Anda di halaman 1dari 21

Makalah Biomedik II

Paragonimus westermani

Oleh :
Cici Delsi (1511212029)
Dosen Pengampu :

Masrizal dt. Mangguang, SKM, M.Biomed (mm)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah

Biomedik II yang membahas tentang Paragonimus westermani. Dengan

terselesaikannnya makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak

Masrizal dt. Mangguang, SKM, M.Biomed (mm) selaku pembimbing yang telah

membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini.Penulis menyadari

bahwasanya kesempurnaan bukanlah milik manusia. Mungkin terdapat

kekurangan yang perlu diperbaiki dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu,

kritik dan saran penulis harapkan sebagai bahan revisi untuk menyempurnakan

makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membawa hasanah

pengetahuan bagi kita semua.

Padang, Maret 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

Cacing

Trematoda

Paragonimus westermani

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacing adalah makhluk yang termasuk bersel banyak, yang umum badannya

panjang ada yang jelas bagian kepalanya, seolah-olah kepala dan ekor sama saja.

Trematoda atau disebut juga cacing isap adalah kelas dari anggota hewan tak

bertulang belakang yang termasuk dalam filum Platyhelminthes. Jenis cacing

Trematoda hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia.

Paragonimiasis atau juga disebut dengan Lung fluke disease, Distoma

wetermani atau Paragonimus rengeri disebabkan oleh trematoda yang sering

menyerang paru-paru. Oleh sebab itu, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang

penyakit yang menyerang paru-paru ini.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis akan bahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :

a. Apa yang dimaksud dengan Cacing?

b. Apa yang dimaksud dengan Trematoda?

c. Apa yang dimaksud dengan Paragonimus westermani?

1.3 Tujuan

a. Menjelaskan yang dimaksud dengan cacing.

b. Menjelaskan yang dimaksud dengan Trematoda.

c. Menjelaskan yang dimaksude dengan Paragonimus westermani.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Cacing
Cacing bukanlah masuk golongan mikroba yang bersel satu dan tidak

membutuhkan mikroskop untuk melihatnya. Cacing adalah makhluk yang

termasuk bersel banyak, yang umum badannya panjang ada yang jelas bagian

kepalanya, seolah-olah kepala dan ekor sama saja. Akan tetapi bila di teliti lebih

jauh maka terlihat bahwa ekor dan kepala itu ada perbedaannya, bahwa pada

ujung kepala terdapat mulut dan alat-alat pengisap, yang merupakan gigi dan

sebagainya.

Cacing, terutama cacing dewasa menimbulkan penyakit dan gangguan

kesehatan kepada manusia. Kehidupan cacing dalam tubuh manusia merupakan

rangkaian atau siklus tersendiri, dimana di dalam pemberantasannya harus

memperhatikan keseleruhannya, baik telur, larva cacing dewasa dan cara

masuknya ke dalam tubuh manusia.

Sifat-sifat Umum Cacing :

Bentuk, ada 2 macam :

a. Panjang serta bulat, seperti silinder, misalnya yang disebut cacing kalung.

b. Panjang tapi pipih, misalnya cacing pita.

Ukurannya

a. Ada yang sangat panjang, misalnya cacing pita 12-19 m,

b. Ada yang kecil kira-kira 1 mm, hingga untuk dapat melihat dengan jelas harus

menggunakan mikroskop.
Paratogenitas

Cara menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan dengan berbagai macam

kemungkina. Pada umumnya peranan cacing yang telah dewasa pada tubuh

manusia dengan cara :

a. Mengisap darah tuan rumah.

b. Mengisap darah dan mengeluarkan bsia (racun)

c. Di dalam tubuh (usus) mengisap zat-zat makanan tuan rumah (manusia) hingga

kekurangan zat makanan.

d. Karena cacing di dalam usus dapat berkembang biak dengan banyak, maka

dapat menimbulkan sumbatan saluran pencernaan.

e. Ada cacing yang berbentuk larva bersarang di dalam pembuluh limfe dan

pembuluh darah sehinga peredaran darah dan limfe terganggu, akibatnya

anggota badan atau organ itu jadi bengkak-bengkak.

Kehidupan Cacing

a. Cacing dewasa bertelur. Bila telur cacing menetas, maka lahirlah tempayak

(anak cacing) atau larva. Ukuran larva antara 100-750 mikron, untuk

melihatnya menggunakan mikroskop.

b. Ada yang jenis cacing selama hidupnya boleh dikatakan bersarang didalam

tubuh seseorang. Bertelur dan kemudian menjadi cacing muda dan terus

menjadi dewasa. Telur dapat juga keluar bersama feses, kemudian dengan

perantaraan air atau makanan masuk ke dalam tubuh manusia.

c. Ada juga cacing yang hanya dalam bentuk dewasa bersarang dalam tubuh

orang sedang larvanya di dalam tubuh hewan.


d. Dan ada juga sebaliknya larva terdapat dalam tubuh orang dan setelah jadi

cacing dewasa, hidup dalam tubuh hewan.

2.2 Trematoda
Trematoda atau disebut juga cacing isap adalah kelas dari anggota hewan

tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Platyhelminthes. Jenis cacing

Trematoda hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Tubuhnya dilapisi

dengan kutikula untuk menjaga agar tubuhnya tidak tercerna oleh inangnya dan

mempunyai alat pengisap dan alat kait untuk melekatkan diri pada inangnya.

Contoh anggota Trematoda adalah Fasciola hepatica (cacing hati). Cacing ini

hidup di hati ternak kambing, biri-biri, sapi, dan kerbau.

Trematoda adalah cacing yang secara morfolo3gi berbentuk pipih seperti

daun. Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus Schistosoma.

Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki alat pengisap.

Alat pengisap terdapat pada mulut di bagian anterior tubuhnya. Kegunaan alat

isap adalah untuk menempel pada tubuh inangnya. Pada saat menempel cacing ini

mengisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuhinangnya. Dengan demikian,

Trematoda merupakan hewan parasit.

Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase

kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk

perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut:

Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing

dewasa.

Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies

cacing trematoda.
(1) Schistosoma

(2) Paragonimus

(3) Clonorchis

(4) Echinostoma

Trematoda dewasa pada umumnya hidup didalam hati, usus, paru-paru,

ginjal dan pembuluh darah vertebrata. Menurut lokasi berparasitnya cacing

trematoda dikelompokkan sbagai berikut:

1) Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S.

japonicum

2) Trematoda paru: Paragonimus westermani

3) Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. ilocanum

4) Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantica.


2.3 Paragonimus westermani

Paragonimiasis atau juga disebut dengan Lung fluke disease, Distoma

wetermani atau Paragonimus rengeri pada manusia banyak dilaporkan dari Asia,

Afrika, Amerika Tengah dan Selatan.

Penyakit yang disebabkan oleh trematoda yang sering menyerang paru-

paru. Gejala klinis yang sering muncul antara lain batuk, hemoptisis dan sakit

dada. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan infiltrate segmental atau difus,

nodulus, caverne, kista atau efusi pleura. Cacing kadang-kadang bukan saja

menyerang paru. Dikenal juga tipe ekstra pulmoner, dimana cacing ditemukan di

luar paru seperti pada jaringan SSP, jaringan subkutan, dinding usus, rongga

perut, hati, kelenjar limfe dan saluran kemih.

Pertama ditemukan berparasit pada harimau Bengali di kebon binatang di

Eropa tahun 1878. Pada dua tahun kemudian infeksi cacing ini pada manusia

dilaporkan di Formosa. Ditemukan cacing pada organ paru-paru, otak dan viscera

pada orang di Jepang, Korea dan Filipina. Sekarang parasit ini telah menyebar ke

India Barat, New Guenia,, Salomon, Samoa, Afrika Barat, Peru, Colombia dan

Venezuela. Paragonimiasis termasuk dalam penyakit zoonosis. Cacing dewasa

panjangnya 7,5-12 mm dan lebar 4-6 mm berwarna merah kecoklatan.

Infeksi biasanya berlangsung selama bertahun-tahun dan biasanya orang

yang terinfeksi kelihatan sehat. Di kalangan imigran dari Asia penyakit ini

dikelirukan dengan tuberculosis, karena gambaran foto thorax hampir sama.

Pada pemeriksaan sputum, ditemukan bintik-bintik berwarna cokelat

oranye tersebar merata; pada bintik-bintik tersebut terlihat telur cacing. Diagnosa

ditegakkan dengan ditemukannya telur-telur cacing ini. Namun apabila dilakukan


pengecatan sputum untuk menemukan bakteri tahan asam, makan mengacaukan

diagnosas. Telur cacing dapat juga mask kedalam tubuh karena tertelan, terutama

pada anak-anak. Oleh karena itu dengan teknik konsentrasi, telur dapat ditemukan

di daam tinja, teknik pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik adalah tes

serologis dengan teknik imunoblot. Tes ini tersedia di CDC Atlanta.

Paragonimus westermani adala cacing daun yang berwarna merah-coklat

yang dapat di identifikasi karena :

1. Besarnya, 8 sampai 16 kali 4 sampai 8 mm;

2. Bentuknya bilamana aktif menyerupai sendok dengan ujung satunya

berkontraksi atau telah diawetkan menyerupai biji kopi yang bujur dan

pipih;

3. Kutikulum berduri;

4. 2 batil isap yang sama besarnya, yang ventral tepat anterior dari garis

ekuator;

5. Testis yang berlobus tidak teratur, yang satu miring terhadap yang lainnya,

di bagian sepertiga posterior cacing ini;

6. Ovarium yang berlobus sebelah anterior testis di sebelah kanan

berhadapan dengan uterus yang berkelok-kelok;


7. Kelenjar vitellaria di bagian lateral sekali sepanjang seluruh badan cacing.

Telur yang bujur, berwarna kuning-coklat berdinding tebal besarnya 85

kali 55 u, mempunyai pinggir operkulum yang menebal dan pada waktu

dikeluarkan dari cacing belum berisi embrio.

Klasifikasi
 Kingdom : Anamali
 Phylum : Platyhelminthes
 Class : Trematoda
 Ordo : Plagiorchiida
 Family : Troglotrematidae
 Genus : Paragonimus
 Spesies : Paragonimus westermani
Gejala Klinis

Gejala yang pertama dimulai dengan adanya batuk kering yang lama-

kelamaan menjadi batuk darah. Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat-alat

lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut, misalnya pada hati dan empedu.

Saat larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa, parasit ini dapat

menyebabkan iritasi pada saluran empedu, penebalan dinding saluran, dan

peradangan sel hati. Dalam stadium lanjut, akan menyebabkan sirosis hati yang

disertai oedema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada

jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.

Gejala yang muncul dapar dikelompokkan mejadi tiga tahap. Di antaranya adalah

sebagai berikut :

1. Stadium ringan : tidak ditemukan gejala

2. Stadium progresif : terjadi penurunan nafsu makan, perut terasa penuh,

dan diare

3. Stadium lanjut : didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri

atas pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatis.

Patologi

Pada fase awal invasi tidak memperlihatkan gejala patologik. Pada jaringan

paru atau jaringan ektopik lainnya, cacing akan merangsang terbentuknya jaringan

ikat dan membentuk kapsul yang berwarna kecoklatan. Kapsul tersebut sering

membentuk ulser dan secara perlahan dapat sembuh. Telur cacing di dalam

jaringan akan merupakan pusat terbentuknya pseudotuberkel. Cacing dalam saraf

tulang belakang (spinal cord) akan dapat menyebabkan paralysis baik total

maupun sebagian. Kasus fatal terjadi bila Paragonimus berada dalam jantung.
Kasus serebral dapat menunjukkan gejala seperti Cytisercosis. Kasus pulmonaris

dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk

kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing).

Kasus yang fatal sering tetrjadi.

Diagnosis

Gejala paru-paru, sputum bergaris darah dan eosinofili pada penderita di

daerah endemi mengarahkan kita ke diagnosis. Kadang-kadang foto Rontgen

dapat membantu diagnosis, meskipun sukar membedakan paragonimiasis dari

tuberculosis yang juga umum di daerah-daerah endemik untuk Paragonimus.

Pada keadaan ini gambaran Rontgen yang khas ialah suatu bayangan yang

terang dikelilingi oleh lingkaran, besarnya 5 sampai 10 cm, terdiri atas kavitas

kecil yang berdekatan dan rupanya seperti setangkai anggur kecil-kecil.

Diagnosis pasti hanya dapat ditentukan dengan operasi sehingga

menemukan cacing dewasa, juga dapat ditentukan dengan menemukan telur

cacing dalam sputum, menyedot cairan pleura, dari feses atau bahan apapun yang

menyebabkan ulser dari Paragonimus. Diagnosis dapat dikelirukan dengan

tuberkulosis, pneumonia, spirochaeta dan sebagainya. Gangguan serebral perlu

dibedakan dengan tumor, cystisercosis, hydatidosis, enchepalitis dan sebagainya.

Diagnosis juga dapat dilakukan dengan tes intradermal yang diikuti dengan CFT.

Pada infeksi ektopik, dengan fous-sokus yang dalam sehingga telur tidak dapat

dikeluarkan, test ikat komplemen dan test intradermal dengan antigen

Paragonimus pernah dipakai.


Daur hidup

Cacing dewasa biasanya hidup di paru yang diselaputi oleh jaringan ikat

dan biasanya berpasangan. Cacing tersebut juga dapat ditemukan pada organ

lainnya. Fertilisasi silang dari dua cacing biasanya terjadi (hermaprodit). Telurnya

sering terjebak dalam jaringan sehingga tidak dapat meninggalkan paru, tetapi bila

dapat keluar kesaluran udara paru akan bergerak ke silia epitelium. Sampai di

pharynx, kemudian tertelan dan mengikuti saluran pencernaan dan keluar melalui

feses. Larva dalam telur memerlukan waktu sekitar 16 hari sampai beberapa

minggu sebelum berkembang menjadi miracidium. Telur kemudian menertas dan

miracidium harus menemukan hospes intermedier ke 1, siput Thieridae supaya

tetap hidup. Didalam tubuh siput miracidium cepat membentuk sporocyst yang
kemudian memproduksi rediae yang kemudian berkembang menjadi cercariae,

dimana ceracaria ini berbentuk micrococcus.

Setelah keluar dari siput cercariae menjadi aktif dan dapat merambat

batuan dan masuk kedalam kepiting (crab) dan Crayfish, dan membentuk cysta

dalam viscera atau muskulus hewan tersebut (hospes intermedier ke 2). Hospes

intermedier ke 2 ini di Taiwan adalah kepiting yang termasuk spesies Eriocheir

japonicus. Dapat juga terjadi infeksi bila krustasea ini langsung memakan siput

yang terinfeksi. Cercaria kemudian membentuk metacercaria yang menempel

terutama pada filamen insang dari krustasea tersebut. Bilamana hospes definitif

memakan kepiting (terutama bila dimakan mentah/tidak matang), maka

metacercaria tertelan dan menempel pada dinding abdomen. Beberapa hari

kemudian masuk kedalam kolon dan penetrasi ke diafragma dan menuju pleura

yang kemudian masuk ke broncheol paru. Cacing kemudian menjadi dewasa

dalam waktu 8-12 minggu. Larva migran mungkin dapat berlokasi dalam otak,

mesenterium, pleura atau kulit.

Cara Penularan

Infeksi terjadi karena mengkonsumsi sejenis kepiting air tawar mentah

atau yang tidak termasuk dengan sempurna, digaramkan atau diasinkan seperti

Eriocheir dan potamon atau sejenis udang seperti Cambaroides, yang berisi larva

(metacercaria). Larva keluar di duodenum, menembus dinding usus migrasi

melalui jaringan dinding usus kemudian membentuk kapsul encapsulated

(biasanya di paru), dan berkembang menjadi cacing dewasa yang dapat

memproduksi telur. Telur-telur tersebut dikeluarkan melalui yang dapat

memproduksi telur. Telur-telur tersebut dikeluarkan melalui sputum dan apabila


teluar ini tertelan akan keluar melalui tinja, mencemari badan air dan mengembrio

dalam waktu 2—4 minggu. Larva (miracidia) menetas, masuk kedalam tubuh

keong air tawar (Semisulcospira, Thiara, Aroapyrgus atau genus yang lain) dan

masuk kedalam siklus pertumbuhan kira-kira berlangsunb selama 2 bulan. Larva

(cercariae) keluar dari tubuh keong, masuk dan hidup dalam tubuh kepiting air

tawar dan udang karang. Pengawetan crustacean (binatang air berkulit keras) di

dalam anggur dengan garam atau cuka, biasa dilakukan di Asia. Cara-cara ini

tidak membunu kista larva. Infeksi sering menyerang para pencinta makanan yang

eksotik.

Masa inkubasi

Cacing pita menjadi dewasa dan mulai mengeluarkan telur kira-kira 6—10

minggu setelah seseorang menelan larva infektif. Interval saat infeksi sampai

timbul gejala-gejala klinis sangat panjang, bervariasi, tidak diketahui dengan pasti

dan sangat tergantung pada organ yang diserang dan jumlah cacing yang

menyerang.

Masa Penularan

Penderita dapat mengeluarkan telur hingga 20 tahun; lamanya infeksi pada

moluska (kerang-kerangan) dan crustacean tidak diketahui dengan pasti. Tidak

ada penularan langsung dari orang ke orang.

Reservoir

Manusia, anjing, kucing, babi dan binatang karnivora liar disebut hospes

definitif dan dapat juga berperan sebagai reservoir.


Penyebab infeksi

Di Asia penyebab penyakit adalah Paragonimus westermani, P. Skrjabini

dan spesies lain. Sedangkan di Afrika penyebab penyakit paragonimiasis adalah

P. Africanus dan P. Uterobilateralis. Dan di Amerika penyebab penyakit ini

adalah P. Mexicanus (P. Peruvianus), P. Kellicotti (Amerika Serikat dan Kanada)

dan spesies lainnya.

Distribusi penyakit

Penyakit ini dilaporkan terjadi di daerah Timur jauh, Barat Daya Asia,

India, Afrika, dan Amerika. Cina, sekarang merupakan daerah endemis terbesar

dimana 20 juta orang diperkirakan terinfeksi. Sedangkan, Laos, Prpinsi Manipur-

India dan Myanmar (Birma) kemungkinan terbanyak setelah Cina. Penyakit ini

sudah hampir hilang di Jepang, sementara itu di Korea kurang dari seribu orang

yang terinfeksi. Di negara-negara Amerika Latin, Ekuador adalah negara yang

paling banak terinfeksi , yang mana sekitar 500.000 orang diperkirakan sudah

terinfeksi; kasus ini juga ditemukan di Brazil, Colombia, Peru, Venezuela, Costa

Rica dan Meksiko. Di Amerika Serikat dan Kanada penyakit ini jarang

ditemukan.

Cara-cara pemberantasan

a. Cara-cara pencegahan

1. Lakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di daerah endemis

tentang siklus hidup parasit.

2. Beri penyuluhan kepada masyarakat agar mengkonsumsi krustasea

yang dimasak dengan sempurna.


3. Membuang sputum dan tinja dengan cara yang saniter.

4. Lakukan pengawasan terhadap keong atau siput.

b. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak

diwajibkan.

2. Isolasi; Tidak dilakukan.

3. Disenfiks serentak : Dilakukan disinfeksi terhadap sputum dan tinja.

4. Karantina : Tidak ada.

5. Imunisasi : Tidak ada.

6. Investigasi : Tidak dilakukan.

7. Pengobatan spesifik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Paragonimiasis atau juga disebut dengan Lung fluke disease, Distoma

wetermani atau Paragonimus rengeri pada manusia banyak dilaporkan dari Asia,

Afrika, Amerika Tengah dan Selatan. Penyakit yang disebabkan oleh trematoda

yang sering menyerang paru-paru. Gejala klinis yang sering muncul antara lain

batuk, hemoptisis dan sakit dada.

Cacing dewasa biasanya hidup di paru yang diselaputi oleh jaringan ikat dan

biasanya berpasangan. Cacing tersebut juga dapat ditemukan pada organ lainnya.

Fertilisasi silang dari dua cacing biasanya terjadi (hermaprodit).

Gejala yang pertama dimulai dengan adanya batuk kering yang lama-

kelamaan menjadi batuk darah. Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat-alat

lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut, misalnya pada hati dan empedu.

3.2 Saran

Makalah ini telah disusun dengan sebaik mungkin, namun masih ada hal-hal

yang masih kurang untuk dijelaskan. Diharapkan kepada pembuat makalah

selanjutnya bisa mengembangkan dan menambahkan lagi hal-hal yang dirasa

perlu agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/57456480/Isi-Makalah-Trematoda-Pertemuan-11#scribd

http://www.slideshare.net/Apridinata/trematoda-paru

Soedarto. 2009. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : CV Sagung Seto

Sutanto, Inge, dkk. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Brown, Harold W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai