Anda di halaman 1dari 27

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Steam Turbine Blade


2.1.1 Kondisi Operasional Blade Steam Turbine
Blade turbin adalah komponen penting pada turbin yang mengkonversi energi
termal dari uap bertekanan menjadi energi gerak atau kinetik. Prinsip kerjanya yaitu uap
bertekanan dalam keadaan ekspansi akan menggerakkan fixed blade dan moving blade.
Moving blade kemudian akan meneruskan energi kinetik dari putaran blade ke rotor untuk
merubah menjadi energi mekanik (Sarkar, D. 2015). Jenis steam turbine sendiri ada
banyak macamnya tergantung dari bentuk konstruksi, prinsip kerja, dan sebagainya.
Untuk tipe blade steam turbine sendiri juga bermacam-macam kategori, salah satunya
adalah berdasarkan tekanan pada stage. Tipe blade turbin berdasarkan tekanan pada stage
adalah sebagai berikut:
1. Low pressure blade (LP blade)
2. Intermediate pressure blade (IP blade)
3. High pressure blade (HP blade)
Blade turbin sendiri bekerja pada kondisi operasional yang bermacam-macam,
bergantung pada hasil output daya yang akan dihasilkan oleh steam turbine. Kebanyakan
industri, hasil output daya yang dikeluarkan berkisar 1-30 MW. Untuk kondisi
operasional kecepatan turbin sendiri ada 2 jenis yaitu 3000 rpm dengan frekuensi 50 Hz,
dan 3600 rpm dengan frekuensi 60 Hz. Di Indonesia sendiri, kondisi operasional
menggunakan kecepatan 3000rpm dengan frekuensi 50 Hz. Selain itu, uap yang bekerja
pada blade turbin berasal dari hasil pemasakan di boiler. Air yang dipanaskan hingga
menjadi steam awalnya merupakan air laut yang telah dilakukan proses demineralisasi
dan deslinasi. Proses tersebut berfungsi untuk menghilangkan dan memisahkan
kandungan mineral dan garam. Walaupun demikian, kandungan garam dalam air masih
tetap ada namun dalam jumlah yang sangat kecil (Reddy, et al. 2014).
Gambar 2. 1 Steam Turbin Blade (Sarkar, D.2015)

2.1.2 Material Blade Steam Turbine


Material yang digunakan untuk steam turbine blade ada banyak jenisnya, antara
lain baja tahan karat martensitik, A-286, Haynes Stellite Alloy Number 31 dan paduan
titanium. Baja tahan karat martensitik yang banyak digunakan sebagai material steam
turbine blade adalah baja tahan karat martensitik 403 dan 422. Baja tahan karat
martensitik 403 12Cr merupakan material steam turbine blade standar pada industri,
dapat ditemukan lebih dari 90 persen bagian. Baja tahan karat martensitik 403 digunakan
karena memiliki kekuatan luluh yang tinggi, ketahanan, keuletan, ketangguhan, tahan
erosi korosi dan kelembapan. Digunakan dengan brinell hardness berkisar dari 207
sampai 248 untuk memaksimalkan tahan korosi dan kelembapan . Sedangkan baja tahan
karat martensitik 422 digunakan hanya pada bagian bertermperatur tinggi (antara 700
sampai 900oF atau 371 sampai 482oC), dimana membutuhkan kekuatan luluh, dan
ketahanan yang lebih besar.
Material A-286 adalah super paduan berbasis nikel yang biasa digunakan pada
daerah bergas panas dengan temperatur antara 900 sampai 1150oF (482 sampai 621oC).
Haynes Stellite Alloy Number 31 adalah paduan super berbasis kobalt dan digunakan pada
ekspander jet karena membutuhkan pisau (blade) cor yang presisi. Haynes Stellite Alloy
Number 31 digunakan pada temperatur antara 900 sampai 1200oF (482 sampai 649oC).
Material blade lainnya adalah titanium. Titanium memliki kekuatan yang tinggi, densitas
rendah, dan ketahanan erosi yang baik membuatnya sebagai kandidat yang baik untuk
blade kecepatan tinggi atau blade tahan lama. Blade dibuat dari baja paduan yang
terutama mengandung karbon, kromium, nikel, molybdenum. Seperti tabel dibawah ini,
spesifikasi material yang mengandung unsur-unsur paduan untuk blade (Reddy et al.
2014).
Tabel 2.1 Spesifikasi material untuk steam turbine blade (Outokumpu. 2013)
Material C Ni Cr Mo Mn Si V
X20 0.22 0.8 12-13 0.8-1.2 0.3 0.1-0.5
X22 0.8 0.3-0.5 11.5-11.9 0.8-1.2 0.3 0.1-0.5 0.25-0.35
410 0.15 0.75 11.5-13.5
403 0.12 0.5 11.5-13.0

2.2 Stainless Steel


Stainless steel sangat tahan terhadap korosi (karat) di berbagai lingkungan,
terutama suasana ambient. Unsur paduan utamanya adalah kromium; memerlukan
konsentrasi minimal 11% Cr. Ketahanan korosi juga dapat ditingkatkan dengan
penambahan nikel dan molybdenum. Stainless steel dapat dibagi menjadi tiga kelas
berdasarkan fasa dominan dari mikrostrukturnya yaiut martensitik, feritik atau austenitik.
Berbagai macam sifat mekanik digabungkan dengan ketahanan yang sangat baik terhadap
korosi membuat baja tahan karat sangat fleksibel dalam penerapannya.
Baja tahan karat martensitik mampu dipanaskan sedemikian rupa sehingga
martensit menjadi struktur mikro utama. Untuk baja tahan karat austenitik, bidang fasa
austenit (atau γ) diperpanjang sampai suhu kamar. Baja tahan karat feritik terdiri dari fasa
α ferit (BCC). Baja tahan karat austenitik dan feritik dikeraskan dan dikuatkan melalui
perlakuan dingin karena tidak dapat dipanaskan. Baja tahan karat austenitik adalah baja
tahan karat yang paling tahan terhadap korosi karena tingginya kandungan kromium dan
penambahan nikel dan diproduksi dalam jumlah besar. Baja tahan karat martensitik dan
feritik bersifat magnetik; baja tahan karat austenitik tidak memiliki sifat magnetik
(Callister & Rethwisch. 2007). Pemilihan baja stainless didasarkan dengan sifat-sifat
materialnya antara lain ketahanan korosi, fabrikasi, mekanik, dan biaya produk.
Penambahan unsur-unsur tertentu kedalam baja stainless dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Penambahan Molibdenum (Mo) bertujuan untuk memperbaiki ketahanan korosi
pitting dan korosi celah di lingkungan klorida
2. Unsur karbon rendah dan penambahan unsur penstabil karbida (titanium atau
niobium) bertujuan menekan korosi batas butir ada material yang mengalami
sensitasi
3. Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan
membentuk lapisan oksida (Cr2O3) dan ketahanan terhadap oksidasi temperatur
tinggi
4. Penambahan nikel (Ni) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dalam media
pengkorosi netral atau lemah. Nikel juga meningkatkan keuletan mampu bentuk
logam. Penambahan nikel meningkatkan ketahanan korosi tegangan.
5. Unsur aluminium (Al) meningkatkan pembentukan lapisan oksida pada
temperatur tinggi
6. Unsur tembaga (Cu) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi pada berbagai
media korosi yang bersifat asam dan memperbaiki struktur mikro austenitik.
Selain itu berfungsi untuk menurunkan tingkat kekerasan agar mudah dilakukan
proses pemesinan, dan juga untuk menaikkan tingkat mampu bentuk baja tahan
karat (Outokumpu 2013).
Stainless steel atau baja tahan karat dibagi menjadi lima jenis. Empat diantaranya
berdasarkan karakteristik dari mikrostruktur paduannya, sisanya berdasarkan perlakuan
panas yang digunakan, dibandingkan struktur mikronya.
1. Ferritic Stainless Steel
Baja jenis ini memiliki struktur body centered cubic (BCC). Unsur kromium
ditambahkan untuk menstabilkan ferrit. Ferritik stainless steel memiliki kandungan
kromium antara 10,5 - 30%, serta mengandung beberapa unsur seperti molybdenum,
silicon, aluinium, titanium, niobium, dan nikel. Ferritik stainless steel merupakan
ferromagnetik, yang mempunyai gaya tarik kuat terhadap magnet. Selain itu memiliki
sifat yang ulet dan mampu bentuk yang baik, namun kekuatan pada suhu tinggi rendah
bila dibandingkan dengan austenitik stainless steel. Kandungan karbon rendah pada
ferritik stainless steel ini tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas.
Tingkat kekerasan ferritik stainless steel dapat ditingkatkan dengan cara celup
cepat. Cara celup cepat merupakan proses pencelupan benda kerja secara cepat dari
keadaan temperatur tinggi ke temperatur ruang. Sifat mampu las, keuletan, ketahanan
korosi dapat ditingkatkan dengan mengatur kandungan tertentu seperti unsur karbon, dan
nikel. Baja tahan karat ferritik biasa di aplikasikan di bidang arsitektur, industri
kendaraan, dan peralatan rumah tangga (Outokumpu. 2013).
2. Austenitic Stainless Steel
Baja Stainless austenitik merupakan paduan logam besi-krom-nikel yang
mengandung 16 - 20% kromium, 7 – 22% nikel, dan nitrogen. Logam paduan ini
merupakan paduan berbasis ferrous dan memiliki struktur kristal face centered cubi
(FCC). Fasa austenitik tidak akan berubah saat perlakuan panas annealing kemudian
didinginkan pada temperatur ruang. Baja stainless austenitik tidak dapat dikeraskan
melalui perlakuan celup cepat (quenching). Umumnya jenis baja ini dapat menjaga sifat
austenitik pada temperatur ruang, lebih bersifat ulet, dan memiliki ketahanan korosi lebih
baik dibandingkan baja stainless ferritik dan martensitik. Kegunaan baja tahan karat
austenitik ini biasa dipakai di industri makanan, peralatan dapur, bangunan dan arsitektur
(Outokumpu 2013).
3. Martensitic Stainless Steel
Baja tahan karat martensitik sama seperti paduan besi karbon yang di austenisasi,
dikeraskan dengan quenching dan lalu dilunakkan untuk meningkatkan keuletan dan
ketangguhannya. Baja tahan karat ini bersifat magnetik dan memiliki struktur kristal body
centered tetragonal (BCT). Kekuatannya didapatkan dari perlakuan panas yang
bergantung pada kandungan karbon yang ada pada paduan. Meningkatkan kandungan
karbon berarti meningkatkan kekuatan tetapi mengurangi keuletan dan ketangguhan.
Molybdenum dan nikel dapat ditambahkan ke baja tahan karat martensitik untuk
meningkatkan tahan korosi dan ketangguhannya. Nikel juga dapat menjaga strukturmikro
yang diinginkan, mencegah banyaknya kandungan ferit bebas. Akan tetapi, dengan
banyaknya tambahan unsur menyebabkan strukturmikro yang didapat tidak sepenuhnya
martensit. Aplikasi baja tahan karat martensitik biasa digunakan sebagai komponen
industri energi, komponen mesin jet, blade, pisau, dan peralatan bedah operasi
(Outokumpu 2013).
4. Precipitation Hardening (PH) Stainless Steel
Baja tahan karat ini merupakan paduan kromium nikel yang dapat dikeraskan
dengan aging treatment. Terklasifikasi menjadi tiga yaitu austenitik, semi austenitik, dan
martensitik. Klasifikasi ditentukan dari mikrostrukturnya. Paduan semi austenitik diberi
perlakuan panas sehingga austenit berubah menjadi martensit. Perlakuan dingin kadang
digunakan untuk memfasilitasi reaksi aging. Beberapa unsur-unsur paduan, seperti
alumunium, titanium, niobium dan tembaga digunakan untuk mencapai aging. Aplikasi
dari baja tahan karat precipitation hardening anatara lain sebagai komponen mekanik,
komponen turbin, komponen industri pulp dan kertas (Outokumpu 2013).
5. Dupleks Stainless Steel
Jenis baja ini adalah paduan campuran ferrit dan austenit. Umumnya paduan-
paduan didesain mengandung kadar yang seimbang tiap fasa saat kondisi annealing.
Paduan utama baja ini adalah kromium, nikel, serta penambahan nitrogen, molybdenum,
tembaga, silikon, dan tungsten guna menstabilkan struktur dan memperbaiki sifat tahan
korosi. Ketahanan korosi dupleks stainless steel hampir sama dengan austenitik stainless
steel. Kelebihan dupleks stainless steel yaitu nilai tegangan tarik dan lulu tinggi dan
ketahanan retak tegang lebih baik dari pada austenitik stainless steel. Ketangguhan
dupleks stainless steel berkisar diantara ketangguhan baja austenitik dan ferritik. Aplikasi
dari baja tahan karat dupleks ini sebagai heat exchanger, aplikasi kelautan, komponen
industri minyak dan gas, serta komponen industri kimia dan petrokimia (Outokumpu
2013).

2.3 Baja Tahan Karat AISI 410


Baja tahan karat martensitik AISI 410 ini cukup banyak digunakan (baja tahan
karat kelas kromium dengan kekuatan yang baik), mengutamakan kekuatan yang baik
yang didapatkan dari strktur mikro martensitik. Baja AISI 410 yang murah, dapat
dipanaskan sesuai untuk penerapan dengan tingkat korosi yang parah (Huyett, G.L.
2004).
Baja AISI 410 yang tidak dikeraskan digunakan saat ketahahan korosi sedang
dibutuhkan pada material dengan kekuatan rendah. Baja AISI 410 adalah baja dasar yang
digunakan untuk katup uap, poros pompa, baut dan bagian lain-lain yang membutuhkan
ketahanan korosi dan kekuatan sedang hingga 540oC (1000oF). Baja AISI 410 digunakan
secara luas sebagai steam turbine rotor blades dan gas turbine compressor blade yang
beroperasi pada suhu hingga 480oC (900oF). Untuk penerapan tersebut baja dilunakan
pada suhu 590oC (1100oF) atau diatas suhu tersebut. Sebuah perlakuan panas yang benar
untuk material ini adalah austenisasi pada 950 sampai 980oC (1750 sampai 1800oF),
didinginkan secara cepat dengan udara atau oli dan di lakukan tempering (Lamet, et al.
1990).

2.4 Perlakuan Panas (Heat Treatment)


Perlakuan panas dapat didefinisikan sebagai suatu operasi atau kombinasi dari
operasi yang melibatkan pemanasan dan pendinginan dari logam padat maupun paduan
untuk mendapatkan kondisi dan sifat yang diinginkan (Digges and Rosenberg. 1960).
Sebagian besar baja karbon, baja paduan yang diproduksi saat ini telah mendapat
perlakuan panas sebelum digunakan. Perlakuan panas bertujuan untuk meningkatkan sifat
tertentu seperti kekerasan, ketangguhan, ketahanan terhadap korosi, serta untuk
memperbaiki sifat lainnya dan juga merubah struktur mikro dari baja.
Gambar 2. 2 Skema Utama Perlakuan Panas Pada Baja (Totten, G.E. 1993)
Faktor penting dari setiap perlakuan panas adalah proses pemanasan, waktu dan
temperatur penahanan serta proses pendinginan. Proses pemanasan dan tiga jenis proses
pendinginan digambarkan secara skematis dalam gambar 2.1. Lamanya waktu penahanan
dan selanjutnya dilakukan proses pendinginan merupakan faktor yang penting pada
proses perlakuan panas (Totten, G.E. 1993). Perlakuan panas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah annealing dan hardening.

2.4.1 Annealing
Semua baja tahan karat martensitik dapat dilakukan sub-critical annealed
dengan memanaskan sampai suhu tinggi pada daerah ferrit, atau penguatan sempurna (full
anealed) dengan memanaskan diatas suhu krits pada daerah austenit, yang diikuti dengan
pendinginan lambat. Biasanya temperaturnya berkisar antara 760 sampai 830oC untuk
sub-critical annealing, tetapi dapat berbeda tergantung jenisnya.
Ketika material sebelumnya dipanaskan diatas temperatur kritis, seperti pada
perlakuan panas, sedikitnya muncul beberapa martensit, walaupun pada baja tahan karat
feritik. Biasanya dilakukan pendinginan lambat pada temperatur 25o/jam dari temperatur
full annealing, atau ditahan selama satu jam atau lebih dari temperatur subcritical
annealing, hal ini dibutuhkan untuk menghasilkan struktur halus yang diinginkan pada
ferit dan karbida bulat (Steels 2013)

2.4.2 Hardening
Baja tahan karat martensitik dikeraskan dengan hardening, quenching dan
tempering seperti pada baja paduan rendah. Temperatur austenisasi biasanya adalah 980
sampai 1010oC, diatas temperatur kritis. Untuk beberapa jenis, temperatur austenisasi
yang optimal bergantung pada temperatur tempering nantinya. Baja tahan karat
martensitik mempunyai kemampuan untuk dikeraskan kembali yang tinggi karena
tingginya kandungan paduan pada baja tahan karat ini. Pendinginan udara dari temperatur
austenisasi biasanya digunakan untuk menghasilkan kekerasan sempurna, tetapi kadang
pendinginan dengan oli digunakan untuk bagian yang lebih besar. Beberapa bagian harus
dilunakkan langsung setelah didinginkan pada temperatur ruang, biasanya jika
pendinginan oli digunakan, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya retak.
Tempering pada temperatur diatas 510oC harus diikuti dengan pendinginan cepat dibawah
400oC untuk menghindari penggetasan 475oC (Steels. 2013) .
Perlakuan panas hardening mengacu pada proses pemanasan, waktu dan
temperatur penahanan yang selanjutnya dilakukan proses quenching atau proses
pendinginan cepat pada suatu logam dari suhu austenite atau solution treating
temperature. Sebagian besar baja tahan karat dan baja paduan tinggi dilakukan proses
quenching untuk meminimalkan adanya karbida atau untuk meningkatkan distribusi
ferrite, tetapi kebanyakan baja termasuk baja karbon, baja paduan rendah dan tool steel
dilakukan proses quenching untuk menghasilkan struktur mikro martensite (Nunes, R.M.
1991). Pada proses quenching terjadi transformasi dari auestenite ke martensite untuk
memperoleh kekuatan dan kekerasan yang lebih tinggi pada baja. Pada perlakuan panas
austenisasi dengan proses quenching, temperatur pemanasan logam pada suhu austenite
ditunjukkan oleh gambar 2.4 dan selanjutnya dilakukan pendinginan cepat untuk
mencegah pembentukan struktur mikro pearlite dan ferrite.
Gambar 2. 3 Temperatur austenisasi untuk baja karbon (Totten, G.E 1993)

2.4.3 Media Quenching (Quenchant)


Pemilihan media quenching tergantung pada tingkat hardenability dari baja,
bentuk dan tebal baja, serta kecepatan pendinginan yang diperlukan untuk mencapai
struktur mikro yang dikehendaki. Kemampuan quenchant untuk meningkatkan kekerasan
baja tergantung pada karakteristik dari media pendinginan. Media quenching yang paling
umum digunakan memiliki bentuk cairan ataupun gas (Nunes, R.M 1991). Media
quenching yang biasa digunakan antara lain :
1. Air
Air merupakan media quenching yang dapat menghasilkan tingkat pendinginan
mendekati tingkat maksimum yang dapat dicapai, sehingga kekerasan yang dihasilkan
akan mendekati maksimal. Kelemahan dari air adalah air pada temperatur rendah
memiliki tingkat pendinginan yang sangat cepat yang memungkinkan terjadinya cacat
distorsi dan retak (cracking). Kelemahan kedua menggunakan air adalah pada tahap
quenching akan menghasilkan selimut uap (vapor blanket), dimana akan menyebabkan
jebakan uap (vapor enttrapment) yang dapat menghasilkan kekerasan yang tidak merata
untuk mendapatkan hasil quenhcing yang diinginkan maka temperatur air, agitasi dan
tingkat kontaminasi harus dikendalikan. Semakin rendah suhu air maka kecepatan
quenching akan semakin cepat, dan semakin tinggi suhu air maka kecepatan quenching
akan menurun seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 (Nunes, R.M. 1991).

Gambar 2. 4 Pengaruh suhu air terhadap waktu quenching pada baja (Nunes.
1991)
2. Oli
Sebagian besar oli memiliki tingkat pendinginan lebih rendah dari air ataupun air
garam. Namun oli memiliki perpindahan panas lebih seragam daripada pendinginan yang
dicapai dengan menggunakan air, sehingga cacat berupa distorsi dan retak (cracking)
dapat diminimalisir. Karena tingkat pendinginan yang dihasilkan oleh oli lebih rendah
daripada air maka kekerasan yang dihasilkan pun lebih rendah (Nunes, R.M 1991). Pada
penggunaan oli sebagai media quenching, viskositas dari air akan mempengaruhi
kecepatan pendinginan, dimana semakin tinggi viskositas maka semakin rendah
kecepatan pendinginan yang dihasilkan serta bahan aditif yang terlarut dalam oli juga
akan mempengaruhi kecepatan pendinginan dari oli.
Gambar 2. 5 Keuntungan Oli Viskositas Rendah Dibandingkan Oli Viskositas
Tinggi (Totten, G.E. 1993)
Media quenching oli haruslah tidak menyebabkan titik api ketika digunakan.
Flash point dari oli digunakan sebagai indikator titik nyala api. Memaksimalkan titik
nyala api akan meminimalkan kebakaran, dimana minimal temperatur flash point dari oli
yang diperbolehkan adalah 90oC . Oli yang digunakan tidak boleh membentuk endapan
saat digunakan karena akan menyebabkan efisiensi perpindahan panas menurun dan zat
aditif yang dilarutkan dalam oli tidak boleh mengotori spesimen (Totten, G.E 1993).
3. Air Garam
Media quenching air garam, mengacu pada larutan air yang mengandung berbagai
persentasi garam seperti natrium atau kalsium klorida. Tingkat pendinginan yang
dihasilkan oleh air garam lebih tinggi dari yang dihasilkan oleh air biasa. Namun, tingkat
pendinginan yang lebih tinggi akan memungkinkan terjadinya distorsi atau retak
(cracking) yang lebih besar. Air garam sebagai media quenching hanya digunakan
dimana quenchant air dan oli tidak memberikan nilai kekerasan yang diinginkan.
Kelemahan penggunaan air garam adalah bersifat korosif. Sehingga pada penggunaanya
harus dengan peralatan tahan karat (Nunes, R.M 1991).
4. Gas
Media pendinginan gas digunakan untuk memberikan tingkat pendinginan yang
lebih cepat dari pendinginan udara dan lebih lambat dari pendinginan oli. Pada proses
quenching gas, spesimen pada suhu austenite ditempatkan langsung di zona pendinginan
dan langsung di semprot oleh aliran gas. Laju pendinginan oleh quenchant gas
berhubungan dengan luas permukaan dan massa spesimen serta jenis, tekanan dan
kecepatan quenchant gas. Laju pendinginan dapat disesuaikan dan diatur dengan
mengubah jenis, kecepatan dan tekanan dari gas yang digunakan. Selama proses
quenching, gas dengan volume besar diarahkan dengan melalui nozel untuk mencapai
permukaan spesimen. Setelah menyerap panas dari spesimen, gas didinginkan melewati
pendingin air atau sistem pendingin lain. Dan dilakukan resirkulasi untuk kembali ke
nozel dimana gas kembali diarahkan pada spesimen. Media quenching gas yang
mengandung hidrogen atau helium lebih sering digunakan untuk meningkatkan laju
perpindahan panas antara gas dan spesimen (Nunes, R.M 1991).

2.5 Stress Corrosion Cracking (SCC)


Korosi retak tegang (stress corrosion cracking) merupakan salah satu mekanisme
kegagalan dari suatu material yang melibatkan tegangan tarik dan dampak dari
lingkungan yang korosif. Karakteristik dari korosi retak tegang adalah perpatahannya
yang getas dimana retakan terjadi dengan regangan kecil dari material. Perpatahan getas
tersebut terjadi pada tegangan yang rendah dan konstan ketika diaplikasikan pada
lingkungan yang korosif. Korosi retak tegang dihasilkan dari 3 kondisi yang bersimultan
seperti lingkungan yang korosif yang spesifik, paduan yang berkemampuan untuk terjadi
korosi retak tegang (susceptible material), dan adanya tegangan yang cukup. Selain itu,
perambatan retak tersebut terjadi karena adanya sinergi antara kombinasi gaya mekanik
dan reaksi kimia korosi. Faktor yang mempengaruhi stress corrosion cracking dapat
dibedakan menjadi beberapa faktor, antara lain:
a. Faktor lingkungan dan elektrokimia
b. Faktor dari sifat material
c. Tegangan dan regangan mekanis
Gambar 2. 6 Kondisi simultan yang menyebabkan terjadinya SCC (Raja &
Shoji 2011)

Dikarenakan pada proses korosi retak tegang merupakan kondisi yang simultan,
maka semua faktor-faktor yang mempengaruhi harus bersinergi. Bila salah satu faktor
tidak ada yang memenuhi maka proses korosi retak tegang tidak akan terjadi. Kegagalan
material akibat terjadinya stress corrosion cracking dapat meningkat akibat perlakuan
panas yang dilakukan pada material sehingga merubah struktur mikro. Selain itu, dapat
di akibatkan oleh adanya tegangan tarik atau tegangan dari luar yang bekerja sehingga
menyebabkan stress corrosion cracking. (Raja & Shoji 2011).

2.6 Mekanisme Stress Corrosion Cracking


Korosi retak tegang adalah proses kegagalan yang tertunda karena retak yang terjadi
dapat menjalar dengan lambat sampai tegangan yang bekerja pada komponen logam akan
naik dan mencapai tegangan patahnya. Mekanisme korosi retak tegang terjadi dari
beberapa tahap:
1. Pemicu retak (initial cracking) atau tahap 1
2. Perambatan retak secara merata atau tahap 2
3. Perambatan akhir kemudian patah atau tahap 3
Perbedaan antara ketiga tahap tersebut sulit dibedakan karena terjadi secara
kontinyu dan teradi secara bebas (acak). Untuk mengetahuinya harus dilakukan
percobaan. Percobaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode constant load
test.
1. Muncul pemicu retak (initial cracking) atau tahap 1
Dalam tahap pertama, terjadi serangan pada bagian bagian permukaan material
yang bersifat anoda, inilah yang menimbulkan terjadinya lubang. Tegangan yang terjadi
pada logam mengakibatkan berbagai efek, kemungkinan yang paling mendasar adalah
bahwa tegangan tarik akan menyerang kisi kristal yang berimbas pada ketidakseimbangan
pada ikatan-ikatan atom. Jika ini terjadi di permukaan, anoda-anoda akan terbentuk
walaupun material tersebut menerima tegangan dibawah tegangan luluhnya.
Jika tegangan yang terjadi melebihi tegangan luluhnya, logam akan mengalami
deformasi plastis. Mekanisme ini dapat diangga sebagai mekanisme perambatan dislokasi
Pernumpukan dislokasi-dislokasi ini pada batas butir menyebabkan polarisasi anodik
didaerah-daerah ini, karena meningkatnya ketidakteraturan dalam struktur kristal. Hal
inilah yang menimbulkan cacat-cacat pada permukaan yang seharusnya halus, yang
disebut “undakan sesar” (slip step) dan merupakan bagian yang rentan terhadap korosi.
Pembentukan lubang menjadi pemicu SCC, dan merupakan fase awal (initiated phase).
Pada korosi bentuk inilah yang paling tidka bisa di prediksi, bisa saja terjadi pada
beberapa hari, ataupun juga bisa terjadi bertahun-tahun.
2. Perambatan retak secara merata
Mekanisme perambatan retak atau tahap 2 korosi retak tegang terbagi menjadi 3,
yaitu:
a. Mekanisme melalui lintasan aktif yang sudah ada
Mekanisme perambatan retak ini cenderung terjadi disepanjang batas butir
yang aktif. Pada dasarnya mekanisme ini sama seperti korosi intergranular.
Batas-batas butir terpolarisasi anodik akibat berbagai alasan metallurgi, seperti
segregrasi atau denudasi unsur-unsur pembentuk paduan.
b. Mekanisme melalui lintasan aktif akibat regangan
Berlawanan dengan eretakan yang didominasi oleh pengaruh korosi dengan
regangan sebagai unsur pengendalinya. Jika perambatan retak akibat
penguraian terjadi, maka laju pertumbuhan di ujung retakan tempat penguraian
anodik berlangsung harus paling besar dibanding bagian sisi retakan yang
terpasifkan karena telah terjadi kontak dengan lingkungan lebih lama.
Mekanisme ini erat sekali kaitannya dengan perilaku aktif-pasif yang pada
urutannya mempunyai hubungan kuat dengan sifat elektrokimia.
c. Mekanisme yang menyangkut absorbsi
Mekanisme ini mengandung arti bahwa unsur-unsur aktif dalam elektrolit
menurunkan integritas mekanik bagian ujung retakan, jadi memudahkan
putusnya ikatan-ikatan atom, ion-ion agresif yang spesifik untuk setiap kasus
diperkirakan mengurangi kekuatan ikatan-ikatan antar atom di ujung retakan
akibat proses absorbsi dan menyebabkan terbentuknya ikatan-ikatan antara
logam dan unsur-unsur agresif (ASM 1992).

2.7 Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Stress Corrosion Cracking


2.7.1 Faktor Lingkungan
Pengaruh dari kondisi lingkungan akan berbeda untuk setiap paduan yang
memiliki tipe berbeda. Tegangan dibawah yield sudah cukup untuk menyebabkan korosi
retak tegang. Lingkungan yang mempengaruhi korosi retak tegang adalah lingkungan
yang korosif. Lingkungan tersebut biasanya merupakan larutan (aqueous) ataupun
kondisi atmosfer yang dapat berkondensasi membentuk lapisan uap air. Beberapa
lingkungan korosif tidak dapat menyebabkan SCC pada suatu paduan. Dan sebaliknya
meskipun berada pada lingkungan korosif, tetapi paduan yang bukan paduan spesifik
(susceptible material) maka proses SCC tidak akan terjadi. Beberapa paduan dan
lingkungan yang mungkin terjadi SCC terlihat ada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kombinasi Lingkungan dan Paduan yang memicu terjadinya SCC (ASM
1992)
Alloy Environment
( Jenis Paduan ) ( Lingkungan )
Hot nitrate, hydroxide, and carbonate / bicarbonate
Carbon steel
solutions
High-strength steels Aqueous electrolytes, particulary when containing H2S
Hot, concentrated chloride solutions; chloride-
Stainless steel
contaminated steam
High-nickel alloys High-purity steam
α-Brass Ammoniacal solutions
Aluminum alloys Aqueous Cl-, Br-, and I- solutions
Titanium alloys Aqueous Cl-, Br-, and I- solutions; organic liquids; N2O4
Magnesium alloys Aqueous Cl- solutions
Aqueous Cl- solutions; organic liquids; I2 at 350oC (660
Zirconium alloys o
F)

Secara umum, lingkungan yang menyebabkan korosi retak tegang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti (Kain et al. 2011):
a. Adanya ion-ion agresif
Keagresifan ion-ion yang ada di lingkungan terhadap terjadinya korosi retak
tegang tergantung dari jenis paduan dan komposisi dari paduan tersebut. Contoh
dari ion agresif yang merusak logam adalah klorida, sulfat, nitrat. Ion klorida
merusak material dengan cara merusak permukaan material terlebih dahulu yaitu
dengan tahapan
1. Penyerangan ion Cl- ke permukaan material
2. Pembentukan pitting
3. Pitting yang terbentuk merupakan inisiasi retak dan kemudian retak akan
merambat karena adanya tegangan
Gambar 2. 7 Pengaruh Ion Cl- Di Lingkungan terhadap Material (Kain et al.
2011)
Meningkatnya ion Cl- di lingkungan menandakan meningkatnya
elektrokonduktivitas dari larutan sehingga arus terjadinya korosi meningkat.
Semakin meningkatnya konsentrasi anion Cl- akan mengurangi sifat protektif pada
lapisan tipis dan meningkatnya laju korosi. Tetapi, semakin meningkatnya
konsentasi anion pada konsentrasi tertentu akan menurunkan laju korosi karena
berkurangnya kelarutan oksigen di dalam larutan.

Gambar 2. 8 Hubungan Laju Korosi dengan Konsentrasi pada Larutan Netral


(Kain et al. 2011)
Meningkatnya tegangan tarik akan mengurangi waktu untuk tumbuhnya retakan.
Hal tersebut bergantung pada paduan, temperatur, dan lingkungan yang agresif.
Setiap aduan sensitif terhadap ion Cl-, maka akan menkatalis terjadinya korosi dan
menyerang lapisan tipis oksida. Ion Cl- mengkatalis terjadinya korosi
denganmencegah terjadinya lapisan oksida dan memudahkan terjadinya reduksi
oksigen di permukaan logam. Ketika lapisan tipis mulai terbentuk, maka ion Cl-
akan menyerang sehingga akan terbentuk pitting corrosion. Di dalam media
larutan, ion Cl- merupakan ion yang sangat berpengaruh.
b. Pengaruh temperatur
Pada umumnya, kenaikan temperatur akan meningkatkan laju korosi. Hal ini
disebabkan adanya kenaikan temperatur akan membuat paduan bersifat lebih
lunak yang dapat membuat proses korosi lebih cepat akibat adanya pelunakan
material.

Gambar 2. 9 Hubungan Pertumbuhan Retak (Intergranular SCC) dengan


Peningkatan Temperatur (Adler, TA. 2003)
c. Pengaruh pH
Material akan menunjukan laju korosi yang berbeda untuk setiap range pH. Untuk
semua kondisi pH rekasi anodik yang terjadi :
Fe → Fe2+ + 2e- (2.1)
Pada pH antara 4 – 10, oksida yang bersifat porous melindungi permukaan dan
menjaga pH sekitar 9,5 dibawah deposit oksida. Pada kondisi tersebut, laju korosi
konstan dan ditentukan oleh difusioksigen yang terlarut melalui deposit. Pada
permukaan logam dibawah deposit terjadi reaksi katodik yaitu reduksi O2.
O2 + 2H2O + 4e- → 4OH- (2.2)
Pada larutan asam yaitu pH dibawah 4, oksida akan terlarut dan korosi meningkat
melalui evolusi hidrogen sebagai reaksi katodik
2H+ + 2e- → H2 (2.3)
Dan ada pH diatas 10, rekasi korosi cenderung membentuk lapisan pasivasi pada
permukaan baja. Sedangkan pada air yang mengandung ion bikarbonat dan ion
klorida yang tinggi, laju korosi akan maksimal pada pH sekitar 8 dimana akan
terjadi kecenderungan pembentukan pitting dan meningkatnya pH dan
berkurangnya buffer kesetimbangan karbonat. (ASM 2005)

2.7.2 Pengaruh Tegangan


Tegangan tarik statik merupakan salah kondisi utama yang dapat mempengaruhi
terjadinya SCC. Tegangan ini dapat berupa tegangan sisa, panas, terapan, ataupun
kombinasi dari keseluruhan. Tegangan sisa dapat berbahaya karena kekuatannya dapat
melebihi kekuatan yied seperti pada fusion welds. Nilai tegangan yang dibutuhkan pada
material yang mengalami SCC tergantung pada besarnya nilai tegangan dan lingkungan .
Tegangan terapan pada logam rentan SCC dapat berupa uji regangan konstan atau
uji beban konstan. Uji beban konstan memiliki kelebihan dibandingkan uji regangan
konstan, yakni sampel akan mudah rusak saat terbentuk karena tegangan, regangan, dan
laju regangan meningkat. Sedangkan uji regangan logam akan mengalami regangan yang
berkurang saat retak menjalar sehingga retak sering berhenti sebelum patah (Popov, B.N.
2015).
Pada kondisi operasional blade turbin, SCC dapat terjadi karena kombinasi faktor
pemicu SCC antara lingkungan korosif dan adanya tegangan tarik. Tegangan tarik pada
blade turbin sendiri merupakan tegangan terapan yang dihasilkan akibat dari kondisi
operasional blade turbin. Putaran blade turbin tersebut mengakibatkan adanya gaya yang
bekerja, salah satunya adalah gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal yang dihasilkan oleh
blade turbin inilah yang menjadi tegangan tarik terapan yang menjadi salah satu faktor
pemicu terjadinya SCC (Sarkar, D. 2015). Gaya sentrifugal adalah kebalikan dari gaya
sentripegal, sehingga dapat dicari dengan menggunakan rumus:
2
Fsentrifugal  m.( ) (2.4)
r

2.8 Jenis – Jenis Pengujian Stress Corrosion Cracking


Pengujian stress corrosion cracking bertujuan untuk mendapatkan ketahanan suatu
material yang sengaja diperlakukan premature failure dengan kondisi lingkungan korosif
dan tegangan tertentu. Ketahanan akan stress corrosion cracking itu ada banyak macam
variabel yang diteliti, salah satu contohnya adalah time to failure. Untuk mencari nilai
time to failure, ada beberapa macam acuan dasar dalam melakukan pengujian stress
corrosion craking. Acuan dasar tersebut antara lain bentuk spesimen dan tipe
pembebanan. Bentuk spesimen sendiri dibagi menjadi 2 tipe yaitu, smooth specimen, dan
pre-cracked specimen. Sedangkan untuk tipe pembebanan dibagi menjadi 2 tipe antara
lain constant load, dan dynamic load (Popov, BN. 2015).
Dari macam-macam acuan dasar pengujian stress corrosion cracking tersebut,
dapat ditentukan metode pengujian stress corrosion cracking yang akan dilakukan.
Metode dalam melakukan pengujian stress corrosion cracking hampir semua bisa
dilakukan sesuai dengan acuan dasar pengujian. Namun, ada metode pengujian stress
corrosion cracking yang tidak dapat dilakukan dengan kedua acuan pembebanan, jadi
hanya bisa dilakukan dengan salah satu acuan pembebanan.
1. C-ring
Metode pengujian C-ring merupakan salah satu metode pengujian yang serba guna,
dan ekonomis untuk dilakukan pengujian SCC dengan jumlah spesimen yang banyak.
Selain itu metode C-ring ini dapat digunakan oleh seluruh tipe paduan dan bentuk-bentuk
material. Prinsip kerja metode C-ring sendiri adalah spesimen C-ring diberi baut yang
dikencangkan sebagai beban dan diletakkan di tengah2 diameter C-ring, yang akan
menghasilkan tegangan tarik. Untuk menaikkan jumlah beban konstan dengan cara
menambahkan pegas dibagian bawah ring, atau dengan menambahkan mur pada baut
didalam spesimen C-ring. Metode C-ring sendiri banyak digunakan oleh material dengan
bentuk tube, rod, bar, dan plate (Adler, TA, et al. 2003).
Gambar 2. 10 Metode pengujian C-ring (Popov, BN. 2015)
2. U-bend
Metode pengujian U-bend ini salah satu metode pengujian yang hanya bisa
dilakukan dengan cara constant load. Material yang biasa digunakan untuk metode U-
bend ini antara lain sheet, bar, dan plate. Prinsip kerja dari metode U-bend dengan
membentuk material berbentuk U dengan cara melakukan proses bending. Setelah U-
bend terbentuk, pada bagian kedua ujung disambung dengan baut yang berfungsi sebagai
holder. Metode U-bend ini memiliki kekurangan yaitu tidak diketahuinya nilai distribusi
tegangan pada saat dilakukan pengujian SCC. Sehingga pada pengujian ini biasanya
hanya didapatkan initial crack (Adler, TA, et al. 2003).

Gambar 2. 11 Metode pengujian U-bend (Popov, BN. 2015)


3. Bend beam
Sama seperti metode U-bend, metode bent beam ini juga hanya bisa dilakukan
dengan cara constant load. Material yang digunakan untuk metode pengujian bend beam
antara lain sheet, rod, dan flat extrude. Prinsip kerjanya hampir sama dengan U-bend,
namun jika metode U-bend dilakukan bending sebelum pengujian. Metode ini proses
pemberian tegangannya dengan cara bending dan saat dilakukan perendaman pada larutan
korosif. Metode bend beam ini biasanya dilakukan pada kondisi constant strain, namun
dapat juga dilakukan pada kondisi constant load. Pada metode ini terbagi menjadi
beberapa jenis pengujian bend beam, yaitu two point loaded specimen, three point loaded
specimen, four point loaded specimen, dan double beam specimen (Adler, TA, et al.2003).

Gambar 2. 12 Metode pengujian bend beam (Popov, BN. 2015)


4. Tensile specimen
Metode pengujian tensile specimen merupakan metode pengujian yang sering
dilakukan dalam melakukan pengujian stress corrosion cracking. Metode tensile
specimen ini sangat serba guna, karena memiliki fleksiblitas dalam tipe dan ukuran
spesimen yang akan di uji, prosedur pada pembebanan, serta rentang level tegangan.
Selain itu, metode ini juga dapat di aplikasikan dengan cara constant load, constant strain,
ataupun cara dynamic load dan strain. Standar pengujian serta pembentukan spesimen
tensile specimen dijelaskan pada ASTM G 49-85. Prinsip dari pengujian tensile specimen
ini adalah ketika spesimen menerima tegangan, crack akan terjadi di daerah dengan
penampang yang lebih kecil (gauge length). Serta spesimen akan mengalami patah di
daerah gauge length akibat menerima tegangan (Adler, TA, et al. 2003).

Gambar 2. 13 Metode pengujian tensile specimen (Popov, BN. 2015)

2.9 Jenis – Jenis Perpatahan


Kegagalan pada stress corrosion cracking berupa retakan yang menjalar pada
material. Terkadang kegagalan stress corrosion cracking tersebut berupa material yang
patah pada waktu yang acak. Patahan tersebut diakibatkan adanya faktor pemicu stress
corrosion cracking yang saling bersimultan. Hasil patahan pada kondisi stress corrosion
cracking di analisa bentuk patahannya dengan cara melakukan metalografi, ataupun
dengan pengamatan SEM. Analisa hasil patahan dapat dilihat berdasarkan bentuk retakan
terhadap kondisi butir dan model jejak perpatahan pada permukaan (Nunes, RM. 1987).
Untuk jenis patahan berdasarkan bentuk patahan terhadap batas butir ada 2 jenis, yaitu:
1. Intergranular. Retak pada logam yang memiliki alur retaknya bergerak
sepanjang grain boundaries atau mengikuti bentuk batas butir.
2. Transgranular. Retak pada logam yang alur retaknya menjalar atau memotong
sepanjang butir.
3. Mixed. Retak pada logam yang terdiri dari retak intergranular dan transgranular
(Roberge, PR. 1999).
(a)

(b)

Gambar 2. 14 Jenis patah (a) transgranular, dan (b) intergranular(Gouda, VK.


1982)
Dari bentuk retakan pada stress corrosion cracking berdasarkan kondisi butir
memiliki kaitan dengan jejak permukaan patahan. Model jejak perpatahan pada
permukaan material yang di akibatkan oleh stress corrosion cracking hampir sama
dengan model permukaan patah fractography pada umumnya, anatara lain:
1. Dimple rupture
Dimple rupture merupakan perpatahan yang diakibatkan oleh adanya deformasi
plastis. Bentuk perpatahan ini ditunjukkan dengan permukaannya yang kusam, buram,
berlubang-lubang dan berserat. Dimple rupture menunjukkan bahwa perpatahan yang
terjadi adalah patah ulet (Nunes, RM. 1987).

Gambar 2. 15 Dimple rupture (Nunes, RM. 1987)

2. Cleavage rupture
Cleavage rupture merupakan perpatahan yang terjadi dikarenakan tidak adanya
deformasi plastis. Bentuk perpatahan ini ditunjukkan dengan permukaannya yang terang,
adanya kristalin, dan adanya “chevron marks”. Cleavage rupture menunjukkan bahwa
perpatahan yang terjadi adalah patah getas (Nunes, RM. 1987).

Gambar 2. 16 Cleavage rupture (Nunes, RM. 1987)


3. Fatigue rupture
Fatigue rupture merupakan perpatahan yang terjadi karena adanya pembebanan
fatik atau yang berulang-ulang. Akibatnya material tersebut akan mengalami kelelahan.
Bentuk perpatahan ini ditunjukkan dengan perpatahannya yang bersifat progresif, yaitu
perpatahan yang berawal dari retak halus kemudian menjalar akibat beban fluktuatif.
Selain itu pada perpatahan ini memiliki sedikit deformasi plastis bahkan terkadang
hampir tidak ada (Nunes, RM. 1987).

Gambar 2. 17 Fatigue rupture (Nunes, RM. 1987)

4. Decohesive rupture
Decohesive rupture merupakan perpatahan yang terjadi karena hasil dari
lingkungan yang reaktif atau mikrostruktur yang unik sehingga terjadi perpatahan di batas
butir yang merupaka sumber cacat pada material. Selain itu, perpatahan ini terjadi karena
biasanya tidak terjadi deformasi plastis (Nunes, RM. 1987).

Gambar 2. 18 Decohesive rupture (Nunes, RM. 1987)

Anda mungkin juga menyukai