Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah korupsi ini bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan

hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak

ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun dinegara berkembang

termasuk Indonesia, bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini

sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena

sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.4

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis

multimedimensial serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari

kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai

permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui

keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh

potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak

hukum.

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan

membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transparansi Internasional

Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup

nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar

lebih korup dibandingkan Indonesia.5 Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK),

4
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hal 1.
5
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 2.

Universitas Sumatera Utara


ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam,

Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara

yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang

mengalami konflik.6

Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah

moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan

lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-

ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik,

masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi

(termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”.7

Penyelamatan keuangan negara ditempuh dengan berbagai cara antara lain

pelacakan/pengejaran dan penyitaan barang/kekayaan yang diduga ada kaitannya

dengan kejahatan korupsi. Penjatuhan pidana denda telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami perubahan kembali

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

kemudian diterbitkan pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 mengatur tentang sanksi pembayaran denda dan uang pengganti atas

perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang pribadi maupun badan hukum.

6
Ibid., hal 2.
7
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
hal. 85-86.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk memaksimalkan

pengembalian uang negara yang telah dikorupsi.

Dalam kenyataannya pembayaran ganti kerugian dalam tindak pidana

korupsi tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik,

dikarenakan banyaknya faktor penghambat baik pada terpidana, penegak, hukum,

dan pada aturan-aturan pelaksanaannya, sementara uang hasil korupsi telah habis

dibelanjakan, dengan demikian terlihat bahwa kemampuan dan profesionalisme

aparat hukum merupakan faktor penentu dalam pemberantasan tindak korupsi di

samping fakor perundang-undangan.

Diperlukan perubahan mendasar tentang ketentuan uang pengganti dalam

UU No.31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan tetap

mempertimbangkan pemulihan keseimbangan antara kerugian negara,

masyarakat, dan kepentingan perlindungan hak kepemilikan terdakwa tindak

pidana korupsi perlu segera diundangkan Rancangan Undang-Undang Tentang

Perampasan Aset Kejahatan, termasuk aset yang berasal dari tindak pidana

korupsi perlu segera dibentuk kantor pusat pengendali (central authority)

ditingkat nasional.8

Salah satu instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi selain

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk sesuai dengan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Disamping

kewenangan Kejaksaan dibidang penuntutan dan penyidikan untuk tindak pidana

khusus, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16

8
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing,
Depok, 2010, hal. 29.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dibidang perdata dan tata

usaha negara kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam

maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kewenangan kejaksaan dibidang perdataan dan tata usaha negara ini

diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu

membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak

mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka

jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa

mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah

selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut

umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan

perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Nomor 3 Tahun 1990.

Terdapat fakta-fakta mengenai sangat minimnya hukuman yang dijatuhkan

kepada pelaku korupsi sehingga belum sesuai dengan peraturan yang ada.9 Pada

dasarnya pencantuman mengenai lamanya pidana penjara dan adanya denda yang

ditetapkan tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya tindakan/perilaku koruptif

akan tetapi dalam kenyataan dilapangan, hukuman maksimal yang telah

ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan jarang sekali diterapkan atau

diambil oleh seorang hakim.

Seiring dengan desakan desentralisasi dan kebijakan nasional pasca

reformasi, maka Daerah Papua khususnya daerah Kabupaten Fak-Fak merupakan

9
VIVANews, Rabu, 19 Januari 2011 14:55: Kenapa Hakim 'Hanya' Vonis Gayus 7 Tahun,
http://vivanews.com/berita/200177-kenapa-hakim--hanya--vonis-7-tahun-.htm,diunduh
Minggu, 2 Juni 2012 pukul 23:22 WIB.

Universitas Sumatera Utara


daerah yang memiliki Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat,

dimana pemberian otonomi khusus ini membuat pembangunan yang nampak

pesat diberbagai bidang. Ini tentunya didukung oleh Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) makin bertambah, dari sekitar Rp.300 Milyar di awal

tahun 2000-an hingga sekarang mencapai lebih dari setengah Triliun Rupiah.10

Dengan besarnya jumlah Pendapatan dari daerah Kabupaten Fak-Fak

tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya pelanggaran Tindak

Pidana Korupsi, karena didaerah yang memiliki Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah yang lebih sedikit saja ada Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi.

Peran dari Kejaksaan sangat diperlukan untuk mengontrol perkembangan

dari Tindak Pidana Korupsi. Tujuan penulis membahas masalah peranan

kejaksaan dalam pembayaran uang pengganti di daerah Kabupaten Fak-Fak

adalah ingin memberi sedikit gambaran perkembangan kasus korupsi yang terjadi

didaerah Kabupaten Fak-Fak dimana daerah Kabupaten Fak-Fak memiliki

Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah Pusat dalam penyaluran APBD

nya. Selain itu penulis sebelumnya telah melakukan riset di kejaksaan Negeri

Medan dengan judul yang sama tetapi tidak ada respon yang positif dari pihak

Kejaksaan Negeri Medan sehingga akhirnya penulis tertarik melakukan riset di

daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.

Dari uraian tersebut penulis tertarik untuk mengetahui secara lebih

mendetail mengenai implementasi sanksi pembayaran denda pada terpidana kasus

10
Membangun Gerakan Anti-Korupsi Untuk Tercapaina Pemerintahan yang Bersih
diKabupaten FakFak http://fakfakjamak.wordpress.com/, diunduh Minggu, 3 juni 2012
pukul 23.49 WIB

Universitas Sumatera Utara


korupsi didaerah Kabupaten Fak-Fak, melalui sebuah penelitian untuk

kepentingan penyusunan skripsi dengan judul:

“Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Pembayaran Uang

Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi di Daerah Kabupaten Fak-

Fak Papua Barat.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,

maka permasalahan dalam skripsi ini adalah :

3. Bagaimana peranan kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang

pengganti?

4. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pihak

kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada perkara

tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang peranan kejaksaan dalam

pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di

Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kejaksaan

dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana

korupsi dan upaya yang telah dilaksanakan oleh kejaksaan untuk

mengatasi hambatan tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Pembayaran

Uang Pengganti Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Kejaksaan

Universitas Sumatera Utara


Negeri Kabupaten Fak-Fak)”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan

studi kepustakaan dan melakukan riset ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak

Papua Barat guna memperoleh data-data yang dapat mendukung penulisan skripsi

ini. Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka pembuktian bahwa

judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti skripsi ini benar-benar

merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan dari karya tulis orang

lain.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

A. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan

diuraikan pengertian tentang tindak pidana, pembentukan Undang-Undang kita

menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi

tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.

Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,

yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian

dari kenyataan”, sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara

harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat

dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui

bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan,

perbuatan, atau tindakan.11

11
Evi Hartanti, Loc.Cit, Hal 5.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Simons dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah : “Tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.12

Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah Peristiwa


Pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan
handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum Tindakan semua
unsur dari peristiwa pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan
hukum ( unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan
adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. Menurut Moeljanto,
straafbaarfeit adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum, larangan yang
mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa
larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang
menimbulkan kejahatan).13
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

straafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut :

1. Bahwa kata feit dalam istilah sraafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau

tingkah laku;

2. Bahwa pengertian straafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang

yang mengadakan kelakuan tersebut.14

B. Hukum Pidana Umum dan Khusus

Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku

untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas

pribadi subjek hukum tertentu.

12
Ibid. hal. 5.
13
Ibid., hal. 7.
14
Pengertian Tindak Pidana, http://uddin76.blogspot.com/2010/07/pengertian-tindak-
pidana-dan.html

Universitas Sumatera Utara


Hukum Pidana khusus adalah mempelajari suatu hukum dibidang pidana

yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang berhubungan

dengan hukum pidana umum. Pidana umum dan penyimpangan – penyimpangan

yang ada terhadap hukum pidana umum dalam bentuk serta lembaga yang

berwenang mengadilinya.15

Tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk-bentuk hukum pidana

yang tergolong kedalam hukum pidana khusus :

1. Latar belakang

2. Jenis-jenis

3. Perundang-undangan yang mengaturnya

4. Proses penyelesaian16

Latar belakang munculnya Tindak Pidana Khusus :

1. Karena dalam kenyataan sehari – hari banyak ditemukan delik – delik

yang tidak diatur dalam KUHP.

2. Adanya delik yaitu pidananya relatif ringan, sedangkan delik itu pada

waktu sekarang mempunyai dampak yang besar.17

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana

umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk

diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah

hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-

orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun

15
Hukum Pidana Khusus, http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum-pidana-
khusus/, Diunduh Rabu, 6 Juni 2012 Pukul 01.18 WIB.
16
Ibid.
17
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya

tindak pidana fiskal.18

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana korupsi

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Salah satu jenis kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana

adalah korupsi. Perbuatan korupsi merupakan suatu perbuatan curang dan tidak

jujur yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan

berpikir (inteligensi), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling

mudah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat. Sebagaimana

dimaklumi bahwa terbentuknya kelompok masyarakat kriminal itu diciptakan dari

perbuatan meniru yang tumbuh dalam masyarakat.

Secara tata bahasa kata korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau

corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga

mengandung arti kejahatan, kebusukan, keburukan, tidak bermoral, dan

kebejatan.19

Arti harfiah dari kata ini adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian kata-

kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 20

Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dimaksud dengan korupsi adalah

18
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hal. 1-2.
19
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia,
Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hal. 146
20
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi,
Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 7

Universitas Sumatera Utara


penyelewenangan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.21

Disamping itu definisi korupsi yang banyak dikutip adalah merupakan

tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara

karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan,

keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan

beberapa tingkah laku pribadi.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam

penjelasan umumnya memberikan pengertian korupsi sebagai perbuatan-

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara

melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.22 Dengan perumusan

tersebut pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat mencakup

perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus

dituntut dan dipidana. Tindak pidana korupsi yang telah meluas dan mengakar

dalam masyarakat harus dicari sumber-sumbernya berdasar latar belakang sejarah

dan kebudayaannya.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power) oleh pejabat negara yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk

mengelola kekuasaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara umum korupsi adalah tindakan melanggar norma-norma hukum

baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berakibat rusaknya tatanan yang

sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik, administrasi, manajemen, sosial

21
Ibid.
22
Ibid., hal. 8

Universitas Sumatera Utara


dan budaya serta berakibat pula pada terampasnya hak-hak rakyat yang

semestinya didapat.

Menurut Ensiklopedia Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti,

pengertian korupsi (dari bahasa latin : corruptio = penyuapan; corruptor =

merusak) adalah gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunaan

wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan

lainnya.23

Adapun secara harfiah korupsi dapat diartikan sebagai berikut :

1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran;

2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

sebagainya.

3. Korup = busuk; suka menerima uang suap; memakai kekuasaan untuk

kepentingan sendiri.24

Berdasarkan arti secara harfiah tersebut, maka dapat dimengerti bahwa

sebenarnya korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan, dalam hal ini uang

negara atau uang perusahaan, untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Jadi

apabila membicarakan korupsi maka perbuatan tersebut akan menyangkut segi-

segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, penyelewenagan kekuasaan dalam

suatu jabatan karena adanya pemberian dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya

yang berhubungan dengan urusan kedinasan atau suatu jabatan.

Terkait dengan tindak pidana korupsi, Pasal 2 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

23
Evi Hartanti, Loc.Cit, hal. 8
24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Tindak Pidana Korupsi menentukan : “Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah)”.

Kemudian lebih lanjut dalam pasal 3 diterangkan bahwa “Setiap orang

yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun)

dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan atau

denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Dari pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi

adalah :

1. Tindak melawan hukum

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi

3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Universitas Sumatera Utara


4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan.25

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yang

dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal dan faktor internal dan faktor

eksternal, yaitu:

1. Faktor Internal

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri

seorang pemegang kekuasaan yang mendorong untuk melakukan penyalahgunaan

kekuasaan demi keuntungan pribadi dan atau kelompok, baik keuntungan secara

ekonomi maupun keuntungan secara politik.26 Faktor internal ini bisa terjadi

karena orang dalam keadaan terpaksa, karena gaji tidak mencukupi untuk pola

hidup yang mewah, dan dapat juga terjadi karena kerakusan untuk menumpuk-

numpuk materi/harta kekayaan.

Dorongan untuk penyalahgunaan kekuasaan/korupsi karena kerakusan

tersebut dapat disebabkan karena renggangnya nilai-nilai sosial keagamaan dan

budaya masyarakat, yang tergantikan dengna nilai-nilai hedonism, materialism,

pragmatism dan konsumerisme. Ukuran kehormatan bagi masyarakat dengan

nilai-nilai seperti ini adalah sesuatu yang dapat menyenangkan secara lahiriah,

misalnya kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Orang juga tidak banyak

memperhatikan asal muasal kekayaan yang diperoleh oleh orang lain dalam hal

ini adalah pejabat, semakin kaya seorang pejabat semakin ia dianggap berhasil

oleh masyarakat, terlepas dari apakah kekayaan tersebut diperoleh dengan cara

25
Ikhwan Fahrojih, dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, Yappika dan Malang
CorruptionWatch (MCW), Jakarta, 2005, hal. 10.
26
Ibid., hal. 11

Universitas Sumatera Utara


wajar atau tidak. Pejabat dengan karakter seperti ini sangat berpotensi untuk

menggunakan kekuasaan yang dipegangnya untuk memperkaya diri sendiri.

Pejabat dengan karakter seperti ini juga tidak akan pernah puas dengan gaji yang

diterima, walaupun sudah ada kenaikan gaji yang sangat tinggi.

Pejabat dengan karakter seperti ini bahkan sangat berpotensi pula untuk

mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya dengan cara menggunakan

kekuasaan yang dimilikinya untuk mengumpulkan uang demi membiayai praktek-

praktek politiknya. Ketika orang melakukan investasi politik maka ada motivasi

untuk melipatgandakan keuntungan atas investasi tersebut. Baik keuntungan

secara politik maupun ekonomi yaitu terpeliharanya kekuasaan dengan praktek-

praktek korupsinya dan keuntungan secara ekonomi yaitu bertambahnya kekayaan

pribadi karena praktek-praktek korupsi.

2. Faktor Eksternal

Yang dimaksud dengan faktor eksternal ini adalah adanya sistem

pemerintahan yang memang memberikan kesempatan kepada pemegang

kekuasaan untuk melakukan korupsi.27

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;

27
Ibid., hal 11.

Universitas Sumatera Utara


4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya

karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain.28

Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat disimpulkan

bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat

dari korupsi adalah sebagai berikut :

1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah


Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah mengakibatkan
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tersebut.
Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara yang
pejabatnya bersih dari korupsi, baik dalam kerja sama di bidang politik,
ekonomi, ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini akan mengakibatkan
terhambatnya pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan
ekonomi, serta terganggunya stabilitas perekonomian negara dan stabilitas
politik.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan
keuangan negara, masyarakat akan bersikap apatis terhadap segala anjuran
dan tindakan pemerintah. Sifat apatis masyarakat tersebut mengakibatkan
ketahanan nasional akan rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan
negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1998 yang lalu, masyarakat
sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan menuntut agar Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban
amanat rakyat dan melakukan berbagai tindakan melawan hukum menurut
kacamata masyarakat.
3. Menyusutnya pendapatan negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor, yaitu
dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara dapat
berkurang apabila tidak diselamatkan dari penyelundup dan
penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah pada sektor-sektor
penerimaan negara tersebut.
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat
pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak
memaksakan ideology atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan
menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-
citanya. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya
loyalitas masyarakat terhadap negara.
5. Perusakan mental pribadi

28
Evi Hartanti, Loc.Cit., hal. 16

Universitas Sumatera Utara


Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan
wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala
sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan segala yang menjadi
tugasnya serta hanya melakukan tindakan ataupun perbuatan yang
bertujuan untuk menguntungkan dirinya ataupun orang lain yang dekat
dengan dirinya. Yang lebih berbahaya lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru
atau dicontoh oleh generasi muda Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi
maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
semakin sulit untuk dicapai.
6. Hukum tidak lagi dihormati
Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatu harus
didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya
terletak pada penegak hukum saja namun juga pada seluruh warga negara
Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud
apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum
tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.29
Adapun ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya

“Sosiologi Korupsi” sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, adalah sebagai

berikut :

1. Korupsi senantiasa melihatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang pejabat yang korup
sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian
penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan
atau rekening hotel, namun disini seringkali ada pengertian diam-diam
diantara pejabat yang mempraktekkan berbagai penipuan agar situasi ini
terjadi. Salah satu cara penipuan dilakukan dengan meningkatkan frekuensi
perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh
para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di
masyarakat.
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya, namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga
kerahasiaannya.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
4. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).

29
Ibid., hal. 16

Universitas Sumatera Utara


7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.30

Berdasarkan ciri-ciri korupsi tersebut diatas dapat disimpulkan secara garis

besar bahwa suatu tindak pidana korupsi paling tidak melanggar tanggung jawab

pada sistem publik atau kepentingan umum dan merusak sistemnya. Suatu sistem

public atau ketertiban umum, lebih mementingkan kepentingan umum diatas

kepentingan khusus. Jadi para pelanggar terhadap kepentingan umum untuk

kepentingan khusus adalah korup.

Selanjutnya Syed Hussein Al-Attas menyatakan bahwa korupsi

disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.


2. Sistem kolonialisme, karena pemerintahan asing tidak memberikan
tergugahnya kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung
korupsi.
3. Kurangnya pendidikan
4. Kemiskinan
5. Tiada sanksi yang keras.
6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
7. Struktur pemerintahan.
8. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal,
korupsi muncul sebagai suatu penyakit yang transisional.
9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan
keadaan masyarakat secara keseluruhan.31

Menurut Prof.Dr.Baharuddin Lopa SH, suatu tindak pidana korupsi itu

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

Pertama – yang bersumber pada kebiasaan (tradisional) dimana seseorang


membiasakan diri memberikan hadiah kepada pejabat, atau pegawai bawahan
memberikan hadiah kepada atasan dengan maksud terselubung. Kedua – karena
ketidakberesan manajemen dimana belum efektifnya mekanisme pengawasan
sementara administrasi makin meningkat disebabkan pembangunan dan
modernisasi tumbuh pesat, juga membuka peluang terjadinya korupsi. Ketiga –
karena tekanan ekonomi, rendahnya gaji pegawai negeri dan tingginya kebutuhan
membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan untuk berkhianat,
menyelewengkan wewenang dan korup dimana awalnya hanya sekedar

30
Ibid, hal. 10
31
Ibid., hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


menyambung hidup tetapi berubah menjadi serkah. Keempat – karena erosi
mental, misalnya mental yang rusak sehingga setiap kesempatan yang
diperolehnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan melahap ludes apa saja
yang dapat dijangkau untuk korup. Kelima – karena gabungan beberapa faktor,
terjadi karena alasan yang paling terkait dan saling mempengaruhi. Misalnya
seseorang melakukan korupsi untuk mengumpulkan dana dengan tujuan agar
memperoleh kedudukan politik atau susatu jabatan dalam pemerintahan.32

Menurut Munawar Fuad Noeh, suatu tindak pidana korupsi itu disebabkan

oleh lima variabel yaitu :

Pertama – variabel penjajahan (kolonialisme) yang telah turut andil


mengembangkan budaya korupsi di Indonesia. Kedua – variabel kebudayaan,
misalnya budaya ewuh. Ketiga – variabel ekonomi, rendahnya gaji pegwai negeri
dan tingginya kebutuhan membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan
untuk berkhianat, menyelewengkan wewenang dan korup. Keempat – variabel
struktur, struktur kekuasaan yang sentralistik antara lain dapat berakibat pada
terbatasnya kelompok pengambilan keputusan dan melimpahnya para pengharap
keputusan sehingga pengambil keputusan memiliki daya tawar tinggi. Situasi
demikian membuatnya rakus dan gampang memeras. Kelima – variabel partai
politik, sumber dana partai politik di negara berkembang umumnya tidak mapan,
karena itu parpol berharap banyak pada bantuan negara. Partai berkuasa tentu
berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya, untuk itu ia akan
memonopoli penghisapan dana negara dengan cara apapun demi kelangsungan
partai dan tentu saja secara tidak langsung dengan rezim.33

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Sekretaris LSM Alammak Babel Joni Irawan menyebutkan, ada tiga puluh

jenis tindak pidana korupsi yang kerap dilakukan para koruptor. Bentuk/jenis

tindak pidana korupsi itu yaitu :

1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan


Negara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap

32
Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi,
Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 79.
33
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Zikrup Hakim, Jakarta,
1997, hal. 50.

Universitas Sumatera Utara


6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administras
12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang
lain
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28.Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan
atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor34

C. Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Sistem Pemidanaaan dalam tindak pidana korupsi selain Uang Pengganti

ada juga beberapa jenis Pemidanaan yang di berikan kepada Terdakwa didalam

Putusan Hakim. Diantaranya ada Pidana Penjara dan Pidana Denda.35

Alasan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diketahui dari

konsiderans butir b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

34
Bangkapos.com Jumat, 4 Maret 2011 18:12 WIB : 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi,
www.bangkapos.com, diunduh Kamis, 6 Juni 2012 pukul 01.17 WIB
35
Wawancara dengan Bapak Arfan, Kepala Bagian Pidana Khusus, Kejaksaan Negeri
Kabupaten Fak-Fak, 17 Juni 2012.

Universitas Sumatera Utara


1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum;

2. Menghindari keragaman penafsiran hukum;

3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,

serta

4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa :

1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan

tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Karena hanya menyebutkan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka selain

penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,

penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal, menurut

hemat penulis masih tetap berlaku atau tidak ada perubahan.

2. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak

mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-

unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.

Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat

dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal

12, semula-sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 – adalah ketentuan-ketentuan yang

mengaitkan dengan mencantumkan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal

388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal

423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan

bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht.

Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam

Pasal 43 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah ditentukan

bahwa Pasal 209, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal

418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar

mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang

diacu, menurut hemat penulis masih dapat dipergunakan sebagai pedoman

dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal

11, dan Pasal 12.

3. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

diantara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, Pasal 12B dan Pasal 12C.

4. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 26A.

5. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37

dan Pasal 37A.

Universitas Sumatera Utara


6. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

diantara Pasal 38 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B dan Pasal 38C.

7. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

diantara Bab VI dan Bab VII ditambah Bab VI A yang berisi Pasal 43 A.

8. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

dalam Bab VII sebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3),

telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 27

Desember 2002.

Meskipun sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal

43 ayat (3), Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ini telah banyak mengadakan perubahan mengenai ketentuan-ketentuan

yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di

sidang pengadilan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dengan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang kemudian disusul

dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, diharapkan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi

perkembangna kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan

memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat

Universitas Sumatera Utara


merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara pada khususnya serta

masyarakat pada umumnya.

Untuk mewujudkan usaha mencegah dan memberantas tindak pidana

korupsi tersebut, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis

penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana

korupsi adalah Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.

1. Pidana Tambahan

Pidana tambahan berupa :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud


atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.36

Lembaga yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi adalah

36
Evi Hartanti, Loc.Cit, hal. 14-15

Universitas Sumatera Utara


Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dimana Menurut UU No 15 Tahun 1961 dan secara terperinci dalam pelaksanaan

tupoksi kejaksaan diatur dengan Kepres No 86 Tahun 1982 juncto Kepres No 83

Tahun 1982 juncto Keputusan Kajagung No 116/JA/183, Kejaksaan Agung

Republik Indonesia memiliki Tugas Pokok dan Fungsi yang telah diatur.

Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu melaksanakan

tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi

yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Perumusan kebijaksanaan

pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta

pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu :

1. Penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana,


pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta
pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;
2. pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan
keadilan di bidang pidana;
3. pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang
ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan,
pelayanan dan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara
serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum,
kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa
Agung;
4. penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim
karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
5. pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan
peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum
masyarakat;
6. koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik
di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan

Universitas Sumatera Utara


fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
7. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik
di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan
fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.37
Disamping kewenangan kejaksaan dibidang penuntutan dan penyelidikan

untuk tindak pidana khusus, dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa dibidang

perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dalam kuasa khusus dapat bertindak baik

didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kewenangan kejaksaan dibidang keperdataan dan tata usaha negara ini

diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu

membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak

mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka

jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa

mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah

selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut

umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan

perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Nomor 3 Tahun 1990.38

Ketentuan mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada

tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah salah satu upaya

37
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2, diunduh Minggu,
pukul 01.08 WIB
38
Evi Hartanti, Loc.Cit, hal 20

Universitas Sumatera Utara


untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha penyelamatan/pengembalian

kerugian negara. Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh

terdakwa, berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pidana tambahan

dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari

pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.

Selanjutnya mengenai pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang

pengganti diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan :

“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa

dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

Sedang dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa :

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka

dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum

dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”39

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah suatu

upaya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha

penyelamatan/pengembalian kerugian negara ataupun kekacauan negara. Apabila

pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa, berlakulah

39
Undang-Undang Nomor 31 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Universitas Sumatera Utara


ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan-pelaksanaan pidana tambahan dengan

pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana

pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.

3. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana

A. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14,
terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Sehubungan dengan adanya kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam
Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana
korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus
menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan
terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok,
hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak.40
Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang

dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan

hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP.41

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa

pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana

korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang

pengganti sebagaiman ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka

40
P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84
41
R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hal. 126

Universitas Sumatera Utara


perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam

Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan

berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana

korupsi yang dilakukannya.42 Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana

tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai

sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak

pidana korupsi.

Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak

hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi

yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan

putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil

tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya,

harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang

lain.43

Sehubungan dengan adanya kalimat “selain pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan

adalah …..dst” dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka

dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa

dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan

dalam :

1. Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi :

42
Ibid., hal. 129.
43
Ibid., hal. 130.

Universitas Sumatera Utara


a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1)
KUHP terdiri dari :
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
2) Hak memasuki angkatan bersenjata
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum
4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengawas atas orang yang bukan anak sendiri
5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP
ditentukan bahwa dapat dirampas atas :
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan.
c. Pengumuman keputusan hakim.
2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi.
b. Pembayaran uang pengganti
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.44

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk

melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana

sebagai sarana kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan

pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris

dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana

44
Ibid., hal. 131

Universitas Sumatera Utara


badan di Indonesia dan aplikasinya terhadap penegakan hukum di

Indonesia.45

2. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat

yang terdiri dari :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-

buku literatur, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah

lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

45
Ibid., hal. 132.

Universitas Sumatera Utara


3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, yang terdiri dari :

a) Kamus Umum Bahasa Indonesia

b) Kamus Istilah Hukum

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Fak-Fak pada instansi :

Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak

4. Narasumber Penelitian

Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak atau yang

mewakilinya

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian lapangan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan

dengan cara wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada

narasumber penelitian.

b. Penelitian kepustakaan; dalam penelitian ini pengumpulan data

dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari

dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan

penelitian ini.

6. Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah

secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan

permasalahan dalam penelitian

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan

dasar dalam pengambilan kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan

sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam beberapa bab dan

masing-masing bab terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masing-

masing bab tersebut adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal

dasar bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. Selanjutnya pada bab ini juga

diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data,

lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.

Pada akhir dari bab ini disajikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

YANG BERUPA UANG PENGGANTI

Pada bab ini diuraikan dan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi. Adapun uraian pada bab ini meliputi : Tugas pokok

Kejaksaan dalam tindka pidana korupsi, Pidana tambahan dalam tindak pidana

Universitas Sumatera Utara


korupsi yang berupa uang pengganti, Penetapan uang pengganti, dan Prosedur

penyelesaian pembayaran uang pengganti.

BAB III PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN

PEMBAYARAN UANG PENGGANTI PADA PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI DIKEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN FAK-

FAK

Pada bab ini diuraikan dan dianalisis hasil penelitian lapangan terhadap

peranan kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak

pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak. Adapun uraian dan analisis pada

bab ini meliputi Peranan Kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang

pengganti pada tindka pidana korupsi di Kejakasaan negeri Kabupaten Fak-Fak,

dan Hambatan yang dihadapi pihak Kejaksaan dan upaya penyelesaiannya

penyelesaiannya.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

permasalahan dalam skripsi ini dan sekaligus disajikan saran yang merupakan

sumbangan pemikiran dan rekomendasi dari penulis tentang peranan Kejaksaan

dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di

Daerah Kabupaten Fak-Fak.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai