Anda di halaman 1dari 20

ASKEP KEGAWADARURATAN PADA

SISTEM MUSKULOSKELETAL

Di Susun Oleh :

1. Ali Mughni (C1014036)


2. Feronitha Thoro P (C1014044)
3. M. Nurvijay Syafaqi F (C1014051)
4. Rofiatul Atiqoh (C1014058)
5. Wulan Suci Rahayu (C1014065)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

( STIKES BHAMADA SLAWI)

Tahun 2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin
meningkat selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
manusia tidak akan lepas dari fungsi normal system musculoskeletal. Salah
satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia, namun dari
kelainan ataupun ketidaksiplinan dari manusia itu sendiri (patah tulang) fraktur
adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun partial . fraktur biasanya terjadi pada
cruris, karena cruris sangat kurang di lindungi oleh jaringan lunak, sehingga
mudah sekali mengalami kerusakan (Rasjad, 2006).
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan
bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas
massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan
kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko untuk jatuh. (Sudoyo:
2010)
Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya
disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang
ditimbulkannya. Beberapa diantara komplikasi tersebut adalah timbulnya
dikubitus akibat tirah baring berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena
dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat
tirah baring lama; gangguan nutrisi dan sebagainya. (Sudoyo: 2010)
Walaupun dalam kasus yang jarang terjadi kematian, namun bila tidak
ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan
memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan
langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan
kasus kegawat daruratan fraktur.
B. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan :
Umum :
Mahasiswa mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kegawat
daruratan pada pasien dengan fraktur
Khusus:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep fraktur
2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep metodologi asuhan keperawatan
kegawat daruratan pada pasien fraktur
BAB II
KONSEP TEORI
1. Fraktur
a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth:
2012). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 2006).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma
(Tambayong: 2011). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik ( Price, 2006)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta
gangguan fungsi.

b. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.

c. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot berrgantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot
yang melengket di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainya.
5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
d. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di
bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
i. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
ii. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
iii. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
iv. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar
dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah
tulang terbuka :
i. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
ii. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
iii. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
e. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi dua fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di
tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat
anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth,
2007).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2011). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi (Price dan Wilson: 2006).
f. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila
sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden
period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar.
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas,
lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung
pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan
kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril)
untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian
dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera.
Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat
dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan
infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom
komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan
meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF
(Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
a. Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan
tulang yang patah
b. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan
skrup, plat, paku dan pin logam
c. Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi
atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi : penghilangan bagian tubuh
e. Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat
yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
f. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
g. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis
h. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis
i. Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
j. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi
otot atau mengurangi kontraktur fasia.
(Ramadhan: 2008)
2. DISLOKASI
a. Pengertian
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari
mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya
kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas
dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami
dislokasi.
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya,
dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan
segera. (Arif Mansyur, dkk. 2008).
b. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi,
diantaranya :
Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
a) Trauma akibat kecelakaan
b) Trauma akibat pembedahan ortoped
c) Terjadi infeksi di sekitar sendi

c. Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi congenital:Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
2. Dislokasi patologik: Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar
sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan
oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatic.Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf
rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia)
akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma
yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf,
dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan
tipe kliniknya dibagi menjadi :
1). Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut
dan pembengkakan di sekitar sendi.
2). Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi
yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral
joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur
yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh
karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
e. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus
terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang
prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan
luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh
membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).
f. Manifestasi Klinis
Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan
sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral
bahu dapat rata dan ,kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat
diraba tepat di bawah klavikula.

a) Nyeri
b) Perubahan kontur sendi
c) Perubahan panjang ekstremitas
d) Kehilangan mobilitas normal
e) Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f) Deformitas
g) Kekakuan

g. Penatalaksanaan

a) Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan


menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
b) Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan
dikembalikan ke rongga sendi.
c) Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau
traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
d) Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi
halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran
sendi.
e) Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
BAB III
ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR

1. Pengkajian.
a. Identitas pasien.
b. Keluhan Utama.
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan
mobilitas / ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan
tendon.
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat penyakit sekarang
Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau
setelah berolah raga.
Daerah mana yang mengalami trauma.
Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
e. Riwayat Penyakit Dahulu.
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau
mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya
f. Riwayat Penyakit Keluarga.
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
g. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi : Kelemahan, Edema, Perdarahan perubahan warna
kulit, Ketidakmampuan menggunakan sendi.
Palpasi : Mati rasa
Auskultasi
Perkusi
h. Pemeriksaan Penunjang
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk
membedakan dengan patah tulang.
2. Analiasa Data

No Data Etiologi Problem


1. Ds. peregangan atau Nyeri akut (00132)
1) Pasien mengatakan kekoyakan pada otot,
nyeri, kemerahan ligament atau tendon
2) P : pofikatif ditandai dengan
(penyebab) kelemahan,mati rasa,
Q : Quality ( Bagaiman perdarahan,edema,
rasanya kelihatnny ) nyeri.
R : region/regiation
(dimanah dan apakah
menyebar)
S : Severity ( Apakah
mengganggu aktifitas
sehari- hari
T : Time (kapan
mulainya)

DO.
1. Pengukuran kekuatan
otot (0-5)
2. Kyphosis, scoliosis,
lordosis
2. Ds. Nyeri Hambatan mobilitas
1. Klien mengatakan ketidakmampuan, fisik (00085)
kekakuan, keram, ditandai dengan
sakit pinggang ketidakmampuan
untuk
DO. mempergunakan
1. Palpasi Rom dan sendi, otot dan
kekuatan otot tendon.
2. Bandingkan dengan
sisi lainnya
3. Ds. ketidakmampuan Defisit perawatan diri
1. Klien mengatakan dalam melaksanakan (00108)
susah untuk bergerak aktivitas ditandai
2. Klien mengatakan dengan gerakan
sakit ketika bergerak yang minim
Do. (imobilisasi)
1. Pasien terlihat lemah
2. Pasien terlihat kusam
dan kotor
3. Kuku pasien panjang

3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut (00132) berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada
otot, ligament atau tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa,
perdarahan, edema, nyeri.
b. Hambatan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan nyeri /
ketidakmampuan, ditandai dengan ketidakmampuan untuk
mempergunakan sendi, otot dan tendon.
c. Defisit perawatan diri (00108) berhubungan dengan ketidakmampuan
dalam melaksanakan aktivitas ditandai dengan gerakan yang minim
(imobilisasi)

4. Intervensi Keperawatan .

No Kriteria Hasil Noc Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3205 Pain Manajemen
selama 2 x 15 menit dalam 24 jam nyeri akut 1. Kaji nyeri kultur yang
dapat teratasi dengan kriteria hasil: mempengaruhi respon nyeri
1. Mampu mengontrol nyeri 2. Monitor tanda-tanda vital pada
2. Meleporkan bahwa nyeri berkurang pasien
dengan menggunakan manajemen 3. Ajarkan pasien dan keluarga
nyeri tentang tekhnik non
3. Mampu mengenali nyeri farmakologi
4. Menyatakan rasa nyaman setelah 4. Kolaborasi dengan dokter jika
nyeri berkurang ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
5. Berikan anagetik untuk
mengurangi nyeri

2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2146 Terapi Ambulasi


selama 2 x 15 menit dalam 24 jam Hambatan 1. Kaji kemempuan pasien dalam
mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria mobilisasi
hasil: 2. Monitor respon pasien saat
1. Mengerti tujuan dari peningkatan latihan.
mobilitas 3. Ajarkan pasien atau keluarga
2. Memverbalisasikan perasaan dalam tentang tekhnik ambulasi.
meningkatkan kekuatan dan 4. Kolaborasikan dengan tenaga
kemampuan berpindah medis tentang tekhnik nafas
3. Memperagakan penggunaan alat dalam
4. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 5. Berikan pendidikan kesehatan
5. Bantu untuk mobilisasi atau (walker) tentang mobilitas fisik

3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4157 Bantuan perawatan diri


selama 2 x 15 menit dalam 24 jam Defisit 1. Kaji kebersihan pada
perawatan diri dapat teratasi dengan kriteria pasien
hasil: 2. Monitor status hidrasi
1. Aktifitas kehidupan sehari-hari pasien
mampu untuk melakukan aktifitas 3. Ajarkan pasien untuk
perawatn fisik dan pribadi secara melakukan personal hygine
mandiri atau dengan alat bantu 4. Berikan pendidikan
2. Perawatan diri hygine mampu untuk kesehatan tentang cara
mempertahankan kebersihan dan perawatan diri
penampilan yang rapih secara 5. Kolaborasikan dengan
mandiri dengan alat bantu tenaga medis,
3. Membersihkan dan mengeringkan
tubuh
4. Mampu mempertahankan mobilitas
yang diperlukan
5. Mengungkapkan secara verbal
kepuasaan tentang kebersihan tubuh
dan hygine oral
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau
tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan
oleh cidera, fraktur patologi, dan fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan
menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi klinis dari fraktur itu sendiri
yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
Pembengkakan lokal dan Perubahan warna.
Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.

B. Saran
Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak
ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan
memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan
langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus
kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien
gawat darurat, terutama dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan
sistem muskuloskeletal, fraktur.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol
3. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan
Praktik Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit
Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Ramadhan. 2008. Konsep Fraktur (Patah Tulang.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-patah-tulang/
diakses tanggal 30 maret 2013
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang
Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.
Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Ktriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai