Oleh :
Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp.PD
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Telah disetujui
Mengetahui,
Pembimbing
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. W
Umur : 76 tahun
No RM : 02063968
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. DR Gumbreg 1/8 Mersi, Purwokerto Timur
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal masuk RSMS : 13 Agustus 2018
Tanggal periksa : 13 Agustus 2018
B. Anamnesis
1. Keluhan utama : Panas naik turun
2. Keluhan tambahan : Batuk berdahak, sesak napas dan nyeri
perut bila batuk
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekardjo dengan keluhan
panas naik turun sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak berwarna putih kental dan sesak napas sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien mengeluhkan perutnya
nyeri ketika batuk. Pasien tidak mengonsumsi obat untuk meredakan
gejala yang dialaminya.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : Diakui
b. Riwayat DM : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat stroke : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
f. Riwayat mondok : Disangkal
g. Riwayat Penyakit Hati : Disangkal
a. Home
Pasien tinggal bersama istrinya. Rumah berlantai keramik dan
memiliki ventilasi yang cukup.
b. Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan. Jarak antar rumah cukup
berdekatan. Hubungan pasien dengan keluarganya baik dan
komunikasi selalu lancar dengan tetangganya.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang pensiunan.
d. Diet
Pola makan pasien tegolong baik dan teratur. Makan dan minum
seadanya dengan variasi sayur, daging dan buah yang tidak menentu.
e. Drug
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di Bangsal Asoka RSMS, 13 Agustus 2018.
1. Keadaan umum : Sedang, tampak sesak
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15 (E4M6V5)
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit
c. Respiration Rate : 22 x/menit
d. Suhu : 36,5 0C
4. Berat badan : 60kg
5. Tinggi badan : 170 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 20.8
7. Status generalis
a. Kepala
1) Bentuk : mesochepal, simetris
2) Rambut :warna putih kehitaman, tidak mudah
dicabut, distribusi merata, tidak rontok
b. Mata
1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva : anemis (-/-)
3) Sclera : ikterik (-/-)
4) Pupil : reflek cahaya (+/+),isokor
5) Exopthalmus : (-/-)
6) Lapang pandang : tidak dilakukan
7) Lensa : keruh (-/-)
8) Gerak mata : normal
9) Tekanan bola mata : nomal
10) Nistagmus : (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
2) Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid : tidak membesar
4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cm)
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri,
ketinggalan gerak kanan=kiri
c) Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler dikedua lapang paru
wheezing(-), ronkhi basah halus(+), ronkhi basah
kasar (-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS.
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari ke
lateral LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani,pekak sisi (-), pekak alih (-)
4) Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-)
5) Hepar : tidak teraba
6) Lien : tidak teraba
i. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
FISIS
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Bau : khas
KIMIA
Urobilinogen : normal
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
Berat jenis : 1015
Eritrosit :0
PH : 7.0
Protein : negatif
Nitrit : negatif
Leukosit :0
SEDIMEN
eritrosit : 0-1
leukosit : 0-1
epitel : 0-2
bakteri : 1-10
2. Hasil Foto Thorax tanggal 10 Agustus 2018
Kesan:
Trakea : ditengah
Cor : CTR > 56%, bentuk dan
letak normal
Pulmo : corakan bronkovaskular
meningkat, tak tampak
bercak di kedua lapang
paru
Cardiomegali
Bronkopneumonia
E. Diagnosis
Bronkopneumonia
ISK
G. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. Diet protein
b. Diet tinggi serat
c. Banyak minum air putih
d. Tidak menahan kencing
e. Menjaga kebersihan daerah kelamin
2. Farmakologi :
a. O2 3 lpm NK
b. IVFD RL:D5% 20 tpm
c. Inj. Ceftriakson 1gr/12 jam
d. Inj. Ranitidin 1 ampul/12 jam
e. PO Azitromisin 1X500 mg
f. PO Paracetamol 3x1 tab
g. PO Ambroxol 3x1 tab
h. PO Salbutamol 3x2 mg
3. Monitoring
a. Tanda vital
b. Respiratory monitoring
H. Prognosis
A. Bronkopneumonia
1. Definisi
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh
penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat (O’Brodovich et al, 2016).
2. Klasifikasi
3. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Hasil
penelitian Correa et al., 2017 44-85% pneumonia disebabkan oleh bakteri
dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung usia, status
lingkungan, kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara),
status imunisasi dan faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). Sebagian
besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus. Etiologi menurut
umur, dibagi menjadi (Mandel, 2015):
a. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan)
Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli
dan kuman Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia
trachomatis tersering , Sifilis kongenital atau pneumonia alba.
Sumber infeksi lain : Pasase transplasental, aspirasi mekonium,
pneumonia komuniti.
b. Usia 2-12 bulan
Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A yang tidak sering
tetapi fatal. Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan
pertusis
c. Usia 1-5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus dan yang tersering adalah Chlamydia pneumonia, banyak terjadi
pada usia 5-14 th (disebut pneumonia atipikal).
d. Usia sekolah dan remaja
S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae
(pneumonia atipikal) merukpakan yang terbanyak.
4. Patogenesis
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal
dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel
(Guyton, 2012).
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas
terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk
ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal
dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian
bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului
dengan infeksi virus (Reinhard, 2015).
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi
eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar,
atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi
akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium
hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance
paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang
terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-
perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan
fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu).
Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari
dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan
dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas
ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Guyton, 2012).
5. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil. Suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 0c, sakit tenggorok,
nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah (O’Brodovich et al, 2016).
6. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan
hal-hal sebagai berikut (Pasterkamp, 2016):
7. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada
lobus bawah (Reinhard, 2015).
8. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000
/mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah
bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Reinhard, 2015).
9. Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut menur
Konsensus Pneumonia FKUI (2014) :
10. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi (Sectish, 2014).
11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan khusus
merurut Mandel (2015):
a. Penatalaksaan umum
1) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
3) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan khusus
Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan diberikan amoksisilin 10-25
mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi
dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan terapi (Mandel, 2015):
1) Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan
epidemiologis
2) Berat ringan penyakit
3) Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4) Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Tata laksana simtomatik terhadap Pneumonia adalah mengatasi
demam, batuk, dan gejala lainnya. Pertimbangkan pemberian oksigen,
ventilasi, terapi cairan sesuai kebutuhan. Bila pneumonia akibat virus, maka
tidak diperlukan antimikroba karena virus dianggap sebagai self-limited
diseases. Namun, kebanyakan infeksi viral dapat tumpang tindih dengan
infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik juga harus dipertimbangkan
(Mandel, 2015).
Pengobatan rawat jalan pada pasien bila tidak ada riwayat penyakit
dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir diberikan Makrolida
terbaru: klaritromisin 500 mg/12 jam per oral atau azitromisin 500 mg
diikuti selanjutnya 250 mg/hari per oral selama 5 hari, atau Doksisiklin 100
mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari. Pasien dengan komorbid atau
riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir diberikan
Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral, levofloksasin 750
mg/hari per oral selama 5 hari. Beta-laktam sebaiknya amoksisilin dosis
tinggi (1 g/8 jam) atau amoksisilin-klavulanat (2 g/12 jam per oral),
alternatif lainnya seftriakson (1-2 g/hari IV), sefuroksim (500 mg/12 jam)
ditambah makrolida selama 3-5 hari. Pertimbangkan alternatif antibiotik
pada daerah dengan angka resistensi makrolid yang tinggi (Mandel, 2015).
Rawat Inap pada pasien bila mengalami gejala akut perlu diberikan
antibiotic Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral atau
intravena, levofloksasin 750 mg/hari per oral atau intravena. Betalaktam,
misalnya seftriakson (1–2 g IV tiap hari), ampisilin (1–2 g IV tiap 4–6 jam),
sefotaxime (1–2 g IV tiap 8 jam), ertapenem (1 g IV tiap hari) ditambah
makrolida (Mandel, 2015).
1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi sepanjang
saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu
organisme.(1) Beberapa istilah yang sering digunakan dalam klinis mengenai
infeksi saluran kemih :
b. ISK complicated (rumit), yaitu infeksi saluran kemih yang terjadi pada
pasien yang menderita kelainan anatomis/ struktur saluran kemih , atau
adanya penyakit sistemik. Kelainan ini menyulitkan pemberantasan
kuman oleh antibiotika.
c. First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu infeksi
saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat
setelah sekurang – kurangnya 6 bulan bebes dari ISK.
2. Klasifikasi
Infeksi saluran kemih (ISK) diklasifikasikan berdasarkan :
a. Anatomi
1) Infeksi Saluran kemih (ISK) bawah,
Presentasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) bawah tergantung dari
gender.
a) Perempuan
i. Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai
bakteriuria bermakna
ii. Sindroma uretra akut (SUA), adalah presentasi klinis sistitis
tanpa ditemukan mikroorganisme (steril)
b) Laki – laki
Presentasi ISK bawah pada laki – laki dapat berupa sistitis,
prostatitis, epidimidis, dan uretritis.
2) ISK atas
a) Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim
ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
b) Pielonefritis kronik (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil.
Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang
spesifik.
3. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang
biasanya menghuni usus kemudia naik ke sistem saluran kemih. Dari gram
negatif tersebut, Escherichia coli menduduki tempat teratas kemudian
diikuti oleh (Purnomo, 2003):
1. Eschrichia coli 50 – 90
2. Klebsiela atau enterobacter 10 – 40
3. Proteus sp 5 – 10
4. Pseuomonas aeroginosa 2 – 10
5. Staphylococcus epidermidis 2 – 10
6. Enterococci 1–2
4. Patogenesis
Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi
saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran
kemih dan berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui 4 cara, yaitu (Purnomo, 2003):
a. Asending
b. Hematogen
c. Limfogen
d. Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian instrumen.
Sebagian besar mikroorgnisme memasuki saluran kemis melalui
cara ascending. Kuman ogen penyebab ISK pada umumnya adalah kuman
yang bersal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus
vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui uretra – prostat – vas deferens – testis
(pada pria) – buli –buli – ureter dan sampai ke ginjal (Purnomo, 2003).
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending,
etapi dari kedua cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi (Purnomo,
2003):
a. Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya
tahan tubuh yang rendah karena menderita sesuatu pnyakit kronis atau
pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran
hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain.
Misalnya infeksi Staphilococcus Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat
penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau
tempat lain. Salmonella, pseudomonas, candida, dan proteus sp
termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat menyebar secara hematogen.
Walaupun jarang terjadi penyebaran hematogen ini dapat
mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal.4,8
b. Infeksi
Infeksi secara ascending (naik) dpat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :
1) Faktor host
Kemampuan host ntuk menahan mikroorganisme masuk ke
dalam saluran kemih disebabkan oleh beberpa faktor yaitu
pertahanan lokal dari host dan peranan sistem kekebalan tubuh
yang terdiri dari imunitas selular dan humoral.
Pertahananan lokal sistem saluran kemih yang paling baik
adalah mekanisme wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu
membersihkan kuman –kuman yang ada di dalam urin. 8
2) Faktor agent (mikroorganisme)
Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat
di permukaannya. Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium
melalui reseptor yang ada dipermukaan urotelium.
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat
membentuk antigen, menghasilkan toksin (hemolisin), dan
menghasilkan enzim urease yang dapat merubah suasana urin
menjadi basa.
5. Penegakkan Diagnosis
a. Gambaran klinis
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang
sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang
biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis.
Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi,
yaitu :
1) Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra
pubik, disuria, frekuensi, hematuri, dan urgensi,
2) Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan labortorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain (Tessy, 2001):
a) Urinalisis
i. Eritrosit
Ditemukan eritosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan
penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-
gromeruler. Penyakit non-gromeruler seperti batu saluran
kemh dan infeksi saluran kemih.
ii. Piuria
Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan
oleh Stamn, bila ditemukan palin sedikit 8000 leukosit per
ml urin yang tidak disentrifus atau setara dengan 2-5
leukosit perlapangan pandang besar pada urin yang
disentrifus.
b) Bakteriologis
i. Mikroskopis
Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunkan urin segar
tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan
positif bila dijumpai satu bakteri lapangan pandang minyak
emersi.
ii. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan
untuk memstikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan akteri
dalam jumlah bermakna
iii. Tes Plat – celup (Dip - slide)
Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang
berupa lempengan plastik bertangkai dimana pada kedua sisi
permukaannya dilpisi pembenihan padat khusus. Lempengan
tersebut dicelupkan kedalam urin pasien atau dengan
digenangi urin. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan
dengan membandingkn pola pertumbuhan kuman dengn
serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan kepadaan
koloni yang sesuai dengan jumlah antara 1000 dan
10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa.
2) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada infeksi saluran kemih dimaksudkan
unuk mengetahui adanya, batu atau kelainan anatomis yang
merupakan faktor presdiposisi infeksi saluran kemih. Pemeriksaan
ini dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi intravena,
demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi
dan CT-scan.
6. Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan infeksi Saluran kemih adalah:
a. Eradkasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai.
b. Mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor prediposisi.
Tujuan penatalaksanaaan infeksi saluran kemih adalah mencegah dan
menghilangkan gejala, mencegah dan mengobati bakteriemia dan
bakteriuria, mencegah dan mengurangi risiko kerusakan ginjal yang
mungkin timbul dengan pemberian obat – obatan yang sensitif, murah,
aman dengan efek samping yang minimal.
a. Infeksi saluran kemih (ISK) bawah
Prinsip penatalaksanaan ISK bawah meliputi intake cairan yang
banyak, antibiotik yang adekuat, dan bila perlu terapi simtomatik untuk
alkanisasi urin :
1) Flurokuinolon
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain
batu saluran kemih, obstruksi salran kemih, sepsis, infeksi kuman yang
multisitem, gangguan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin EJ. Infeksi saluran kemih. In buku saku patofisiologi edisi 3. Jakarta :
penerbit buku kedokteran.
Gardjito W. Puruhito, Iwan A et all. Saluran Kemih dan Alat Kelamin lelaki. In
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC;2005.
Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta :
2012. Hal 633.
Liza. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta : FKUI; 2006
Mandel LA, Wunderink RG. Pneumonia. In: Kasper DL, Hauser SL, Jamesson
JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Pronciples of
Internal Medicine. 19th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2015. p. 803–13.
Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 2004. Jakarta : Pusat Penerbit an IPD FKUI; 2004.
Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Panduan Pelayanan Medik -
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi 2004.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006
Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi
21. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2015. Hal 99.
Sukandar E. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI; 2006