Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

BRONKOPNEUMONIA, INFEKSI SALURAN KEMIH

Oleh :

Sera Rhosida Kurniawati G4A016099


Juwita Retnoningtyas G4A016098
Nadya Hasna Rasyida G1A014005
Intan Mawaridhatul Ulla G1A014007
Melda Kusumawardan 1710221028
Isman Setiawan 1710221010

Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

BRONKOPNEUMONIA, INFEKSI SALURAN KEMIH

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh :

Sera Rhosida Kurniawati G4A016099


Juwita Retnoningtyas G4A016098
Nadya Hasna Rasyida G1A014005
Intan Mawaridhatul Ulla G1A014007
Melda Kusumawardan 1710221028
Isman Setiawan 1710221010

Telah disetujui

Pada Tanggal, Agustus 2018

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Ma’mun, Sp.PD


I. STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita

Nama : Tn. W
Umur : 76 tahun
No RM : 02063968
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. DR Gumbreg 1/8 Mersi, Purwokerto Timur
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal masuk RSMS : 13 Agustus 2018
Tanggal periksa : 13 Agustus 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan utama : Panas naik turun
2. Keluhan tambahan : Batuk berdahak, sesak napas dan nyeri
perut bila batuk
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekardjo dengan keluhan
panas naik turun sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak berwarna putih kental dan sesak napas sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien mengeluhkan perutnya
nyeri ketika batuk. Pasien tidak mengonsumsi obat untuk meredakan
gejala yang dialaminya.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : Diakui
b. Riwayat DM : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat stroke : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
f. Riwayat mondok : Disangkal
g. Riwayat Penyakit Hati : Disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat sakit kuning : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat DM : Disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat sosial ekonomi

a. Home
Pasien tinggal bersama istrinya. Rumah berlantai keramik dan
memiliki ventilasi yang cukup.
b. Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan. Jarak antar rumah cukup
berdekatan. Hubungan pasien dengan keluarganya baik dan
komunikasi selalu lancar dengan tetangganya.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang pensiunan.
d. Diet
Pola makan pasien tegolong baik dan teratur. Makan dan minum
seadanya dengan variasi sayur, daging dan buah yang tidak menentu.
e. Drug
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di Bangsal Asoka RSMS, 13 Agustus 2018.
1. Keadaan umum : Sedang, tampak sesak
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15 (E4M6V5)
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit
c. Respiration Rate : 22 x/menit
d. Suhu : 36,5 0C
4. Berat badan : 60kg
5. Tinggi badan : 170 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 20.8
7. Status generalis
a. Kepala
1) Bentuk : mesochepal, simetris
2) Rambut :warna putih kehitaman, tidak mudah
dicabut, distribusi merata, tidak rontok
b. Mata
1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva : anemis (-/-)
3) Sclera : ikterik (-/-)
4) Pupil : reflek cahaya (+/+),isokor
5) Exopthalmus : (-/-)
6) Lapang pandang : tidak dilakukan
7) Lensa : keruh (-/-)
8) Gerak mata : normal
9) Tekanan bola mata : nomal
10) Nistagmus : (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
2) Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid : tidak membesar
4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cm)
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri,
ketinggalan gerak kanan=kiri
c) Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler dikedua lapang paru
wheezing(-), ronkhi basah halus(+), ronkhi basah
kasar (-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS.
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari ke
lateral LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani,pekak sisi (-), pekak alih (-)
4) Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-)
5) Hepar : tidak teraba
6) Lien : tidak teraba
i. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin - - - -

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium tanggal 13 Agustus 2018


a. Darah Lengkap

Hemoglobin : 14.8 g/dl


Leukosit : 10.970 U/L H
Hematokrit : 43%
Eritrosit : 5.1x106/ul
Trombosit : 251.000/ul
MCV : 83.7 fL
MCH : 29 pg/cell
MCHC : 34.7 %
RDW : 29 % H
MPV : 18.5 fL H
Hitung Jenis
Basofil : 0,4%
Eosinofil : 2.7%
Batang :1% L
Segmen : 73.8% H
Limfosit : 18.5% L
Monosit : 3.6%
b. Kimia Klinik

Ureum darah : 12.39 mg/dl L


Kreatinin darah : 0.82 mg/dl H

c. Pemeriksaan Urin Lengkap

FISIS
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Bau : khas
KIMIA
Urobilinogen : normal
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
Berat jenis : 1015
Eritrosit :0
PH : 7.0
Protein : negatif
Nitrit : negatif
Leukosit :0
SEDIMEN
eritrosit : 0-1
leukosit : 0-1
epitel : 0-2

bakteri : 1-10
2. Hasil Foto Thorax tanggal 10 Agustus 2018
Kesan:
Trakea : ditengah
Cor : CTR > 56%, bentuk dan
letak normal
Pulmo : corakan bronkovaskular
meningkat, tak tampak
bercak di kedua lapang
paru
Cardiomegali
Bronkopneumonia

E. Diagnosis
Bronkopneumonia
ISK

F. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan urin rutin

G. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. Diet protein
b. Diet tinggi serat
c. Banyak minum air putih
d. Tidak menahan kencing
e. Menjaga kebersihan daerah kelamin

2. Farmakologi :

a. O2 3 lpm NK
b. IVFD RL:D5% 20 tpm
c. Inj. Ceftriakson 1gr/12 jam
d. Inj. Ranitidin 1 ampul/12 jam
e. PO Azitromisin 1X500 mg
f. PO Paracetamol 3x1 tab
g. PO Ambroxol 3x1 tab
h. PO Salbutamol 3x2 mg

3. Monitoring

a. Tanda vital
b. Respiratory monitoring

H. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bronkopneumonia
1. Definisi
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh
penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat (O’Brodovich et al, 2016).
2. Klasifikasi

Klasifikasi Pneumonia dibedakan berdasarkan lokasi, asal,


penyebab, karakteristik dan lama penyakit dengan pembagian sebgain
berikut (Pasterkamp, 2016):

a. Berdasarkan lokasi lesi di paru


1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstitialis
3) Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi
1) Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumoni)
2) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based
pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
1) Pneumonia bakteri
2) Pneumonia virus
3) Pneumonia mikoplasma
4) Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
1) Pneumonia tipikal
2) Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
1) Pneumonia akut
2) Pneumonia persisten
Tabel 1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
(Pasterkamp, 2016)

Tipe Klinis Epidemiologi


Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau
orang tua
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakt paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi,
AIDS

3. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Hasil
penelitian Correa et al., 2017 44-85% pneumonia disebabkan oleh bakteri
dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung usia, status
lingkungan, kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara),
status imunisasi dan faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). Sebagian
besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus. Etiologi menurut
umur, dibagi menjadi (Mandel, 2015):
a. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan)
Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli
dan kuman Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia
trachomatis  tersering , Sifilis kongenital atau pneumonia alba.
Sumber infeksi lain : Pasase transplasental, aspirasi mekonium,
pneumonia komuniti.
b. Usia 2-12 bulan
Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A yang tidak sering
tetapi fatal. Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan
pertusis
c. Usia 1-5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus dan yang tersering adalah Chlamydia pneumonia, banyak terjadi
pada usia 5-14 th (disebut pneumonia atipikal).
d. Usia sekolah dan remaja
S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae
(pneumonia atipikal) merukpakan yang terbanyak.

4. Patogenesis
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal
dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel
(Guyton, 2012).
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas
terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk
ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal
dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian
bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului
dengan infeksi virus (Reinhard, 2015).
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi
eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar,
atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi
akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium
hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance
paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang
terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-
perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan
fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu).
Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari
dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan
dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas
ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Guyton, 2012).

5. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil. Suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 0c, sakit tenggorok,
nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah (O’Brodovich et al, 2016).

6. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan
hal-hal sebagai berikut (Pasterkamp, 2016):

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,


suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan
adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat
dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang
berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama
inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi
bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu
jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan
suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat
terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih
mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal
lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua
(Pasterkamp, 2016).
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai (Pasterkamp, 2016).
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan
adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi
memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu
dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi (Pasterkamp, 2016).
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak
menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka,
namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka
transmisi energi vibrasi akan berkurang (Pasterkamp, 2016).
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan.
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz.
Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya
frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari
amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya)
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka. (Pasterkamp,
2016).

7. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada
lobus bawah (Reinhard, 2015).

8. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000
/mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah
bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Reinhard, 2015).

9. Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut menur
Konsensus Pneumonia FKUI (2014) :

a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

10. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi (Sectish, 2014).

11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan khusus
merurut Mandel (2015):

a. Penatalaksaan umum
1) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
3) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan khusus
Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan diberikan amoksisilin 10-25
mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi
dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan terapi (Mandel, 2015):
1) Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan
epidemiologis
2) Berat ringan penyakit
3) Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4) Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Tata laksana simtomatik terhadap Pneumonia adalah mengatasi
demam, batuk, dan gejala lainnya. Pertimbangkan pemberian oksigen,
ventilasi, terapi cairan sesuai kebutuhan. Bila pneumonia akibat virus, maka
tidak diperlukan antimikroba karena virus dianggap sebagai self-limited
diseases. Namun, kebanyakan infeksi viral dapat tumpang tindih dengan
infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik juga harus dipertimbangkan
(Mandel, 2015).

Tata laksana definitif adalah pemberian antimikroba sesuai etiologi.


Namun pada saat awal pemeriksaan dan diagnosis, etiologi sangat jarang
dapat diketahui sehingga perlu diberikan terapi empiris. Terapi empiris
diberikan sembari menunggu hasil kultur dan uji sensitivitas dan uji
resistensi antibiotik. Terapi antibiotik empiris pada pneumonia dibedakan
berdasarkan pasien rawat inap ataupun rawat jalan (Mandel, 2015).

Pengobatan rawat jalan pada pasien bila tidak ada riwayat penyakit
dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir diberikan Makrolida
terbaru: klaritromisin 500 mg/12 jam per oral atau azitromisin 500 mg
diikuti selanjutnya 250 mg/hari per oral selama 5 hari, atau Doksisiklin 100
mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari. Pasien dengan komorbid atau
riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir diberikan
Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral, levofloksasin 750
mg/hari per oral selama 5 hari. Beta-laktam sebaiknya amoksisilin dosis
tinggi (1 g/8 jam) atau amoksisilin-klavulanat (2 g/12 jam per oral),
alternatif lainnya seftriakson (1-2 g/hari IV), sefuroksim (500 mg/12 jam)
ditambah makrolida selama 3-5 hari. Pertimbangkan alternatif antibiotik
pada daerah dengan angka resistensi makrolid yang tinggi (Mandel, 2015).

Rawat Inap pada pasien bila mengalami gejala akut perlu diberikan
antibiotic Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral atau
intravena, levofloksasin 750 mg/hari per oral atau intravena. Betalaktam,
misalnya seftriakson (1–2 g IV tiap hari), ampisilin (1–2 g IV tiap 4–6 jam),
sefotaxime (1–2 g IV tiap 8 jam), ertapenem (1 g IV tiap hari) ditambah
makrolida (Mandel, 2015).

Rawat Inap Di Ruangan Rawatan Intensif (ICU) diberikan antibiotic


Betalaktam, seftriakson (2 g IV tiap hari), ampisilin-sulbaktam (2 g IV tiap
8 jam) atau sefotaksim (1–2 g IV tiap 8 jam) ditambah azitromisin atau
fluorokuinolon (Mandel, 2015).

Pertimbangan khusus bila dicurigai infeksi Pseudomonas pilihannya


adalah Betalaktam, antara lain: piperasilin/tazobaktam (4,5 g IV tiap 6 jam),
sefepime (1–2 g IV tiap 12 jam), imipenem (500 mg IV tiap 6 jam),
meropenem (1 g IV tiap 8 jam) ditambah siprofloksasin (400 mg IV tiap 12
jam) atau levofloksasin (750 mg IV tiap hari). Pemberian Betalaktam dapat
ditambah aminoglikosida; amikacin (15 mg/kg tiap hari) atau tobramisin
(1,7 mg/kg tiap hari) ditambah azitromisin. Betalaktam ditambah
aminoglikosida ditambah fluorokuinolon. Bila dicurigai infeksi CA-MRSA
ditambahkan linezolid (600 mg IV tiap 12 jam) atau vankomisin (15 mg/kg
tiap 12 jam dosis inisial) (Correa et al., 2017).

Pada pasien anak yang tidak memerlukan rawat inap, rekomendasi


antibiotik adalah amoksisilin dosis tinggi 80-90 mg/kg untuk 24 jam,
kecuali ada data bahwa prevalensi resistensi rendah di daerah setempat.
Alternatif lainnya adalah amoksisilin klavulanat. Untuk anak masa sekolah,
pilihan utamanya adalah makrolida sedangkan untuk remaja pilihannya
adalah fluorokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin) (Correa et al., 2017).

Tindakan invasif pada pneumonia bersifat diagnostik dan tidak mutlak


diperlukan. Tindakan invasif dapat berupa bronkoskopi untuk menilai
kondisi bronkus, mengekstraksi benda asing, dan untuk bilasan
bronkoalveolar untuk sampel pemeriksaan. Aspirasi cairan pleura bila
terdapat efusi pleura atau kecurigaan adanya empyema (Mandel, 2015).

Kebanyakan pasien pneumonia dapat ditangani dengan rawat jalan


tergantung beratnya penyakit. Pasien harus dirujuk ke fasilitas yang
memiliki ICU bila ada kemungkinan kebutuhan perawatan intensif (Mandel,
2015).
B. Infeksi Saluran Kemih

1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi sepanjang
saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu
organisme.(1) Beberapa istilah yang sering digunakan dalam klinis mengenai
infeksi saluran kemih :

a. ISK uncomplicated (sederhana), yaitu infeksi saluran kemih pada pasien


tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.

b. ISK complicated (rumit), yaitu infeksi saluran kemih yang terjadi pada
pasien yang menderita kelainan anatomis/ struktur saluran kemih , atau
adanya penyakit sistemik. Kelainan ini menyulitkan pemberantasan
kuman oleh antibiotika.

c. First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu infeksi
saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat
setelah sekurang – kurangnya 6 bulan bebes dari ISK.

d. Infeksi berulang, yaitu timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya


dapat dibasmi dengan pemberian antibiotika pada infeksi yang pertama.

e. Asymtomatic significant bacteriuria (ASB), yaitu bakteriuria yang


bermakna tanpa disertai gejala.

2. Klasifikasi
Infeksi saluran kemih (ISK) diklasifikasikan berdasarkan :
a. Anatomi
1) Infeksi Saluran kemih (ISK) bawah,
Presentasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) bawah tergantung dari
gender.
a) Perempuan
i. Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai
bakteriuria bermakna
ii. Sindroma uretra akut (SUA), adalah presentasi klinis sistitis
tanpa ditemukan mikroorganisme (steril)

b) Laki – laki
Presentasi ISK bawah pada laki – laki dapat berupa sistitis,
prostatitis, epidimidis, dan uretritis.
2) ISK atas
a) Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim
ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
b) Pielonefritis kronik (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil.
Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang
spesifik.
3. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang
biasanya menghuni usus kemudia naik ke sistem saluran kemih. Dari gram
negatif tersebut, Escherichia coli menduduki tempat teratas kemudian
diikuti oleh (Purnomo, 2003):

No Mikroorganisme Presentase biakan (%)

1. Eschrichia coli 50 – 90
2. Klebsiela atau enterobacter 10 – 40
3. Proteus sp 5 – 10
4. Pseuomonas aeroginosa 2 – 10
5. Staphylococcus epidermidis 2 – 10
6. Enterococci 1–2

Jenis kokus gram positif lebih jarang sebagai penyebab ISK


sedangkan Enterococci dan staphylococcus aureus sering ditemukan pada
pasien dengan batu saluran kemih. Lelaki usia lanjut dengan hiperplasia
prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter urin. Demikian juga
dengan pseudomonas aeroginosa dapat mnginfeksi saluran kemih melalui
jalur hematogen pada kira – kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi
salmonella dalam urin (Purnomo, 2003).

4. Patogenesis
Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi
saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran
kemih dan berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui 4 cara, yaitu (Purnomo, 2003):

a. Asending
b. Hematogen
c. Limfogen
d. Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian instrumen.
Sebagian besar mikroorgnisme memasuki saluran kemis melalui
cara ascending. Kuman ogen penyebab ISK pada umumnya adalah kuman
yang bersal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus
vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui uretra – prostat – vas deferens – testis
(pada pria) – buli –buli – ureter dan sampai ke ginjal (Purnomo, 2003).
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending,
etapi dari kedua cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi (Purnomo,
2003):
a. Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya
tahan tubuh yang rendah karena menderita sesuatu pnyakit kronis atau
pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran
hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain.
Misalnya infeksi Staphilococcus Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat
penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau
tempat lain. Salmonella, pseudomonas, candida, dan proteus sp
termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat menyebar secara hematogen.
Walaupun jarang terjadi penyebaran hematogen ini dapat
mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal.4,8
b. Infeksi
Infeksi secara ascending (naik) dpat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :

1) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.

2) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli – buli

3) Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih


.

4) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.

Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan


keseimbangan antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen)
sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host. Gangguan
keseimbangan ini disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host
yang menurun atau karena virulensi agent yang meningkat (Liza, 2006).

1) Faktor host
Kemampuan host ntuk menahan mikroorganisme masuk ke
dalam saluran kemih disebabkan oleh beberpa faktor yaitu
pertahanan lokal dari host dan peranan sistem kekebalan tubuh
yang terdiri dari imunitas selular dan humoral.
Pertahananan lokal sistem saluran kemih yang paling baik
adalah mekanisme wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu
membersihkan kuman –kuman yang ada di dalam urin. 8
2) Faktor agent (mikroorganisme)
Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat
di permukaannya. Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium
melalui reseptor yang ada dipermukaan urotelium.
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat
membentuk antigen, menghasilkan toksin (hemolisin), dan
menghasilkan enzim urease yang dapat merubah suasana urin
menjadi basa.

5. Penegakkan Diagnosis
a. Gambaran klinis
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang
sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang
biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis.
Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi,
yaitu :
1) Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra
pubik, disuria, frekuensi, hematuri, dan urgensi,

2) Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah

b. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium
Pemeriksaan labortorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain (Tessy, 2001):
a) Urinalisis
i. Eritrosit
Ditemukan eritosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan
penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-
gromeruler. Penyakit non-gromeruler seperti batu saluran
kemh dan infeksi saluran kemih.
ii. Piuria
Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan
oleh Stamn, bila ditemukan palin sedikit 8000 leukosit per
ml urin yang tidak disentrifus atau setara dengan 2-5
leukosit perlapangan pandang besar pada urin yang
disentrifus.
b) Bakteriologis
i. Mikroskopis
Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunkan urin segar
tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan
positif bila dijumpai satu bakteri lapangan pandang minyak
emersi.
ii. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan
untuk memstikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan akteri
dalam jumlah bermakna
iii. Tes Plat – celup (Dip - slide)
Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang
berupa lempengan plastik bertangkai dimana pada kedua sisi
permukaannya dilpisi pembenihan padat khusus. Lempengan
tersebut dicelupkan kedalam urin pasien atau dengan
digenangi urin. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan
dengan membandingkn pola pertumbuhan kuman dengn
serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan kepadaan
koloni yang sesuai dengan jumlah antara 1000 dan
10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa.
2) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada infeksi saluran kemih dimaksudkan
unuk mengetahui adanya, batu atau kelainan anatomis yang
merupakan faktor presdiposisi infeksi saluran kemih. Pemeriksaan
ini dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi intravena,
demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi
dan CT-scan.

6. Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan infeksi Saluran kemih adalah:
a. Eradkasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai.
b. Mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor prediposisi.
Tujuan penatalaksanaaan infeksi saluran kemih adalah mencegah dan
menghilangkan gejala, mencegah dan mengobati bakteriemia dan
bakteriuria, mencegah dan mengurangi risiko kerusakan ginjal yang
mungkin timbul dengan pemberian obat – obatan yang sensitif, murah,
aman dengan efek samping yang minimal.
a. Infeksi saluran kemih (ISK) bawah
Prinsip penatalaksanaan ISK bawah meliputi intake cairan yang
banyak, antibiotik yang adekuat, dan bila perlu terapi simtomatik untuk
alkanisasi urin :

1) Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam


dengan antibiotika tunggal, seperti ampisilin 3 gram, trimetropim
200 mg.

2) Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuria)


diperlukan terapi konvensional selama 5 – 10 hari.

3) Pemeriksaan mikroskopis urin dan biakan urin tidak diperlukan bila


semua gejala hilang dan tanpa leukosuria.

Bila pada pasien reinfeksi berulang (frequent re-infection) :

1) Disertai faktor predisposisi, terapi antimikroba yang intenssif


diikuti dengan koreksis faktor resiko.

2) Tanpa faktor predisposisi, terapi yang dapat dilakukan adalah


asupan cairan yang bayak, cuci setlela melakukan senggama diikuti
dengan terpi antimikroba dosis tunggal (misal trimetroprim 200
mg)

3) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

Pasien sindroma uretra akut (SUA) dengan hitungan kuman


103 – 105 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia
memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi yang
disebabkan miikroorganisme anaerobik diperlukan antimikroba
yang serasi (golongan kuinolon.)

b. Infeksi saluran kemih (ISK) atas


Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat
inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral
paling sedikit 48 jam.
The infection Disease Society of America menganjurkan satu dari
tiga alternatif terapi antibiotika intravena sebagai terapi awal selama 48-
72 jam sebelum diketahui mikroorganisme penyebabnya :

1) Flurokuinolon

2) Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin

3) Sefalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida

Antimikroba Dosis Interval

Sefepim 1 gram 12 jam


Siprofloksasin 400 mg 12 jam
Levofloksasin 500 mg 24 jam
Ofloksasin 400 mg 12 jam
Gentamisin (+ ampisilin) 3-5 mg/kgBB 24 jam
1 mg/ kg BB 8 jam
Ampisilin (+gentamisin) 1-2 gram 6 jam
Tikarsilin – klavulanat 3, 2 gram 8 jam
Piperasilin – tazobaktam 3, 375 gram 2–8 jam
Imipenem – silastarin 250-500mg 6-8 jam

c. Infeksi saluran kemih berulang

Untuk penanganan ISK berulang dapat dilihat pada gambar berikut :

Terapi jangka panjang yang dapat diberikan antara lain


trimetroprim – sulfametoksazol dosi rendah (40 – 200 mg) tiga kali
seminggu setiap malam, flurokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin
makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila
perlu dapat dipepanjang 1-2 tahun lagi.

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain
batu saluran kemih, obstruksi salran kemih, sepsis, infeksi kuman yang
multisitem, gangguan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Correa Armando.G, Starke Jeffrey R. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract


in Children: “Bacterial Pneumoniasi”, Sixth Edition. WB. Saunders
Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo.
2018.

Corwin EJ. Infeksi saluran kemih. In buku saku patofisiologi edisi 3. Jakarta :
penerbit buku kedokteran.

Gardjito W. Puruhito, Iwan A et all. Saluran Kemih dan Alat Kelamin lelaki. In
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC;2005.

Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta :
2012. Hal 633.

Hecht F, Shiel WC. Urinary Tract Infect ion. Avalable at :


http://www.emedicinehealth.com/urinary_tract_infection/article_em.htm%23Urin
ary%2520Tract%2520Infection%2520Overview.htm. Pada tanggal 24
agustus 2008. Perbaruan erakhir (januari 2009).

Konsensus Pneumonia. Bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan. Jakarta :


2014.

Liza. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta : FKUI; 2006

Mandel LA, Wunderink RG. Pneumonia. In: Kasper DL, Hauser SL, Jamesson
JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Pronciples of
Internal Medicine. 19th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2015. p. 803–13.

O’Brodovich Hugh M, Haddad Gabriel G. Kendig’s Disorder of the Respiratory


Tract in Children: “The Functional Basis of Respiratory Pathology and
Disease”, Sixth Edition. WB. Saunders Company Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 2016.

Pasterkamp Hans. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in Children :”The


History and Physical Examination” , Sixth Edition. WB. Saunders
Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo.
2016.

Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Unpad. Bandung : 2015.Purnomo BB.


Dasar – Dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto 2003.

Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 2004. Jakarta : Pusat Penerbit an IPD FKUI; 2004.
Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Panduan Pelayanan Medik -
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi 2004.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006

Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi
21. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2015. Hal 99.

Sectish Theodore C, Prober Charles G. Nelson Textbook of Pediatrics :


“Pneumonia”. Edisi ke-17. Saunders. 2014.

Sukandar E. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI; 2006

Tessy A, Ardaya, Suwanto. Infeksi Saluran Kemih. In Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam jilid II. Edisi 3. Jakarta. Fakultas kedokteran Universitas
Indonesi a ; 2001.

Anda mungkin juga menyukai