Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SISTEM PERKEMIHAN

“INKONTINENSIA URINE”

OLEH

KELOMPOK III

ANDRIANI CANDRA

FADILA YULI AGUS BETRI

HAFIZHAH ULFA

LISA PUTRI

VIRLIA PUTRI KHAIRAMI

Dosen Pembimbing

Ns. Sri Hayulita, M.Kep

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI

SUMATERA BARAT BUKITTINGGI

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul ”
inkontinensia urine”. Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah sistem perkemihan. Kami mengucapkan
terima kasih kepada ibu Ns. Sri Hayulita, M.Kep selaku dosen pembimbing makalah
ini. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga Allah memberikan pahala


yang setimpal bagi mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan
semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal’Alamin.

Bukittinggi, Mei 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................i

Daftar Isi.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep inkontinensia urine......................................................................2


B. Asuhan Keperawatan................................................................................2

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................13
B. Saran........................................................................................................13

DAFTAR PUSATAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine atau yang dikenal dalam bahasa awam sebagai beser
adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan (nulipara).
Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat
gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun
atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%.
Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada
nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan
meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi
mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar
kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga
kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat
menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan
desakan secara bersamaan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urin ?

C. Tujuan Penulisan
 Tujuan Umum
untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia
urin
 Tujuan Khusus
1
a. untuk menjelaskan defenisi dari inkontinensia urine.
b. Menjelaskan klasifikasi dari inkontinensia urine.
c. Menjelaskan etiologi dari inkontinensia urine.
d. Menjelaskan patofisiologi dari inkontinensia urine.
e. Menjelaskan manifestasi klinis dari inkontinensia urine.
f. Menjelaskan komplikasi dari inkontinensia urine.
g. Menjelaskan pemeriksaan diagnosis dari inkontinensia urine.
h. Menjelaskan penatalaksanaan dari inkontinensia urine.

D. Manfaat
Sebagai referensi bagi mahasiswa keperawatan untuk menambah pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS)
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau
dikontrol; secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah
sosial atau higienis. Hal ini memberikan perasaan tidak nyaman yang
menimbulkan dampak terhadap kehidupan social, psikologi, aktivitas seksual dan
pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi social dan interpersonal.
Inkontinensia urin dapat bersift akut atau persisten. Unkontinensia urin yang
bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi
seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, ransangan
obat-obatan dan masalah psikologik.

2
Inkontinensia urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser adalah
pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatanan social. Variasi dari
inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-
benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai
pengeluaran feses) (brunner,2011).

Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi


berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh factor gangguan
psikologis dan factor social yang sulit diatasi. Penderita merasa rendah diri
karena selalu basah akibat urin yang keluar, pada saat batuk, bersin, mengangkat
barang berat, bersenggama, bahkan kadang pada saat beristirahat dan setiap saat
harus memakai kain pembalut.

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dibagi beberapa jenis yaitu:
1. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)

Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.


Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga
atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan
karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan
ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang
terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian
dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga
jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran
kegawatan keluhan inkontinensia ini.
3
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml.
Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan
meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran
urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu
sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini.
Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan
vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel
hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti
maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi
kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri,
sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang
vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 1200.
Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan.
Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah
interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang
tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat
kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat
ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog. Pada
inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut
sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk
otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat
operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan

4
perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang
sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel
dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat
terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis
(teknik Marshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral
pada lig. Pouparti (teknik Burch) atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke
atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta
diikatkan pada fasia abdominalis.Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur
aduk. Dalam keadaan seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga
meliputi sistometri dan pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan
atau tanpa pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik
suspensi di atas, maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari
pembentukan sisa urine segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini
bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan
karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih
suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi
kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang
berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-
Krantz merupakan komplikasi yang jarang terjadi.

2. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)


Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya
(urgensi).Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian,
otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang
(misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung
kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala
gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.

5
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia
pada keadaan kontraksi yang tidak stabil.
Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi
motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi
sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan
dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi
pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada
susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis
interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik
lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa
dan antikolinegrik.Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

3. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)


Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi
kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung
kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan
kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya
urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis.
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda,
tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung
kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi
pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos
dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi.

6
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari
pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di
dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan
kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan
simpatis dari ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis
gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :
 Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks
terjadi kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga
miksi sebenarnya lenyap.
 Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung
refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas
terhadap pusat miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan
kandung kemih. Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada
miksi yang otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat
yang lebih atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya
dengan otot kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga
kontraksi otot kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih benar-
benar dapat dikosongkan.
Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktifitas refleks pada
segmen sakral medula spinalis. Bila ada aktifitas sakral, mungkin lesi jenis
supranuklear.
 Refleks anus : kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum.
Kontraksi pada sfingter anus bagian luar membuktikan bahwa refleks
ini ada. Jari yang dimasukan di dalam rektum merasakan bahwa
sfinger anus menegang.
 Refleks bulbokavernosus : sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan
rektal terjadi kontraksi otot bulbo dan iskiokavernosus.

7
 Refleks ketok abdomen : ketokan pada dinding perut diatas simfisis
menyebabkan tegangnya sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari
didalam rektrum.
 Tes air es : kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-
90 ml air es. Jika dalam waktu satu menit kateter beserta air es
tertekan keluar lagi, terbukti adanya gangguan fungi kandung kemih
jenis supranuklear.
4. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi,
atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus
lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan
jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan
kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya
dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis
ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan
tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi
melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila
ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah,
maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.

C. ETIOLOGI
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia

8
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan
ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical.
Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,
mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien
lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya.
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan
bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan

9
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul.

D. PATOFISIOLOGI
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot
normal diluar kesadaran dan yang di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh
reflex urethrovesica urinaria. Pengertian tentang keteraturan stimulus saraf dan
kegiatan otot dapat membantu perawat bagaimana kontinen dapat dapat
dipertahankan.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih
meningkat. Otot detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing)
memberikan respon dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung.
Bila titik daya tampung telah dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya
rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsang.
Stimulus ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan pusat reflex
untuk mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari
lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-
sama membuka dan urin masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna
dan otot perincal mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan
refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi
diluar kesadaran dari sfinker eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi yang
komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia urin.
Cerebral clouding (fungsi otak menurun) pada orang lanjut usia adalah
biasa. Pada banyak kejadian orang lanjut usia inkontinen karena berkurangnya
kesadaran kebutuhan untuk mengosongkan kandung kemih. Bentuk inkontinen
ini seringkali tidak ada hubungan dengan kelainan patologi pada tingkat otak.
Cerebral clouding terjadi juga pada orang sakit akut yang menderita begitu sakit
sehingga otak tumpul. Mereka tidak dapat berfikir dan tidak mempunyai energy
untuk mengendalikan di luar kesadaran. Demikian juga seseorang dalam keadaan

10
koma mengalami inkontinen, karena hilangnya kemampuan diluar kesadaran
pembukaan sfinter eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke urethra posterior,
kandung kencing berkontraksi dan air kemih keluar. Hal seperti ini menyebabkan
kenapa seseorang berkemih pada waktu anesthesia.
Infeksi dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak inkontinen,
karena bakteri pada saluran kemih menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa
kandung kemih dan menstimulir rethrovesica urinaria. Inkontinen terjadi sebagai
dampak dari ketidakmampuan untuk menahan reflek urethro vesica urinaria
dengan sempurna oleh pusat-pusat yang lebih tinggi.

Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi tulang sum-
sum belakang atau rusak saraf perifer dari kandung kemih. Bentuk kontinen ini
dapat terlihat pada orang dengan malforsi sum-sum belakang, cedera, tumor dan
pada mereka dengan komprs sum-sum akibat patah vertebra, diskus yang hernia,
tumor metastase di sum-sum belakang pasca bedah. Bentuk kesulitan ini dapat
berakibat kepada dua jenis respon yang dikenal sebagai neurogenik vesicalis.
Orang yang menderita neurogenic vesikalis tidak mempunyai cara untuk
mengetahui kapan berkemih itu terjadi.

Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan pusat


cerebrocortical tidak merusak reflek berkemih, walupun bisa menghilangkan
keteraturan. Lesi bisa merusak potensi kortek untuk menahan reflek. Dampaknya
adalah “motor neuron atas” atau kandung kencing yang automatis. Kandung
kemih menjadi hipertosis dan hanya mempunyai sedikit kapasitas (kurang dari
150 ml). Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan sensitifitas terhadap jumlah
urin yang sedikit di dalam kandung kemih berdampak mendahului reflek
berkemih dan berpotensi terjadi refluks vesicourethral.

Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa berdampak pada
lengkungan refleks oleh interupsi aferennya, eferannya oleh komponen sentral.
Berakibat terjadi “motor neuron bawah” atau kandung kemih lemah. Kandung
kemih menjadi hipotonis dengan kapasitas 500 ml atau lebih. Inkontinen luapan,

11
retensi residu urin, dan potensi vesicourethra refluks merupakan masalah yang
didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.

Inkontinen karena luapan dianggap disebabkan oleh tekanan dari


kandung kemih yang distensi oleh otot-otot abdomen. Residu urin adalah, urin
yang masih berada di dalam kandung kemih setelah pengosongan yang tidak
sempurna, merupakan media untuk berkembangnya bakteri dan infeksi saluran
kemih menjadi lumrah.

Kerusakan jaringan dari sfingter kandung kemih oleh instrumen, bedah


atau kecelakaan, parut yang ditinggalkan infeksi, lesi yang mengenai sfingter
atau relaksasi struktur perineum dapat berakibat intontinen urin. Sebab
inkontinen yang akhir kadang-kadang sering timbul setelah melahirkan anak.
Masalah sifatnya lokal dan tidak menyangkut saraf.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan
sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak
stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal),
fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau
usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan
penyakit yang mendasari.

F. PEMERIKSAAN PADA INKONTINENSIA URIN


a. Tes diagnostik pada inkontinensia urin.

12
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial yang mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
b. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang
air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
c. Urinalisis : dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti
hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan
perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut
adalah :
1. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
3. Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat
4. Imaging tes atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bawah.

Adapun Pemeriksaan Penunjang


Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa
urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik
dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat
dilakukan penekanan dapat juga terjadi. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika
kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Anjurkan klien untuk
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin
seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada
keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tidak terkendali, dan
kapasitas kandung kemih.

13
Adapun Pemeriksaan Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

Catatan berkemih (voiding record)


Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan
untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak
inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola
berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada
dirinya.

G. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan konservatif
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan
tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif.
Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain
itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
1) Inkontinensia urgensi
 Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya
 Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
 Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain
keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih
bagian bawah.
 Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin
secara menetap.
 Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
2) Inkontensia overflow
 Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin
secara menetap
 Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
3) Inkontinensia tipe fungsional

14
 Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan
Berkemih.
 Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
 Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih
 Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung
kemih
2. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis.
Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu
penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya
pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam
daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan
peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug
kemih.
Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal
pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan
otot lurik uretra dan periuretra.
Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder training) telah
menunjukan hasil yang efektif.Latihan kandung kemih adalah upaya melatih
kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung
kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
Obat-obatan
 Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor
yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan
urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini
dengan efek samping relatif ringan..
 Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif
pada inkotinensia stres.Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan
dan insomnia oleh karena stimulasi SSP

15
 Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan
efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen
utama obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan
anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal.
Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres mengalami perbaikan.
 Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan
efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan
estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan
setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki
vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada
data yang akurat.

16
ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat,
suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.

b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi
dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3)Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.

c. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensia.

17
 Pemeriksaan Sistem
 B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
 B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
 B3(brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
 B4 (bladder)
Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar
di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
 B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada
ginjal.
 B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.

b. Analisa data

Data Masalah etiologi

DS: Gangguan eliminasi Gangguan


biasanya pasien
urine sensori motor
mengatakan sering
berkemih
DO: inkontinesia urin
retensi urine

18
DS: Gangguan citra tubuh Kehilangan
biasanya klien
fungsi tubuh,
mengungkapkan perasaan
perubahan
yang mencerminkan
keterlibatan
perubahan pandangan
sosial
tentang tubuh individu
DO:
Respon nonverbal terhadap
perubahan actual pada
tubuh.
Perubahan actual pada
fungsi dan struktur tubuh

DS: biasanya klien Ansietas Perubahan dalam


mengatakan gelisah status
Klien mengeluhkan
kesehatan
kekhawatiran karena
perubahan dalam
peristiwa hidup.
Klien mengatakan susah
tidur.
DO:
Klien tampak cemas.
Klien tampak gelisah.
Klien insomnia.

c. Diagnosa keperawatan

a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.


b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.

d. Intervensi

NO DIAGNOSA NIC NOC


KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi Urinary retention care 1. Lakukan penilaian
Criteria Hasil:
urine b/d gangguan kemih yang

19
sensori motor.  Kandung kemih komprehensif berfokus
kosong secara pada inkontinensia
penuh. (misalnya, output urin,
 Tidak ada residu pola berkemih, fungsi
urine >100-200 cc. kognitif)
 Intake cairan dalam 2. Pantau penggunaan obat
rentang normal. dengan sifat
 Balance cairan
antikolinergik
seimbang. 3. Memantau intake dan
output
4. Memantau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi atau
perkusi
5. Bantu dengan toilet
secara berkala
6. Kateterisasi

2. Gangguan citra Body image 1. Kaji secara verbal


tubuh b/d kehilangan enhancement dan non verbal
Criteria Hasil:
fungsi tubuh, respon klien
 Body image positif
perubahan  Mampu terhadap tubuhnya
2. Jelaskan tentang
keterlibatan sosial. mengidentifikasi
pengobatan dan
kekuatan personal
 Mendeskripsikan perawatan penyakit
3. Identifikasi arti
secara factual
pengurangan melalui
perubahan fungsi
pemakaian alat
tubuh
 Mempertahankan bantu.
4. Fasilitasi kontak
interaksi social
dengan individu lain
dalam kelompok lain

3. Ansietas b/d Anxiety self control 1. Gunakan pendekatan


Criteria hasil:
3 perubahan dalam yang menenangkan.
 klien mampu 2. Jelaskan semua

20
3. status kesehatan. mengidentifika prosedur dan apa
si dan yang dirasakan
mengungkapka selama prosedur.
3. Pahami prespektif
n gejala cemas.
 Mengidentifika klien terhadap situasi
si, stress.
4. Temani pasien untuk
mengungkapak
memberikan
an dan
keamanan dan
menunjukkan
mengurangi takut.
teknik untuk 5. Dorong keluarga
mengontrol untuk menemani
cemas. pasien.
 Postur tubuh,
ekspresi wajah,
bahasa tubuh
dan tingkat
aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
sosial.
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni.Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan
ke toilet Asuhan keperawatan inkontinensia urin meliputi pengkajian, diagnose
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

B. Saran

Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan


tindakan perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan
tingkat kenyamanan pasien, manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus
mampu mamahami faktor psikologis dan emosional yang berhubungan dengan
diagnosa penyakit, dan perawat juga harus terus mendukung pasien dan keluarga
dalam menjalani proses penyakitnya.

22
Daftar Pustaka

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran
Bandung.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol.2. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.

23

Anda mungkin juga menyukai