta terjadinya suatu gangguan koagulasi intravaskuler.

- Pemeriksaan serologis Widal

Pemeriksaan widal adalah pemeriksaan antibodi terhadap antigen O dan

H S.Typhi, yang sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan

widal memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah, dan penggunaannya

sebagai pemeriksaan tunggal di daerah endemik akan mengakibatkan

overdiagnosis. Antibodi O meningkat pada hari 6-8, dan antibodi H

pada hari 10-12 setelah onset. Kelemahan pemeriksaan widal lainnya,

dapat juga terjadi reaksi silang dengan enterobakter lain, atau

sebaliknya penderita demam tifoid tidak menunjukkan peningkatan titer

antibodi. Di Indonesia, pengambilan angka titer O aglutinin e” 1/40


12

dengan memakai uji widal slide aglutination, menunjukkan nilai ramal

positip 96%. Artinya, apabila hasil tes positip, 96% kasus benar

menderita demam tifoid, tetapi apabila negatif, tidak menyingkirkan.

Banyak center mengatur pendapat, bahwa apabila titer O aglutinin

sekali periksa e” 1/200, atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali,

maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.Untuk mendapatkan

hasil pemeriksaan yang cepat dan lebih akurat dalam mendiagnosis

demam tifoid, dikembangkan pemeriksaan alternatif dari widal seperti:

- Typhidot

Merupakan suatu pemeriksaan serologi yang didasarkan pada deteksi

antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap salmonella typhi. Hail positif

pada pemeriksaan typidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat

mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen

salmonella typhi.

- Tubex Test

Pemeriksaan ini menggunakan antigen O9 yang hanya ditemukan pada

salmonella serogroup D dan tidak pada mikroorganisme lain. Respon

terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap ani

O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi

primer, dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.


-
Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan nested PCR (Polymerase Chain Reaction), menggunakan

primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S.


13

typhi dan merupakan pemeriksaan yang cepat dan menjanjikan.

Pemeriksaan PCR memiliki sensitivitas untuk mendeteksi satu bakteri

dalambeberapa jam. Penelitian Ambati, di India, 2007, mendapatkan

pemeriksaan PCR dari darah maupun dari urine, memiliki sensitivitas

82%, spesifitas 100%. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan

metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil

positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara

cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat

proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta

bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup

tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan

sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium

penelitian11

- Pemeriksaan Biakan darah

Diagnosis utama demam tifoid adalah isolasi kuman S.typhi. Isolasi

kuman penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan mengambil

biakan dari berbagai tempat dalam tubuh. Biakan darah memberi hasil

positif pada 40-60% kasus. Sensitivitas biakan darah yang paling baik

adalah selamaminggu pertama sakit, dapat positif sampai minggu kedua

dan setelah itu kadang saja ditemukan positif. Pemeriksaan biakan feses

dan urine positif pada akhir minggu pertama tetapi memiliki sensitivitas

yang lebih rendah. Dibeberapa negara, rendahnya sensitivitas biakan


14

darah dipengaruhi oleh penggunaan anatibiotik. Pemeriksaan biakan

darah kurang sensitif dibandingkan dengan biakan sumsum tulang oleh

karena jumlah kuman yang lebih sedikit. Pemeriksaan biakan darah

memerlukan sampel sebanyak 10-15 ml pada anak prasekolah dan

dewasa, 2-4 ml pada bayi dan anak prasekolah. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi

dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil

karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media

tersebut. Perbedaan jenis media yang digunakan, memberikan

karakteristik yang berbeda serta selektifitas yang berbeda pula. Pada

media blood agar, S.Typhi dan S.Paratyphi terbentuk non hemolitik

koloni,berwarna putih halus, pada media Mac Conkey terbentuk koloni

halusyang memproduksi laktose tidak terfermentasi, pada media SS

agar, terbentuk koloni yang memproduksi laktosa tidak terfermentasi

dengan warna hitam di bagian tengah, pada media Xyloselysine-

desoxycholate (XLD) agar koloni berwarna merah transparan dengan

bagian tengah berwarna hitam. Kegagalan isolasi mikroorganisme dapat

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terbatasnya media

laboratorium, penggunaan antibiotika, jumlah volume darah yang

digunakan, waktu pengambilan sampel.4

2.7 Diagnosa Banding

1. Demam Berdarah Dengue (DBD) : Demam tinggi mendadak terus

menerus yang ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni, hemokonsentrasi


15

2. Apendisitis: disertai nyeri perut terutama dibagian kanan bawah, perut

buncit, susua buang angin.

3. Demam Dengue : demam tinggi mendadak disertai trombositopeni dan

hemokonsentrasi.

4. Influenza : demam tinggi di sertai batuk, pilek, sakit tenggorokan, bersin

5. malaria : pola demam hilang timbul disertai dengan keringat dingin.9

2.8 Penatalaksanaan

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam

dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga

tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah

kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola

sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella

typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat

mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori

resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok

chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsul famethoxazole (kelompok

MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone, acid resistant

Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas

terhadap fluoroquinolone.

Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi

berdasarkan WHO tahun 2003. Antibiotik golongan fluoroquinolone

(ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif

untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap


16

fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu

penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier.

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone

dan salah satu kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke

jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. Typhi intraseluler di dalam

monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu

dibandingkan antibiotik lain fl uoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan

memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak,

dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar

ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin

diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan

dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan

dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat

dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil

mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di

lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi

demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg,

1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah

100% dengan efek samping yang minimal.

Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan

demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di

mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.
17

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan

bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan

chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone

tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan

pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama

digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan

dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka

terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin

dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu

penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka

kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan

muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun

memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi

sebagai pasien demam tifoid yang berat.

Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO

tahun 2003 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam

tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan

keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian

antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan

antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet

makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.5


18

2.9 Pemantauan

1. Terapi

- Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5

setelah pengobatan tidak reda, maka harus segera di evaluasi adakah

komplikasi sumber infeksi lain, resistensi S.Typhi terhadap antibiotik

atau kemungkinan salah menegakkan diagnosa.

- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa

antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai

komplikasi, pengobatan dapat dilanjutkan dirumah.

2. Penyulit

- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu

menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bisisng

usus menurun sampai menghilang, defance musculaire positif, dan

pekak hati menghilang.

- Ekraintestinal: tifoid esefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia,

syok septik,pielonefritis,endokarditis, osteomielitis.7

2.10 Indikasi Rawat Inap

Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.

- Cairan dan Kalori

- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan

cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung.

- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5

kebutuhan dengan kadar natrium rendah.


19

- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskuler dan jaringan.

- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik

- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2

- Pelihara keadaaan nutrisi.

- Antipiretik diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada pasien

dengan riwayat kejang demam dapat diberikn lebih awal.

- Diet

- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna

- Setelah, demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih

padat dengan kalori cukup

- Transfusi darah : kadang kadang di perlukan pada perdarahan saluran

cerna dan perforasi usus.

2.11 Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus

- Perforasi usus

- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra –Intestinal

- Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan

septik), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis

- Komplikasi darah : anemia hemolitik trombositopenia, dan /atau

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia

hemolitik
20

- Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis

- Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis

- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis

- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan Artritis

- Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom

katatonia

2.12 Pencegahan

1. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan

higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat

menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan

dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa

yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella

typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan

terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.

2. Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi

jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai

“nenangga”, atau yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus

diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan

terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi,

tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang

tidak sampai membahayakan anak


21

3. Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah

vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara

injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang

diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak

direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk

pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering

terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja

laboratorium.

4. Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada

anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan

proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2

minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin

untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-

orang yang memiliki resiko terjangkit.

5. Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada

anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari

secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan

sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan

waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5

tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

6. Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau

harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid

diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang


22

berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh

mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh

mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang

yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka

tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem

imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka

hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara

mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang

sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-

obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama

2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan

perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral

tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian

antibiotik.

7. Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan

problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang

menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.

Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada

vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah :

demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)

kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per

100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
23

terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak

enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi) 10


24

BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang bersifat akut, disebabkan

Salmonella typhi, mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang bervariasi dari

ringan berupa demam, lemas serta batuk yang ringan sampai dengan gejala berat

seperti gangguan gastrointestinal sampai dengan gejala komplikasi. Pemeriksaan

penunjang yang sering dikerjakan untuk mendiagnosis demam tifoid terdiri dari

pemeriksaan darah tepi, identifikasi kuman melalui isolasi/ biakan, identifikasi

kuman melalui uji serologis serta identifikasi kuman secara molekuler. Isolasi

kuman penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan mengambil biakan dari

berbagai tempat dalam tubuh. Biakan darah memberi hasil positif pada 40-60%

kasus. Sensitivitas biakan darah yang paling baik adalah selama minggu pertama

sakit, dapat positif sampai minggu kedua dan setelah itu kadang saja ditemukan

positif. Pemeriksaan biakan darah merupakan pemeriksaan baku emas untuk

diagnosis demam tifoid. Hal yang dapat disarankan dari pembahasan ini adalah

untuk menegakkan diagnosis pasti demam tifoid pada anak, harus dilakukan

pemeriksaan biakan darah. Tidak disarankan menegakkan diagnosis demam tifoid

hanya berdasarkan pemeriksaan darah tepi ataupun pemeriksaan widal.


25

BAB IV

LAPORAN STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien:

Nama : Akbar Alhamda

Usia :7 Tahun

J.K : Laki-Laki

Alamat : Asan Peutik

Tanggal Masuk : 28-06-2017

B. Anamnesa

Keluhan Utama : Demam dan Mencret.

Telaah : Pasien datang bersama ibunya dengan keluhan demam

sudah 3 hari, demam yang dialami naik turun, tidak

disertai mengigil. Pasien juga mengeluhkan BAB mencret

berampas 1 x sejak tadi pagi, feses tidak disertai darah dan

lendir . Batuk (+) tidak berdahak , sakit kepala (+), mual

(+), muntah (+) berampas 3x sehari, sakit perut (+).

RPO : INH, Rifampisin

Alergi : (-)

RPD : TB Paru

RPK : (-)

Keadaan Umum :

Kesadaran : Compos mentis GCS : E 4 M 6 V 5

Nadi : 88x/i Suhu : 37,3oC


26

RR : 24x/i BB : 16x/i

TB : 113 cm

C. Pemeriksaan Fisik

1. Kepala : Bentuk Normocephali, UUB : tertutup, UUK : tertutup, Rambut

hitam.

2. Mata :Pupil isokor, reflek cahaya (+/+), kornea (+/+), konjungtivitis

anemis (-)

3. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)

4. Telinga : sekret (-)

5. Mulut : bibir/lidah sianosis (-), tenggorokan: tidak hiperemis.

6. Leher : pembesaran KGB (-) peningkatan TVJ (-)

7. Thorax : bentuk : simetris, jantung: HR: 88x/i, Bunyi jantung dalam batas

normal. Paru : Rr: 24 x/i, suara pernafasan vesikuler

8. Abdomen : distensi (-) Bising usus normal, Venekasi (-), hepar (-) Lien (-)

9. Anus (+)

10. Eksteremitas : sianosis (-) oedema (-) Waktu pengisian kapiler <2”

11. Kulit: pucat (-), ptekie(-) ekimosis (-) ikterik (-)

12. Kuku : sianosis (-)

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalisa

Kejernihan : Jernih Glukosa : (-)

Warna : Kuning Bilirubin : (-)

Protein : (-)
27

2. Urinalisa (sedimen)

Leukosit : 0-2 /ipb

Eritrosit : (-)

Epitel : (-)

Kristal : (-)

3. Feces Rutin

Warna : Coklat

Konsistensi : Lembek

Ascaris Lumb : (-)

Tricuris Tric : (-)

Angkilostoma : (-)

4. Hematologi

Hemoglobin : 12.8 mg/dl

Hematokrit : 38.5 %

Eritrosit : 4.65 juta/L

Lekosit : 5.15 10^3/uL

Trombosit : 303 10^3/uL

5. Imuno Serologi

Salmonella Typhi O : 1/160

Salmonella Typhi H : 1/80

Salmonella Paratyphi AO : 1/80

Salmonella Paratyphi AH : 1/80

Salmonella Paratyphi BO : 1/160


28

Salmonella Paratyphi BH : 1/160

Salmonella Paratyphi CO : 1/160

Salmonella Paratyphi CH :1/160

E. Diagnosa

Tyfoid Fever

F. Penatalaksanaan

- Inf. RL 55 tts/I

- Inj. Noralges 200 mg/8 j

- Inj. Ranitidin 16 mg/8 j

- Inj. Cefriaxone 400 mg/12 jam

- Paracetamol syr 3x1 ½ cth

- Domperidon syr 3xi cth

- Multivitamin syr 1x1 cth


29

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Pramitasari, O, P. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid


Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Vol
2(1). Hal: 1.
2. Intannia, D. et al. 2015. Pola Pengobatan Anak dan Remaja dengan
Diagnosis Demam Tifoid di Ruang Rawat Inap Blud RS Ulin Banjarmasin.
Prosiding Seminar & Workshop. Padang. Hal: 210-211
3. Ghasani, R. 2014. Management Of Typhoid Fever In Infants With Irregular
Eating Patterns And Knowledge PHBS Of Mothers On. J.Medulla UNILA.
Vol: 3(1). Hal: 1-2.
4. Sucipta, A, A, M. 2015. Baku Emas Pemeriksaan Laboraturium Demam
Tifoid Pada Anak. Vol: 12(1). Hal: 22-23
5. Nelwan, RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia
Kedokteran. Vol: 39(4). Hal: 247.
6. Wardhani, P. et.al. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Vol: 12(1). Hal: 32
7. Pudjiadi, A. H., et.al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal 47
8. Inawati. 2012. Demam Tifoid. Departemin Patologi Anatomi UWKS. Hal: 2-
3.
9. Kemenkes. 2016. Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik di
Fasilitas Tingkat Pertama. Hal. 36-40.
10. Judarwanto, W. 2014. Penanganan Terkini Demam Tifoid (Tifus). Jurnal
Pediatrik Inspirasi Ilmiah Pediatrik. Hal 5-6
11. Hadinegoro, et.al. 2012. Update Management Of Infactous Diseases And
Gastrointestinal Disorder. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Hal 1-9.

Anda mungkin juga menyukai

  • Stunting
    Stunting
    Dokumen15 halaman
    Stunting
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Kortikosteroid
    Kortikosteroid
    Dokumen23 halaman
    Kortikosteroid
    Siti Arya Morisha
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Fix
    Lapkas Fix
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Fix
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab I, Ii, Iii
    Bab I, Ii, Iii
    Dokumen18 halaman
    Bab I, Ii, Iii
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Fix
    Lapkas Fix
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Fix
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Kortikosteroid
    Kortikosteroid
    Dokumen23 halaman
    Kortikosteroid
    Siti Arya Morisha
    Belum ada peringkat
  • Bab I, Ii, Iii
    Bab I, Ii, Iii
    Dokumen18 halaman
    Bab I, Ii, Iii
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Konjungtivitis
    Konjungtivitis
    Dokumen8 halaman
    Konjungtivitis
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Fix
    Lapkas Fix
    Dokumen28 halaman
    Lapkas Fix
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • GBS-PENDAHULUAN
    GBS-PENDAHULUAN
    Dokumen20 halaman
    GBS-PENDAHULUAN
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Lapkas JIWA 1
    Lapkas JIWA 1
    Dokumen39 halaman
    Lapkas JIWA 1
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Basalioma
    Basalioma
    Dokumen20 halaman
    Basalioma
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab I, Ii, Iii
    Bab I, Ii, Iii
    Dokumen18 halaman
    Bab I, Ii, Iii
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Basalioma
    Basalioma
    Dokumen20 halaman
    Basalioma
    Dyah Anggraini
    Belum ada peringkat