Anda di halaman 1dari 17

Sel NK Uterus: Regulator Aktif pada Maternal-Fetal Interface

Ashley Moffett1,2 and Francesco Colucci2,3

Kehamilan merupakan sebuah teka-teki imunologi karena dua individu yang


secara genetik berbeda dapat hidup secara berdampingan. Limfosit ibu pada
maternal-fetal interface di uterus yang dapat mengenali sel-sel plasenta yang tidak
cocok adalah sel T dan sel NK uterus (uNK) yang berjumlah sangat banyak.
Terdapat banyak mekanisme untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat respon
sel T pada janin, sedangkan aktivasi sel-sel uNK mungkin bersifat fisiologis.
Memang, data epidemiologi genetik menunjukkan bahwa variabilitas reseptor sel
NK dan ligan MHC sel NK tersebut menentukan keberhasilan kehamilan; akan
tetapi, bagaimana sel uNK berfungsi dalam kehamilan normal dan patologis
hingga saat ini masih belum jelas, dan setiap terapi yang bertujuan untuk menekan
aktivitas sel NK harus dipertimbangkan secara hati-hati. Allorecognition sel
plasenta janin oleh sel uNK merupakan sebuah mekanisme kunci dalam imunitas
maternal-fetal yang meregulasi proses pembentukan plasenta.

Maternal-fetal interface di Uterus


Paradoks pada imunologi kehamilan merupakan pusat preokupasi ahli
imunologi setelah ditemukannya mekanisme toleransi imunologi yang didapat (1).
Kehamilan dan transplantasi berperan penting dalam penemuan polimorfisme
MHC. Hal ini disebabkan karena produsen alloantibodi molekul HLA alami
terbaik adalah wanita multipara (2) dan individu yang seringkali menjalani
trasnfusi (3). Sejak diterbitkannya esai berpengaruh oleh Medawar (4), fokus ahli
imunologi adalah bagaimana sel T maternal dapat menjadi toleran terhadap
allograft janin. Kondisi terkini terkait bidang tersebut telah diringkas dalam
sebuah tinjauan ilmiah yang baru-baru ini diterbitkan (5, 6). Kami mengambil
pendekatan yang berbeda dari hal-hal yang muncul dan berkaitan dengan
gangguan kehamilan, yang mana mempengaruhi jutaan wanita dan merupakan
masalah kesehatan global yang persisten. Pandangan terkait sistem kekebalan ibu
ini muncul dari pertimbangan terkait bagaimana proses pembentukan plasenta
berevolusi pada mamalia dan berpusat pada anatomi, fisiologi, dan patologi uterus
hamil. Kami memfokuskan pada sel-sel kekebalan yang ada di lapisan sel uterus
hamil, yaitu desidua, yang didominasi oleh sel NK (dikenal sebagai sel NK
desidua atau sel NK uterus), yang mana berbeda dari sel NK di darah tepi (pbNK)
(7-9). Sel NK telah lama menjadi fokus dokter yang merawat wanita dengan
riwayat infertilitas dan keguguran berulang, berdasarkan gagasan yang keliru
bahwa sel NK tersebutlah yang menyebabkan terjadinya kegagalan reproduksi,
yaitu dengan cara membunuh sel embrio.
Sel-sel janin yang bersinggungan langsung dengan sel ibu dalam rahim
adalah sel trofoblast, yang berasal dari lapisan trophektoderm yang melingkupi
blastokista, dan berfungsi melindungi janin yang berada didalam kepompong yang
dibentuknya (10, 11). Untuk ahli imunologi, perbedaan antara dua jenis sel janin
(sel trofoblas ekstraembrionik dan sel embrio itu sendiri) adalah penting. Sirkulasi
ibu dan janin tidak mengalami pencampuran, meskipun pertukaran sel dapat
terjadi secara sementara, terutama pada kondisi trauma persalinan. Untuk
memastikan pengiriman nutrisi dan oksigen ibu secara adekuat ke plasenta, maka
peningkatan substansial aliran darah uterus diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan janin secara normal. Hal ini dicapai dengan cara invasi sel-sel
trofoblast melalui sel epitel dan ke dalam arteri uterus. Darah ibu dengan
demikian akan bersentuhan langsung dengan sel-sel trofoblast (plasenta
hemokorial). Invasi sel trofoblas selalu disertai dengan perubahan dramatis pada
mukosa uterus yang dikenal sebagai proses desidualisasi (Gambar 1), yang
dicirikan oleh adanya diferensiasi komponen kelenjar dan stroma, serta
peningkatan tortuositas dan pelonggaran tunika media arteri spiralis (12). Selain
itu, akumulasi sejumlah besar sel uNK dan myelomonositik serta beberapa sel T
yang berukuran lebih kecil terjadi khususnya di sekitar sel trofoblas yang
menjalani proses invasi (11, 13). Di sini, kami akan mempertanyakan bagaimana
dua jenis sel limfoid (sel T dan sel NK, yang mana kedua sel tersebut mampu
melakukan allorecognition) mengenali dan menanggapi unit fetoplacental.
Gambar 1
Respons imun ibu terhadap janin dan plasenta. Sistem kekebalan ibu tidak
mengabaikan allograft janin. Antibodi khusus untuk antigen Rhesus D dan untuk
molekul HLA yang diwariskan oleh ayah (atau, jarang terjadi, sel T spesifik
terhadap antigen histokompatibilitas minor yang tidak cocok) ditemukan dalam
sirkulasi maternal. Meskipun demikian, sel-sel T ini umumnya tidak dapat
mencapai janin, karena ini dilindungi oleh beberapa mekanisme, termasuk adanya
barier plasenta. Mukosa uterus berhubungan langsung dengan plasenta janin pada
maternal-fetal interface. Maternal-fetal interface adalah lokasi utama sel plasenta
janin (bukan sel embrio yang sebenarnya) untuk secara langsung bersinggungan
dengan jaringan maternal. Desidua adalah jaringan khusus yang kaya akan sel
uNK dan sel myeloid serta mengandung sel T maternal, termasuk sel T efektor
dan sel Treg. Meskipun tampak secara jelas bahwa sel-sel uNK memiliki reseptor
yang dapat berinteraksi dengan molekul HLA-C sel trofoblas invasif pada
maternal-fetal interface, namun interaksi sel T efektor terhadap sel trofoblas
hingga saat ini masih belum jelas. Sirkulasi darah ibu mengandung antibodi
antifetal dan sel T serta sel janin dan sel trofoblast.

Sel T dalam kehamilan


Disini kami akan mendiskusikan semua allorecognition sel T; aspek lain
sel T maternal dalam kehamilan yang dibahas dalam sebuah review yang sangat
baik (14). Sel trofoblas yang menginvasi lapisan desidua maternal merupakan sel
allogeneic dan dengan demikian menjadi target potensial untuk sel T. Jaringan
yang dicangkokkan dari satu individu alogenik ke individu yang lain selalu
ditolak, hal ini disebabkan karena sel T resipien akan bereaksi dengan molekul
MHC non-self serta protein-protein lainnya, yang dikenal sebagai antigen
histokompatibilitas minor (15). Sel T maternal mampu bereaksi dengan
alloantigen dan secara imunologis tidak bersifat inert, seperti yang ditunjukkan
dengan adanya sel T yang spesifik janin (16, 17) serta respon humoral yang
bergantung pada sel T yang spesifik terhadap antigen Rhesus D yang ditemukan
pada wanita Rh-negatif (18), atau untuk molekul HLA allogenik yang berasal dari
ayah pada wanita multipara (19). Sebuah masalah dalam memahami peran respon
sel T maternal pada kehamilan adalah sulitnya melakukan pemisahan sel T yang
spesifik untuk sel trofoblas (baik pada desidua maupun sistemik) dengan sel T
yang memiliki spesifitas terhadap sel somatik janin. Meskipun sebuah studi
elegan yang dilakukan pada mencit telah menemukan keberadaan sel T maternal
yang spesifik untuk transgen yang berasal dari paternal (yaitu, aktin-OVA dan
actin-2W1S; ref. 20, 21) atau terhadap antigen laki-laki (22), namun sifat jaringan
yang ditargetkan oleh sel T efektor maternal tidak dapat didefinisikan, karena gen
yang diwariskan secara paternal diasumsikan dapat ditemukan baik pada sel
trofoblas maupun pada sel janin. Pada manusia, sel T spesifik trofoblas cenderung
merupakan sel HLA-C restricted, karena HLA-C merupakan satu-satunya molekul
HLA trofoblas kelas I yang bersifat polimorfik.
Selain membedakan apakah respons yang terjadi merupakan respon
terhadap sel trofoblas atau sel janin, apakah respon yang dihasilkan merupakan
respon sistemik atau respon lokal di desidua juga penting untuk dibedakan. Pada
kehamilan dengan HLA-C yang tidak sesuai (mismatched), sel T desidual yang
ada berpotensi untuk mengenali HLA-C janin pada maternal-fetal interface (23).
Pada mencit, tidak ada data yang tersedia terkait spesifisitas sel T desidua. Namun,
banyak penelitian pada mencit dan manusia telah menjelaskan mekanisme yang
mendukung mekanisme toleransi sel T pada desidua antara lain: drainase limfatik
yang buruk sehingga tidak memungkinkan migrasi APC desidual ke kelenjar
getah bening regional (24, 25); APC desidual mengekspresikan immunoreseptor
yang mengikat molekul HLA-G trofoblas, yang mana mencegah sel berkembang
menjadi imunogenik (26, 27); gen kemokin yang menarik sel T secara epigenetik
akan dinonaktifkan di sel stroma desidua (28); serta sel T sitotoksik pada desidua
manusia mengekspresikan lebih sedikit perforin dan granzim B (29). Mekanisme
antigen-independen lainnya termasuk ekspresi ligan FAS, galektin, dan sitokin
imunosupresif misalnya IL-10 dan TGF-β (5, 6). Pertanyaan terkait mekanisme
sel efektor T menyebabkan keguguran janin juga masih dipertanyakan. Selain itu,
meskipun penurunan jumlah Treg dapat menyebabkan kematian janin, yang mana
menunjukkan bahwa sel-sel ini memainkan beberapa peran dalam kehamilan,
namun spesifisitas sel Treg dan mekanisme terkait sel tersebut tidak jelas dan
mungkin dapat disebabkan adanya peradangan nonspesifik pada maternal-fetal
interface (14).
Kami menyimpulkan bahwa pada manusia, respon imun adaptif sistemik
terhadap antigen janin tetap dihasilkan, tetapi tidak ada bukti bahwa respon imun
tersebut pernah menyebabkan kegagalan kehamilan akibat terjadinya kerusakan
sel trofoblas plasenta (atau yang sering disebut dengan istilah "penolakan"). Hal
ini tentu saja berbeda dengan mekanisme kematian janin yang disebabkan oleh,
misalnya, antibodi anti-Rhesus. Pada mencit, mekanisme ini mungkin tidak benar,
seperti yang ditunjukkan pada proses keguguran janin akibat infeksi Leishmania
(30). Meskipun demikian, banyak laporan menunjukkan adanya perubahan
kualitatif pada kehamilan manusia, termasuk laporan definitif yang baru-baru ini
diterbitkan yang mana melaporkan respon CTL terhadap HCV (31). Temuan ini
mendukung pengamatan klinis terkait respon terhadap virus seperti flu dan cacar
air (32, 33), serta autoantigen, dimana merupakan mekanisme respon yang
berbeda selama kehamilan (34-36). Kesimpulan kami adalah adanya
penyimpangan respon selama kehamilan yang menyebabkan peningkatan respon
CTL, namun temuan ini tampaknya tidak berpengaruh pada survival atau fungsi
plasenta. Studi pada mencit menunjukkan bahwa Treg dapat mencegah
pembentukan sel T efektor pada maternal-fetal interface (37).
Fokus kami saat ini telah bergeser dari toleransi sel T ke respon imun
alamiah dan ke plasenta, karena adanya temuan predominasi sel uNK dan
mielomonositik pada lokasi plasentasi serta pengamatan yang menunjukkan
bahwa tidak seperti sel T, sel uNK menunjukkan adanya interaksi cognate
receptor-ligand dalam pengenalan sel uNK dengan sel trofoblas.

Sel uNK
Kunci keberhasilan kehamilan manusia adalah adanya remodelling arteri
spiral secara dramatis, dimana terjadi destruksi tunika media akibat invasi sel-sel
trofoblas ekstravili (EVT) (38). Kelainan pada proses tersebut menimbulkan
sindrom obstetrik besar (GOS) yaitu: preeklampsia, lahir mati, dan restriksi
pertumbuhan janin (FGR) (39). Kondisi patologis menunjukkan adanya peran
kunci desidua dalam mengatur proses plasentasi, karena apabila desidua tidak ada,
sel trofoblas akan menginvasi lebih dalam ke dalam miometrium (plasenta
perkreta). Hal apakah yang ada didalam desidua yang secara normal dapat
memungkinkan terjadinya keseimbangan antara proses invasi yang berlebihan dan
terjadinya kelainan proses invasi? Karena adanya sifat allogenik pada sel
trofoblast, muncul gagasan bahwa sel uNK merupakan sel yang mempengaruhi
proses keseimbangan tersebut. Penelitian epidemiologi pada preeklampsia juga
menunjukkan peran sistem kekebalan tubuh. Hal ini disebabkan karena
preeklamsia merupakan gangguan kehamilan pertama yang menunjukkan bukti
adanya spesifisitas pasangan (40). Memori adalah fitur kunci dari imunitas adaptif,
dan sel NK saat ini telah diketahui memiliki kemampuan ini (41).
Secara fungsional, sel NK dapat diidentifikasi sebagai limfosit yang secara
spontan bersifat sitotoksik menjadi sel target MHC-null (42-45). Tidak seperti sel
pbNK, sel-sel uNK hanya bersifat sitotoksik lemah terhadap galur sel kanker
standar (misalnya, K562) dan biasanya tidak dapat membunuh sel trofoblas (46-
48). Temuan ini membingungkan, karena sel uNK adalah sel limfosit berukuran
besar yang memiliki granula sitoplasma yang menonjol dan mengandung perforin,
granzim, dan granulysin, yang mana menunjukkan bahwa fungsi non-sitolitik lain
dari protein-protein tersebut bersifat penting (49-51). Meskipun sel-sel uNK
biasanya tidak dapat membunuh sel, namun sel uNK mungkin dapat berubah
menjadi sitolitik dalam situasi tertentu, seperti misalnya pada infeksi CMV di
mana stres seluler dideteksi oleh reseptor NKG2D (52).
Asal usul sel-sel uNK hingga saat ini masih diperdebatkan, tetapi sel uNK
diketahui berproliferasi dan berdiferensiasi di dalam uterus, dan kemungkinan
berasal dari nenek moyang sel NK awal yang direkrut dari darah (53, 54),
meskipun ada beberapa laporan yang menunjukkan bahwa sel uNK berasal dari
sel CD34+ pada mukosa manusia (55-57). Bukti terkait perekrutan sel NK matur
dari peredaran darah perifer juga telah ditemukan (55, 58, 59), dan pada mencit,
adrenomedullin yang disekresikan oleh sel-sel trofoblas juga diketahui melakukan
rekruitmen sel uNK (60). Dengan demikian, terdapat beberapa kemungkinan jalur
asal sel uNK. Sebagai contoh, subset sel uNK murine memiliki asal yang berbeda
(50), dan sel NK jaringan endometrium (eNK) pada wanita dapat berkontribusi
terhadap kumpulan sel uNK yang ada selama kehamilan (61).
Sel uNK kemungkinan berfungsi dengan cara bekerja sama dengan sel
tropoblas untuk menjamin berlangsungnya proses remodelling arteri secara benar
(11, 62, 63), sehingga memastikan ketersediaan jalur suplai ke janin yang sedang
tumbuh. Produksi IFN-γ pada mencit merupakan faktor kunci terjadinya
remodelling pembuluh darah (64). Sebaliknya, sel-sel uNK manusia tidak
menghasilkan IFN-γ dalam jumlah banyak; dan dengan demikian, kedua tes yang
biasa digunakan untuk sel pbNK (sitotoksisitas dan produksi IFN-γ) bersifat tidak
informatif (65). Sel uNK manusia terbatas pada mukosa, endometrium, dan
desidua. Pada mencit, sel uNK pertama kali terakumulasi pada bagian desidua
basalis (pada hari gestasional 6.5), namun kemudian ditemukan di miometrium
sekitar arteri spiral (sekitar hari gestasional 8,5-13,5) (66). Remodelling arteri
spiralis adalah modifikasi jaringan esensial pada kedua spesies, tetapi prosesnya
tidak identik. Sel uNK manusia awalnya menyebabkan pelonggaran tunika medial
sebagai bagian awal dari proses desidualisasi (67). Setelah terjadinya implantasi,
sel-sel EVT yang berada disekitarnya menghancurkan otot polos pada tunika
media arteri (perubahan fibrinoid), diikuti oleh penggantian sel endotel oleh sel
endovaskular trofoblas (38, 68). Pada mencit, terdapat sedikit migrasi sel
endovaskular trofoblas, dan tunika media arteri terutama dimodifikasi oleh hasil
infiltrasi langsung sel uNK (63). Berbagai faktor angiogenik diproduksi oleh sel-
sel uNK pada kedua spesies, dan hal ini kemungkinan juga mempengaruhi
stabilitas dan fungsi vaskular (69).

Allorecognition sel NK dalam transplantasi dan kehamilan


Hipotesis kami adalah bahwa transformasi arteri secara tepat bergantung
pada mekanisme allorecognition sel trofoblas oleh sel uNK, dan hal ini
menentukan keberhasilan proses pembentukan plasenta dan perkembangan janin
(62, 64, 69-71). Sel uNK mengekspresikan berbagai reseptor NK (NKRs) yang
dapat mengenali molekul adhesi, sinyal stres (banyak yang masih belum
diketahui), dan ligan MHC kelas I (8, 65, 72, 73). Oleh karena itu, sel-sel uNK
akan merespon berbagai macam sinyal, baik yang diinduksi oleh perubahan
hormon kehamilan atau akibat ekspresi sel trofoblast, termasuk molekul MHC
allogenik. Molekul MHC allogenik adalah ligan paling variabel untuk NKR,
beberapa di antaranya juga sangat beragam dan berbeda antar individu. Dengan
demikian, NKR maternal dan ligan MHC pada janin dan maternal memungkinkan
adanya sedikit perbedaan pada setiap kehamilan (71).
Setiap individu mewarisi dua set variasi gen NKR, satu pada setiap
kromosom. Gen tersebut adalah keluarga killer cell Ig-like receptors (KIR), yang
merupakan bagian dari kompleks reseptor leukosit (LRC) pada kromosom 19
manusia, dan keluarga Ly49 dari kompleks NK pada kromosom 6 mencit (71).
Haplotipe KIR didefinisikan sebagai A atau B. Haplotipe KIR A terdiri dari 7 gen,
dimana hanya satu bagian yang berpotensi sebagai pengaktif reseptor. Haplotype
KIR B lebih bervariasi (hingga 12 gen), dan gen ekstra sebagian besar dapat
menyebabkan aktivasi (71). Pengembangan sel NK yang dapat mengekspresikan
0-5 inhibitor atau activator gen NKR; beberapa akan berikatan dengan molekul
MHC self dan lainnya dengan molekul MCH non-self (Gambar 2). NKR inhibitor
yang mengikat molekul MHC self mendidik sel NK menjadi toleran terhadap
molekul self dan menimbulkan respon apabila didapatkan kekurangan molekul
MHC self tersebut. Lebih lanjut, sel NK secara konstan menyesuaikan ambang
aktivasi mereka terhadap MHC di lingkungan dimana mereka beroperasi, proses
yang mirip dengan sebuah rheostat (74).
Adanya jaringan allogenik yang terpapar oleh sistem kekebalan individu
melalui set molekul MHC yang berbeda. TCR dihasilkan oleh penataan ulang gen
somatik acak, yang mana menghasilkan sel T dengan TCR yang dapat mengenali
molekul MHC allogeneik. Setelah ditemukannya KIR, dengan cepat disadari
bahwa terdapat banyak sel pbNK yang mengekspresikan reseptor molekul HLA
non-self kelas I (75). Dengan demikian, sel NK merepresentasikan kelas limfosit
lain yang mampu melakukan allorecognition, tetapi mekanisme ini dimediasi oleh
reseptor yang dikodekan oleh germline. Generasi dari KIR allospecific inilah yang
kemungkinan menyebabkan molekul MHC trofoblas paternal mengalami tekanan
selektif demi keberhasilan reproduksi (71). Memang, kontak intim antara sel imun
ibu dan sel trofoblas dalam kehamilan adalah satu-satunya situasi alamiah pada
mamalia di mana sel-sel allogenik dapat menembus batas-batas epitel dan dapat
bersinggungan secara langsung (Gambar 1). Pada invertebrata, mekanisme NK-
like allorecognition berfungsi untuk menentukan apakah fusi dari bentuk kolonial
individu dapat terjadi, yaitu sebuah situasi yang mirip dengan demarkasi pada
maternal-fetal interface (76).
Pada mencit inbred, meskipun dilakukan pencangkokan organ padat dari
salah satu dari kedua orang tua mencit yang berbeda secara genetis dengan
keturunan hibrida F1nya, namun tidak pernah ditemukan adanya reaksi penolakan
(disebabkan karena adanya toleransi sel T terhadap haplotip MHC yang
didapatkan baik pada keturunan maupun pada kedua orang tua), namun
transplantasi sumsum tulang (BMT) melanggar hukum ini. Keturunan hibrida
menolak sumsum yang dicangkok dari salah satu orangtua, bahkan setelah
dilakukannya ablasi sel T. Fenomena ini (resistensi hibrida) diamati sebelum
penemuan sel NK (77), yang mana kemudian diidentifikasi sebagai sel yang dapat
merasakan hilangnya satu set molekul MHC parental (78, 79). Resistensi hibrida
saat ini merupakan penelitian secara in vivo yang penting untuk mempelajari
semua mekanisme allorecognition sel NK dan juga menyediakan kerangka kerja
konseptual untuk BMT haploidentical, di mana allorecognition terjadi dari donor
ke host. BMT haploidentical saat ini digunakan sebagai strategi alternatif apabila
tidak ada donor MHC yang cocok untuk pasien leukemia; BMT haploidentical
juga bermanfaat untuk mencegah kekambuhan leukemia (80). Karena semua
individu memiliki donor haploidentis potensial (orang tua atau saudara kandung),
donor dapat dengan mudah ditemukan. Ketidakcocokan antara NKR inhibitor
pada sel NK donor dan HLA resipien umumnya ada, sehingga beberapa sel NK
donor tidak dapat diinhibisi oleh HLA resipien dan menghancurkan sel kanker
(Gambar 3 dan ref. 81). Situasi ini memiliki kemiripan dengan kehamilan, di
mana sel uNK dapat merasakan tidak adanya molekul MHC maternal self pada
plasenta yang bersifat semi allograft. Apabila diperpanjang, sel uNK juga dapat
mendeteksi molekul MHC allogenik paternal yang diwariskan dan kemudian akan
terdidik, terhambat, atau teraktivasi, tergantung pada sifat interaksi antara NKR
dan molekul MHC tersebut.
Gambar 2
Pembelajaran sel NK dan pengenalan molekul MHC paternal allogenik pada sel
trofoblas. Individu mewarisi satu haplotype KIR pada kromosom 19 dari setiap
orang tua. Setiap haplotype mengandung 7-15 gen (hanya sedikit yang
digambarkan di sini untuk memudahkan). Selama diferensiasi sel NK, gen KIR
diekspresikan oleh sel NK yang sedang berkembang. Setiap sel NK
mengekspresikan 0–5 KIR. Beberapa KIR berikatan dengan molekul MHC self
dan mendidik sel NK menjadi toleran terhadap self dan juga menimbulkan reaksi
apabila tidak ada antigen self. Molekul MHC paternal allogeneic pada sel
trofoblas dapat berinteraksi dengan beberapa KIR pada sel uNK; Namun, tidak
diketahui apakah interaksi baru ini akan mendidik sel uNK atau apakah sel uNK
akan menghasilkan allorespon apabila mengenali molekul MHC allogeneic
paternal sebagai antigen asing.

Gambar 3
Transplantasi sumsum tulang haploidentik mirip dengan mekanisme
allorecognition maternal. Anak mewarisi satu haplotype MHC dari masing-
masing orang tua. Dalam transplantasi sumsum tulang haploidentik, sel T-
depleted donor dari salah satu orang tua dipindahkan ke anak sebagai resipien.
Dalam contoh ini, anak penerima menderita leukemia, ibu sebagai donor, dan sel
NK ibu mengekspresikan beberapa KIR (biru) yang berikatan dan dihambat oleh
molekul MHC sel leukemia anak. Sel uNK donor lainnya yang mengekspresikan
KIR (kuning) yang tidak berikatan dengan molekul MHC anak tidak mengalami
inhibisi dan akan menghancurkan sel-sel kanker. Kelompok ketiga sel NK donor
yang mengekspresikan KIR teraktivasi (hijau), yang mana setelah berikatan
dengan molekul MHC anak, akan teraktivasi untuk menghancurkan sel leukemia.
Pada dua kondisi terakhir, sel NK donor juga akan menghancurkan sel
hematopoietik normal pasien, termasuk APC, dan proses ini berkontribusi
terhadap pencegahan terjadinya penyakit graft-versus-host yang disebabkan oleh
sisa sel T maternal donor. Ketiga jenis interaksi ini setara dengan situasi antara
KIR yang diekspresikan oleh sel uNK maternal (donor) dan molekul MHC pada
sel trofoblas janin (penerima).

Ekspresi molekul MHC sel trofoblas dan NKR pada maternal-fetal interface
Langkah pertama untuk melakukan pengujian kerangka teoritis ini adalah
dengan cara mempelajari ekspresi molekul MHC pada sel trofoblas dan NKR
pada sel uNK. Sel vili sitotrofoblas dan sel sinsitio di atasnya yang bersentuhan
dengan darah ibu dalam ruang intervilli adalah sel dengan HLA null (82).
Sebaliknya, sel EVT yang menyusup ke dalam dinding rahim mengekspresikan
satu set molekul MHC yang unik, termasuk HLA-E dan -G non-klasik (27).
Melekul ini oligomorfik, yang berarti molekul tersebut akan memberikan sinyal
invarian ke sel kekebalan tubuh ibu. Molekul HLA-C juga diekspresikan oleh sel
EVT (83). Molekul tersebut bersifat polimorfik, dan merupakan ligan dominan
untuk KIR (71). Dengan demikian, baik NKR (KIR) ibu dan ligan janin (molekul
HLA-C) bervariasi dan spesifik untuk kehamilan tertentu. Interaksi ini dapat
menyebabkan pembelajaran/inhibisi/aktivasi sel NK, tergantung pada sifat KIR
ibu. Frekuensi sel uNK yang mengekspresikan KIR spesifik terhadap dua
kelompok alotipe HLA-C (C1 atau C2) meningkat pada awal kehamilan pada sel
uNK dibandingkan dengan sel pbNK dari wanita yang sama (84-86). Dengan
demikian, kumpulan KIR sel uNK lebih cenderung menyebabkan pengenalan
HLA-C pada kehamilan, akan tetapi ciri ini bukan merupakan ciri sel NK pada
siklus tidak hamil (87).
Kami telah menilai pola ekspresi MHC sel trofoblas pada mencit C57BL/6
dengan menggunakan flowcytometry pada sel trofoblas yang dibedakan secara in
vitro dari sel punca trofoblas dan dengan eksplan mikroskopis pada lokasi
implantasi pada hari gestasional ke 8,5. Hanya H-2K dan tidak H-2D yang
diekspresikan dan, berbeda dengan sel-sel trofoblas manusia, tidak ada eksperesi
molekul MHC non-klasik (88). Baru-baru ini, kami telah menemukan bahwa H-
2D diekspresikan oleh sel trofoblas mencit BALB/c (89); Oleh karena itu, pola
ekspresi MHC dapat menjadi strain spesifik. Subset sel uNK murine bersifat
kompleks dalam hal penanda permukaan atau fungsi efektor, tetapi, mirip dengan
manusia, namun kumpulan NKR dari setidaknya satu subset tidak mirip dengan
sel NK sistemik (50, 90, 91).

Imunogenetika reproduksi
Baik NKR maupun ligan MHCnya sangat beragam dan dikodekan oleh
kompleks gen pada kromosom yang terpisah, sehingga mengalami segregasi
secara independen (71). Oleh karena itu, dalam setiap kehamilan ibu akan
membawa satu set KIR yang akan merespon HLA-C tertentu dari janin, dengan
sel EVT yang mengekspresikan allotypes HLA-C self dan paternal non-self (92).
Kesulitan dalam penyelidikan fungsi sel uNK pada manusia termasuk
pertimbangan etis, kesulitan memperoleh jaringan pada awal kehamilan,
kurangnya galur sel trofoblas manusia dengan profil HLA yang mirip dengan sel
EVT normal, dan kurangnya pembacaan fungsional sel uNK yang baik. Berbagai
pendekatan diperlukan: pertama, penelitian genetik kombinasi KIR-fetal dan
HLA-C ibu dalam kehamilan normal dan patologis telah menunjukkan bahwa gen
KIR dan HLA-C dapat menyebabkan risiko dan perlindungan terhadap terjadinya
preeklampsia dan GOS lainnya. Kedua, penelitian fungsional menggunakan sel
uNK manusia yang dilakukan ex vivo mulai memberikan pencerahan terkait
bagaimana temuan genetik tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi pada lokasi
plasentasi (86). Terakhir, berdasarkan hasil tersebut, model mencit dapat
digunakan untuk meniru kondisi pada manusia dan menginterogasi bagaimana
interaksi NKR-MHC yang diberikan mempengaruhi hasil kehamilan (88, 89).
Temuan yang konsisten dari studi genetik adalah bahwa wanita yang
menderita preeklamsia dan GOS lainnya memiliki peningkatan frekuensi dua
haplotype KIR A (genotipe KIR AA) dalam kombinasi dengan kelompok HLA-
C2 yang berasal dari ayah janin (93-95). Gen pelindung haplotype KIR B di Eropa
ditemukan di wilayah telomerik di mana KIR teraktivasi pada lokasi dimana
HLA-C2 (KIR2DS1) berada. Temuan ini menunjukkan bahwa proses
pembentukan plasenta akan mengalami kerusakan apabila terdapat sinyal inhibisi
yang sangat kuat terhadap sel uNK yang dimediasi melalui gen Haplotype KIR A,
yaitu KIR2DL1, yang mana memiliki afinitas tinggi terhadap ligan HLA-C2.
Perlindungan dari preeklamsia kemungkinan dimediasi oleh efek penyeimbangan
balik dengan adanya aktivasi KIR2DS1, yang juga mengikat HLA-C2. Dengan
demikian, tergantung pada interaksi KIR-HLA-C tertentu, kadar kemokin atau
sitokin yang disekresikan oleh sel uNK akan bervariasi dan pada gilirannya akan
memodifikasi invasi sel trofoblas (62). Lebih lanjut, sel-sel uNK yang
mengekspresikan KIR2DS1 secara spesifik diaktifkan oleh kokultur dengan sel
target HLA-C2+ untuk menghasilkan berbagai produk yang larut air, termasuk
GM-CSF, yang dapat meningkatkan migrasi sel trofoblast secara in vitro (86).
Penelitian pada mencit memungkinkan kombinasi spesifik NKR maternal
dan molekul MCH paternal atau sebaliknya pada dua orang tua yang identik
secara genetik menunjukkan bahwa sel uNK dapat merasakan kehadiran molekul
MHC paternal (89, 91), dan ketidakcocokan antara molekul MHC orangtua
berdampak pada modifikasi arteri spiral dan pada akhirnya terhadap pertumbuhan
janin. Temuan ini mengkonfirmasi bahwa kombinasi tertentu NKR maternal dan
molekul MHC paternal mempengaruhi proses pembentukan plasenta (88). Strategi
perkawinan untuk meniru kondisi pada manusia dengan penghambatan kuat sel
uNK ibu menunjukkan bahwa pengenalan molekul MHC kelas I tunggal yang
melibatkan banyak reseptor inhibitor dapat menghambat pertumbuhan janin (89).

Sel NK dan klinik kesuburan


Bukti menunjukkan peran fisiologis penting pada sel uNK dalam proses
pembentukan plasenta yang sehat serta adanya disfungsi sel uNK yang
behubungan dengan gangguan kehamilan. Sifat “disfungsi” pada sel uNK tidak
jelas, tetapi tingkat aktivasi sel NK yang adekuat nampaknya berperan penting
dalam mekanisme alokasi sumber daya ibu dan janin secara adil. Meskipun
demikian, saat ini wanita banyak yang diberi berbagai terapi untuk mensupresi
aktivitas sel NK mereka (96). Hal ini didasarkan pada anggapan yang
diformulasikan secara buruk terkait adanya korelasi antara jumlah sel NK yang
berlebihan dengan aktivitas sel NK serta hasil luaran reproduksi yang merugikan.
Secara spesifik, apabila tes darah untuk aktivitas sel NK atau jumlah sel sel NK
dianggap tinggi, maka wanita tersebut akan diberikan berbagai terapi, termasuk
prednisolon, Ig intravena, intralipid, dan obat biololgis pemblokade TNF-α (97,
98). Penggunaan terapi ini didasarkan pada kesalahpahaman pada ilmu dasar
(dimana tingkat aktivasi yang tepat, dibandingkan aktivitas inhibisi dari sel uNK
diperlukan), dan keduanya memiliki potensi menyebabkan efek samping yang
serius (96, 99-101). Sel pbNK agak berbeda dengan sel uNK terkait aktivitas,
fenotipe, fungsi, dan morfologi (8, 9). Sehingga hasil dari tes darah akan memiliki
sedikit relevansi (102). Lebih jauh, rentang normal sel pbNK sangat luas, tanpa
adnaya perbedaan efek kesehatan yang nyata pada individu yang memiliki rentang
ekstrem (42). Memang, sel NK tidak diukur secara rutin dalam konteks klinis
lainnya, terlepas dari ada tidaknya diagnosis leukemia.
Baru-baru ini, tes komersial untuk menghitung jumlah sel eNK dalam fase
luteal telah diperkenalkan, dan terapi steroid diresepkan untuk wanita dengan
kadar sel eNK "tinggi" (97, 103, 104). Bagaimana jumlah sel NK mukosa dapat
berhubungan dengan fungsi sel tersebut masih tidak jelas, terutama apabila
terdapat peningkatan sehari-hari selama fase luteal akibat adanya proliferasi sel
uNK. Beberapa klinisi bahkan meresepkan G-CSF untuk pasien wanita
berdasarkan hasil ini (105, 106). Meskipun terdapat bukti bahwa sel uNK
mengatur plasentasi, bagaimana sel tersebut melakukannya pada dasarnya masih
tidak diketahui. Apabila diringkas, semua data yang tersedia menunjukkan bahwa
sel uNK perlu diaktivasi dan bukannya malah disupresi, kemudian penggunaan
terapi yang bertujuan untuk mengubah fungsi sel uNK tidak boleh dilakukan
hingga pengetahuan terkait fungsi sel tersebut meningkat.

Arahan masa depan


Jelas sudah bahwa meskipun terdapat beberapa penelitian yang menarik,
namun perlu ada langkah yang diambil sebelum penelitian pada sel uNK tersebut
dapat diterjemahkan ke dalam terapi pasangan yang memiliki masalah reproduksi
termasuk keguguran berulang, preeklamsia, dan infertilitas. Memang, dua tinjauan
sistematis terbaru dari literatur juga memperingatkan penggunaan terapi adjuvant
yang ditujukan untuk menekan aktivitas sel NK (107, 108). Temuan genetik kami
pada varian KIR-HLA-C pada preeklampsia dan GOS lainnya masih harus
dianggap sebagai awal, karena belum pernah diulang oleh peneliti lain di Eropa
atau di populasi lainnya. Laporan lain tentang KIR pada keguguran bersifat
kontradiktif; kami telah meringkas alasan terkait kontroversi ini sebelumnya (109).
Tidak ada penelitian genetik yang pernah dilakukan pada kelompok wanita infertil
atau wanita yang mengalami kegagalan pembuahan in vitro; belum pasti apakah
sel uNK mempengaruhi tahap awal implantasi, yaitu ketika blastosist menembus
epitel uterus. Dengan pertimbangan ini, tentu terlalu dini untuk memasukkan
pemeriksaan KIR dan HLA-C kedalam pemeriksaan klinik reproduksi, meskipun
hal ini sekarang sudah mulai dilakukan secara perlahan-lahan (98, 110).
GOS jelas multifaktorial, dan berkaitan dengan kontribusi faktor risiko
lingkungan dan genetik lainnya. Memang, genotipe KIR AA yang menimbulkan
risiko terjadi pada sekitar 30% orang Eropa, namun tidak semua wanita tersebut
memiliki masalah dalam kehamilan. Mungkin saja haplotype KIR A merupakan
sebuah polimorfik, analisis mendalam pada tingkat alelik KIR2DL1 serta inhibisi
KIR yang berikatan dengan HLA-C2, diperlukan. KIR2DL1 memiliki 4 alel pada
populasi Eropa (dan lebih banyak lagi pada kelompok populasi lain, terutama
pada populasi Afrika; ref. 111), yang mana berbeda dalam hal afinitas ikatan
untuk masing-masing allotype HLA-C2. Pemeriksaan alel HLA-C janin secara
individual juga akan diperlukan, di samping pemeriksaan divisi C1/C2 (112).
Apabila genotipe KIR AA yang berisiko telah dapat didefinisikan dengan lebih
baik di masa depan, pada akhirnya terdapat kemungkinan untuk
menginformasikan kepada pasangan apakah ada kemungkinan untuk menghindari
interaksi alel HLA-C2 paternal tertentu. Satu skenario yang sudah menjadi
perhatian yaitu: ibu pengganti (yang mana menerima sumbangan sel telur dari
wanita lain) memiliki angka kejadian yang tinggi menderita semua bentuk
gangguan hipertensi pada kehamilan (113). Pada kehamilan tersebut, kedua alel
HLA-C janin merupakan non-self, dan apabila keduanya adalah HLA-C2, maka
akan menimbulkan sinyal inhibisi kuat yang tidak alami terhadap sel uNK pada
ibu pengganti yang membawa genotipe KIR AA yang berisiko.
Kesimpulan
Disini kami berkonsentrasi pada populasi dominan desidua, yaitu sel uNK.
Sangat penting untuk menentukan peran relatif leukosit desidua lainnya
(makrofag, sel dendritik, sel T efektor, dan Treg) dan bagaimana mereka saling
mempengaruhi. Sebagai contoh, Tregs tidak hanya menekan sel T efektor, tetapi
juga sel NK (114, 115). Sel NK pada gilirannya memodulasi respon adaptif pada
mencit (116) dan, bersama dengan sel mielomonositik, menginduksi Tregs dalam
desidua manusia (117).
Terdapat banyak tantangan untuk memahami bagaimana keragaman
genetik interaksi NKR-MHC mempengaruhi reproduksi. Studi genetik prospektif
berskala besar yang dilakukan pada kehamilan pertama dengan informasi tentang
kemungkinan biomarker dan pengukuran Doppler arteri uterus diperlukan untuk
memahami hubungan ini. Analisis genetik yang lebih rinci untuk kedua KIR dan
HLA-C pada tingkat alel juga sangat penting dilakukan. Masih ada sedikit
pemahaman terkait bagaimana ekspresi KIR ditentukan pada sel uNK serta efek
dari kelompok HLA-C maternal. Granula yang ada didalam sel uNK dapat
menjadi kunci untuk mengetahui fungsi sel uNK, dan pengukuran pada tingkat sel
tunggal terkait respon target yang telah ditentukan dapat memberikan pencerahan
terkait sekresi protein baru yang dapat mempengaruhi arteri. Sebuah penghalang
besar adalah kurangnya model in vitro yang dapat diandalkan untuk penelitian
biologi trofoblas manusia, khususnya lini sel punca trofoblas. Mengetahui
interaksi yang mendasari di antara sel uNK, arteri, dan sel trofoblas merupakan
hal yang menantang karena adanya perbedaan potensial antara plasentasi tikus dan
manusia serta adanya perubahan cepat yang merupakan ciri lingkungan mikro
uterus pada awal kehamilan. Model murine akan tetap berguna jika pasangan
reseptor/ligan tertentu telah ditentukan dalam perkawinan informatif (89).
Pencitraan in vivo pada pembuluh darah, perkembangan plasenta, dan
pertumbuhan janin dapat divisualisasikan secara langsung dalam sistem ini di
masa depan. Terlepas dari kesulitan-kesulitan ini, muncul konsep baru bahwa
sistem kekebalan uterus menggunakan allorecognition sel NK untuk dapat
mengatur plasentasi dan mendefinisikan perbedaan teritorial di antara dua
individu, yaitu ibu dan janinnya.

Ucapan terima kasih


Kami berterima kasih kepada Gordon Smith dan Jens Kieckbusch untuk
pembacaan naskah secara kritis. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan
Wellcome Trust (090108/Z/09/Z; 085992/Z/08/Z), British Heart Foundation
(PG/09/077/27964; FS/12/4/29254), Dewan Riset Medis (G0900101/1), Pusat
Penelitian Trophoblast, Universitas Cambridge, dan King's College, Cambridge.

Alamat korespondensi ke: Ashley Moffett, Departemen Patologi, Universitas


Cambridge, Tenis Court Road, Cambridge CB2 1QP, Inggris. Telepon:
44.1223.333727; Faks: 44.1223.765065; E-mail: am485@cam.ac.uk. Atau ke:
Francesco Colucci, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Cambridge
School of Clinical Medicine, Pusat Penelitian Biomedis NIHR Cambridge,
Addenbrooke Hospital, Box 111, Hills Road , Cambridge CB2 0SP, Inggris.
Telepon: 44.1223.763889; Faks: 44.1223.215327; E-mail:
fc287@medschl.cam.ac.uk

Anda mungkin juga menyukai