DASAR TEORI
2.4.1 Annealing
Semua baja tahan karat martensitik dapat dilakukan sub-critical annealed
dengan memanaskan sampai suhu tinggi pada daerah ferrit, atau penguatan sempurna (full
anealed) dengan memanaskan diatas suhu krits pada daerah austenit, yang diikuti dengan
pendinginan lambat. Biasanya temperaturnya berkisar antara 760 sampai 830oC untuk
sub-critical annealing, tetapi dapat berbeda tergantung jenisnya.
Ketika material sebelumnya dipanaskan diatas temperatur kritis, seperti pada
perlakuan panas, sedikitnya muncul beberapa martensit, walaupun pada baja tahan karat
feritik. Biasanya dilakukan pendinginan lambat pada temperatur 25o/jam dari temperatur
full annealing, atau ditahan selama satu jam atau lebih dari temperatur subcritical
annealing, hal ini dibutuhkan untuk menghasilkan struktur halus yang diinginkan pada
ferit dan karbida bulat (Steels 2013)
2.4.2 Hardening
Baja tahan karat martensitik dikeraskan dengan hardening, quenching dan
tempering seperti pada baja paduan rendah. Temperatur austenisasi biasanya adalah 980
sampai 1010oC, diatas temperatur kritis. Untuk beberapa jenis, temperatur austenisasi
yang optimal bergantung pada temperatur tempering nantinya. Baja tahan karat
martensitik mempunyai kemampuan untuk dikeraskan kembali yang tinggi karena
tingginya kandungan paduan pada baja tahan karat ini. Pendinginan udara dari temperatur
austenisasi biasanya digunakan untuk menghasilkan kekerasan sempurna, tetapi kadang
pendinginan dengan oli digunakan untuk bagian yang lebih besar. Beberapa bagian harus
dilunakkan langsung setelah didinginkan pada temperatur ruang, biasanya jika
pendinginan oli digunakan, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya retak.
Tempering pada temperatur diatas 510oC harus diikuti dengan pendinginan cepat dibawah
400oC untuk menghindari penggetasan 475oC (Steels. 2013) .
Perlakuan panas hardening mengacu pada proses pemanasan, waktu dan
temperatur penahanan yang selanjutnya dilakukan proses quenching atau proses
pendinginan cepat pada suatu logam dari suhu austenite atau solution treating
temperature. Sebagian besar baja tahan karat dan baja paduan tinggi dilakukan proses
quenching untuk meminimalkan adanya karbida atau untuk meningkatkan distribusi
ferrite, tetapi kebanyakan baja termasuk baja karbon, baja paduan rendah dan tool steel
dilakukan proses quenching untuk menghasilkan struktur mikro martensite (Nunes, R.M.
1991). Pada proses quenching terjadi transformasi dari auestenite ke martensite untuk
memperoleh kekuatan dan kekerasan yang lebih tinggi pada baja. Pada perlakuan panas
austenisasi dengan proses quenching, temperatur pemanasan logam pada suhu austenite
ditunjukkan oleh gambar 2.4 dan selanjutnya dilakukan pendinginan cepat untuk
mencegah pembentukan struktur mikro pearlite dan ferrite.
Gambar 2. 3 Temperatur austenisasi untuk baja karbon (Totten, G.E 1993)
Gambar 2. 4 Pengaruh suhu air terhadap waktu quenching pada baja (Nunes.
1991)
2. Oli
Sebagian besar oli memiliki tingkat pendinginan lebih rendah dari air ataupun air
garam. Namun oli memiliki perpindahan panas lebih seragam daripada pendinginan yang
dicapai dengan menggunakan air, sehingga cacat berupa distorsi dan retak (cracking)
dapat diminimalisir. Karena tingkat pendinginan yang dihasilkan oleh oli lebih rendah
daripada air maka kekerasan yang dihasilkan pun lebih rendah (Nunes, R.M 1991). Pada
penggunaan oli sebagai media quenching, viskositas dari air akan mempengaruhi
kecepatan pendinginan, dimana semakin tinggi viskositas maka semakin rendah
kecepatan pendinginan yang dihasilkan serta bahan aditif yang terlarut dalam oli juga
akan mempengaruhi kecepatan pendinginan dari oli.
Gambar 2. 5 Keuntungan Oli Viskositas Rendah Dibandingkan Oli Viskositas
Tinggi (Totten, G.E. 1993)
Media quenching oli haruslah tidak menyebabkan titik api ketika digunakan.
Flash point dari oli digunakan sebagai indikator titik nyala api. Memaksimalkan titik
nyala api akan meminimalkan kebakaran, dimana minimal temperatur flash point dari oli
yang diperbolehkan adalah 90oC . Oli yang digunakan tidak boleh membentuk endapan
saat digunakan karena akan menyebabkan efisiensi perpindahan panas menurun dan zat
aditif yang dilarutkan dalam oli tidak boleh mengotori spesimen (Totten, G.E 1993).
3. Air Garam
Media quenching air garam, mengacu pada larutan air yang mengandung berbagai
persentasi garam seperti natrium atau kalsium klorida. Tingkat pendinginan yang
dihasilkan oleh air garam lebih tinggi dari yang dihasilkan oleh air biasa. Namun, tingkat
pendinginan yang lebih tinggi akan memungkinkan terjadinya distorsi atau retak
(cracking) yang lebih besar. Air garam sebagai media quenching hanya digunakan
dimana quenchant air dan oli tidak memberikan nilai kekerasan yang diinginkan.
Kelemahan penggunaan air garam adalah bersifat korosif. Sehingga pada penggunaanya
harus dengan peralatan tahan karat (Nunes, R.M 1991).
4. Gas
Media pendinginan gas digunakan untuk memberikan tingkat pendinginan yang
lebih cepat dari pendinginan udara dan lebih lambat dari pendinginan oli. Pada proses
quenching gas, spesimen pada suhu austenite ditempatkan langsung di zona pendinginan
dan langsung di semprot oleh aliran gas. Laju pendinginan oleh quenchant gas
berhubungan dengan luas permukaan dan massa spesimen serta jenis, tekanan dan
kecepatan quenchant gas. Laju pendinginan dapat disesuaikan dan diatur dengan
mengubah jenis, kecepatan dan tekanan dari gas yang digunakan. Selama proses
quenching, gas dengan volume besar diarahkan dengan melalui nozel untuk mencapai
permukaan spesimen. Setelah menyerap panas dari spesimen, gas didinginkan melewati
pendingin air atau sistem pendingin lain. Dan dilakukan resirkulasi untuk kembali ke
nozel dimana gas kembali diarahkan pada spesimen. Media quenching gas yang
mengandung hidrogen atau helium lebih sering digunakan untuk meningkatkan laju
perpindahan panas antara gas dan spesimen (Nunes, R.M 1991).
Dikarenakan pada proses korosi retak tegang merupakan kondisi yang simultan,
maka semua faktor-faktor yang mempengaruhi harus bersinergi. Bila salah satu faktor
tidak ada yang memenuhi maka proses korosi retak tegang tidak akan terjadi. Kegagalan
material akibat terjadinya stress corrosion cracking dapat meningkat akibat perlakuan
panas yang dilakukan pada material sehingga merubah struktur mikro. Selain itu, dapat
di akibatkan oleh adanya tegangan tarik atau tegangan dari luar yang bekerja sehingga
menyebabkan stress corrosion cracking. (Raja & Shoji 2011).
Secara umum, lingkungan yang menyebabkan korosi retak tegang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti (Kain et al. 2011):
a. Adanya ion-ion agresif
Keagresifan ion-ion yang ada di lingkungan terhadap terjadinya korosi retak
tegang tergantung dari jenis paduan dan komposisi dari paduan tersebut. Contoh
dari ion agresif yang merusak logam adalah klorida, sulfat, nitrat. Ion klorida
merusak material dengan cara merusak permukaan material terlebih dahulu yaitu
dengan tahapan
1. Penyerangan ion Cl- ke permukaan material
2. Pembentukan pitting
3. Pitting yang terbentuk merupakan inisiasi retak dan kemudian retak akan
merambat karena adanya tegangan
Gambar 2. 7 Pengaruh Ion Cl- Di Lingkungan terhadap Material (Kain et al.
2011)
Meningkatnya ion Cl- di lingkungan menandakan meningkatnya
elektrokonduktivitas dari larutan sehingga arus terjadinya korosi meningkat.
Semakin meningkatnya konsentrasi anion Cl- akan mengurangi sifat protektif pada
lapisan tipis dan meningkatnya laju korosi. Tetapi, semakin meningkatnya
konsentasi anion pada konsentrasi tertentu akan menurunkan laju korosi karena
berkurangnya kelarutan oksigen di dalam larutan.
(b)
2. Cleavage rupture
Cleavage rupture merupakan perpatahan yang terjadi dikarenakan tidak adanya
deformasi plastis. Bentuk perpatahan ini ditunjukkan dengan permukaannya yang terang,
adanya kristalin, dan adanya “chevron marks”. Cleavage rupture menunjukkan bahwa
perpatahan yang terjadi adalah patah getas (Nunes, RM. 1987).
4. Decohesive rupture
Decohesive rupture merupakan perpatahan yang terjadi karena hasil dari
lingkungan yang reaktif atau mikrostruktur yang unik sehingga terjadi perpatahan di batas
butir yang merupaka sumber cacat pada material. Selain itu, perpatahan ini terjadi karena
biasanya tidak terjadi deformasi plastis (Nunes, RM. 1987).