Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari soket dalam tulang alveolar.

Dimana dalam pencabutan gigi yang ideal menurut Jeffery dan Howe ialah

pengurangan rasa sakit dari pencabutan gigi atau akar gigi dengan meminimalkan

trauma pada jaringan sehingga penyembuhan luka dapat berlangsung baik dan

masalah pasca pencabutan dapat di minimalisir.1

Seorang dokter gigi harus mampu meminimalisir kemungkinan terjadinya

komplikasi di dalam rongga mulut pasca pencabutan, oleh karena itu dibutuhkan

evaluasi preoperative, dan prosedur kerja yang aseptis.1 Dimana terkadang terjadi

infeksi yang merupakan akibat dari prosedur pencabutan gigi yang tidak aseptis.

Keberhasilan pencabutan gigi dapat di tentukan oleh beberapa faktor, diantaranya

adalah kemampuan dokter gigi dalam melonggarkan alveolus, memutuskan ligamen

periodontal, dan memisahkan perlekatan gingival. Oleh karena itu tindakan

pencabutan gigi yang di lakukan di dalam rongga mulut merupakan suatu tindakan

yang berisiko tinggi. Beberapa komplikasi pasca pencabutan gigi yang dapat terjadi

yaitu perdarahan, infeksi akut, edema, rasa sakit dan dry socket.2

1
Dry socket merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dalam proses

penyembuhan luka pasca pencabutan gigi permanen3. Berdasarkan laporan dari

23.886 pencabutan terdapat 226 kasus dry socket dengan insidensi sebesar 79%

terjadi pada mandibula dan hanya 21% pada maksilla4. Kondisi ini biasanya akan

terlihat 1-3 hari setelah pencabutan gigi dengan durasi 5-10 hari, dan di tandai dengan

timbulnya rasa nyeri, adanya akumulasi sisa makanan, bau mulut, pembengkakan,

warna kemerahan pada gingiva5. Swanson melaporkan insidensi terjadinya dry

socket pada semua pencabutan gigi sebesar 2,1% namun untuk pencabutan gigi molar

ketiga dry socket sebesar 26,7%4.

Dry socket dapat disebabkan baik oleh faktor lokal seperti trauma pada tulang

alveolar ketika pencabutan, adanya infeksi, perdarahan setelah pencabutan gigi dan

beberapa faktor predisposisi seperti kebersihan mulut yang buruk, penggunaan alat

konrasepsi oral, merokok, dan pasien dengan riwayat penyakit sistemik seperti

diabetes yang tidak terkontrol4.

Pencegahan dry socket dapat berupa farmakologikal dan non farmakologikal.

Non farmakologikal meliputi anamnesis yang baik, identifikasi dan jika

memungkinkan menghilangkan faktor risiko. Farmakologikal dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik dan penggunaan obat kumur yang mengandung klorheksidin6.

Obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat bersifat antimikrobial dan

2
menunjukkan mampu mengurangi jumlah populasi mikroba, karena itu obat kumur

klorheksidin diyakini mampu mencegah terjadinya dry socket6.

Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas pemberian

obat kumur yang mengandung klorheksidin sebagai upaya pencegahan terjadinya dry

socket.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bedasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka timbul pertanyaan

penelitian sebagi berikut:

Bagaimana efektivitas obat kumur klorheksidin dalam mencegah terjadinya dry

socket setelah pencabutan gigi posterior rahang bawah di bagian bedah mulut RSGM

drg.Halimah Dg.Sikati Kandea Makassar?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui bagaimana efektivitas obat kumur klorheksidin dalam mencegah

terjadinya dry socket setelah pencabutan gigi pada gigi posterior rahang bawah di

bagian bedah mulut RSGM drg.Halimah Dg.Sikati Kandea Makassar .

3
1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Memberikan wawasan dan pengetahuan serta pengalaman meneliti bagi peneliti

2. Memberikan informasi ilmiah mengenai efektivitas obat kumur klorheksidin

dalam mencegah terjadinya dry socket setelah pencabutan gigi pada gigi

posterior rahang bawah

3. Dapat dijadikan salah satu acuan untuk malakukan penelitian-penelitian

selanjutnya.

1.5 HIPOTESIS PENELITIAN

Obat kumur yang mengandung klorheksidin efektif mencegah terjadinya dry

socket setelah pencabutan gigi posterior rahang bawah. di bagian bedah mulut RSGM

drg.Halimah Dg.Sikati Kandea Makassar .

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DRY SOCKET

Istilah dry socket pertama kali diperkenalkan oleh Crawford pada tahun 1896

gambaran klinis dry socket antara lain: timbulnya nyeri yang berdenyut parah , tidak

terbentuknya gumpalan pada soket bekas pencabutan, tulang terbuka. Ditandai

dengan halitosis, rasa busuk dan edema di sekitar gingiva

Dry socket merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pencabutan

gigi permanen sebagai bentuk inflamasi4. Dry socket bermanifestasi klinis sebagai

peradangan yang melibatkan baik seluruh atau sebagian dari tulang yang melapisi

soket gigi (lamina dura)7. Karakteristik dry socket dapat dilihat dengan luruhnya

sebagian atau seluruh gumpalan darah ,adanya akumulasi sisa-sisa makanan di

sekitar soket , disertai atau tanpa disertai dengan bau mulut dan biasa menimbulkan

rasa sakit serta bengkaknya daerah di sekitar bekas pencabutan. Dry socket biasa

tampak pada 1-3 hari pasca pencabutan gigi. Dan dapat berlangsung selama 7-10

hari5,7.

Dry socket dikenal dengan berbagai nama antara lain :

5
 Alveolar osteitis

 Localized osteitis

 Postoperative alveolitis

 Alveolagia

 Alveolitis sicca dolorosa

 Septic socket

 Necrotic socket

 Localized osteomyelities

 Fibrinolytic alveolitis 3.

2.2 ETIOLOGI DRY SOCKET

dua teori utama telah diusulkan untuk etiologi dry socket. pembekuan biasanya terjadi

melalui pembentukan fibrin melalui aksi enzim trombin, yang kemudian terdegradasi

melalui fibrinolisis plasmin. Earlier theory yang mengusulkan bahwa trauma / infeksi

tulang alveolar mempromosikan pelepasan aktivator plasminogen jaringan, whicih

pada gilirannya mendorong pembentukan plasmin, fibrinolisis abd pelepasan

bradykinins dan kininogenases, nyeri mediasi. Namun, studi menunjukkan bahwa tpa

inhibitor tidak dapat mengurangi kejadian AO, sedangkan plasmin inhibitor berhasil,

menunjukkan host yang tpa jaringan tidak bertanggung jawab atas kerusakan plasmin

6
dalam soket kering. Studi konsekuen pada aplikasi lokal yhe antibiotik menyarankan

bahwa produk bakteri mungkin bertanggung jawab untuk meningkatkan fibrinolisis

dalam soket kering. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membangun

hubungan kausal.

Etiologi pasti dari dry socket belum didefinisikan. Akan tetapi, beberapa faktor lokal

dan sistemik diketahui berperan dan telah dijelaskan dalam penelitian yang telah

dipublikasikan. Dry socket ditandai dengan kehilangan prematur bekuan darah

sebagian atau total yang terbentuk pada bagian dalam alveolus setelah pencabutan

gigi9.

Pada keadaan normal pasca pencabutan gigi di dalam soket, trombin dan

fibrinogen bersama-sama membentuk gumpalan fibrin. Kemudian, selama

pembentukan jaringan granulasi, pembuluh darah baru akan tumbuh menjadi

gumpalan dan bekuan degradasi terjadi melalui aktivitas fibroblast dan fibrinolisis

melalui plasmin sebelum memulai proses proliferasi tulang. Birn menyatakan bahwa

aktivitas fibrinolitik yang meningkat pada kejadian dry socket ditimbulkan oleh

karena adanya pembebasan pada jaringan aktivator dari tulang alveolar yang

kemudian hal inilah yang dapat menimbulkan trauma atau infeksi5.

7
Hal ini terjelaskan dalam Birn’s hipotesa

Trauma dan infeksi

Peradangan pada sumsum tulang

Pelepasan jaringan aktivator

Plasminogen dalam bekuan akan dikonversi menjadi plasmin (agen fibrinolitik)

Bekuan darah tersebut dipindahkan dan kinins dilepaskan dari kininogen (dari bekuan

darah)

rasa sakit

Beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya dry socket antara

lain :

a) Infeksi

Infeksi ini bisa terjadi sebelum, selama atau setelah pencabutan gigi . Gigi

yang bengkak dan terinfeksi dapat sembuh tanpa mengalami dry socket.

Flora dalam mulut pada beberapa pasien terbukti bersifat hemolitik, dan

individu yang memiliki keadaan seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya

dry soket yang berulang.

8
b) Trauma setelah pencabutan gigi

Kekuatan yang berlebihan berhubungan dengan peningkatan kejadian dry

socket. Hal ini tidak selalu terjadi, namun bisa terjadi setelah pencabutan

gigi sederhana. Kesulitan saat mencabut gigi menjadi hal yang perlu

diperhatikan. Dimana dinding tulang dari soket dapat mengalami trauma

selama proses pencabutan gigi sehingga merusak pembuluh darah

dan mengganggu proses penyembuhan.

c) Suplai darah

Vasokonstriktor yang terjadi saat pemberian anestesi lokal

dapat menyebabkan terjadinya dry socket, dengan terganggunya

pasokan darah ke tulang . Dry socket tentu lebih sering

terjadi setelah pencabutan gigi dengan anestesi lokal dibanding yang

menggunakan anestesi umum. Operator sebaiknya menggunakan jumlah

minimum anestesi lokal dan gigi harus diangkat sebagai atraumatically. Di

mana pasien memiliki riwayat konsisten dari masalah ini, beberapa dokter

menyarankan penggunaan profilaksis metronidazol.

Dry socket jauh lebih sering terjadi pada rahang bawah dibandingkan

rahang atas hal ini terjadi karena pasokan darah yang relatif sedikit pada

mandibula dan makanan yang cenderung berkumpul di soket yang lebih

rendah memudahkan terjadinya dry socket.

9
d) Tempat

Insiden terjadinya dry socket meningkatkan di regio belakang rongga mulut

dengan insiden tertinggi terjadi di wilayah molar mandibula. Gigi

yang paling umum mengalami dry soket adalah molar ketiga bawah, di

mana presentase kejadian lebih dari 3%.

e) Merokok

Penggunaan tembakau dalam bentuk apapun dapat meningkatkan terjadinya

dry socket. Hal ini dapat terjadi, karena efek vasokonstriktor yang signifikan

yang merupakan efek dari nikotin pada pembuluh darah kecil

yang terjadi pada perokok.

f) Seks

Dry socket secara signifikan lebih umum terjadi di kalangan perempuan, hal

ini diakibatkan dari pengguna kontrasepsi oral yang kebanyakan digunkan

di kalangan perempuan.

g) Penggunaan alat kontarasepsi oral

Penggunaan kontrasepsi oral dikaitkan dengan peningkatan kejadian dry

socket. Dalam upaya untuk mengurangi kejadian dry socket, gigi yang akan

cabut sebelumnya dilakukan pembersihan karang gigi maupun sisa makanan

untuk menghilangkan kotoran dan berkumur sebelum tindakan pencabutan

10
gigi dengan klorheksidin 2% , yang diharapkan dapat mengurangi

kejadian tersebut7.

Insiden terjadinya dry socket akan meningkat setelah proses pencabutan gigi,

terutama pada prosedur yang menggunakan pembukaan flap dan pengambilan tulang

yang berlebihan. Sebagai salah satu contoh operasi molar ketiga mandibula yang

termasuk proses sulit dengan prosedur kerja yang lama, sehingga molar ketiga

menjadi daerah yang rentan mengalami dry socket.

Birn dan Nusair mengatakan bahwa trauma yang berlebihan pada tulang akan

menyebabkan peradangan pada sum-sum tulang dan melepas jaringan activator

kedalam alveolus hal inilah yang menjadi faktor pendukung terjadinya dry socket6.

2.3 PATOGENESIS

Fibrinolisis adalah proses fisiologis normal dengan melepaskan endapan fibrin

oleh pencernaan enzimatk dari celah fibrin menjadi fragmen kecil yang dapat larut.

Fibrin terus-menerus dilepaskan tubuh ketika terjadi cedera yang kemudian

dilanjutkan dengan proses perbaikan. Proses fibrolisis yang meningkat merupakan

respon ketika terjadi perdarahan.

Lisis dan penghancuran bekuan darah disebabkan oleh jaringan kinase yang

dibebaskan selama peradangan baik secara langsung atau tidak langsung dari aktivitas

11
plasminogen dalam darah. Ketika terjadi trauma aktivator jaringan langsung

dibebaskan menuju sel-sel tulang alveolar, plasminogen (yang diatur dalam jaringan

fibrin seperti yang dibentuk) diubah menjadi plasmin, sehingga terjadi disintegrasi

bekuan oleh fibrin. Perubahan ini dilakukan dengan adanya jaringan atau plasma pro-

aktivator dan aktivator.

Aktivator ini diklasifikasikan menjadi aktivator langsung (fisiologis) dan

aktivator tidak langsung (non-fisiologis), sedangkan menurut asalnya diklasifikasikan

menjadi intrinsik (berasal dari plasma) dan ekstrinsik (berasal dari luar plasma). Yang

termasuk dalam aktivator ekstrinsik langsung adalah jaringan plasminogen dan

endotel. Untuk aktivator tidak langsung mencakup zat-zat seperti streptokinase dan

staphylokinase yang diproduksi oleh bakteri yang mengikat plasminogen untuk

membentuk aktivator yang kompleks yang kemudian membelah molekul

plasminogen yang lain menjadi plasmin.6.

2.4 TANDA KLINIS DRY SOCKET

Dry socket terlihat setelah kurang lebih 3% dari pencabutan gigi yang ditandai

dengan nyeri di lokasi pencabutan gigi, sering sakit atau berdenyut biasa tetapi sangat

konstan dalam tingkat keparahan (termasuk pada malam hari), dimulai dari satu hari

atau lebih setelah pencabutan gigi. Rasa sakit ini sering resisten terhadap analgesik

12
biasa. Pemeriksaan menunjukkan soket baik sebagian atau sama sekali tidak memiliki

bekuan darah yang terbuka, tulang kasar, menyakitkan.

Mukosa di sekitarnya dan seluruh alveolus mungkin merah, bengkak dan sakit.

Peradangan menyebar melalui alveolus mesiodistally, mengakibatkan nyeri pada gigi

yang berdekatan. Mulut bau dan rasa busuk (bau dari aktivitas bakteri anaerobik atau

daging yang membusuk).

Jika tidak dilakukan perawatan pada kondisi tersebut pada akhirnya rasa sakit

akan menghilang secara spontan, tetapi diperlukan waktu hingga 4 minggu dan

selama waktu itu rasa sakit itu akan terus berlangsung. Nyeri serupa ini dialami setiap

kali area tulang dibiarkan terus terbuka di dalam mulut dan umumnya menempel

ketika tulang (non-vital) terbuka baik pada akhirnya tertutup oleh jaringan granulasi

atau terpisah dari tulang yang mendasari dan sequestrated. Pada beberapa kasus dry

soket yang tidak dilakukan perawatan dapat berlanjut menjadi infeksi yang menyebar

melalui sumsum tulang (osteomyelitis).10

2.5 FAKTOR RESIKO TERJADINYA DRY SOCKET 11

1) Trauma dan Kesulitan Bedah.

Trauma bedah dan kesulitan operasi merupakan peran penting dalam

terjadinya dry socket. Hal ini disebabkan oleh pembebasan dari jaringan langsung

aktivator sekunder pada peradangan sumsum tulang yang lebih sulit, sehingga

pencabutan gigi lebih traumatis. Pencabutan gigi secara bedah mengalaami

13
peningkatan 10 kali lipat dry socket dibandingkan dengan pencabutan gigi non-bedah.

Lilly dkk menemukan bahwa pencabutan gigi secara bedah yang melibatkan refleksi

dari flap dan pengangkatan tulang lebih cenderung menyebabkan dry socket.

2) Kurangnya Pengalaman Operator.

Banyak penelitian menyatakan bahwa pengalaman operator merupakan faktor

risiko bagi pengkembangan dry socket. Larsen menyimpulkan bahwa kurangnya

pengalaman dokter bedah bisa berhubungan dengan trauma yang lebih besar selama

pencabutan gigi, terutama pencabutan gigi secara bedah pada molar ketiga

mandibula. Oleh karena itu keterampilan dan pengalaman operator harus

dipertimbangkan.

3) Penyakit sistemik.

Beberapa peneliti telah menyatankan bahwa penyakit sistemik dapat dikaitkan

dengan dry socket. Contoh, pada pasien diabetes dimana system kekebalan terganggu

dan rentan terhadap perkembangan alveolar osteitis karena penyembuhan berubah.

Tapi tidak ada bukti ilmiah untuk membuktikan suatu hubungan antara penyakit

sistemik dan dry socket.

4) Kontrasepsi oral.

14
Kontrasepsi oral adalah obat yang hanya dikaitkan dengan perkembangan dry

socket. Kontrasepsi oral menjadi populer di tahun 1960 dan studi yang dilakukan

setelah tahun 1970 (sebagai lawan untuk studi sebelum tahun 1960) menunjukkan

insiden yang lebih tinggi yang signifikan dari dry socket terjadi pada wanita. Butler

menemukan bahwa peningkatan dalam penggunaan kontrasepsi oral secara positif

berhubungan dengan kejadian dry socket. Estrogen memainkan peran penting dalam

proses fibrinolitik. Hal ini diyakini secara tidak langsung mengaktifkan sistem

fibrinolitik (faktor peningkatan II, VII, VIII, X, dan plasminogen) dan karenanya

meningkatkan lisis bekuan darah. Catellani dkk. selanjutnya menyimpulkan bahwa

probabilitas berkembangnya dry socket meningkat dengan dosis estrogen yang

meningkat pula dalam kontrasepsi oral. Salah satu penulis bahkan mengusulkan

bahwa dalam rangka mengurangi risiko dry socket, siklus hormonal harus

dipertimbangkan ketika penjadwalan pencabutan.

5) Merokok.

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dan

dry socket. Sebuah hubungan tergantung dosis antara merokok dan dry socket

kejadiannya telah dilaporkan. Diantara total 4000 pembedahan molar ketiga

mandibula, pasien yang merokok setengah bungkus rokok sehari memiliki empat

sampai lima kali lipat peningkatan dry socket (12% berbanding 2,6%) bila

dibandingkan dengan bukan perokok. Insiden dry socket meningkat menjadi lebih

15
dari 20% di antara pasien yang merokok satu bungkus per hari dan 40% di antara

pasien yang merokok pada hari operasi. Apakah mekanisme sistemik atau lokal

langsung mempengaruhi (panas atau suction) di lokasi pencabutan gigi bertanggung

jawab atas peningkatan ini belum jelas. Blum berspekulasi bahwa fenomena ini bisa

disebabkan oleh pengenalan zat asing yang dapat bertindak sebagai kontaminasi

dalam tempat operasi.

6) Infeksi bakteri.

Kebanyakan penelitian mendukung pernyataan bahwa infeksi bakteri adalah

risiko utama terhadap terjadinya dry socket. Telah terbukti bahwa frekuensi

meningkat pada pasien dry socket dengan OH buruk, sudah ada infeksi lokal seperti

periocoronitis dan penyakit periodontal lanjutan. Upaya masih dilakukan untuk

mengisolasi organisme penyebab yang spesifik. Sebuah asosiasi yang mungkin dari

Actinomyces viscosus dan Streptococcus mutans di alveolar osteitis ini dipelajari oleh

Rozantis dkk, di mana mereka menunjukkan penyembuhan tertunda dari lokasi

pencabutan gigi setelah inokulasi mikroorganisme pada hewan model.. Nitzan dkk.

mengamati tingginya plasmin seperti kegiatan fibrinolitik kultur dari Treponema

denticola, mikroorganisme hadir dalam penyakit periodontal. Catenalli mempelajari

pirogen bakteri in vivo dan menduga bahwa mereka adalah aktivator tidak langsung

dari fibrinolisis.

16
7) Usia pasien.

Literatur mendukung kebenaran umum bahwa pasien yang lebih tua, semakin

besar risikonya mengalami dry socket. Blondeau dkk. menyimpulkan bahwa operasi

pengangkatan molar ketiga mandibula yang terkena dampak harus dilakukan jauh

sebelum usia 24 tahun, terutama untuk pasien perempuan karena pasien yang lebih

tua memiliki risiko lebih besar komplikasi pasca operasi secara umum.

8) Pencabutan gigi tunggal dibandingkan pencabutan ganda.

Ada bukti terbatas yang menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari dry

socket setelah pencabutan gigi tunggal dibandingkan pencabutan ganda. Dalam salah

satu penelitian, prevalensi dry socket adalah 7,3% setelah pencabutan tunggal dan

3,4% setelah pencabutan ganda. Perbedaan ini disebabkan oleh karena toleransi rasa

sakit yang kurang pada pasien dengan pencabutan tunggal dibandingkan dengan

pasien pencabutan ganda yang giginya telah memburuk sedemikian rupa sehingga

pencabutan ganda diperlukan. Selain itu, pencabutan ganda yang melibatkan penyakit

periodontal mungkin lebih traumatis.

9) Anestesi lokal dengan vasokonstriktor.

Telah disarankan bahwa penggunaan anestesi lokal dengan vasokonstriktor

akan meningkatkan kejadian dry socket. Lehner menemukan bahwa frekuensi dry

socket meningkat dengan anestesi infiltrasi karena iskemia sementara menyebabkan

17
suplai darah yang buruk. Namun, studi yang mengikuti menunjukkan bahwa iskemia

berlangsung selama satu sampai dua jam dan diikuti dengan hiperemia reaktif, yang

membuatnya tidak relevan dalam disintegrasi dari bekuan darah. Satu penelitian

melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi dry socket berikut

pencabutan gigi yang membutuhkan anestesi infiltrasi dibandingkan anestesi blok

regional dengan vasokonstriktor. Sekarang ini diterima bahwa iskemia lokal karena

vasokonstriktor dalam anestesi lokal tidak memiliki peran dalam perkembangan dry

socket.

2.6 PENCEGAHAN DRY SOCKET

Pencegahan dry socket dapat berupa farmakologikal dan non farmakologikal.

Non farmakologikal meliputi anamnesis yang baik, identifikasi dan jika

memungkinkan menghilangkan faktor risiko6. Pencegahan dry socket yang dapat

dilakukan baik dengan pemberian obat topikal seperti tetrasiklin. Agen sistemik

seperti vitamin B, C, metronidazol ataupun dengan penggunaan agen non-antibiotik

seperti saline dan obat kumur klorheksidin4.

Berbagai metode dan teknik yang diusulkan di seluruh literatur yang ada

untuk membantu dengan pencegahan dry socket: 11

1. Antibiotik sistemik.

18
Antibiotik sistemik dilaporkan efektif untuk mencegah dry socket meliputi

penisilin, klindamisin, eritromisin, dan metronidazol. Penggunaan rutin pra sistemik

dan / atau antibiotik prophylatically pasca operasi diperdebatkan meskipun karena

perkembangan jenis bakteri resisten, mungkin hipersensitivitas, dan kehancuran yang

tidak perlu dari tuan rumah commensals.

2. Antibiotik topikal.

Sejumlah besar penelitian telah dilakukan untuk menguji efektivitas obat-obatan

topikal dalam mencegah dry socket. Antibiotik yang dipelajari telah digunakan

sendiri atau dikombinasikan dengan dosis dan formulasi yang berbeda. Seperti yang

diperkirakan ada kekurangan dari konsistensi dan studi sangat sedikit yang setuju. Di

antara banyak antibiotik yang dipelajari, tetrasiklin topikal telah menunjukkan hasil

yang menjanjikan. Metode laporan yang disampaikan termasuk bubuk, larutan

suspensi, tirisan kasa, dan spons gelfoam (lebih disukai). Namun, efek samping

termasuk reaksi benda asing telah dilaporkan dengan aplikasi topikal tetrasiklin.

3. Klorheksidin.

Beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa penggunaan pra-dan perioperatif

klorheksidin 0,12% mengurangi frekuensi dry socket setelah pengangkatan molar

ketiga mandibula. Ragno dkk. ditemukan sebanyak 50% pengurangan kejadian dry

socket pada pasien yang berkumur dengan larutan klorheksidin. Caso dkk. setelah

19
meta-analisis dari studi yang tersedia disimpulkan bahwa berkumur klorheksidin

0,12% pada hari operasi dan selama beberapa hari sesudahnya sangat bermanfaat.

Pencegahan dry socket mensyaratkan bahwa trauma dokter bedah dan

meminimalkan kontaminasi bakteri di daerah operasi. Dokter bedah harus

melakukan operasi dengan sayatan bersih atraumatik dan refleksi jaringan lunak.

Setelah prosedur bedah, debridement luka harus tuntas dan irigasi larutan saline

dengan jumlah besar. Sejumlah kecil antibiotik (misalnya, tetrasiklin) pada soket

sendiri atau pada spons gelatin dapat membantu untuk mengurangi kejadian dry

socket dalam molar ketiga rahang bawah. Insiden dry socket juga dapat dikurangi

dengan bilasan pra operasi dan pasca operasi dengan larutan kumur antimikroba,

seperti klorheksidin. Terkendali dengan baik studi menunjukkan bahwa kejadian dry

socket setelah operasi molar ketiga impaksi mandibula dapat dikurangi hingga 50%.
12

2.7 PERAWATAN DRY SOCKET

Perawatan untuk dry socket dapat dilakukan dengan irigasi menggunakan saline

maupun dengan pemberian antibiotik. Rata-rata, proses penyembuhan luka

memerlukan jangka waktu 7-10 hari untuk membentuk jaringan granulasi yang baru.

Pemberian antibiotik maupun irigasi merupakan upaya yang dilakukan untuk

meringankan ketidaknyamanan pasien selama proses penyembuhan5.

20
Tujuan perawatan adalah untuk memungkinkan terjadinya pembentukan bekuan

yang tepat dan perbaikan yang konstan.berikut metode terapi yang digunakan adalah:

a) Konservatif

Bilas socket dan meletakkan farmakologis bersama antifibrinolytik,

antipiretik dan analgesik. Yang biasa digunakan dalam hal ini adalah Apernyl

(asetilsalisin), Neocones (polymixin B, neomisin, tetrakain dan tyrothiricina)

dan Nebacetin (neomisin dan bacitrasin). Sebelum obat di aplikasi

intraalveolar dilakukan pembilasan dengan larutan garam atau antiseptik.

Fragiskos mengatakan pengobatan ini dilakukan setiap 24 jam dengan

kasa yang dibasahi dengan eugenol dan kemudian diirigasi dengan larutan

garam hangat.

b) Bedah

Termasuk daerah alveolus di bawah anastesi lokal, untuk

menghilangkan bekuan darah yang merupakan medium nutrisi yang sangat

baik bagi bakteri yang menyebabkan perdarahan kemudian menempatkan

kartrid obat dan terakhir diikuti dengan menjahit tepi luka .

c) Konservatif Bedah

21
Setelah dilakukan pembukaan, flap kemudian ditutup. Metode

konservatif-bedah ini adalah metode yang paling efektif, secara teknis mudah

dilakukan dan memudahkan dokter gigi untuk mengakses daerah luka.

Dalam beberapa tahun terakhir, didapatkan metode pengobatan dari

plasma yang kaya akan trombosit (PRP atau Platelet Rich Plasma). PRP

dipercaya mempercepat penyembuhan, hal ini dibuktikan dengan

menurunnya insidensi terjadinya dry socket sebesar 33%. PRP ini

mengandung leukosit yang banyak sehingga mampu mencegah infeksi, dan

mempercepat penyembuhan8.

2.8 OBAT KUMUR

Obat kumur adalah suatu produk tambahan yang digunakan untuk

meningkatkan kebersihan mulut. Yang di yakini mampu membunuh bakteri

penyebab plak, radang gusi dan juga mencegah timbuhlnya bau mulut14.

2.8.1 SEJARAH OBAT KUMUR

Obat Kumur pertama kali diperkenalkan oleh Ayurveda dalam pengobatan

cina sekitar tahun 2700SM, untuk pengobatan radang gusi. Kemudian Hipocrates

merekomendasikan tambahan garam, tawas dan cuka pada sebagai campuran obat

kumur .

22
Pada abad ke-17 seorang pakar mikroskopis Anton Van Leeuwenhoek,

menemukan organisme hidup pada gigi yang kita kenal sebagai plak. Dia melakukan

eksperimen dengan menambahkan cuka pada air dan menggunakannya untuk

berkumur, dan kemudian dia menyimpulkan bahwa obat kumur dengan campuran

cuka tersebut tidak efektif menghilangkan plak. Sampai akhirnya pada tahu 1960-an

Harald Loe , seorang professor sekolah tinggi gigi kerajaan Aarhus , Denmark

menunjukkan bahwa klorheksidin merupakan senyawa yang dapat mencegah plak

pada gigi14.

2.9 OBAT KUMUR KLORHEKSIDIN

Klorheksidin merupakan agen profilaksis yang baik digunakan untuk mencegah

terjadinya dry socket pasca pencabutan gigi15. Klorheksidin glukonat adalah agen

anti-mikroba kuat yang efektif untuk membunuh berbagai bakteri, termasuk bakteri

gram positif dan gram negatif (dua kelas terbesar dari bakteri) Juga merupakan agen

anti-jamur dan anti-spora16. Khlorhekidin glukonat umumnya digunakan sebagai

bahan aktif dalam obat kumur antiseptik, dan dalam penggunaanya klorheksidin

sering digunakan di dalam praktek kedokteran gigi karena penggunaan obat kumur

klorheksidin minim efek samping(dengan konsentrasi 0,2%)17. Obat kumur yang

mengandung klorheksidin glukonat bersifat antimikrobial dan menunjukkan mampu

23
mengurangi jumlah populasi mikroba, karena itu obat kumur klorheksidin diyakini

mampu mencegah terjadinya dry socket18.

2.9.1 STRUKTUR KLORHEKSIDIN

Klorheksidin adalah bahan dalam obat kumur dengan molekul kimia yang

kompleks (C ₂ ₂ H ₃ ₀ Cl ₂ N ₁ ₀). Klorheksidin memiliki empat kelompok imina,

enam gugus amino sekunder, dan dua cincin aromatik, dan klor. Struktur formula

ditulis, CLC ₆ H ₄-NH-C = NH-NH-C = NH-NH-(CH ₂) ₆-NH-C = NH-NH-C = NH-

NH-C ₆ H ₄ Cl19

(Gambar 2.2 Struktur kimia Chlorheksidin. Sumber :

http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=chlorkexidine )

24
Kehadiran beberapa amina dan kelompok imina membuat klorheksidin

bersifat kationik, artinya siap mengambil muatan positif. Hal ini memungkinkan

klorheksidin untuk berinteraksi dengan protein saliva yang elektrostatis, dan

menyerap ke kulit tipis berlapis enamel gigi, yang memungkinkan untuk memberikan

perlindungan panjang terhadap bakteri19.

2.9.2 KOMPOSISI KLORHEKSIDIN

Klorheksidin glukonat bersifat non-padat, larut dalam air, yang mana agen

anti-mikrobanya terdiri dari karbon, hidrogen, nitrogen klorin, dan oksigen.Dalam

bentuk yang paling umum tersedia secara komersial, klorheksidin glukonat

disediakan dalam larutan 20 persen16.

2.9.3 CARA PENGGUNAAN

Umumnya klorheksidin diglukonat digunakan sebagai antiseptik oral . Karena

senyawa tersebut adalah agen anti-mikroba yang efektif digunakan sebagai obat

kumur untuk mengurangi jumlah bakteri di mulut. Klorheksidin glukonat sangat

efektif sebagai antiseptik oral karena diserap oleh permukaan gigi dan dengan

25
demikian memberikan perlindungan jangka panjang. Selain penggunaan obat kumur

biasa, klorheksidin glukonat digunakan sebagai antiseptik bilas sebelum, selama dan

setelah prosedur pencabutan16. Dalam pencabutan gigi molar ketiga, pasien di

instruksikan berkumur dengan larutan klorheksidin glukonat 0,2% dua kali

sehari(sebelum sarapan pagi dan malam setelah makan malam) selama 30 detik

dengan 15ml larutan klorheksidin 0,2% selama 7 hari setelah dilakukan pencabutan

gigi18.

Penggunaan secara umum, 20ml obat kumur digunakan sekitar dua kali sehari

setelah menyikat gigi .Pasien biasanya berkumur dengan klorheksidin glukonat

selama 30 detik setelah menyikat pagi dan malam hari dan klorheksidin glukonat ini

tidak untuk ditelan20.

26
BAB III

KERANGKA KONSEP

Infeksi
Oromaksilofasial

Infeksi non-odontogenik Infeksi odontogenik

Etiologi : Regio Oromaksilofasial

 Gigi non vital


 Impaksi M3

 Pencabutan Kebersihan
Dry socket
gigi Mulut

pencegahan perawatan
Non
farmakologikal 27
Anamnesis

Identifikasi Farmakologikal antibiotik irigasi

Obat kumur antibiotik


Keterangan: klorheksidin

: Variabel yang diteliti.

: Variabel yang tidak diteliti.

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1 JENIS DAN DESAIN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah suatu studi Eksperimental Analitik, dengan rancangan

studi longitudinal.

4.2 LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di bagian Bedah Mulut RSGM drg.Halimah Dg.

Sikati Kandea Makassar.

4.3 WAKTU PENELITIAN

28
Penelitian ini dilakukan dengan rentang waktu 3 bulan di mulai dari bulan Mei-

Agustus 2012

4.4 POPULASI PENELITIAN

Semua pasien pasca pencabutan gigi di bagian Bedah Mulut RSGM

drg.Halimah Dg. Sikati Kandea Makassar.

4.5 KRITERIA SAMPEL

4.5.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien pasca pencabutan gigi posterior rahang bawah

2. Pasien berusia 20-55 tahun

3. Pasien yang bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

4. Pasien yang bersedia mengisi dan menandatangani informed consent

4.5.2 Kriteria Ekslusi

1. Pasien dengan riwayat penyakit sistemik

2. Pasien yang diketahui alergi terhadap klorheksidin

3. Pasien perokok

4. Pasien yang menggunakan alat kontrasepsi oral

5. Pasien hamil dan menyusui

29
6. Pasien yang tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

4.6 SAMPEL PENELITIAN

Pasien pasca pencabutan gigi posterior rahang bawah di bagian Bedah Mulut

RSGM drg.Halimah Dg. Sikati Kandea Makassar.

4.7 JUMLAH SAMPEL

Dari teori Roscoe yang menyatakan bahwa untuk menentukan ukuran sampel

penelitian bisa dilakukan dengan beberapa acuan, salah satunya untuk penelitian

eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing antara 10 sampai

dengan 30. Peneliti menggunakan 60 pasien yang kemudian akan di bentuk

menjadi dua kelompok, kelompok pertama yang di beri perlakuan(kelompok

eksperimen) sebanyak 30 orang dan kelompok kedua yang tidak di berikan

perlakuan(kelompok kontrol) sebanyak 30 orang. Sehingga total sampel yang

diteliti sebanyak 60 orang.

4.8 METODE SAMPLING

30
Teknik penarikan sampel non probability dengan menggunakan metode purposive

sampling berdasarkan kriteria sampel.

4.9 ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN

1. Gelas kumur

2. Obat kumur klorheksidin

3. Alat tulis (buku catatan dan pulpen)

4.10 PENENTUAN VARIABEL PENELITIAN

Variabel bebas : pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2%

Variabel tergantung : keluhan yang mengindikasikan terjadinya dry socket

Variabel tidak terkendali : gaya hidup pasien, pemberian antibiotik, cooperative

pasien

4.11 DEFINISI OPERASIONAL

1. Efektivitas : suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,

kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target

yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya. Dalam hal ini dapat di lihat

31
berdasarkan terjadi atau tidak terjadinya dry socket pasca pemberian

perlakuan

2. Pencegahan : tindakan penanggulangan sebelum terjadinya sesuatu

3. Dry socket : suatu komplikasi yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca

pencabutan gigi permanen, ditandai dengan luruhnya sebagian atau seluruh

gumpalan darah, adanya akumulasi sisa-sisa makanan di sekitar soket ,

disertai dengan atau tanpa disertai dengan bau mulut, adanya

pembengkakan, warna kemerahan serta timbulnya rasa sakit pada gingiva di

sekitar bekas pencabutan.. Pasien dikatakan mengalami dry socket

berdasarkan hasil wawancara terpimpin yang dilakukan 2-3 hari setelah

pencabutan gigi posterior rahang bawah yang mana apabila pasien

mengeluhkan 3 dari 6 tanda adanya dry socket.

4. Obat kumur klorheksidin glukonat: agen profilaksis yang baik mengandung

bio-adhesive 0,2% bersifat basa yang mempunyai kestabilan yang sama

dengan garam. Klorheksidin memiki kemampuan antiseptik dan desinfektan

dengan spektrum luas, sangat efektif untuk bakteri gram positif, gram negatif,

bakteri ragi, jamur, serta protozoa. Dalam penelitian ini di gunakan obat

kumur klorheksidin glukonat 0,2% sebanyak 10ml, yang di berikan setelah

dilakukannya pencabutan gigi, dimana pasien di instruksikan berkumur

dengan obat kumur klorheksidin 2x1 hari setelah 24 jam selama dua hari.

32
5. Pasca pencabutan gigi : pencabutan gigi merupakan suatu tindakan

pengangkatan atau pengambilan gigi dari soketnya dimana terdapat dua

cara yaitu close dan open method. Dalam penelitian ini sampel yang diambil

adalah pasien pasca pencabutan gigi dengan close method , dimana umumnya

sesaat setelah pencabutan terjadi luka. Luka adalah rusak atau hilangnya

suatu jaringan yang di tandai dengan adanya pendarahan, pembengkakan dan

rasa sakit, yang dapat disebabkan karena trauma benda tajam ataupun tumpul.

Pasca pencabutan gigi dalam penelitian ini adalah waktu sesaat setelah

dilangsungkan pencabutan gigi

6. Gigi posterior : gigi yang letaknya di regio belakang meliputi gigi premolar

pertama, premolar kedua, molar pertama , molar kedua dan molar ketiga

yang memiliki fungsi untuk menghaluskan makanan.

7. Rahang bawah : rahang adalah salah satu dari dua struktur yang membentuk,

atau berada di dekat jalan masuk ke mulut. Pada sebagian besar vertebrata,

kedua rahang berhadapan secara vertikal, membentuk rahang atas dan bawah.

Rahang bawah (Os Mandibulla) adalah rahang yang terletak di bawah rahang

atas. Disini terdapat bgian yang menonjol yang disebut dagu.

4.12 INSTRUMEN PENELITIAN

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrument yaitu berupa wawancara

dengan metode terpimpin, yang akan di lakukan pada hari ketiga setelah

33
pencabutan gigi. Adapun beberapa contoh pertanyaan/ pembahasan yang akan

dilakukan terhadap pasien yaitu:

1. Apakah anda merasakan keluhan setelah dilakukan pencabutan?jika iya

keluhan seperti apa yang di rasakan?

2. Apakah tibul rasa sakit dan bengkak disekitar bekas pencabutan setelah

pencabutan?

3. Apakah ketika makan tersisa sisa makanan di sekitar area pencabutan?

4.13 PROSEDUR PENELITIAN

4.13.1 Menentukan sample penelitia berdasarkan kriteria inklusi.

4.13.2 Peneliti mencatat kartu status pasien, meminta persetujuan baik secara lisan

maupun tulisan, alamat rumah dan nomor telepon pasien yang bisa di

hubungi.

4.13.3 Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yang mana kelompok pertama diberi

perlakuan obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% sebanyak 10ml dan

kelompok kedua tidak diberi obat kumur klorheksidin.

4.13.4 Pasien pada kelompok perlakuan di beri obat kumur klorheksidin glukonat

0,2% sebanyak 10ml setelah dilakukannya pencabutan gigi, pasien

34
diistruksikan berkumur dengan klorheksidin 2x1 hari selama 30 detik setelah

24 jam pasca pencabutan selama 2 hari.

4.13.5 2-3 hari setelah pencabutan peneliti mengevalusi pasien dengan menghubungi

pasien yang telah di berikan perlakuan obat kumur klorheksidin maupun yang

tidak diberikan perlakuan, kemudian peneliti melakukan wawancara terhadap

pasien dan mencatatnya.

4.13.6 Penelitian dinyatakan berakhir bila telah di dapatkan 60 sampel dan ke 30

sampel tersebut telah mengikuti prosedur dan telah di wawancara.

4.13.7 Dilakukan pengolahan data, sehingga diperoleh hasil penelitian.

4.13.8 Hasil pengolahan data kemudian di sajikan dalam bentuk tabel

4.14 ALUR PENELITIAN

Penentuan sampel berdasarkan


kriteria inklusi yang telah
ditetapkan

Pemberian perlakuan pada


pasien kedua kelompok pasien

35
Evaluasi perlakuan
Analisis data

Penyajian data
4.15 DATA PENELITIAN

1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer di mana

diperoleh langsung oleh peneliti melalui hasil wawancara peneliti dan

analisis .

2. Pengolahan data akan dilakukan dengan Program SPSS 16 .

3. Uji hipotesis yang digunakan untuk hasil akhir penarikan kesimpulan adalah

uji chi-square. Penyajian data disajikan lewat tabel.

36
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di bagian Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut

Halimah Dg. Sikati Kandea Makassar yang berlangsung selama 3 bulan, mengenai

efektivitas obat kumur klorheksidin dalam mencegah dry socket setelah pencabutan

gigi posterior rahang bawah. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara

primer oleh peneliti dengan melekukan interaksi langsung pada responden dan

memberikan perlakuan berupa pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2%.

Diperoleh sampel sebanyak 60 orang yang memenuhi kriteria. Kemudian di berikan

37
perlakuan dengan pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% pada 30 sampel

kelompok eksperimen secara random sampling dan 30 orang sebgai kelompok

kontrol tidak diberikan perlakuan pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2%.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dari total 60 sampel

penelitian yang kemudian di kelompokkan menjadi dua yaitu kelompok kontrol

sebanyak 30 sampel dan kelompok eksperimen sebanyak 30 sampel dengan

pemberian obat kumur klorheksidin 0,2% pasca pencabutan gigi posterior rahang

bawah, di dapatkan data jumlah pasien yang mengalami dry soket pasca pencabutan

gigi posterior rahang bawah sebanyak 14 orang.

Adapun , hasil yang didapat dari penelitian akan diuraikan sebagai berikut :

Tabel 5.1 . Jumlah Pasien Yang Mengalami Dry Socket Pasca Pencabutan Gigi
Posterior Rahang Bawah Di Bagian Bedah Mulut RSGM Halimah
Dg.Sikati Kandea Makassar

Dry Socket
Obat
Total
Kumur Ya Tidak

Ya 0 (0%) 30 (65,2%) 30 (50%)


Tidak 14 (100%) 16 (34,8%) 30 (50%)
Total 14 (100%) 46 (100%) 60 (100%)

Sumber:Apriliani, F. Analisis sampel penelitian terhadap dua kelompok penelitian


.2012.

Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan bahwa pada kelompok kontrol yang tidak

diberikan obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% dengan jumlah sampel 30,

38
ditemukan sebanyak 14 sampel (100%) yang mengalami dry soket pasca pencabutan

gigi posterior rahang bawah , sedangkan pada kelompok perlakuan dengan pemberian

obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% pasca pencabutan gigi posterior rahang

bawah dengan jumlah sampel 30, tidak ditemukan terjadinya dry socket pasca

pencabutan gigi posterior rahang bawah (0%). Hal ini membuktikan bahwa

pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% yang diberikan pasca pencabutan

gigi posterior rahang bawah yang diinstruksikan berkumur dengan obat kumur

klorheksidin 2x1 hari setelah 24 jam selama dua hari pasca pencabutan di bagian

bedah mulut RSGM Halimah Dg.Sikati Makassar efektif mencegah terjadinya dry

socket pasca pencabutan gigi posterior rahang bawah.

Grafik 5.1 Distribusi jumlah Pasien Yang Mengalami Dry Socket Pasca Pencabutan
Gigi Posterior Rahang Bawah Di Bagian Bedah Mulut RSGMP Halimah
Dg.Sikati Makassar

35

30

25

20
Dry Socket
15 Tidak dry socket
10

0
Eksperimen Kontrol

39
Grafik di atas menggambarkan bahwa pada kelompok eksperimen dengan

pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% sebanyak 10ml, yang di berikan

setelah dilakukannya pencabutan gigi posterior rahang bawah tidak ditemukan

terjadinya dry soket, sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan obat

kumur klorheksidin glukonat 0,2% di dapatkan sebanyak 14 pasien yang mengalami

dry socket pasca pencabutan gigi posterior rahang bawah.

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian mengenai efektivitas obat kumur klorheksidin dalam mencegah dry

socket setelah pencabutan gigi posterior rahang bawah telah dilakukan di bagian

Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Halimah Dg. Sikati Kandea Makassar.

Peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara terhadap pasien yang

memenuhi criteria inklusi dengan jumlah total sampel 60 sampel. Peneliti

mengumpulkan data nama pasien, jenis kelamin, usia, alamat, no telepon, tanggal

penelitian , tanggal follow-up, ada-tidaknya perlakuan, gigi yang telah dicabut dan

terjadi atau tidaknya dry socket pasca pencabutan gigi.

40
Setelah data hasil penelitian dikumpulkan, data kemudian diolah dengan

menggunakan program SPSS versi 16.0 untuk Windows. Data Hasil penelitian yang

telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk table distribusi (seperti yang

dipaparkan pada bab sebelumnya) makan dapat di ketahui :

Tabel 5.1 pada penelitian ini mengungkapkan bahwa obat kumur yang

mengandung klorheksidin glukonat 0,2% sebanyak 10ml, yang di berikan pada

kelompok eksperimen setelah dilakukannya pencabutan gigi posterior rahang bawah ,

dimana pasien di instruksikan berkumur dengan obat kumur klorheksidin 2x1 hari

setelah 24 jam selama dua hari, efektif mencegah terjadinya dry socket setelah

pencabutan gigi posterior rahang bawah.

Hal ini sebanding pada penelitian sebelumnya oleh V.Shridar yang membahas

mengenai evaluasi penggunaan perioperatif dari obat kumur klorheksidin glukonat

0,2% untuk pencegahan alveolar osteitis setelah pencabutan gigi molar ketiga pada

rahang bawah. Dalam penelitian ini dibahas mengenai intensitas rasa sakit setelah

dilakukan pencabutan, terbentuk atau tidaknya bekuan darah, serta insiden terjadinya

dry soket setelah pencabutan gigi. Dalam penelitian ini pada kelompok kontrol

dengan sampel sebanyak 50 ditemukan bahwa 4 orang mengalami rasa sakit ringan,

40 berat dan 6 parah setelah dilakukan pencabutan gigi. Sedangkan pada kelompok

eksperimen dengan pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% dengan

jumlah sampel sebanyak 50, di dapatkan 15 orang mengalami sakit ringan, 35 sedang

41
dan tidak ditemukan sampel yang mengalami rasa sakit yang parah setelah

pencabutan gigi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan obat kumur klorheksidin

mampu mengurangi rasa sakit yang timbul setelah dilakukan pencabutan gigi.

Dalam penelitian yang sama pula oleh V.Shridar ,dikatakan bahwa dengan

pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% mampu membantu proses

terbentuknya gumpalan darah setelah dilakukan pencabutan gigi. Hal ini didapatkan

bahwa pada hari ketiga setelah dilakukan pencabutan gigi pada kelompok kontrol dari

50 sampel didapatkan pada 4 sampel tidak terjadi pembentukan gumpalan darah

sedangkan pada kelompok eksperimen dengan pemberian obat kumur pada 50 sampel

terjadi pembentukan gumpalan darah.

Insiden terjadinya dry socket setelah pencabutan gigi pada penelitian yang

dilakukan oleh V.Shridar, dari total 50 sampel pada kelompok kontrol didapatkan 4

orang yang mengalami dry soket sedangkan pada kelompok eksperimen dengan

pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% tidak ditemukan terjadi dry

socket. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa insiden terjadinya dry

socket meningkat pada pasien yang tidak menggunakan obat kumur klorheksidin

0,2% dibandingkan pada pasien yang menggunakan obat kumur klorheksidin 0,2%16.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Daniel Torres mengenai intra-

alveolar klorheksidin gel untuk pencegahan dry socket pada operasi gigi molar ketiga

rahang bawah, dikatakan bahwa tingkat kejadian dry socket pada kelompok

42
eksperimen dengan pemberian klorheksidin lebih rendah apabila dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan klorheksidin13.

Dry socket merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dalam proses

penyembuhan penyembuhan luka pasca pencabutan gigi permanen, yang disebabkan

oleh faktor lokal seperti adanya trauma, infeksi, perdarahan dan faktor predisposisi

lainnya3,4. Beberapa pasien yang mengalami dry socket umunya mengeluhkan

timbulnya rasa sakit, adanya penumpukkan sisa-sisa makanan, adanya pembengkakan

di daerah sekitar bekas pencabutan, luruhnya gumpalan darah yang akan tampak dan

dirasakan pasien pada 1-3 hari pasca pencabutan gigi5,7.

Pencegahan keseluruhan terhadap terjadinya dry soket tidak dapat dilakukan ,

hal ini disebabkan oleh faktor dari etiologi umum terjadinya dry soket itu sendiri

yaitu proses terbentuknya bekuan darah, trauma dan infeksi yang menyebabkan

peradangan pada ruang di sumsum tulang alveolar. Hal ini mengakibatkan

pembebasan aktivator jaringan yang mengkonversi plasminogen menjadi plasmin,

yang kemudian melarutkan bekuan darah, sehingga tidak terjadi pembekuan darah.

Jika peradangan terjadi pada ruang di dalam tulang alveolar disebabkan oleh

infeksi bakteri maka agen antimikroba akan efektif dimana infeksi dapat diakibatkan

dari prosedur pencabutan gigi yang tidak aseptis, tapi kasus ini akan lebih sulit jika

peradangan terjadi pada tulang alveolar disebabkan oleh trauma. Dalam hal ini

penggunaan antimikroba tidak memberikan perubahan yang bermakna, hal ini

43
menjelaskan mengapa pencegahan keseluruhan terhadap terjadinya dry soket tidak

dapat dilakukan ketika antimikroba diterapkan. Penggunaan obat kumur bertujuan

untuk meningkatkan kebersihan mulut12, dengan berkumur sisa-sisa makanan yang

terperangkap di dalam soket dapat keluar. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% sebanyak 10ml, yang di berikan setelah

dilakukannya pencabutan gigi posterior rahang bawah , dimana pasien diinstruksikan

berkumur dengan obat kumur klorheksidin 2x1 hari setelah 24 jam selama dua hari

pasca pencabutan gigi. Klorheksidin merupakan agen profilaksis yang baik

digunakan untuk mencegah terjadinya dry socket pasca pencabutan gigi13. Obat

kumur klorheksidin merupakan agen anti-mikroba yang efektif membunuh berbagai

bakteri baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Pertimbangan lain,

obat kumur jenis klorheksidin ini minim akan efek samping (dengan konsentrasi

0,2%)15.

Dari hasil penelitian ini pula di dapatkan bahwa gigi posterior yang paling

banyak di lakukan pencabutan adalah pada gigi molar pertama. Hal ini dapat

disebabkan karena gigi molar pertama merupakan gigi yang paling cepat tumbuh

sebagai pengganti gigi susu, oleh karena itu penggunaannya didalam mulut memiliki

jangka waktu yang lebih lama sehingga lebih rentan terkena kerusakan gigi.

Berdasarkan laporan dari 23.886 pencabutan terdapat 226 kasus dry socket dengan

insidensi sebesar 79% terjadi pada mandibula dan hanya 21% pada maksilla. Hal ini

44
juga menjadi pertimbangan peneliti untuk melakukan penelitian pada daerah rahang

bawah4. Rahang bawah merupakan daerah tempat berkumpulnya sisa-sia makanan

dikarenakan posisinya yang berada di bawah sehingga makanan yang di kunyah

bekerja dengan gaya gravitasi yang ada sehingga menjadikannya tempat yang mudah

tertinggal makanan.

BAB VII

PENUTUP

7.1 SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai efektifitas obat kumur

klorheksidin dalam mencegah dry soket setelah pencabutan gigi posterior rahang

bawah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Obat kumur klorheksidin bersifat anti-mikroba yang efektif membunuh

bakteri gram positif dan gram negatif.

2. Obat kumur yang mengandung klorheksidin 0,2% efektif mencegah

terjadinya dry soket setelah pencabutan gigi posterior rahang bawah.

45
3. Sampel yang diberi obat kumur klorheksidin secara keseluruhan terbebas

dari dry soket yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 50%.

4. Hampir setengah dari jumlah sampel kontrol mengalami dry soket yaitu

sebanyak 14 orang atau sebesar 23,3% dari 30 sampel.

7.2 SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efektifitas obat kumur

klorheksidin dalam mencegah dry soket setelah pencabutan gigi posterior

rahang bawah dengan jumlah sampel yang lebih besar dan beberapa variable

tambahan agar hasil penelitian dapat lebih akurat.

2. Pada pencabutan gigi hendaknya dilakukan dengan metode atraumatik dan

seandainya terjadi trauma seyogyanya dilakukan penjahitan agar sisa makanan

tidak terperangkap di dalam soket dan setelah pencabutan gigi pasein

diberikan antibiotik .

3. Sebaiknya setelah pencabutan gigi pasien di

instruksikan berkumur dengan obat kumur yang bersifat bakterisid misalnya

klorheksidin 2x1 hari selama 30 detik setelah 24 jam pasca pencabutan selama

2 hari.

46

Anda mungkin juga menyukai