Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

TINJAUAN UMUM

2.1. Definisi Apotek


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2017 tentang
Apotek, definisi dari Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Praktek Kefarmasian atau
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
(Presiden Republik Indonesiaa, 2009).

2.2. Persyaratan Pendirian Apotek


Pendirian Apotek dapat dilakukan oleh seorang Apoteker baik dengan
modal sendiri ataupun dengan modal dari pemilik modal baik perorangan maupun
perusahaan. Pekerjaan kefarmasian di Apotek harus dilakukan oleh Apoteker
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendirikan apotek antara lain:
a. Lokasi
Persebaran Apotek diatur oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di
wilayahnya dengan memperhatikan kemudahan akses masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
b. Bangunan
Apotek yang didirikan harus memiliki bangunan yang aman, nyaman dan
mudah dalam pemberian pelayanan serta memiliki fungsi perlindungan
dan keselamatan bagi semua orang. Bangunan harus bersifat permanen dan
dapat merupakan bagian ataupun terpisah dari pusat perbelanjaan,
apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun dan bangunan yang
sejenis.

3
Universitas Indonesia
4

c. Sarana, prasarana dan peralatan


Bangunan Apotek paling sedikit harus memiliki ruang penerimaan resep,
pelayanan dan peracikan resep, penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan, konseling, penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
dan ruang arsip. Selain itu, apotek harus memiliki sistem tata udara, sistem
proteksi kebakaran, instalasi listrik dan instalasi air bersih. Peralatan yang
dibutuhkan meliputi rak obat, alat peracikan bahan pengemas obat, lemari
pendingin, meja, kursi, komputer, sistem pencatatan mutasi obat, formulir
catatan pengobatan pasien dan peralatan lain yang dibutuhkan.
d. Ketenagaan
Apoteker pemegang Surat Izin Apotek dapat dibantu oleh Apoteker lain,
Tenaga Teknis Kefarmasian dan tenaga administrasi. Apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian wajib memiliki surat izin praktik.
e. Papan Nama
Apotek wajib memasang papan nama yang terdiri atas:
- papan nama Apotek, yang memuat paling sedikit informasi mengenai
nama Apotek, nomor SIA, dan alamat; dan
- papan nama praktik Apoteker, yang memuat paling sedikit informasi
mengenai nama Apoteker, nomor SIPA, dan jadwal praktik Apoteker.
papan nama praktik berukuran 80x60 cm, dengan dasar putih, tulisan
hitam (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017; IAI, 2014)
- papan nama dipasang di dinding bagian depan bangunan atau di tepi
jalan, secara jelas dan mudah terbaca (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).

2.3. Tata Cara Perizinan Apotek


Pendirian Apotek harus memiliki surat izin dari Menteri yang dilimpahkan
kewenangannya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota. Surat izin
tersebut berupa SIA (Surat Izin Apotik) yang berlaku selama 5 tahun (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Tata cara untuk memperoleh SIA yaitu:

Universitas Indonesia
5

a. Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah


Daerah Kabupaten atau Kota dengan melengkapi dokumen administratif
seperti berikut:
- fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
- fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);

- fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;

- fotokopi peta lokasi dan denah bangunan;dan

- daftar prasarana, sarana, dan peralatan.


b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam waktu 6 hari sejak menerima
permohonan dan dokumen administrative dinyatakan telah lengkap, harus
menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan setempat
terhadap kesiapan Apotek.
c. Tim Pemeriksa harus melibatkan tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya
yang menangani bidang sarana dan prasarana dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
d. Tim pemeriksa dalam waktu paling lama 6 hari sejak ditugaskan, harus
melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
e. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam waktu 12 hari sejak menerima
laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan, wajib menerbitkan SIA
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
dan Organisasi Profesi. Jika dalam pemeriksaan, dinyatakan masih belum
memenuhi persyaratan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib
mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas)
hari kerja.
f. Pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1
bulan sejak surat penundaan diterima. Apabila pemohon tidak dapat
memenuhi kelengkapan persyaratan, maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan.
g. Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.

Universitas Indonesia
6

2.4. Sumber Daya Manusia di Apotek


Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek dilakukan oleh Apoteker.
Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek dapat dibantu oleh
Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memiliki surat izin praktik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 31 tahun 2016 jo Peraturan
Menteri Kesehatan No. 889 tahun 2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin
kerja tenaga kefarmasian, surat izin yaitu berupa SIPA bagi Apoteker dan
SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian. Setiap Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar pelayanan, standar prosedur
operasional, menghormati hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.

2.5. Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.
73 tahun 2016, Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan pelayanan
farmasi klinik.

2.5.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi:
a. Perencanaan
Perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan dengan melihat pola penyakit, pola
konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Pengadaan dilakukan melalui jalur resmi.

Universitas Indonesia
7

c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
- Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
- Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
- Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
- Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
- Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out)
e. Pemusnahan dan penarikan
- Obat kadaluarsa atau rusak dimusnahkan sesuai degan jenis dan
bentuk sediaan, dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan obat yang mengandung narkotika atau psikotropika
dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan
- Resep yang telah disimpan lebih dari 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara
Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota.
Universitas Indonesia
8

- Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis


Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
- Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan
terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik.
g. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan yang dilakukan meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur),
penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan
yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan,
barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan
yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya.

2.5.2. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di Apotek meliputi:

Universitas Indonesia
9

a. Pengkajian dan pelayanan resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
- Kajian administratif meliputi:
1) nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2) nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf; dan
3) tanggal penulisan Resep.
- Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1) bentuk dan kekuatan sediaan;
2) stabilitas; dan
3) kompatibilitas (ketercampuran obat).
- Pertimbangan klinis meliputi:
1) ketepatan indikasi dan dosis obat;
2) aturan, cara dan lama penggunaan obat;
3) duplikasi dan/atau polifarmasi;
4) reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain);
5) kontra indikasi; dan
6) interaksi
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan Resep:
a). Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan Resep;
b). Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa dan keadaan fisik
obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: warna putih untuk
obat dalam atau oral; warna biru untuk obat luar dan suntik;

Universitas Indonesia
10

menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau


emulsi.
4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah.
c. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat Resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek
samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia
dari obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat meliputi:
i. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
ii. Membuat dan menyebarkan bulletin atau brosur atau leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
iii. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
iv. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi;
v. Melakukan penelitian penggunaan obat;
vi. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
vii. Melakukan program jaminan mutu.
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien atau
keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
Universitas Indonesia
11

 Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati


dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
 Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi)
 Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
 Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
 Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat.
 Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
PTO merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
 Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
 Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
 Adanya multidiagnosis.
 Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
 Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
 Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.

Universitas Indonesia
12

g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.

2.6. Sediaan Farmasi


Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
(Presiden Republik Indonesiab, 2009). Berdasarkan keamanannya, obat dibagi
menjadi lima golongan diantaranya:
2.6.1. Obat Bebas
Obat golongan ini merupakan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter.
Pada kemasan obat terdapat tanda khusus berupa lingkaran berwarna hijau
a
dengan garis tepi berwarna hitam (Menteri Kesehatan Republik Indonesia , 2015).
Contoh obat bebas adalah tablet parasetamol, tablet vitamin C, tablet Antasida
DOEN.

Gambar 2.1 Logo Obat Bebas

2.6.2. Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas termasuk obat keras yang masih dapat dibeli bebas
tanpa resep dokter, namun dalam pengunaannya harus memperhatikan informasi
tanda peringatan obat pada kemasan. Pada kemasan, diberi tanda lingkaran biru
dengan garis tepi berwarna hitam (Gambar 2.2.) dan kotak berwarna hitam berisi
tanda peringatan berwarna putih, P No. 1 s.d P No. 6 (Gambar 2.3) (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia b, 2015). Contoh obat bebas terbatas adalah tablet
combantrin, tablet bisolvon.

Universitas Indonesia
13

Gambar 2.2 Logo Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.3 Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

2.6.3. Obat Keras


Obat keras hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Obat ini disebut obat
keras karena jika pemakai tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan
peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya. Pada kemasan
diberi tanda lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K di
tengah yang menyentuh garis tepi (Menteri Kesehatan Republik Indonesiaa.
2015).

Gambar 2.4.Logo Obat Keras

Obat-obatan yang termasuk golongan obat keras, yaitu:


a. Obat Wajib Apotek (OWA). Obat keras yang dapat diserahkan oleh
Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 1990). Apoteker di apotik dalam melayani pasien
yang memerlukan obat wajib apotek diwajibkan:

Universitas Indonesia
14

- Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam Obat Wajib Apotik yang bersangkutan.
- Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
- Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,
kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan
oleh pasien.
Obat wajib apotek tercantum dalam Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 yang
ditetapkan pada tahun 1990, Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 yang
ditetapkan pada tahun 1993 dan Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 yang
ditetapkan pada tahun 1999. Obat yang termasuk dalam daftar obat wajib
apotek no. 1 antara lain oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat saluran
pernafasan seperti salbutamol, aminofilin supp; analgetik antipiretik
seperti asam mefenamat, metampiron; obat kulit topikal. Obat yang
termasuk dalam Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 antara lain bacitracin,
dexametason krim, omeprazol tablet, piroxicam krim (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 1993). Obat yang termasuk dalam Daftar Obat Wajib
Apotek No. 3 antara lain ranitidin, famotidin, piroksikam tablet, cetirizin
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1999).
b. Psikotropika. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5
Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi 4
golongan, yaitu:
(1) Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: Brolamfetamina, DMHP,
(2) Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dala
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu penge-tahuan serta mempunyai
Universitas Indonesia
15

potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:


Metilfendat, Sekobarbital, Amineptina (Permenkes No.3 tahun
2017 tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika).
(3) Psikotropika golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contohnya Amobarbital, Pentazosin,
Pentobarbital, dan Siklobarbital.
(4) Psikotropika golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contonya Alprazoma, Barbital, Bromazepam,
Diazepam, Lorazepam, Fenobarbital dan Midazolam.

2.6.4. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan
kelompok obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Tanda khusus
pada obat golongan narkotika adalah lingkaran putih dengan garis tepi berwarna
merah dan dengan tanda palang (cross) berwarna merah di dalam lingkaran
(Gambar 2.5). Narkotika digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

Universitas Indonesia
16

mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Difenoksin, Dihidromorfina,


Fentanil, Metadona, Morfina
c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Kodein, Dihidrokodeina, Propiram (Presiden
Republik Indonesia, 2009)

Gambar 2.5 Logo Obat Narkotika

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai