Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dunia terus berubah dan berkembang dan sekarang telah memasuki era

revolusi Industri 4.0 yang secara tidak langsung , mempengaruhi pola hidup

manusia, sekarang pola hidup telah berubah dan lebih banyak tergantung kepada

teknologi, perkembangan teknologi informatika khususnya dibidang komunikasi

membuat pola hidup dan berkehidupan manusia turut berpengaruh. Hubungan

antar individu telah berubah sehingga sangat mempengaruhi hubungan manusia di

dalam sebuah organisasi perusahaan baik di lingkungan swasta maupun

pemerintahan.

Sebuah organisasi baik pemerintah atau swasta dibuat dengan tujuan

memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga untuk meraih tujuan tersebut

maka dibutuhkan karyawan yang memiliki kompetensi, integritas serta loyalitas,

tetapi perlu diingat bahwa didalam organisasi berkumpul berbagai macam

individu yang memiliki watak berbeda-beda, cara pandang yang berbeda serta

perilaku yang tidak sama dengan yang lain, perbedaaan tersebut tentu akan sangat

menyulitkan bila tidak ada seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan, Seorang

pemimpin yang mampu menyatukan seluruh perbedaan di dalam sebuah

organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan menjadi perhatian pemimpin

untuk menentukan kebijakan dalam melakukan perubahan. Seorang pemimpin

harus mampu membawa organisasinya kearah yang lebih baik dengan membentuk

perilaku dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap organisasi melalui
2

pengarahan serta bimbingan yang efektif dan mencapai peningkatan kerja yang

lebih baik, karena pemimpin mengemban dan bertanggung jawab penuh atas

semua tugas kerja dalam lingkungan kerja maupun organisasi

Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi

harus menyikapi perubahan , karena jika tidak melakukan penyesuaian dengan

perubahan , maka kepemimpinan kemungkinan akan memasukkan organisasinya

dalam situasi stagnasi dan akan mengalami penurunan Menurut Handoko

(2012:294) kepemimpinan adalah bagian penting manajemen, tetapi tidak sama

dengan manajemen. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai

seseorang untuk mempengaruhi orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan

dan sasaran. Manajemen mencakup kepemimpinan, tetapi juga mencakup fungsi-

fungsi lain seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Keefektifan

organisasi.

Berbicara tentang kepemimpinan maka tentu tidak akan terlepas dari gaya

kepemimpinan itu sendiri sehingga (Nawawi, 2003:113) menyebutkan bahwa

Gaya kepemimpinan diartikan sebagai perilaku atau cara yang dipilih dan

dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap, dan

perilaku organisasinya, Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin

mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerjasama dan bekerja secara

produktif untuk mencapai tujuan organisasi (Malayu, 2000:167).

Selanjutnya, gaya kepemimpinan transformasional mengharuskan

pemimpin melakukan usaha transformasi pola pikir, dan memotivasi para

bawahannya dalam rangka memperbaiki perilaku atau kinerja melalui dimensi


3

attribute charisma, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan

individualized consideration. Pemimpin dalam memberikan motivasi harus

mengetahui kebutuhan dan keinginan yang dibutuhkan bawahannya dari hasil

pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan dan

keinginan fisik dan mental, baik itu kebutuhan yang disadari maupun kebutuhan

yang tidak disadarinya.

Salah satu organisasi pemerintahan yang sangat membutuhkan seorang

pemiminpin yang disebutkan diatas adalah satpol PP, Setiap organisasi pemerintah

dituntut untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan beradaptasi

dengan berbagai perubahan. Sumber daya manusia memegang peranan penting

dalam organisasi, Oleh karena itu perlu adanya pemeliharaan hubungan antara

pimpinan dan para pegawai bawahan. keberhasilan kinerja hanya mungkin di

lakukan oleh manusia sebaliknya kegagalan, pemborosan dalam berbagai bentuk

juga disebabkan oleh manusia.

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kendari merupakan lembaga / instansi

pemerintah yang sangat vital didalam pengamanan asset daerah dan sebagai

pelaksanaan peraturan daerah yang perlu diterapkan kepada instansi / lembaga

pemerintah daerah lainya.Lembaga pemerintah Seperti ini dituntut untuk

mengerjakan tugasnya dengan baik. Keberhasilan mereka dalam pemberian

pelayanan kepada masyarakat ditentukan oleh penilaian terhadap kinerjanya.

Penilaian tidak hanya dilakukan untuk membantu mengawasi sumber daya

organisasi namun juga untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan sumber daya

yang ada dan mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperbaiki.


4

Penilaian terhadap kinerja merupakan faktor penting untuk meningkatkan

kinerja pegawai. Bagian bagian yang menunjukkan kemampuan Satuan Polisi

Pamong Praja kota Kendari yang kurang maksimal dapat diidentifikasi, diketahui

sehingga dapat ditentukan strategi dalam meningkatkan kinerjanya. Untuk

menciptakan kinerja yang tinggi, dibutuhkan adanya peningkatan kerja yang

optimal dan mampu mendayagunakan potensi sumber daya manusia yang dimiliki

oleh pegawai guna menciptakan tujuan organisasi, sehingga akan memberikan

kontribusi positif bagi perkembangan organisasi. Selain itu, organisasi perlu

memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai, dalam

hal ini diperlukan adanya peran seorang pemimpin dalam meningkatkan kinerja

yang efektif dan efisien, guna mendorong terciptanya sikap dan tindakan yang

profesional dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan bidang dan tanggung

jawab masing-masing.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mempunyai tugas membantu

kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah tenteram, tertib, dan

teratur, sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan

lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan aman. Kinerja Satpol PP

perlu dibangun kelembagaan yang mampu mendukung terwujudnya kondisi

daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan Satpol PP tidak

hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk suatu daerah,

tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab untuk itu perlu adanya peningkatan

bagi pegawai Satpol PP. Dengan tugas yang begitu berat dimana pegawai satpol

PP harus menjaga tujuan organisasi dan keamanan dan kenyamanan warga maka
5

tentu dibutuhkan bimbingan dari seorang pemimpin yang mampu memberikan

arahan sehingga kinerja satpol PP senantiasa terjaga

Untuk mencapai tujuan organisasi publik dalam memberikan pelayanan

yang baik, terdapat aspek-aspek penting yang harus diperhatikan diantaranya

adalah kepemimpinan dan prestasi kerja pegawai. Untuk itu diperlukan suatu

pola/desain kepemimpinan yang mendukung motivasi kerja pegawai dalam

bekerja, serta pola pembinaan pegawai, sehingga menjadi pegawai yang aktif dan

berprestasi. Berasarkan penjelasan tersebut maka penulis memformulasikan

penelitian dengan judul :

“Pengaruh gaya kepemimpinan transformational terhadap kinerja pegawai

satpol PP Kota Kendari”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah pengaruh Gaya Kepemimpinan

transformasional terhadap kinerja Pegawai satpol PP Kota Kendari”.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai satpol PP Kota Kendari.

1.4. Manfaat Penelitian

Berikut ini adalah kegunaan penelitian secara praktis dan akademis :


6

a) Kegunaan praktis, diharapkan dapat menjadi masukan atau bahan

informasi bagi peneliti selanjutnya atau pun mahasiswa lain yang ingin

mendalami studi tentang kepemimpinan.

b) Kegunaan akademis, diharapkan dapat menjadi referensi tentang gaya

kepemimpin yang baik dan sebagai bahan informasi tentang

kepemimpinan kepala satpol PP terhadap kinerja pegawai satpol PP Kota

Kendari.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan

kepemimpinan seorang pemimpin dalam organisasi sangat

menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diambil di dalam suatu

organisasi. Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan

ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,

hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi

orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.

Definisi kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan oleh

para ahli, namun ada pula yang membedakan definisi keduanya. Menurut

Kotter (Robbins, 2006:51), berpendapat bahwa kepemimpinan

berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk

mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat menghasilkan tata tertib

dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang

struktur organisasi yang ketat dan memantau hasil lewat pembandingan

terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sebaliknya, Kepemimpinan berkaitan dengan hal-hal untuk

mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan

mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian

mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-orang

tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap, baik


8

kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan faktor

penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi.

Terry (1998:17) mengemukakan kepemimpinan adalah

hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi

orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan adalah suatu proses

bagaimana menata dan mencapai kinerja untuk mencapai keputusan

seperti bagaimana yang diinginkannya. (Linkert, 1961: 30).

Kepemimpinan adalah suatu rangkaian bagaimana

mendistribusikan pengaturan dan situasi pada suatu waktu tertentu.

(Klein dan Pose 1986: 125). Anagora (Harbani (2008:5) mengemukakan,

bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak

lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan

maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh

pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendak

pimpinan itu.

Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan

mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota

kelompok. Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan

mempengaruhi berbagai strategi dan tujuan, kemampuan mempengaruhi

komitmen dan ketaatan terhadap tugas untuk mencapai tujuan bersama,

dan kemampuan mempengaruhi kelompok agar mengidentifikasi,

memelihara, dan mengembangkan budaya organisasi Stogdill (Stoner dan

Freeman 1989: 459-460).


9

Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku

orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau

memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang

sama dan terarah pada pencapaian tujuannya. Kepemimpinan juga

merupakan proses menggerakkan grup atau kelompok dalam arah yang

sama tanpa paksaan.

Dari pengertian di atas, maka pemimpin pada hakikatnya

merupakan seorang yang mempunyai kemampuan untuk menggerakkan

orang lain sekaligus mampu mempengaruhi orang tersebut untuk

melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemimpin

yang dimaksud dalam kajian ini adalah Kepala Satpol PP Kota Kendari.

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan memimpin secara

profesional dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang menurutnya

dipandang efektif dalam pengelolaan organisasi atau unit kerja yang

dipimpinnya.

2.2. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang

untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk

mencapai tujuan tertentu (Heidjrachman, 2002:224). Sementara itu,

pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola

tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin

yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 1994:29).


10

Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam membeda-bedakan

berbagai tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki 3 (tiga) pola

dasar dan secara terinci lagi dapat dijabarkan menjadi 3 pola (Hadari,

2002 : 83 ), yaitu.

a. Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan

tugas secara efektif, efisien agar mampu mewujudkan tujuan secara

maksimal pemimpin memiliki keinginan yang kuat untuk

melaksanakan tugas-tugasnya tanpa campur tangan orang lain.

b. Gaya kepemimpinan yang mementingkan pelaksanaan hubungan

kerja sama, dimana pemimpin menaruh perhatian yang besar dan

keinginan yang kuat agar setiap orang mampu menjalin kerja sama.

c. Gaya kepemimpinan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai

dalam mewujudkan tujuan kelompok/organisasi. Pemimpin

memiliki keinginan yang kuat agar anggota berprestasi sebesar-

besarnya.

Ketiga gaya kepemimpinan tersebut di atas secara operasional

tidaklah terpisah, yang dalam kenyataannya saling mengisi satu sama lain

hanya saja memiliki kecenderungan pada titik beratnya / penekanannya

yang berbeda.

Hadari (2002 : 85 ) mengatakan bahwa kombinasi dari ketiga pola

dasar ini timbullah perilaku kepemimpinan, yang memiliki karakteristik

masing-masing, yakni:

a. Otokrasi (authocrat), yang memiliki karakteristik : pelaksanaan

tugas merupakan kegiatan penting, inisiati/aktivitas orang-orang


11

yang dipimpin dimatikan, kurang mempercayai orang lain dan

kurang memperhatikan hubungan manusiawi, kurang disenangi

oleh orang yang dipimpin, sukar memberi maaf pada bawahan, dan

pendapat bahwa dipandang tidak perlu, dan orang yang dipimpin

tidak bersatu/pecah belah.

b. Otokrasi yang disempurnakan (benevolent autocrat), dengan

karakteristik pemimpin berorientasi pada hasil, pemimpin

menuntut ketaatan dan kepatuhan, pemimpin kurang yakin pada

diri sendiri sehingga timbul kecenderungan lebih baik

memanfaatkan orang lain dalam mengambil keputusan.

c. Birokrat (bureaucrat), dengan karakteristik bekerja harus sesuai

dengan semua peraturan, menuntut pada ketaatan perintah

pimpinan yang lebih tinggi dengan mencari peraturan yang

membenarkannya, pemimpin berusaha agar situasi kerja sesuai

dengan aturan-aturan teoritis untuk mewujudkan kepemimpinan

formal, kurang aktif dalam melaksanakan tugas, dan kurang

menyukai orang luar/masyarakat.

d. Pelindung dan penyelamat (missionary) dengan karakteristik :

pemimpin berkepribadian ramah dan murah senyum

mengutamakan hubungan manusiawi yang efektif berbentuk

persahabatan melebihi segala-galanya, pemimpin berusaha aktif

mencegah konflik-konflik dengan orang lain.

Berdasarkan gaya kepemimpinan dijelaskan di atas dalam

prakteknya tidak bisa berdiri sendiri melainkan dilaksanakan secara


12

terkombinasi dan bervariasi, namun dalam hal ini dalam merancang

kepemimpinan, masa depan penekanannya pada gaya bimbingan, gaya

kerja sama dan gaya pengabdian

Locander et al. (Mariam, 2009) menjelaskan bahwa kepemimpinan

mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi

hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling

menguntungkan kedua belah pihak. Lok (2001) memandang

kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu

organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.

Tiga implikasi penting yang terkandung dalam proses

mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas-aktifitas dalam hal ini yaitu:

1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu

bawahan maupun pengikut.

2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan

antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota

kelompok bukanlah tanpa daya.

3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk

kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya

melalui berbagai cara.

Terdapat perbedaan pandangan dalam penyusunan batasan-batasan

dalam perumusan gaya Kepemimpinan, seperti yang diungkapkan

(Mariam, 2009:26), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan

norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat mencoba

mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin tidak dapat


13

menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin

bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat

kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Menurut House

(Darwito,2008:41), menyatakan bahwa Perilaku pemimpin memberikan

motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang mengganggu

pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan yang

dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan yang

berarti terhadap pencapaian tujuan.

Mariam (2009:27) membatasi gaya kepemimpinan dalam 2 hal

yakni konsep transaksional (transactiona leadership) dan

transformasional (transformational leadership), yang dapat diuraikan

dengan:

1. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional (transformational leadership)

berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower development).

Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi

masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan,

sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab dan

kewenangan bawahan di masa mendatang.

Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan

dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari

sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis),

tapi sudah menyentuh sistem nilai (value system). Pemimpin

transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu


14

mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan

demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan.

2. Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional (transactional leadership)

mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin

dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan

tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu

memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi

lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk

memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri

dari sanksi atau hukuman.

Waldman et.al. (Mariam, 2009:34) mengemukakan bahwa

kepemimpinan transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang

sudah ada (existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem,

atau budaya yang sudah ada, bukan bermaksud untuk mengubahnya. Oleh

sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan

bawahan untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada

penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya

melakukan tindakan korektif.

Menurut House (Kreitner dan Kinicki, 2005), menyatakan bahwa

terdapat 5 (lima) gaya Kepemimpinan yang digunakan sebagai instrumen

dalam penelitian ini yakni (Robert; dan Kinicki, Angelo, 2005:67):


15

2.3. Gaya Kepemimpinan Transformasional

Selengkapnya tentang bagaimana gaya kepemimpinan

transformasional, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang

mampu memperhatikan keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri

pengikut, menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami pengikut

untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk memncapai tujuan kelompok.

Kepemimpinan transformasional melibatkan pengembangan hubungan

yang lebih dekat antara pemimpin dengan bawahan. Dengan

kepemimpinan transformasional, pemimpin membantu bawahan untuk

melihat kepentingan yang lebih penting dari pada kepentingan mereka

sendiri demi misi dan visi organisasi atau kelompok. Dengan

mengeembangkan kepercayaan diri, keefektifen dan harga diri bawahan,

diharapkan pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkat

identifikasi, motivasi dan pencapaian tujuan pengikut

Para bawahan dari seorang pemimpin transformasional merasakan

adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap

pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan hal-hal yang

lebih dari pada sebelumnya. Hal ini ditumbuhkan pemimpin dengan cara

mendekatkan diri dengan bawahan secara personal (Robbin, 2008).

Menurut Suharto (2006:16), kepemimpinan transformasional

didefinisikan sebagai hubungan antara pemimpin dan bawahan yang

sangat dekat sehingga menimbulkan emosi dan kedekatan yang sangat

lain, dan bawahan merasa hormat dan percaya pada pemimpinnya dan
16

termotivasi untuk bekerja lebih dari yang sebenarnya. Sedangkan menurut

Leary dalam Anikmah (2008:11), kepemimpinan transformasional adalah

gaya kpemimpinan yang digunakan oleh seseorang manajer bila ia ingin

suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status

quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru.

Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan

untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain

dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan

berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

Menurut Suharto (2006:6), terdapat empat macam komponen

dalam perilaku kepemimpinan transformasional yaitu :

a. Idealized influence (charisma)/ karisma

Seorang pemimpin transformasional memberikan contoh dan

bertindak sebagai role model positif dalam perilaku, sikap, prestasi

maupun komitmen bagi bawahannya yang tercermin dalam standar moral

dan etis yang tinggi.

b. Intelctual stimulation/ stimulasi intelektual

Pemimpin transformasional berupaya menciptakan iklim yang

kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Pemimpin

mendorong keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam proses

perumusan, masalah dan pencarian solusi.

c. Individulized consideration/ perhatian yang individualisasi


17

Seorang pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan

setiap individu untuk berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak

sebagai pelatih (coach) atau penasehat (mentor). Pemimpin juga

menghargai dan menerima perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan

minat.

d. Inspirational motivation/ motivasi inspirasional

Pemimpin transformasional memotivasi dan memberikan inspirasi

kepada bawahan dengan jalan mengkomunikasikan ekspektasi tinggi dan

tantangan kerja yang jelas, menggunakan simbol untuk memfokuskan

usaha atau tidakan, dan mengekspresikan tujuan-tujuan penting dengan

cara sederhana, serta dapat membangkitan semangat tim, antusiasme dan

optimisme diantara rekan.

Berdasarkan uraian tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan

transformasional lebih beorientasi kepada karismatik, perhatian dan

inspirasi antara pimpinan dan bawahan yang didasarkan pada hubungan

pimpnan dan bawahan.

Selanjutnya untuk melengkapi teori diatas maka apa yang

dikemukakan oleh Bass (2002) bahwa hal tersebut dapat diukur dalam

hubungan dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan dengan

karyawan. Oleh karena itu bass mengemukakan ada tiga cara seorang

pemimpin transformasional memotivasi karyawannya yaitu dengan:

1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil

usaha;
18

2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok;

3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga

diri dan aktualisasi diri.

Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional mengemukakan

adanya empat karakteristik dan dimensi gaya kepemimpinan

transformasional, yaitu

1. Attributed Charisma/Karisma

Hal ini menyangkut tentang kemampuan dalam

mengartikulasikan visi, kemampuan, keahlian dan tindakan yang

baik terhadap bawahan. Artinya, seorang pemimpin harus memiliki

kharisma, kemampuan, keahlian, visi, dan tindakan dalam

menginspirasi bawahannya untuk melakukan inovasi dan

perubahan carakerja. Oleh karena itu, seorang pemimpin

kharismatik dapat dijadikan suri tauladan, idola dan model panutan

untuk bawahannya. Kepemimpinan kharismatik dapat

memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja

ekstra karena mereka menyukai pimpinannya.

2. Inspirational Motivation

Hal ini menyangkut tentang kemampuan dalam memotivasi

dan memberikan inspirasi agar menumbuhkan kepercayaan diri

bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan

tugas/pekerjaan. Seorang pemimpin tidak dapat memimpin


19

bawahannya apabila ia tidak memotivasi dan memberikan inspirasi

tentang apa dan bagaimana melakukan tugas/pekerjaan.

Pemimpin bertindak dengan cara memotivasi dan

menginspirasi bawahan melalui pemberian arti, partisipasi dan

tantangan terhadap tugas bawahan. Upaya pemimpin

transformasional dalam memberikan inspirasi para pengikutnya

agar mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak

terbayangkan, ditantangnya bawahan mencapai standar yang

tinggi.

3. Intellectual stimulation

Stimulasi intelektual dalam hal ini proses muncul dan

berubahnya kesadaran akan masalah, pemecahan pemikiran dan

imajinasi, serta keyakinan dan nilai-nilai. Proses ini terlihat pada

peningkatan konseptual, pemahaman dan ketajaman para bawahan

dalam melihat sifat masalah yang dihadapi dan dalam membuat

solusi bagi masalah tersebut.

Stimulasi intelektual yang dilakukan oleh pemimpin dengan

mendorong bawahannya untuk memikirkan kembali cara kerja

mereka dan untuk mencari cara-cara baru dalam melaksanakan

tugas mereka.

4. Individual Consideration

Hal ini menyangkut kemampuan memberikan perhatian dan

sikap peduli terhadap bawahan. Mengidentifikasi kebutuhan para

bawahannya, berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan


20

karyawan dan selalu mendengar bawahannya dengan penuh

perhatian.

2.4. Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan

diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat

pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban

suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu

kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai

kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang

diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan

utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan

tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-

lain.

Kinerja apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda

(noun), maka pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang

dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam

upaya pencapaian tujuan perusahaan secara ilegal, tidak melanggar hukum

dan tidak bertentangan dengan moral dan etika (Rivai & Basri, 2004;

Harsuko 2011).

Menurut McNeese-Smith (dalam Darwito, 2008), Kinerja

didefinisikan sebagai kontribusi terhadap hasil akhir organisasi dalam

kaitannya dengan sumber yang dihabiskan dan harus diukur dengan


21

indikator kualitatif dan kuantitatif (Belcher, 1987; Cohen 1980 dalam

McNeese-Smith, 1996). Maka pengembangan instrumen dilakukan untuk

menilai persepsi pekerjaan akan kinerja diri mereka sendiri dalam

kaitannya dengan item-item seperti out put, pencapaian tujuan, pemenuhan

deadline, penggunaan jam kerja dan ijin sakit (Sukarno, 2002).

Menurut Rue dan Byars yang disunting Hamid dan Malian

(2004:45) mengemukakan bahwa : “ kinerja dapat didefinisikan sebagai

pencapaian hasil atau ”the degree of accomplishment” tingkat

pencapaian organisasi. Selanjutnya, hasil kerja seseorang dapat dinilai

dengan standar yang telah ditentukan, sehingga akan dapat

diketahui sejauhmana tingkat kinerjanya dengan membandingkan antara

hasil yang dicapai dengan standar yang ada.”

Sementara itu kinerja menurut Prawirosentono (1999:2): “ Kinerja

merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok

orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung

jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan berkaitan kuat

terhadap tujuan tujuan strategik organisasi.”

Menurut Robbins (2006:218) adalah sebagai fungsi dari interaksi

antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan keinginan

(obsetion). Selanjutnya Robbins (1998: 21) memberikan arti kinerja adalah

tingkat pencapaian tujuan. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan,

maka pengertian analisis kinerja merupakan proses pengumpulan

informasi tentang bagaimana tingkat kemampuan pencapaian hasil kerja

yang dilakukan oleh pegawai Kantor Satpol PP Kota Kendari dalam


22

melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan program yang dijalankan

institusi sehingga tujuan organisasi tersebut akan tercapai.

2.4.1. Pengukuran Kinerja

cara mengukur indikator kinerja sangat menentukan apakah suatu

lembaga publik dapat dikatakan berhasil atau tidak berhasil kinerjanya.

Ketepatan pengukuran seperti cara atau metode pengumpulan data untuk

mengukur kinerja juga sangat menentukan penilaian akhir kinerja.

Definisi pengukuran kinerja juga telah dikemukan oleh beberapa

ahli seperti Mahmudi (2005:7), mengatakan bahwa : “pengukuran kinerja

merupakan suatu proses penilaian pekerjaan terhadap pencapaian tujuan

dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi mengenai efisiensi

penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas

barang dan jasa, perbandingan hasil kerja kegiatan dengan target dan

efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan” Dalam hal ini, Mahmudi

(2005:7) menjelaskan bahwa dalam pengukuran kinerja perlu ditentukan

apakah yang menjadi tujuan penilaian tersebut, apakah pengukuran kinerja

tersebut untuk menilai hasil kerja (performance outcomes) ataukah menilai

perilaku personal (personality). Oleh karena itu pengukuran kinerja

minimal mencakup tiga variabel yang harus menjadi pertimbangan yaitu,

perilaku (proses), output (produk langsung suatu program) dan outcomes

(dampak program).

Definisi-definisi pengukuran kinerja yang telah dikemukakan

tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan


23

pengukuran kinerja yaitu sebuah proses kegiatan penilaian terhadap

kinerja dengan variabel tertentu yang sesuai dengan faktor-faktor yang

membentuk kinerja tersebut untuk melihat apakah tujuan dari lembaga

tersebut telah tercapai dengan baik atau belum. Tentunya pegawai sebagai

pelaku utama dalam menjalankan kegiatan lembaga tersebut perlu juga

dilakukan penilaian terhadap kinerjanya. Hal ini sejalan dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Dharma (2005:15), bahwa penilaian/pengukuran

kinerja pegawai merupakan suatu kegiatan yang amat penting karena dapat

digunakan sebagai ukuran keberhasilan pegawai dalam menunjang

keberhasilan lembaga dalam mencapai misi sebuah lembaga. Lebih lanjut

Dharma (2005:15) mengatakan bahwa pengukuran kinerja pegawai:

1. Pengembangan, yaitu sebuah manfaat yang dapat digunakan untuk

menentukan siapa saja pegawai yang perlu ditraining dan dapat

pula membantu mengevaluasi hasil training. Selain itu juga dapat

membantu pelaksanaan conseling antara atasan dan bawahan

sehingga dapat dicapai usaha-usaha pemecahan masalah yang

dihadapi pegawai.

2. Pemberian reward, yaitu dapat digunakan untuk memotivasi

pegawai, mengembangkan inisiatif, rasa tanggungjawab sehingga

akan mendorong mereka untuk meningkatkan kinerjanya.

3. Perencanaan sumber daya manusia yang dapat bermanfaat bagi

pengembangan keahlian dan ketrampilan serta perencanaan sumber

daya manusia.
24

4. Kompensasi yang dapat bermanfaat untuk memberikan informasi

yang digunakan untuk menentukan apa yang harus diberikan

kepada pegawai yang tinggi atau yang rendah dan bagaimana

prinsip pemberian kompensasi yang adil.

5. Komunikasi, dimana evaluasi yang dilakukan terhadap kinerja

pegawai merupakan dasar untuk komunikasi berkelanjutan antar

atasan dan bawahan menyangkut kinerja pegawai.”

Dessler (2000) dalam Keban (2004:196) juga mengatakan bahwa

pengukuran kinerja pegawai merupakan upaya sistimatis untuk

membandingkan apa yang dicapai seseorang dibandingkan dengan standar

yang ada, dengan tujuan untuk mendorong kinerja seseorang agar dapat

berada di atas rata-rata. Begitu luasnya dampak yang akan diperoleh dari

dilakukannya penilaian terhadap kinerja pegawai, dan ini tentunya

menganjurkan kepada setiap lembaga atau organisasi pemerintah untuk

melakukan penilaian terhadap kinerja pegawainya.

2.4.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai

Menurut Keban (2004:192) di Indonesia masih selalu dikaitkan

dengan pelaksanaan pekerjaan (sebagaimana yang tercantum dalam surat

Edaran BKN Nomor 02/SE/1980, tertanggal 11 Pebruari 1980) yang lebih

menekankan penilaian kinerja pada 7 unsur yaitu kesetiaan, prestasi,

ketaatan, tangungjawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa.

Menurut Swanson (dalam Keban, 2004:194) mengemukakan

bahwa: “kinerja pegawai secara individu dapat dilihat dari apakah misi
25

dan tujuan pegawai sesuai dengan misi lembaga, apakah pegawai

menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah

pegawai mempunyai kemampuan mental, fisik, emosi dalam bekerja, dan

apakah mereka memiliki motivasi yang tinggi, pengetahuan,

ketrampilan dan pengalaman dalam bekerja” Sedangkan menurut Schuler

dan Dowling (dalam Keban, 2000:195) “kinerja seorang pegawai/

karyawan dapat dilihat dari: (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3)

kerjasama, (4) pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6)

kehadiran dan ketepatan waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan

tujuan organisasi, (8) inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, (9)

kemampuan supervisi dan teknik”.

Lebih lanjut Schuler dan Dowling (dalam Yazid, 2009:21),

menjelaskan indikator pengukuran diatas tergolong penilaian umum yang

dapat digunakan kepada setiap pegawai kecuali kemampuan melakukan

supervisi. Manurut Dharma (2005: 101), menyatakan bahwa indikator

yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kinerja pegawai

adalah (1) pemahaman pengetahuan, (2) keahlian, (3) kepegawaian, (4)

perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik

2.4.3. Tujuan Penilaian Kerja

Tujuan penilaian kinerja menurut Riani (2013) terdapat pendekatan

ganda terhadap tujuan penilaian prestasi kerja sebagai berikut:


26

1. Tujuan Evaluasi. Hasil-hasil penilaian prestasi kerja digunakan

sebagai dasar bagi evaluasi reguler terhadap prestasi anggota-

anggota organisasi, yang meliputi:

a. Telaah Gaji. Keputusan-keputusan kompensasi yang

mencakup kenaikan merit-pay, bonus dan kenaikan gaji

lainnya merupakan salah satu tujuan utama penilaian

prestasi kerja.

b. Kesempatan Promosi. Keputusan-keputusan penyusunan

pegawai (staffing) yang berkenaan dengan promosi,

demosi, transfer dan pemberhentian karyawan merupakan

tujuan kedua dari penilaian prestasi kerjac.

2. Tujuan Pengembangan

a. Informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian prestasi

kerja dapat digunakan untuk mengembangkan pribadi

anggota-anggota organisasi.

b. Mengukuhkan dan Menopang Prestasi Kerja. Umpan balik

prestasi kerja (performance feedback) merupakan

kebutuhan pengembangan yang utama karena hampir

semua karyawan ingin mengetahui hasil penilaian yang

dilakukan.
27

c. Meningkatkan Prestasi Kerja. Tujuan penilaian prestasi

kerja juga untuk memberikan pedoman kepada karyawan

bagi peningkatan prestasi kerja di masa yang akan datang.

d. Menentukan Tujuan-Tujuan Progresi Karir. Penilaian

prestasi kerja juga akan memberikan informasi kepada

karyawan yang dapat digunakan sebagai dasar pembahasan

tujuan dan rencana karir jangka panjang.

e. Menentukan Kebutuhan-Kebutuhan Pelatihan. Penilaian

prestasi kerja individu dapat memaparkan kumpulan data

untuk digunakan sebagai sumber analisis dan identifikasi

kebutuhan pelatihan

Menurut menurut Riani (2013), terdapat 6 (enam) kriteria untuk

menilai kinerja pegawai yaitu:

1. Quality (kualitas)

Merupakan hasil kerja keras dari para karyawan yang

sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan

sebelumnya. Jika hasil yang dicapai oleh karyawan tersebut tinggi

maka kinerja dari karyawan tersebut dianggap baik oleh pihak

perusahaan atau sesuai dengan tujuannya. Ini berarti merupakan

suatu tingkatan yang menunjukkan proses pekerjaan atau hasil

yang dicapai atas suatu pekerjaan mendekati adanya

kesempurnaan.
28

2. Quantity, merupakan jumlah yang diproduksi yang dinyatakan

dalam nilai mata uang, jumlah unit produksi ataupun dalam jumlah

siklus aktivitas yang telah terselesaikan.

3. Timelines, Hal ini menyangkut ketepatan waktu penyelesaian

pekerjaan. Dimana aktivitas dapat diselesaikan dengan waktu yang

lebih cepat dari yang telah ditentukan dan memaksimalkan waktu

yang ada untuk aktivitas yang lain.

4. Cost effectiveness, merupakan suatu tingkatan yang paling

maksimal daripenggunaan sumber daya (manusia, keuangan,

teknologi) yang dimiliki perusahaan untuk mendapatkan

keuntungan yang maksimal atau mengurangi kerugian dari masing-

masing unit atau sebagai pengganti dari penggunaan sumber daya.

5. Need For Supervisor, merupakan suatu tingkatan di mana seseorang

karyawan dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa harus

meminta bimbingan atau campur tangan dari pimpinan.

6. Interpersonal Impact, merupakan tingkatan keadaan dimana

karyawan dapat menciptakan rasa nyaman dalam bekerja, percaya

diri, berbuat baik dan bekerja sama antar sesama rekan kerja.

Berdasarkan pendapat menurut Riani (2013), makan item indikator

kerja tersebut dijustifikasi menjadi 3 (tiga) item indikator yang

disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Ketiga item indikator tersebut


29

yaitu:

(1) Quality (kualitas pekerjaan);

(2) Quantity (kuantitas kerja);

(3) Timeliness(ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan).

2.5. Penelitian Terdahulu

Berikut disajikan beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi

acuan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Penelitian dari Rani Mariam (2009) yang dilakukan di PT.

Asuransi Jasa Indonesia (persero), responden yang digunakan

sebanyak 115 karyawan, menggunakan Structural Equation

Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan budaya organisasi

dan gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh positif dan

signifikan terhadap kepuasan kerja dalam meningkatkan kinerja

karyawan. Pengaruh dari gaya kepemimpinan terhadap kepuasan

kerja adalah signifikan dan positif, pengaruh dari budaya

organisasi terhadap kepuasan kerja adalah signifikan dan positif;

pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai adalah

signifikan dan positif; pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja

pegawai adalah signifikan dan positif; dan pengaruh kepuasan

kerja terhadap kinerja pegawai adalah signifikan dan positif.

2. Nurtjahyo (2000) melakukan penelitian tentang gaya

kepemimpinan transformasional. Dalam penelitiannya ditemukan


30

bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah mempunyai efek

langsung terhadap kinerja guru sebesar 71,02%. Penelitian yang

dilakukan oleh Nurtjahyo (2000) mengindikasikan bahwa gaya

kepemimpinan transformasional memberikan dampak yang positif

dalam mengembangkan kualitas kinerja guru. Kepemimpinan

transformasional kepala sekolah SLTP dan korelasinya dengan

manajemen instruksional di beberapa sekolah di Yogyakarta,

dengan pendekatan dua model, secara umum hasil studi dapat

disimpulkan sebagai berikut : (1). Data yang dikumpulkan dari dua

sumber berdasarkan penilaian kepala sekolah dan penilaian guru

terhadap kepala sekolah, dalam bentuk dan materi penyataan yang

reratif sama, menunjukkan bahwa kepala sekolah cenderung

menilai diri sendiri lebih tinggi jika di bandingkan persepsi yang di

berikan oleh guru, kepala sekolah memperoleh nilai kepemimpinan

transformasional yang cukup tinggi.

3. Penelitian yang dilakukan Darwit (2008), yang mengambil

judul Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan

Kerja dan Komitmen Organisasi untuk Meningkatkan Kinerja

Karyawan (Studi pada RSUD Kota Semarang), yang menghasilkan

5 hipotesis, dimana hipotesis yang memuat pengaruh Gaya

Kepemimpinan terhadap kinerja Karyawan pada RSUD Kota

Semarang menunjukkan bahwa semua variabel/ indokator yang

digunakan untuk membahas Gaya Kepemimpinan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Karyawan, atau hasil


31

dari pengolahan data diketahui bahwa nilai CR atau pengaruh

antara variabel gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan

pada RSUD Kota Semarang adalah sebesar 2,060 dengan nilai P

sebesar 0,039. Hasil dari kedua nilai ini memberikan informasi

bahwa pengaruh variabel gaya kepemimpinan terhadap kinerja

karyawan pada RSUD Kota Semarang dapat diterima, karena

memenuhi syarat diatas 1,96 untuk CR dan dibawah 0,05 yang

didapatkan untuk nilai P.

2.6. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep yang dapat penulis sajikan sebagai

berikut:

GAYA KEPEMIMPINAN H1
TRANSFORMASIONAL KINERJ
A
(X)
(Y)

Gambar 1 (kerangka konsep)

2.7. Hipotesis

Hipotesa adalah pernyataan sementara yang menghubungakan dua

variabel atau lebih dan masih membutuhkan pengujian secara empirik (sugiono

2004:70) dan berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan

kerangka pikir yang telah ditetapkan di atas maka hipotesis yang diajukan

adalah sebagai berikut :


32

“ Terdapat pengaruh yang positif antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja

pegawai satpol PP kota Kendari”:


33

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Objek penelitian

Sehubungan dengan penelitian ini, lokasi yang akan dijadikan tempat

penelitian yaitu Kantor Satpol PP Kota Kendari . Pemilihan tempat penelitian

pada lokasi ini atas dasar pertimbangan bahwa lokasi tersebut ditinjau dari segi

waktu, tenaga, dan biaya yang cukup menunjang kemudian lamanya penelitian

adalah satu bulan yakni bulan September sd bulan Oktober

3.2. Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2008:49) populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri dari atas objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.

Berdasarkan pengertian diatas maka yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh pegawai kantor satpol PP Kota Kendari, dan

semuanya dijadikan responden

3.3. Jenis dan Sumber Data

3.3.1. Jenis Data

1. Data kualitatif, yaitu data yang tidak terukur (tidak dalam

bentuk angka) seperti : sejarah singkat perusahaan, struktur

organisasi, uraian tugas, tanggapan responden terhadap kinerja.

2. Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka-angka


34

3.3.2. Sumber data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain :

1. Data Primer, merupakan data yang didapat langsung dari sumber

aslinya. Proses pemerolehan data berasal dari kuesioner yang

dibagikan kepada dan diisi secara langsung oleh responden dari

obyek penelitian

2. Data Sekunder, merupakan data yang dikumpulkan secara tidak

langsung dari sumbernya. Data yang didapatkan dari arsip yang

dimiliki organisasi / perusahaan, internet, studi pustaka, penelitian

terdahulu, dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan

yang akan diteliti. Data sekunder berupa jumlah karyawan,

tingkat absensi, masa kerja, dan profil perusahaan/organisasi

3.4. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1. Kuesioner, dilakukan dengan menyebar pertanyaan kepada

responden. Kuesioner ini juga dilengkapi dengan kolom alasan

pemilihan jawaban dengan tujuan untuk menggali informasi lebih

dalam dari responden, alasan pemilihan jawaban ini akan sangat

berguna sebagai pelengkap pembahasan hasil analisis data.

2. Wawancara, dilakukan dengan menghubungi para responden,

pegawai pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kendari.

3.5. Skala Pengukuran dan Uji Instrumen

3.5.1. Skala pengukuran


35

Masing-masing item indikator tersebut dinyatakan dalam skala sikap

menurut Likert, penilaian untuk setiap jawaban responden adalah 1 sampai 5,

dengan tujuan menghilangkan terjadinya tendesi sentral yaitu gejala terpusat

akibat responden cenderung memilih jawaban di tengah. Skor jawaban

responden dinyatakan sebagai berikut:

a. Sangat setuju (SS) skor = 5


b. Setuju (S) skor = 4
c. Netral (N) skor = 3
d. Tidak setuju (TS) skor = 2
e. Sangat tidak setuju (STS) skor = 1

3.5.2. Uji Instrumen

a. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu

kuisioner yang mempunyai indikator dari variabel atau

konstruk. Suatu kuisioner dinyatakan reliabel atau handal jika

jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau

stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2006). Pengukuran

reliabilitas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Repeated measure atau pengukuran yaitu seseorang akan

disodori pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda,

dan kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan

jawabannya
36

2. One shot atau pengukuran sekali saja dan kemudian hasilnya

dibandingkan dengan pertanyaan yang lain atau mengukur

korelasi antara jawaban dengan pertanyaan.

Uji reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan

bantuan program SPSS, yang akan memberikan fasilitas untuk

mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbanch Alpha (α).

Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika

memberikan nilai Cronbanch Alpha>0,60 (Nunnally, 1967

dalam Ghozali, 2006).

b. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid

tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika

pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan

sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali,

2006). Untuk mengukur validitas dapat dilakukan dengan

melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total

skor konstruk atau variabel. Uji validitas dilakukan dengan

melakukan korelasi bivariate antara masing – masing skor

indikator dengan total skor konstruk. Uji signifikansi dapat juga

dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r table

untuk degree of freedom (df)


37

= n – 2 dalam hal ini n adalah jumlah sampel. Sedangkan

untuk mengetahui skor masing – masing item pertanyaan valid

atau tidak, maka ditetapkan kriteria statistic sebagai berikut :

1. Jika r hitung > r tabel dan bernilai positif, maka variabel

tersebut valid.

2. Jika r hitung < r table dan bernilai negatif, maka variabel

tersebut tidak valid.

3.6. Metode analisis Data dan Pengujian Hipotesis

3.6.1. Metode analisis data

Analisis statistikik adalah adalah analisis dengan menggunakan

pendekatan atau rumus statik. Berdasarkan hipotesis yang diajukan, maka alat

analisis yang digunakan adalah regresi sederhana. Model ini digunakan untuk

menjawab permasalahan apakah ada pengaruh positif variabel (X) atau variabel

Transformasional terhadap Variabel (Y) Variabel Kinerja Karyawan pada Kantor

Satpol PP kota Kendari atau pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat

(Suryoto :2011) , dan akan di paparkan dengan rumus :

Y = a + bX

Keterangan :

Y = Variabel Dependen (Kinerja )

X = Variabel Independen (gaya


Transformasional)
a = Konstanta (hanya bila Y, bila X = 0)

b = Koefisien Regresi untuk variabel X


38

(Kepemimpinan Transformasional)
Dalam analisis ini digunakan regresi linear secara bertahap dimana tahap

pertama adalah melakukan analisis faktor terhadap indikator yang terpilih

menjadi bentuk faktor skor dan tahap kedua melakukan estimasi dari faktor skor

yang diperoleh dengan analisis regresi linear dengan menggunakan SPSS hasil

keluarannya berupa uji F dan tingkat signifikansi yang terdapat pada tabel

ANOVA sedangkan uji T dan tingkat signifikansi pada tabel coeeficient

dipergunakan untuk membentuk signifikansi pengaruh masing-masing konstruk.

Besaran koefisien determina (R2) menunjukkan presentase variabilitas

observasi dan variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independennya. R2

berkisar pada angka 0 sampai 1. Semakin kecik R2 yang diperoleh maka semakin

lemah hubungan antara kedua variabel tersebut.

Penelitian ini menggunakan analisis bivariat untuk melihat ada atau

tidaknya hubungan variabel gaya kepemimpinan Transformasional (X) terhadap

Kinerja (Y) di Kantor Satpol PP kota Kendari dari data yang diperoleh dari

perolehan kuesioner yang disebarkan. Selain itu dapat dilihat seberapa kuat

hubungan antara kedua variabel tersebut. Dalam penelitian ini Gaya

Kepemimpinan Transformasional menjadi variabel independen sedangkan Kinerja

adalah variabel dependen. Pengukuran dilakukan dengan metode korelasi

pearson’s correlation. Sejumlah penulis statistik membuat interval kekuatan

hubungan sebagai berikut :


39

Tabel 1 :

R interprestasi

0 Tidak ada korelasi

0,00-0,25 Korelasi sangat lemah

0,25-0,50 Korelasi lemah

0,50-075 Korelasi kuat

0,75-0,90 Korelasi sangat kuat

1,00 Korelasi sempurna


Sumber : Jonathan Sarwoto

3.7. Definisi operasional Variabel

Defenisi operasional melalui variabel-variabel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebgai berikut:

3.7.1. Gaya Kepemimpinan Transformasional (X)

Kepemimpinan Transformasional (X) adalah persepsi karyawan

atas kemampuan pimpinan dalam usaha transformasi pola pikir,

memotivasi dan menginspirasi dalam menjalankan tugas/pekerjaan.

Variabel ini diukur dengan 4 (empat) indikator, yaitu:

1. Attributed Charisma (X1-1) adalah persepsi karyawan tentang

kepercayaan,kejelasan dan kesadaran atas pimpinan dalam

melaksanakan tugas/pekerjaan. Variabel indikator ini diukur

dengan menggunakan 4 (empat) item indikator; (1) kepercayaan

karyawan terhadap pemimpin; (2) kejelasan karyawan atas visi

pemimpin; dan (3) kejelasan karyawan atas misi pemimpin;


40

2. Inspirational Motivation(X1-2) adalah persepsi karyawan tentang

kemampuan pimpinan dalam memotivasi dan menginspirasi

dalam melaksanakan tugas/pekerja. Variabel indikator ini diukur

dengan menggunakan 3(tiga) item indikator, yakni: (1) kesadaran

bawahan atas arahan pemimpin (2) dukungan pemimpin

terhadap usaha pencapaian tugas karyawan ; dan (3) perhatian

pemimpin terhadap semangatkerja karyawan;

3. Intellectual Stimulation(X1-3) Adalah persepsi karyawan tentang

bimbingan, dukungan dan kejelasan pimpinan dalam

melaksanakan tugas/pekerja. Variabel indikator diukur dengan

menggunakan 4 (empat) item indikator, yakni (1) kemampuan

pemimpin dalam meningkatkan kepercayaan diri karyawan; (2)

bimbingan pemimpin dalam dalam peningkatan kamampuan

karyawan dalam menyelesaikan masalah; dan (3) bimbingan

pemimpin dalam peningkatan kamampuan karyawan

dalam berinovatif;

4. Individual Consideration (X1-4) Adalah persepsi karyawan

tentang kemampuan pimpinan dalam memperlakukan,

memberikan sikap peduli dan perhatian terhadap bawahan.

Variabel indikator ini diukur dengan menggunakan 3 (tiga) item

indikator, yakni: (1) dukungan pemimpin dalam meningkatkan

pengetahuan karyawan

(2) perlakuan pemimpin terhadap karyawan; (3) perhatian

pimpinan terhadap karyawan;


41

3.7.2. Kinerja Karyawan (Y)

Kinerja Pegawai (Y) adalah persepsi karyawan tentang kualitas

dan kuantitas hasil kerja, serta ketepatan waktu dalam menyelesaikan

tugas/pekerjaannya. Variabel ini diukur dengan 3 (tiga) indikator, yakni:

(1) quality (kualitas kerja); (2)quantity (kuantitas pekerjaan); (3)

timeliness (ketepatan waktu dalam meyelesaikan pekerjaan).

1. Quality (Y1-1) adalah menyangkut kualitas kerja, dimana proses

ataupenyesuaian pada cara kemampuan dan penelitian dalam

melakukan aktivitas atau memenuh aktivitas yang sesuai harapan

(mutu hasil kerja). Variabel indikator ini diukur dengan

menggunakan 2 (dua) item indikator, yakni: (1) kualitas pekerjaan

yang dihasilkan; (2) pemberian tugas sesuai kemampuan

karyawan.

2. Quantity (Y1-2) adalah menyangkut kuantitas kerja yang

dihasilkan oleh volume beban kerja atau jumlah dari siklus

aktivitas yang telah diselesaikan. Variabel indikator ini diukur

dengan menggunakan 2(dua) item indikator, yakni: (1)

kemampuan menyelesaikan tugas/pekerjaan dengan volume

beban kerja yang telah ditentukan; (2) jumlah unit produksi yang

dihasilkan.
42

3. Timeliness (Y1-3) adalah menyangkut ketepatan waktu

penyelesaian pekerjaan dimana aktivitas dapat diselesaikan

dengan waktu yang lebih cepat dari yang telah ditentukan dan

memaksimalkan waktu yang ada untuk aktivitas yang lain.

Variabel indikator ini diukur dengan menggunakan 2 (dua) item

indikator , yakni: (1) memaksimalkan waktu yang tersedia;

(2)tepat waktu dalam memulai pekerjaan.


43

Tabel 1: Tabel Item Kuesioner


6. Pimpinan melakukan pendekatan untuk mengetahui harapan dan
keinginan karyawan
7. Pimpinan selalu memberikanITEM motivasi untk meningkatkan kepercayaan
1. diri para
Para karyawan
karyawan sangat percaya terhadap kemampuan dan keahlian
8. pimpinan dalammemotivasi
Pimpinan selalu bertindakparadan
karyawan agar berpikir
menginspirasi inovatif untuk
karyawan
9. melakukan perubahan
Pimpinan dalam serta berinovasi
mengatasi dalamyang
permasalahan bekerja
terjadi selalu berpijak
2. Setiap karyawan memperoleh kejelasan atas visi pimpinan
pada permasalahan yang lalu sebagai pembanding guna meningkatkan
3. Setiap karyawan
kemampuan memperoleh
karyawan kejelasan atas misi
dalam menyelesaikan pimpinan
permasalahan
10.
4. Pimpinan memberikan pelayanan sebagai mentor untuk
Para karyawan memperoleh pengarahan dari pimpinan mengenai mengarahkan
karyawan dalam
pelaksanaan tugasmelaksanakan tugas
dan target-target danharus
yang meningkatkan
dicapai pemahaman
5. konseptual
Pimpinan selalu memberikan dukungan terhadap karyawan dalam usaha
11. mencapai
Pimpinan pencapaian
melakukan sasaran
komunikasi
kerjauntuk mengenali kemampuan dan
keahlian serta kelemahan karyawan
12. Pimpinan memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan karyawan
13. Saya selalu meningkatkan kualitas kerja untuk mendapatkan hasil yang
Maksimal
14. Posisi kerja saya saat ini sesuai dengan kemampuan saya
15. Saya memiliki kesiapan mental untuk mencapai target kerja yang
ditetapkan
16. Saya mampu mencapai target kerja yang ditetapkan pimpinan
17. Saya mampu memaksimalkan waktu yang ada dalam menyelesaikan
Pekerjaan
18. Saya dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang telah ditetapkan

BAB IV. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN


44

3.
45

Anda mungkin juga menyukai