Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
menyebabkan kondisi yang lebih serius, seperti kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis dan jaundice.
Skrining dan diagnosis awal diperlukan dalam penegakan diagnosis
penyakit batu empedu sehingga dapat mencegah komplikasi lanjut. Pasien batu
empedu asimtomatik umumnya terdiagnosis secara kebetulan saat dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi, CT scan, atau pada laparotomi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1 dan 2. Anatomi sistem bilier
4
Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus dekstra dan sinistra keluar dari lobus hepatis dekstra dan
sinistra pada porta hepatis. Ductus hepaticus kiri lebih panjang dibandingkan
dengan ductus hepaticus kanan dan memiliki kecenderungan yang lebih baik
untuk dilatasi sebagai akibat dari obstruksi di distal. Dua ductus hepaticus kanan
dan kiri bergabung membentuk ductus hepaticus communis. Ductus hepaticus
communis memiliki panjang sekitar 1-4 cm dan berdiameter kurang lebih 4 mm.
Ductus ini berada di depan dari vena porta dan di sisi kanan dari arteri hepatica.
Ductus hepaticus communis akan bergabung dengan ductus cysticus membentuk
ductus biliaris communis (ductus choledochus).
Ductus Choledochus
Ductus choledochus berukuran panjangnya sekitar 7-11 cm dan
berdiameter 5-10 mm. Pada bagian pertama perjalanannya duktus ini terletak di
pinggir kanan omentum minus, di depan foramen epiploicum. Disini duktus
choledochus terletak di depan pinggir kanan vena porta hepatis dan pada sisi
kanan arteri hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, duktus terletak di
belakang pars superior duodenum di sebelah kanan arteri gastroduodenalis. Pada
bagian ketiga perjalanannya, duktus terletak di dalam sulkus yang terdapat pada
facies posterior caput pankreatis. Ductus choledochus berjalan miring ke arah
bawah ke dinding duodenum dengan 1-2 cm sebelum membuka pada membran
mukosa papilla (ampulla Vateri), sekitar 10 cm distal dari pilorus. Spinchter Oddi
merupakan lapisan tebal dari serabut otot polos sirkular, mengelilingi ductus
choledochus pada ampulla Vateri. Ampulla ini bermuara ke dalam lumen
duodenum melalu sebuah papilla kecil, yaitu papilla duodeni major. Spinchter
Oddi akan mengatur aliran empedu ke duodenum. Ductus biliaris extrahepatik
bermukosa kolumnar dengan beberapa kelenjar mukus di ductus biliaris
communis. Suplai darah ductus biliaris berasal dari arteri gastroduodenal dan
arteri hepatica kanan. Arteri ini beranastomosis bebas pada dinding ductus.
Serabut saraf dan ganglia akan semakin menebal di dekat spinchter Oddi, namun
suplai persarafan ductus choledochus dan spinchter Oddi sama dengan kandung
empedu.
5
Ductus Cysticus
Ductus cysticus memiliki panjang yang bervariasi. Panjang ductus cysticus
sekitar 1,5 inci (3,8 cm) dan menghubungkan collum vesica billiaris dengan
ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledochus. Biasanya
ductus cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang
bervariasi pada pinggir kanan omentum minus. Tunika mukosa duktus sistikus
menonjol untuk membentuk plika spiralis yang melanjutkan diri dengan plica
yang sama pada kolum vesica biliaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai
“valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen
terbuka secara konstan.Dinding lumennya terdapat banyak lipatan mukosa yang
disebut sebagai katup spiral Heister. Namun katup spiral Heister ini tidak
memiliki fungsi sebagai katup, tetapi akan menghambat aliran keluar dari ductus
cysticus.
6
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh
sel- sel hati.
7
Neurogen :
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh
berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat
gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.
Gambar 3. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b.
Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.
8
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik.
2.2 Kolelitiasis
2.2.1 Definisi
Kolelitiasis didefinisikan sebagai batu empedu yang dapat ditemukan dalam
kandung empedu atau dalam duktus koledokus, atau pada keduanya. Batu empedu
terbentuk dari hasil endapan dalam larutan yang menjadi padat. Kolelitiasis dapat
disebut batu empedu, obstruksi bilier, gallstones, biliary calculus.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
saluran empedu ekstrahepatik disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.
9
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
namun ada juga yang terbentuk primer dalam saluran empedu ekstrahepatik
maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu harus memenuhi kriteria,
antara lain, ada masa asimtomatik setelah kolesistektomi, morfologik cocok
dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak
ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus orang asia, dapat ditemukan sisa
cacing askariasis atau cacing jenis lain dalam batu, Morfologi batu primer antara
lain bentuk ovoid, lunak, rapuh, seperti lumpur atau tanah dan warna coklat muda
sampai gelap.
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit batu empedu adalah salah satu penyakit gastrointestinal yang
sering terjadi. Angka prevalensi kejadian batu empedu tinggi pada negara
industrial. Perempuan memiliki risiko lebih besar hingga 25% dibandingkan laki-
laki yang hanya 10-15%. Suatu studi ditemukan bahwa penderita batu empedu
sebagian besar (80,5%) berusia di atas 40 tahun, dengan usia rerata pasien
kolelitiasis adalah 45,6 tahun. Pada usia 60 tahun, insidens batu saluran empedu
meningkat. Di negara berkembang, batu empedu merupakan penyakit dengan
keluhan di perut yang paling umum datang ke rumah sakit. Sekitar 5,5 juta orang
menderita batu empedu di United Kingdom, dan sekitar 50.000 operasi
kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya.
Di Indonesia, didapatkan kesan lebih umum terjadi batu kolesterol. Namun,
angka kejadian batu pigmen di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan angka
kejadian di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga, seperti
Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan faktor infeksi
empedu oleh kuman gram negatif E. coli ikut berperan penting dalam timbulnya
batu pigmen. Di wilayah ini, insidens batu primer saluran empedu adalah 40-50%
dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.
Banyak faktor yang memengaruhi kejadian batu empedu seperti usia, jenis
kelamin, dan latar belakang etnis. Terdapat juga faktor predisposisi pada beberapa
kondisi seperti obesitas, kehamilan, faktor makanan yang dikonsumsi, penyakit
Crohn, reseksi ileus terminal, bedah gaster, sferositosis herediter, penyakit sel
10
sabit, dan talasemia, yang semuanya berperan terhadap meningkatnya risiko
kejadian batu empedu. Perempuan 3 kali lebih berisiko mengalami batu empedu
dibandingkan dengan laki-laki.
11
Diet
Geografik dan etnis memiliki peranan terhadap kejadian batu empedu dan
juga tipe batu yang terbentuk. Batu kolesterol umumnya didominasi di daerah
negara berkembang di Barat, batu pigmen coklat umumnya di daerah Asia.
Faktor genetik merupakan faktor kunci dalam pembentukan batu empedu.
Pada kenyataannya, pembentukan batu merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara genetik dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa gen yang teridentifikasi
sejauh ini antara lain: apolipoproteins E (APOE) dan B (APOB), cholesterol ester
transporting protein (CETP), cholesterol 7 α-hydroxylase, cholecystokinin
receptor A (CCKAR), LDL receptor (LDLR) dan CETP.
12
Gambar 3. Batu Empedu
a. Batu Kolesterol
Pembentukan batu empedu kolesterol telah dibagi menjadi tiga
tahap: (1) solubilisasi dan saturasi kolesterol, (2) nukleasi, dan (3)
pertumbuhan batu.
Kolesterol hampir tidak larut dalam empedu dan karena itu
membutuhkan interaksi dengan molekul lain untuk dilarutkan. Selama
bertahun-tahun, dianggap bahwa kolesterol dipertahankan dalam larutan
hampir seluruhnya oleh pembentukan misel socalled, terdiri dari asam
empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Asam empedu adalah senyawa
amphipathic, mengandung kedua kelompok hidrofilik dan hidrofobik.
Ketika konsentrasi asam empedu mencapai tingkat tertentu (disebut
tingkat kritis misel), molekul asam empedu individu beragregasi menjadi
kelompok-kelompok kecil dengan ujung kutubnya berorientasi keluar dan
bagian-bagian hidrofobik yang berorientasi ke bagian dalam gugus.
Fosfolipid memasuki agregat ini, yang menyebabkan pembengkakan misel
yang pada gilirannya memfasilitasi penggabungan kolesterol. Molekul
kolesterol pada akhirnya diangkut dalam matriks struktur ini. Konsentrasi
13
asam empedu dan fosfolipid relatif terhadap kolesterol telah dianggap
sebagai faktor penting dalam menentukan solubilisasi kolesterol, dan
hubungan antara ketiga zat ini umumnya telah digambarkan dalam bentuk
"segitiga kolesterol".
Konsep campuran pembentukan misel dan perannya dalam
pembentukan batu empedu kolesterol baru-baru ini ditantang oleh
demonstrasi bahwa banyak dari kolesterol bilier ada dalam struktur yang
agak berbeda, disebut vesikula. Vesikula terdiri dari bilayers fosfolipid,
mirip dengan membran sel, dengan asam empedu. Kolesterol dilarutkan
dalam bagian hidrofobik bilayer. Kepentingan relatif misel dan vesikula
dalam pembentukan batu kolesterol tetap menjadi subjek penelitian
intensif.
Proses dimana kristal monohydrate kolesterol terbentuk dan
agregat disebut sebagai nukleasi. Pengamatan bahwa banyak individu
normal tanpa batu empedu mensekresi empedu kolesterol-jenuh
menunjukkan faktor-faktor selain sekresi hati dari empedu kolesterol-
jenuh penting untuk pembentukan batu empedu. Telah menunjukkan
bahwa nukleasi terjadi lebih cepat di kantung empedu empedu pasien
dengan batu empedu kolesterol daripada individu dengan empedu jenuh
tanpa batu. Temuan ini dimulai upaya untuk mengidentifikasi sifat
pronukleasi atau faktor antinukleasi. Glikoprotein yang labil panas telah
terjadi diidentifikasi pada pasien dengan batu empedu kolesterol dan telah
terbukti mengurangi waktu nukleasi secara signifikan. Meningkat sekresi
lendir kandung empedu juga telah dilaporkan menjadi faktor pronucleating
kuat. Sekresi mukosa dirangsang oleh prostaglandin. Aspirin, penghambat
prostaglandin sintesis, keduanya secara signifikan menghambat sekresi
lendir dan mengurangi kejadian kolesterol yang diinduksi secara
eksperimental batu empedu dalam model binatang. Temuan ini dihasilkan
antusiasme yang cukup besar karena tampaknya layak untuk itu mencegah
pembentukan batu empedu melalui penggunaan profilaktik inhibitor
prostaglandin. Namun, penelitian pada manusia belum menemukan efek
penggunaan aspirin pada pembentukan batu empedu dan konsep ini telah
14
ditinggalkan. Baru-baru ini, lipopolisakarida bakteri telah terbukti
menyebabkan hipersekresi musin yang menunjukkan bahwa bertentangan
dengan asumsi yang diterima umum, bakteri dapat berperan tidak hanya
dalam perkembangan batu-batu empedu pigmen tetapi juga dalam
pembentukan batu kolesterol.
Singkatnya, meskipun saturasi kolesterol umumnya dilihat sebagai
prasyarat untuk pembentukan batu empedu kolesterol, dampak dari faktor
pronukleasi in vivo masih belum sepenuhnya dipahami. Upaya terus
dipahami peran supersaturasi kolesterol dan keseimbangan antara faktor
pronukleasi dan antinukleasi dalam pembentukan batu kolesterol.
b. Batu Pigmen
Batu pigmen ditandai dengan kandungan kolesterol rendah dan
konsentrasi tinggi bilirubin, yang biasanya lebih dari 40%. Bilirubin
disekresikan oleh hati ke dalam empedu sebagian besar dalam bentuk
diglucuronide dengan hanya sejumlah kecil bentuk monoglucuronide dan
tak terkonjugasi. Sedangkan untuk kolesterol, garam empedu
memfasilitasi pelarutan monoglucuronide dan bentuk bilirubin yang tidak
terkonjugasi. Itu bentuk tak terkonjugasi adalah hidrofobik dan dapat
mengendap dari larutan seperti garam kalsium atau polimer bilirubin. Hal
ini diyakini bahwa batu pigmen terjadi ketika empedu jenuh dengan
bilirubin tak terkonjugasi. Batu pigmen berhubungan dengan beragam
kondisi klinis dan dapat dengan mudah dibagi menjadi “batu hitam” dan
“batu coklat.”
Batu pigmen hitam terjadi pada pasien dengan hemolisis kronis,
sirosis hati, atau gangguan fungsi ileum, seperti pada penyakit Crohn atau
reseksi ileum. Pada pasien dengan hemolisis, sekresi bilirubin ke dalam
empedu mungkin meningkat lebih dari 10 kali lipat, dengan pergeseran
dari putus bengkok ke monokonjugat. Bilirubin monoconjugates lebih
sensitif terhadap hidrolisis oleh beta-glucuronidase endogen, yang
menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang kemudian
diendapkan dengan kalsium. Pembentukan batu empedu pada pasien
dengan sirosis kurang dipahami, tetapi hemolisis ringan dan hiposekresi
15
garam empedu menyebabkan berkurangnya kelarutan bilirubin tak
terkonjugasi dapat memainkan peran. Pasien dengan penyakit Crohn dan
ileitis yang luas memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi melalui hati dan
konsentrasi bilirubin bilier yang lebih tinggi. Hasil dari percobaan pada
hewan menunjukkan bahwa ini mungkin disebabkan oleh malabsorpsi
garam empedu di ileum yang mengakibatkan tingginya jumlah garam
empedu intracolonic. Hal ini menyebabkan solubilisasi intracolonic
unconjugated bilirubin, yang kemudian bebas untuk diserap kembali,
diangkut kembali ke hati, dan diekskresikan ke dalam empedu, sehingga
mengarah ke peningkatan konsentrasi bilirubin bilier.
16
Gambar 5. Lokasi batu empedu
2.2.5 Manifestasi Klinis dan Komplikasi
Penyakit batu empedu dapat terjadi simtomatik dan asimtomatik. Keluhan
klinis yang sering ditemukan adalah nyeri pada perut kanan atas, nyeri
epigastrium, demam, ikterus, mual, muntah. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
kolesistitis, koledokolitiasis dengan atau tanpa kolangitis, pancreatitis, fistula
kolesistokoledokus, fistula kolesistoduodenal atau kolesistoenterik, dan karsinoma
kandung empedu.
17
Kolik bilier atau kolesistitis kronis
Presentasi penyakit batu empedu yang paling umum adalah nyeri bilier.
Rasa sakit mulai tiba-tiba di epigastrium atau kuadran kanan atas dan dapat
menyebar ke belakang di daerah interscapular. Bertentangan dengan namanya,
rasa sakit sering tidak berfluktuasi tetapi berlangsung dari 15 menit hingga 24
jam, mereda secara spontan atau dengan analgesik opioid. Mual atau muntah
sering menyertai rasa sakit, yang berasal dari visceral dan terjadi sebagai akibat
distensi kantong empedu karena obstruksi atau ke bagian batu melalui duktus
sistikus. Sebagian besar episode dapat dikelola di rumah dengan analgesik dan
antiemetik. Nyeri berlanjut selama lebih dari 24 jam atau disertai demam
menunjukkan kolesistitis akut dan biasanya diperlukan masuk rumah sakit.
Ultrasonografi adalah investigasi definitif untuk batu empedu. Ini memiliki
sensitivitas 95% dan spesifisitas untuk batu lebih dari 4 mm. Nyeri perut
nonspesifik, kenyang dini, intoleransi lemak, mual, dan gejala usus terjadi
dengan frekuensi yang sebanding pada pasien dengan dan tanpa batu empedu,
dan gejala ini berespon buruk terhadap kolesistektomi yang tidak sesuai. Dalam
banyak gejala pasien ini adalah karena masalah saluran cerna bagian atas atau
sindrom iritasi usus.
Kolesistitis akut
Ketika obstruksi duktus cystic menetap, respon inflamasi akut dapat
berkembang dengan leukositosis dan demam ringan. Iritasi peritoneum parietal
menyebabkan nyeri terlokalisir di kuadran kanan atas. Serta batu empedu,
ultrasonografi mungkin menunjukkan kandung empedu yang lunak, berdinding
tebal, edema kandung empedu dengan jumlah abnormal cairan yang berdekatan.
Aktivitas enzim hati sering sedikit abnormal.
Manajemen awal adalah dengan obat antiinflamasi nonsteroid
(intramuskular atau per rectal) atau analgesik opioid. Meskipun kolesistitis akut
awalnya merupakan peradangan kimia, infeksi bakteri sekunder umum terjadi,
dan pasien harus diberi antibiotik spektrum luas parenteral (seperti sefalosporin
generasi kedua).
18
Kemajuan dipantau dengan resolusi takikardia, demam, dan nyeri tekan.
Idealnya kolesistektomi harus dilakukan selama penerimaan yang sama seperti
kolesistektomi yang tertunda memiliki tingkat kegagalan 15% (empiema,
gangren, atau perforasi) dan kekambuhan 15% dengan rasa sakit lebih lanjut.
Jaundice
Jaundice atau penyakit kuning terjadi pada pasien dengan batu empedu
ketika batu bermigrasi dari kantung empedu ke saluran empedu umum atau,
lebih jarang, ketika fibrosis dan impaksi batu besar di kantong Hartmann
menekan duktus hepatika communis (sindrom Mirrizi). Tes fungsi hati
menunjukkan pola kolestatik (peningkatan konsentrasi bilirubin terkonjugasi dan
aktivitas alkalin fosfatase dengan aspartat normal atau sedikit meningkat
aktivitas transaminase) dan ultrasonografi menegaskan dilatasi duktus biliaris
communis (diameter >7 mm) biasanya tanpa distensi kandung empedu.
Kolangitis akut
Ketika duktus biliaris tersumbat terkontaminasi dengan bakteri, biasanya
dari duodenum, kolangitis dapat terjadi. Perawatan segera diperlukan dengan
antibiotik spektrum luas bersama dengan dekompresi dini sistem empedu dengan
endoskopi atau radiological stenting atau drainase bedah jika pemasangan stent
tidak tersedia. Keterlambatan dapat menyebabkan septikemia atau
berkembangnya abses hati terkait dengan kematian yang tinggi.
Pankreatitis Bilier
Pankreatitis akut berkembang pada 5% dari semua pasien dengan batu
empedu dan lebih sering terjadi pada pasien dengan banyak batu kecil, duktus
sistikus lebar, dan saluran umum antara saluran empedu dan saluran pankreas.
Batu-batu kecil yang melewati saluran empedu dan melalui papila dapat secara
sementara menghalangi saluran pankreas atau memungkinkan refluks cairan
duodenum atau empedu ke dalam saluran pankreas yang menyebabkan
pankreatitis akut. Pasien harus diberikan cairan intravena dan analgesik dan
dimonitor secara hati-hati untuk memantau perkembangan kegagalan organ.
19
Batu empedu ileus
Kolesistitis akut dapat menyebabkan kantung empedu untuk melekat pada
jejunum atau duodenum yang berdekatan. Peradangan berikutnya dapat
menghasilkan fistula antara struktur ini dan berlalunya batu empedu ke usus.
Batu-batu besar bisa menjadi dampak dan menyebabkan obstruksi usus kecil.
Radiografi abdomen menunjukkan obstruksi usus kecil dan udara di pohon
empedu. Perawatan adalah dengan laparotomi dan “milking” batu yang
menghalangi ke dalam usus besar atau dengan enterotomi dan ekstraksi.
20
Ultrasonografi juga mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk melihat batu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
21
c. Oral Kolesistografi
Setelah mempertimbangkan prosedur diagnostik pilihan untuk batu
empedu, oral kolesistografi sebagian besar telah diganti dengan USG. Pada
pemeriksaan ini melibatkan pemberian senyawa radiopak secara oral yang
diserap, diekskresi oleh hati, dan masuk ke kantong empedu. Batu pada
kandung empedu terlihat sebagai filling defect pada kantong empedu yang
opasitas. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan malabsorpsi intestinal,
muntah, ikterik okstruksi, hepatic failure.
22
makin sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu
khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu.
Adapun kelebihan MRCP dibandingkan dengan ERCP yaitu
pencitraan saluran empedu tanpa risiko yang berhubungan dengan
intrumentasi, zat kontras, dan radiasi. Namun sebaliknya, kelebihan ERCP
dibandingkan dengan MRCP yaitu dapat berfungsi sebagai sarana
diagnostic dan terapi pada saat yang sama. Pada MRCP bukan merupakan
modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada operator.
2.2.7 Tatalaksana
Kolesistektomi adalah prosedur yang paling umum dilakukan di negara-
negara Barat. Carl Langenbuch pertama kali sukses melakukan kolesistektomi
pada tahun 1882, dan berlangsung selama >100 tahun, prosedur tersebut adalah
pengobatan standar untuk batu kandung empedu yang simtomatik. Kolesistektomi
terbuka adalah pengobatan yang aman dan afektif untuk kolesistitis akut dan
kronis. pada tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan oleh Philippe
Mouret di Perancis dan dengan cepat merevolusi pengobatan batu empedu.
Kolesistektomi laparoskopi secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah insisi lebih sedikit, rasa sakit dan luka bekas operasi
yang minimal, dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan dapat dengan
cepat kembali beraktivitas. Saat ini, laparoskopi merupakan pilihan pengobatan
untuk batu empedu simtomatik.
Sebelum melakukan tindakan kolesistektomi perlu diketahui secara pasti
kondisi pasien terlebih dahulu. Hal tersebut merujuk pada pemilihan terapi yang
akan dilakukan karena harus diperhatikan indikasi serta kontraindikasi yang
terdapat pada prosedur kolesistektomi laparoskopi maupun kolesistektomi
terbuka.
Tabel 2. Indikasi Kolesistektomi Laparoskopi
Kolelitiasis simtomatik
Kolik biliar
Akut kolesistitis
Koledokoliatiasis
Gallstone pankreatitis
Kolangitis atau ikterik obstruksi
Asimtomatik kolelitiasis
23
Sickle cell disease
Total parenteral nutrition
Immunosupressan kronik
Tidak ada akses langsung ke fasilitas kesehatan (misal: personil militer)
Kolesistektomi insidental pada pasien yang menjalani prosedur operasi untuk indikasi lain
Acalculus kolesistitis
Absolut
Tidak dapat mentoleransi general anestesi
Refractory coagulophaty
Suspek karsinoma kandung empedu
Relatif
Riwayat operasi abdomen bagian atas
Kolangitis
Peritonitis difus
Sirosis dan/tanpa hipertensi porta
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Kolesistoenterik fistula
Obesitas morbid
Kehamilan
Komplikasi yang terkait dengan pengangkatan kantong empedu secara
laparoskopik serupa dengan komplikasi yang terjadi selama kolesistektomi
terbuka. Komplikasi yang dapat ditimbulkan terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Komplikasi Kolesistektomi Laparoskopi
Perdarahan
Pankreatitis
Infeksi
Hernia insisional
Pneumoperitonium
CO2 embolisme
Vaso-vagal reflex
Kardiak aritmia
Asidosis hiperkarbik
Trocar
Perdarahan dinding abdomen, hematom
Trauma visceral
Trauma vaskuler
24
Pada kolesistektomi terbuka para ahli bedah melakukan kolesistektomi
terbuka dengan beberapa indikasi. Sebelum dilakukannya kolesistektomi telah
dilakukan penilaian secara klinis. Oleh karenanya tidak ragu untuk mengubah
kolesistektomi terbuka jika didapatkan anatomi yang tidak jelas, jika timbul
komplikasi, atau ada kegagalan untuk membuat perbaikan yang wajar secara tepat
waktu. Beberapa komplikasi yang membutuhkan laparotomi sangat jelas, seperti
perdarahan masif atau cedera mayor pada saluran empedu. Laparotomi
memungkinkan dan harus dilakukan ketika anatomi tidak dapat digambarkan
karena inflamasi, adhesi, atau anomali. Fistula antara sistem empedu dan usus
jarang terjadi, tetapi mungkin memerlukan laparotomi untuk penatalaksanaan
yang optimal. Karsinoma kandung empedu juga berpotensi dilakukan eksplorasi
terbuka. Batu pada duktus koledokus (koledokolitiasis) yang tidak dapat diatasi
secara laparoskopi dan tidak mungkin diekstraksi dengan endoscopi tetapi harus
dikonversi ke operasi terbuka.
25
BAB III
KESIMPULAN
26
Penanganan kolelitiasis simtomatik dapat dilakukan dengan tindakan
pembedahan berupa kolesistektomi laparoskopik maupun terbuka. Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi pilihan dalam teknik pembedahan invasive minimal di
dalam abdomen dengan beberapa kelebihan dibandingkan kolesistektomi terbuka
diantaranya rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang
pendek, luka parut yang minimal.
27
DAFTAR PUSTAKA
Beckingham IJ. ABC of Liver. 2001. Pancreas and Gall Bladder. BMJ Books.
Bortoff GA et al. 2000. Gallbladder Stones: Imaging and Intervention.
RadioGraphics RSNA.
Brucinardi,F Charles et al. 2015. Schwartz’s Principles Surgery. 10th ed. New
York: Mc Graw Hill.
Clavien P A & Baillie J (Ed). 2006. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts
Diagnosis and Treatment. 2nd ed. Blackwell Publishing.
Girsang JH. 2013. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di RS
Santa Elisabeth, Medan pada tahun 2010-2011. Jurnal Universitas Sumatera
Utara.
Guyton, Arthur C. Hall, John E 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th
edition. Jakarta: EGC.
Ndraha, Suzanna, Fabiani H, Tannady TH, Tendean M. 2014. Profil Kolelitiasis
pada Hasil Ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta:
Jurnal Kedokteran Meditek.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: Interna Publishing.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Buku Kedokteran EGC.
Stinton, Laura M & Shaffer, Eldon A. 2012. Epidemiology of Gallbladder
Disease: Cholelithiasis and Cancer. Gut and Liver.
28