Anda di halaman 1dari 14

14 Kriteria Kebenaran Filsafat

Oleh : SUSIYANTI

A. Pengertian Kebenaran

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato
pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja
berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang
berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).

Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran
keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat
nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan
bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian
maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran
sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).

Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara


pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang
dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu
saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian
seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


1
kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini
terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.

B. Macam-macam Teori Kebenaran

1. Kebenaran Absolut (Absolute truth)

Pandangan lain percaya bahwa benar-benar ada realita-realita atau standar absolut yang
menentukan apa yang benar dan tidak benar. Karena itu suatu tindakan dapat dikatakan benar
atau salah dengan membandingkannya dengan standar-standar yang absolut itu. Dapatkah
Anda membayangkan kekacauan yang terjadi kalau saja tidak ada yang absolut, tidak ada
realita? Ambil contoh hukum gravitasi. Kalau tidak ada yang absolut, suatu ketika Anda
melangkah dan tahu-tahu terlempar tinggi ke udara, dan pada waktu lainnya, Anda sama
sekali tidak dapat menggerakkan satu anggota tubuhpun. Tidak akan ada hukum-hukum
sains, hukum-hukum fisika, segala sesuatu tidak akan ada artinya, dan tidak ada ukuran
apapun, dan tidak ada yang benar dan salah. Betapa kacaunya; namun syukurlah kebenaran
yang absolut itu ada, dapat ditemukan dan dipahami.
Bahwa ada orang yang membuat pernyataan bahwa tidak ada kebenaran mutlak sebenarnya
adalah sesuatu yang tidak logis. Namun hari ini banyak orang yang memegang relativisme
budaya yang pada hakekatnya menolak segala jenis kebenaran absolut. Pertanyaan yang
bagus untuk ditanyakan pada orang yang mengatakan, “tidak ada kebenaran yang absolut”
adalah: “Apakah Anda yakin secara mutlak?” Adalah tidak logis untuk membuat pernyataan
seperti itu karena pernyataan yang absolut pada dirinya sendiri menolak segala yang absolut.
dasarnya pernyataan itu mengatakan bahwa tidak adanya kebenaran absolut adalah satu-
satunya kebenaran absolut.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


2
Jadi kebenaran yang absolut, hanya ada pada Dia yang sudah menjadikan alam semesta ini
dengan begitu indah dan sempurna. Ini hanya pemahaman saya mungkin Anda punya
pemahaman yang lain semoga ini bisa menambah pemahaman kita dalam hal perbedaan kita.

2. Kebenaran Relatif (relative truth)

Kebenaran relatif adalah kebenaran manusia dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas
terhadap kebenaran mutlak tersebut. Hanya ada satu kebenaran mutlak, yang bersifat
objektif, yang dikelilingi oleh banyak kebenaran relatif yang bersifat subyektif, bagaikan
matahari yang dikelilingi planet-planet. Makin dekat kebenaran relatif itu kepada kebenaran
mutlak maka ia makin benar. Jadi yang relatif harus mendekati yang absolut, subyektivitas
harus mengejar obyektivitas, untuk memperkecil kesenjangan di antara keduanya.
Menurut Lenin, kebenaran relatif adalah pencerminan dari obyek yang relatif benar, yang
terbatas dari manusia.
Contoh sederhananya, kita tidak bisa menyebut posisi (sifat) sebuah meja, kecuali kita tahu
patokannya. sebutlah meja itu di kanan saya, akan tetapi bisa jadi meja itu di kiri anda. nah,
karena beda patokan inilah, maka posisi (sifat) sebuah meja itu relatif.. tergantung
patokannya mana.Nah.. patokan dalam kasus di atas tadi, dalam ilmu filsafat disebut sebagai
kebenaran (knowldege).

3. Kebenaran Spekulatif

Kebenaran Spekulatif adalah kebenaran yang diperoleh melalui berfikir dengan tingkat
rasionalilitas dan filosofis serta abstraksionalitas yang tinggi. kebenaran ini mengandalkan
kekuatan berfikir kebenaran ini akan lebih baik jika di dukung pengalaman-pengalaman
pribadi.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


3
Secara bahasa Spekulasi adalah renungan, terpekur. Secara istilah ialah Suatu pendapat atau
dugaan yang tidak (belum) berdasarkan atas suatu kenyataan. Spekulasi merupakan suatu hal
yang berguna untuk mengembangkan dan mencoba berbagai hipotesa. Spekulasi berangkat
dari keinginan untuk mengembangkan dan mencoba memecahkan suatu masalah yang di
tandai dengan beberapa usaha mencari solusinya. Misalnya seperti mengusulkan satu
hipotesa atau lebih. Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.
Hasil pemikiran spekulasi di jadikan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan
yang baru. Hal ini tidak dapat di hindari, karena bagaimanapun juga jika kita ingin menyusur
sebuah lingkaran (menjelajah sebuah masalah), maka kita harus memulainya terlebih dahulu
dari sebuah titik (langkah awal) spekulasinya.
Menurut Descrates dalam bukunya ‘Perenungan tentang Filsafat Pertama’ (1641), Spekulasi
merupakan sesuatu yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu, khususnya tentang
hal-hal yang bersifat material. Sifat keragu-raguan ini dapat membebaskan kita dari berbagai
macam prasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra.
Sehingga dapat memberikan jalan sederhana atau komponen-komponen (kesimpulan) yang
membentuk keseluruhan.

4. Kebenaran Korespondensi

Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.)
dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” kebenaran adalah persesuaian
antara pikiran dan kenyataan.

Kemudian teori korespondensi ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Ujian
kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh
kelompok realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu
pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan
pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


4
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective
reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri,
atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk
melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut
(Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta
terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek
yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa.
Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra”
maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan
pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di
pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun,
1990:237).

5. Kebenaran Pragmatis

Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari
bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


5
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang
terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat
ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George
Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi


mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau
akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup
praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar
suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran
cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang
memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
(3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-
teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling
menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan
dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari
pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


6
tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut
dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan
benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).

6. Kebenaran Normatif
Kebenaran normatif manganut teori yang lain sebagai latar belakangnya, yakni Teori
Pragmatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi
secara memuaskan. Dalam teori pragmatis, apabila teori tersebut berfungsi secara
memuaskan maka teori tersebut harus memerlukan beberapa persetujuan yang cukup untuk
dianggap benar. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa menurut pandangan normatif,
hubungan inti dalam ilmu bukanlah hubungan antara subjek dan objek, melainkan antara
subjek dan subjek (antara subjek satu dengan subjek yang lainnya), dimana teori yang
mendapatkan persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya penetahuan inter-
subjektif (berdasar pada pengetahuan faktual yang empiris).

Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang ada pada
diri manusia, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya.
Dalam teori normatif, nilai adalah apa yang mengandung kebaikan intrinsik yang digunakan
sebagai standard penilaian. Karena itu, nilai normatif selalu dipandang baik dan benar,
tempat mengikat kebebasan manusia. Manusia wajib mematuhi norma-norma yang ia anut.
Pada nilai normatif, manusia menaruh komitmen dan ketertarikan psikhis untuk
mematuhinya. Nilai normatif bersifat subyektif karena ketertarikan seseorang pada suatu
norma tidak dapat dikritik (misalnya: mengapa seseorang mimilih suatu ideologi atau agama
tertentu). Nialai-normatif juga dapat bersifat transenden bila berasal dari luar diri manusia
(ahistoris), karena dipandang sakral (suci) sebab memiliki kepastian absolut (Noeng Muhajir,
1989: 3). Dengan demikian, yang normatif ada bersumber dari wahyu Allah, ada yang
bersumber dari pengalaman manusia sebagai idealisasi pengalaman empiriknya, yaitu: dari
teori ilmiah menjadi filsafat kemudian dipandang sebagai nilai-normatif. Bagaimana teori

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


7
ekonomi Marxis menjadi filsafat Materialisme Historis kemudian menjadi ideologi
Komunisme. Bagaimana teori ekonomi kapitalis menjadi ideologi Kapitalisme, yang
dijadikan acuan normatif untuk mengamati fenomena ekonomi.

7. Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. Kebenaran tak
cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective,
universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan
oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Nilai kebenaran mutlak
yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan
superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi,
dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf
dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,
fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan
wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia mencari dan
menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai
dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama
dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia,
termasuk kebenaran.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


8
8. Kebenaran Filosofis

Kebenaran dalam filsafat ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam
penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman
(comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar
subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek
(mental, rasio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebenarn itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang
mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

Filsuf yang percaya bahwa manusia, dalam skema besar hal, hanya satu komunitas besar
umat manusia secara keseluruhan, ingin melihat kebenaran sebagai sesuatu yang obyektif,
sesuatu yang sesuai dengan realitas aktual, kenyataan seolah-olah itu dilihat oleh beberapa
bias, bukan manusia pihak ketiga. Pragmatis, di sisi lain, melihat hal-hal yang rasional pada
saat ini dalam waktu tidak sebagai sesuatu yang dianggap mutlak, melainkan sebagai sesuatu
untuk memanggil kebenaran. sampai sesuatu yang lebih baik datang. Pragmatis tidak percaya
bahwa ada beberapa Kebenaran Ultimate di dunia, menunggu manusia untuk menemukan hal
itu.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


9
9. Kebenaran Estetis

Istilah Estetika baru muncul pada tahun 1750 oleh seorang filsuf minor yang bernama A.G.
Baumgarten (1714-1762). Istilah itu dipungut dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang
berarti kemampuan melihat lewat penginderaan. Baumgarten menamakan seni itu sebagai
pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan
intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedangkan tujuan logika adalah kebenaran
(Sumardjo, 2000 : 25). Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai
benda-benda seni.
kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide. Dasarnya
adalah pengalaman empiris manusia tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non
empiris.
Dalam karya seni, sesuatu seperti dunia ini tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini. seperti
halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh dan mutlak
serta abadi, senipun menjangkau hal-hal tersebut. Hanya saja alat untuk mencapai hal itu
adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat
subyektif. Kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati,
dirasakan dan dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa
dia jelaskan. Kualitas perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sendiri sehingga ia
mampu menemukan kebenaran.

10. Kebenaran Ilmiah

kebenaran ilmiah indikatornya ada tiga, yaitu ; logis, rasional dan dapat diuji kebenarannya
kapan dan di mana saja. Dan semua itu masih tergolong dalam kategori kebenaran relatif.
Adapun kebenaran absolut (mutlak) atau kebenaran yang hakiki, ada di tangan Allah SWT.
Pandangan dan pendapat manusia itu selaku hamba Allah SWT, juga mengandung kebenaran

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


10
relatif. Perasaan negatif (negative thinking) sebenarnya tidak akan terjadi, bila kita telah
memahami teori-teori kebenaran yang ada di dalam filsafat ilmu. Salah satu diantaranya
adalah kebenaran korespondensi, yaitu ; “kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif.
Kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi antara pernyataan dan
kenyataan, antara teori dan praktik.
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu
sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses
untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada.
Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang
metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan
sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada
dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-
komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan
tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem. Tampaknya anggapan yang kurang tepat
mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap
kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian
dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.

11. Kebenaran Teologis

Sebuah kebenaran teologis adalah sebuah konsep menarik - itu adalah definisi dari sesuatu
"nyata" didasarkan pada keyakinan pada Tuhan yang tidak dapat dilihat secara fisik.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


11
Meskipun hal ini biasanya akan melawan definisi kebenaran - sebagai kebenaran dapat
dibuktikan, dan keyakinan teologis adalah yang didasarkan pada iman yang tak terlihat (yang
secara teknis bukan bukti, dan karena itu tidak dapat dibuktikan sebagai kebenaran .. atau
memang. dibantah sebagai fiksi), kebenaran teologis adalah pernyataan dari beberapa
tindakan oleh Tuhan, dari mana seseorang begitu benar-benar yakin bahwa itu melampaui
perlu dibuktikan dengan metode konvensional.
Pada dasarnya, itu di mana iman dan faktualitas dilempari dan itu di mana konflik antara
percaya dan tidak percaya pada umumnya dimulai.
Jika kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan, maka benar-benar ada kebenaran
teologis dalam kaitannya dengan penciptaan. Tidak hanya, misalnya, Hindu penciptaan
keyakinan berbeda dari agama Kristen, bahkan Alkitab Kristen mengandung setidaknya dua
kisah penciptaan yang berbeda dan tak terdamaikan. Keajaiban adalah bahwa jutaan orang
Kristen percaya bahwa Alkitab secara harfiah menggambarkan penciptaan dunia,
mengabaikan inkonsistensi jelas dua rekening. Mungkin kebenaran teologis berarti apa yang
diyakini, dan kemudian setiap agama memiliki kebenaran sendiri.

12. Kebenaran Ideologis

Dr. Blim dalam hal ini mengikuti pandangan filosuf wanita Hanna Arendt tentang aktivitas
manusia di dunia yang merefleksikan kebenaran ideologi, yakni untuk menjalankan proses
kehidupan. Ideologi kemudian muncul secara rasional dan bebas, yang ingin mewujudkan
hakekat "Kebenaran". Sehingga apabila hakekat kebenaran yang lahir dari ideologi ini
direalisasikan, maka hasilnya adalah "Perubahan sosial politik maupun ekonomi yang
diinginkan", artinya kebenaran dapat diwujudkan oleh usaha politik.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de
Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat
dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


12
(bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari)
dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh
kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah
untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem
pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah
publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran
politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang
eksplisit.

13. Kebenaran Konstitusional

kebenaran konstitusional adalah kebenaran atas dasar undang-undang, sehingga tindakan


yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional.
Sedangkan tindakan yang menentang undang-undang disebut inkonstitusional.
Konstitusionalisme bukanlah sekadar urusan bongkar pasang teks berikut institusinya melalui
konstitusi, melainkan sebagai lompatan pemikiran kritis dan tindakan nyata untuk
memberikan kepastian jaminan hak-hak kesejahteraan sosial sebagai hak-hak dasar warga
negara yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh penyelenggara kekuasaan. Begitulah salah
satu cara memaknai teori dan hukum konstitusi agar kian lebih maju secara substantif,
bermartabat dan membumi bagi seluruh warga bangsa.
Kita dapat mengetahui bahwa konstitusi kita di Indonesia itu mengatur ada tiga kekuasaan
yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu ; Pertama, kekuasaan eksekutif, Kedua, kekuasaan
legislatif dan ketiga, kekuasaan yudikatif. Kantor Urusan Agama Kecamatan berada dalam
lingkup kekuasaan eksekutif (Kementerian Agama), sedangkan Peradilan Agama setelah satu
atap dengan Mahkamah Agung berada dalam kekuasaan yudikatif, yang memang secara
konstitusional diberi kewenangan untuk mengisbatkan (mensahkan) nikah. Kecuali kalau
dibuat undang-undang baru yang menghapus kewenangan Peradilan Agama itu dan

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


13
menyerahkan sepenuhnya kewenangan itu ke Kantor Urusan Agama, barulah KUA
mendapatkan kewenangan secara konstitusional untuk mengisbatkan nikah.

14. Kebenaran Logis ( logical Truth )

Kebenaran logis adalah salah satu yang paling mendasar konsep dalam logika , dan ada teori
yang berbeda pada sifatnya. Sebuah kebenaran yang logis adalah pernyataan yang benar dan
tetap benar dalam semua penafsiran komponennya selain nya konstanta logis . Ini adalah
jenis pernyataan analitik . Semua logika filosofis dapat dianggap sebagai menyediakan
rekening sifat kebenaran logis, serta konsekuensi logis .
Kebenaran logis (termasuk tautologi ) adalah kebenaran yang dianggap selalu benar. Hal ini
untuk mengatakan bahwa mereka dianggap sedemikian rupa sehingga mereka tidak bisa
benar dan situasi tidak ada yang bisa timbul yang akan menyebabkan kita menolak kebenaran
yang logis. Namun, tidak universal sepakat bahwa ada pernyataan yang selalu benar.
Sebuah kebenaran yang logis dianggap oleh Ludwig Wittgenstein menjadi pernyataan yang
benar dalam semua kemungkinan dunia . Hal ini kontras dengan fakta (yang juga dapat
disebut sebagai klaim kontinjensi atau klaim sintetis) yang benar di dunia ini, seperti secara
historis berlangsung, namun yang tidak benar dalam setidaknya satu dunia mungkin, karena
mungkin dilipat. The proposisi "Jika p dan q, maka p" dan proposisi "Semua orang yang
menikah menikah" adalah kebenaran logis karena mereka adalah benar karena makna yang
melekat mereka dan bukan karena fakta dari dunia. Kemudian, dengan munculnya logika
formal kebenaran logis dianggap pernyataan yang benar di bawah semua interpretasi yang
mungkin.
Keberadaan kebenaran logis kadang-kadang diajukan sebagai keberatan terhadap empirisme
karena tidak mungkin untuk memperhitungkan kami pengetahuan tentang kebenaran logis
atas dasar empiris.

Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi/ Susiyanti


14

Anda mungkin juga menyukai