Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis
penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung adalah
disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan
katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokard yang paling
sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, biasanya akibat infark miokard yang
merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi
dan diabetes. 1, 2
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya.
Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS
Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar
65% adalah pasien gagal jantung. 3 Meskipun terapi gagal jantung mengalami
perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-
40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala
gagal jantung yang ringan. 2, 3
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari
50% akan meninggal dalam tahun pertama. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
I. DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada
fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi
mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah
perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. 1
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas
fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi,
pseudo-normal, tipe restriktif.
2
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena
jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2
ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan
atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward
failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah
normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu
diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya
peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri
dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung. 5
II. ETIOLOGI
3
memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak
dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 1
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien
dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 5
II. PATOFISIOLOGI
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan
timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena
yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6,7
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin
kurang efektif. 1,5,6,7
4
adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan
kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan
jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke
organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal untuk
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan
aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan
kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan
meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin
bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan
kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan
simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja
ventrikel. 1, 4, 6
5
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung. 8
- Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan
tekanan darah. 1, 5, 6, 7
6
Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 8
3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan
gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung.
Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas
menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik.
Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi
terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung.
Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat.
Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat
dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil
7
akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung. 1, 4,6,7
8
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.1, 4, 9
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan
merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak
kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.
Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar
membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang
paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan
aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru
yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya
menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-
bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial
dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru
lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema
paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal
jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas
dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru
karena pengaruh gaya gravitasi.
9
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema
mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam
hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi
cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini
dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal
jantung kanan yang nyata.
10
simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak
dalam situasi ini.
IV. DIAGNOSIS
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
11
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan
tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1
NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang
biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,
jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan
fisik meskipun sangat ringan.
b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan. 12
12
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy
(LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal
biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
11, 12
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-
kadang efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna
adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna
untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
13
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF
(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah
ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan
jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). 11
V. PENATALAKSANAAN
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat
dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik
dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan
panjang.
14
- Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal
jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu
selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE,
Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-
blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-
trombotik, dan anti-aritmia. 14, 15
15
pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai
dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat
ACE. Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi
selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah
stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila
ada intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan
gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama
yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan
fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis
maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient
Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma
ventrikel.
16
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap.
Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia
yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak
dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan
kalsium antagonis untuk mengobati angina atau
hipertensi pada gagal jantung.
17
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk
mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan
kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan
penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang
akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan
di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,
semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya
diberikan pada kasus yang refrakter. 13
18
yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri
koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 – 24 jam. 13
19
cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13
20
adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus
kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin
diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13
21
mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi
terutama inotropik. 13
VI. PROGNOSA
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTIFIKASI
22
Nama : Tn. RJ
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 61 tahun
Alamat : Jl.Kyai Abdullah lr.baru, RT:03 RW:01,Palembang
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 12 Juli 2017
3.2. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak napas yang semakin berat ± 2 hari SMRS
23
Nyeri dada (-). Batuk (+), tidak berdahak, tidak berdarah. Di malam hari os mengeluh
semakin sesak, batuk (+) dan nyeri dada. Bengkak pada kaki (-). Demam (-). BAK biasa.
BAB biasa. Lalu os berobat ke RSMP dan dirawat.
B. Keadaan Spesifik
24
1) Dada
Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-).
2) Paru
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis ka = ki, tidak ada
yang tertinggal
Palpasi : stem fremitus kanan ≠ kiri
Perkusi : agak redup di paru kiri
Auskultasi : vesikuler (+) melemah, ronkhi basah halus (+) di basal
kedua paru, wheezing (-)
3) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Auskultasi : HR 86 x/menit, reguler. Murmur (+) sistolik grade III,
punctum maximum di katup mitral. Gallop (-)
4) Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium (+), hepar teraba 2
jari dibawah arcus costae. Lien tidak teraba.
Perkusi : thympani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
6) Ekstremitas
Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor < 2 detik, sianosis
25
(-).
Ekstremitas bawah: gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak
kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), edema
pretibia dan pergelangan kaki (-).
Kimia Klinik
No Pemeriksaan Hasil
1 BSS 110 mg/dl
2 Uric acid 6,1 mg/dl
3 Ureum 24 mg/dl
4 Kreatinin 1,1 mg/dl
5 Protein total 8 g/dl
8 SGOT 35 U/I
9 SGPT 16 U/I
10 Natrium 145 mmol/l
11 Kalium 4,1 mmol/l
3.6. PENATALAKSANAAN
Pasien dirawat ruangan ICU
26
A. Non Farmakologis
a. Istirahat (bed rest)
b. Oksigen 3 liter
c. Restriksi cairan
d. Pemantauan urin output
B. Farmakologis
a. IVFD Nacl+farsorbid 2 amp gtt 20x/mnt
b. Furosemid amp 3x2 i.v.
c. Digoxin 1x1 tab
d. Aspilet 1x80mg
e. Ceftriaxon 2x1 gr
f. Captopril 3x 25 mg.
g. Aspilet 1x80 mg
h. Cpg (clopidogrel) 1x75 mg
3.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
27
Pada kasus ini, pasien datang ke IGD RSMP dengan keluhan sesak nafas yang berat disertai
batuk. Berdasarkan anamnesa yang didapat, bahwa Sejak ± 1 bulan SMRS os mengeluh
sesak napas. Sesak muncul pertama kali saat os habis dari halaman rumah ke dalam rumah .
Di malam hari os sering terbangun tiba-tiba karena sesak napas, os lebih nyaman
menggunakan 3 bantal saat tidur. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi
mengi (-),Nyeri dada (-), Batuk (+), tidak berdahak, tidak berdarah, Mual (-), Muntah (-),
Nyeri ulu hati (-), Bengkak pada kaki (-). Demam (-). BAK biasa. BAB biasa,
Sejak ± 1 minggu SMRS os mengeluh sesak napas bertambah sering. Sesak muncul
saat os berjalan dari kamar ke kamar mandi (± 50m). Di malam hari os mengeluh susah
tidur karena sesak napas, os lebih nyaman menggunakan 3 bantal saat tidur. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-). Nyeri dada (-). Batuk (+), tidak
berdahak, tidak berdarah. Mual (-). Muntah (-). Nyeri ulu hati (-). Bengkak pada kaki (-).
Demam (-). BAK biasa. BAB biasa. Os tidak berobat.
Sejak ± 2 hari SMRS os mengeluh sesak napas bertambah berat. Sudah 5 hari os tidak
melakukan pekerjaan apapun tapi sesak napas tetap ada meskipun os beristirahat. Os tidak
bisa tidur karena sesak semakin bertambah jika posisi berbaring, os tidur dengan posisi
setengah duduk. Sesak tidak dipangaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-). Nyeri
dada (-). Batuk (+), tidak berdahak, tidak berdarah. Di malam hari os mengeluh semakin
sesak, batuk (+) dan nyeri dada. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sekitar 10 tahun
dan riwayat penyakit jantung. Kemudian, pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit
berat, redup di paru kiri, vesikuler melemah dan didapatkan ronkhi basah halus pada kedua
paru. Pada jantung didapatkan ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI.
Batas atas jantung pada ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri linea
axilaris anterior sisnistra ICS VI dan murmur grade III. Terdapat nyeri tekan daerah
epigastrium, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisiik diatas, bahwa penegakan diagnosa CHF
sudah tepat dan sesuai dengan teori bahwa salah satu pendekatan diagnosa dari CHF adalah
melalui kriteria framingham, yakni dari kriteria tersebut terdapat 1 major dan 2 minor ,
dimana pada kasus ini terdapat 3 kriteria major (ronki paru, kardiomegali, dan paroksismal
28
nocturnal dyspnea) dan 3 kriteria minor (dyspnea d’effort, hepatomegali serta batuk malam
hari). Diagnosa tersebut didukung dengan riwayat hypertensi lama, dimana riwayat
hypertensi lama dapat menjadi salah satu faktor resiko penyebab terjadinya CHF yang
berkorelasi dengan kejadian gagal jantung kiri.
.
Pemberian terapi secara farmakologis punya berbagai efek, yakni farsorbid sendiri
digunakan untuk mengatasi nyeri dada dan antiagregasi trombosit dengan efek
farmakologis farsorbid yaitu sebagai vasodilator sistem vaskular dan meningkatkan suplai
O2 miokard, sehingga memperbaiki keluhan nyeri dada pada pasien. Selain itu, pasien juga
diberikan clopidogrel dan aspilet yang mempunyai efek yang sama yakni sebagai anti
thrombus dengan mekanisme kerja yang berbeda, yang berfungsi mencegah terjadinya
agregasi trombosit. Pemberian digoksin digunakan pada pasien gagal jantung yakni sebagai
inotropik positif dengan menghambat pompa Na-K-ATPase, yang pada akhirnya
meningkatkan kontraktilitas jantung. Untuk mengatasi adanya kelebihan cairan yang
menyebabkan edema pada paru, pasien kemudian diberikan diuretik berupa furosemid.
Di bagian intensif care unit, diperlukan pemantauan ekstra terhadap kondisi pasien.
Pemantauan urine output diperlukan sebagai penilaian terhadap efek furosemid, dimana
bertujuan untuk mengurangi gejala edema paru. Kemudian juga dilakukan pemantauan
terhadap pemakaian digoxin, karena efek toxic dari digoxin, dengan itu dilakukan
pemantauan ketat dengan pemasangan monitor di ICU.
29
BAB V
PENUTUP
.1 Kesimpulan
1. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya.
30
2. CHF dapat diakibatkan oleh hypertensi lama dan juga dapat diakibatkan oleh
Coronary artery disease.
3. Diagnosis pada kasus ini sudah bisa ditegakkan dengan pasti hanya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
4. Tatalaksana di ICU terhadap kasus CHF sangat diperlakukan pemantauan ketat
terhadap perkembangan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Anthonio J, Krisna IB, Windnyana IMG. Anestesi epidural pada pasien modified
radical mastectomy dengan gagal jantung kongestif. Bagian/SMF Ilmu Anesthesi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar Bali. 2006 Januari 1; 50(1): 1-6
2. Shi Y et al. Enalapril effects on atrial remodeling and atrial fibrillation
inexperimental congestive heart failure. Cardiovascular Research. 2001 Desember
20; 54: 456–461
3. Omland T. Advances in congestive heart failure management in the intensive care
unit: B-type natriuretic peptides in evaluation of acute heart failure. Crit Care Med
2008; 36(1)
31
4. Yamaoka T et al. MicroRNA 210 as a Biomarker for Congestive Heart Failure. Biol.
Pharm. Bull. 2013; 36(1): 48–54
5. Baker CM et al. Addition of a Left Ventricular Lead to Conventional Pacing
Systems in Patients with Congestive Heart Failure: Feasibility, Safety, and Early
Results in 60 Consecutive Patients. Journal Of Pacing And Clinical
Electrophysiology. 2002 Agustus; 25(8)
6. McCurley JM, Stephen U, Hanlon. Furosemide and the Progression of Left
Ventricular Dysfunction in Experimental Heart Failure. Journal of the American
College of Cardiology. 2006; 44(6)
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4 th ed. Mc Graw
Hill, 2006. 789 p.
8. Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi kedokteran (Textbook of Medical Physiology). 11 th
ed. Hall JE. EGC, 2008. 271 p.
9. Katzung BG. Farmakologi Dasar & Klinik. 10th ed. EGC, 2007. 201 p.
32