Anda di halaman 1dari 42

TUBERKULOSIS

PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA

Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia
2006

1. PENDAHULUAN 7. TB PADA KEADAAN KHUSUS

2. PATOGENESIS 8. KOMPLIKASI

3. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS 9. DOTS


4. DIAGNOSIS 10. LAMPIRAN

5. PENGOBATAN TUBERKULOSIS 11. DAFTAR PUSAKA

6. RESISTEN GANDA / MULTI DRUG RESISTANCE


(MDR)

BAB I
PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global
Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari
Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002

Jumlah kasus Kasus per 100 000 penduduk Kematian


kematian T
(Ribu)

Pembagian daerahSemua kasus (%) Sputum positif Semua kasus (%) Sputum positif Jumlah
WHO
(Ribu)

Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556

Amerika 370 (4) 165 43 19 53

Mediteranian timur 622 (7) 279 124 55 143

Eropa 472 (5) 211 54 24 73

Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81 625

Pasifik Barat 2090 (24) 939 122 55 373

Global 8797 (100) 2887 141 63 1823


Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.

B. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex

C.
BIOMOLEKULER M.Tuberculosis

Morfologi dan Struktur Bakteri


Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida
dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan
antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa
(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi
dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok
antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan
oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G)
dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda
genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria
yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang
menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen
sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38
kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi
katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB
menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).

BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga
akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


1.
integrum)

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
2.
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

a Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya


. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
. sebelahnya atau tertelan

c Penyebaran secara hematogen dan limfogen.Penyebaran ini berkaitan


. dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat
imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma )
atau

- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,


biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang
bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah
satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan
keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti


akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:

- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang


pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer
dan perjalanan penyembuhannya

BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a
. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA


positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b
. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada


beberapa tipe pasien yaitu :

a
Kasus baru
.

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b
. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh ataupengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten


menangani kasus tuberkulosis
c
. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d
. Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
e
. Kasus kronik

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan
yang baik
f
. Kasus Bekas TB:

- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang
kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis

BAB IV
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani,


pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya

Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,
bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat)

1. Gejala respiratorik

- batuk  2 minggu

- batuk darah

- sesak napas

- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik

- Demam

- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya


pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks
dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan
jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher
(pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Gambar 3. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

dikutip dari (3,12)

Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai


arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):


- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

- Pagi ( keesokan harinya )

- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk


cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan
NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan
telah tertulis identiti pasien yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara

- Mikroskopik

- Biakan

Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk


screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif

bila 3 kali negatif ® BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO).

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :


- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah


dengan cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas


paru dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

- Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
- Lesi luas

Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya


waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1
Pemeriksaan BACTEC
.

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode


radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan
(dikutip dari 13)
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth
Indicator Tube (MGIT).
2
. Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,


termasuk DNAM.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah
cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam
pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan
sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai
dengan organ yang terlibat.
3
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
.

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap
dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb
38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang
pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam
1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15
menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu
alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke
dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi.Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,
para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar
antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi
antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji
IgG berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16
kDa dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti
yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis
ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak
cukup baik untuk diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang lain

1
Analisis Cairan Pleura
.

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis
adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis
cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2
Pemeriksaan histopatologi jaringan
.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi.
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
· Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
· Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
· Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
· Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan
histologi.
3
Pemeriksaan darah
.

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik


untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4
. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di


Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila
kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi
HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 4. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7
bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

· INH
Rifampisin
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan

- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Oba Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMak Dosis (mg) / berat


t s (mg) badan (kg)
(Mg/Kg
Harian (m Intermitten (mg/Kg/BB/k < 40 40- >60
BB/Hari
g/ kgBB ali) 60
)
/ hari)

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

100 150
Z 20-30 25 35 750
0 0

100 150
E 15-20 15 30 750
0 0

Sesua 100
S 15-18 15 15 1000 750
i BB 0

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150

30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi
dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
· TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH


atau
: 2 RHZE/ 6HE
atau
2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
· TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau

: 6 RHE atau

2 RHZE/ 4R3H3
· TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.
· TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1
RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi
dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
· TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.
· TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Tabel 4. Ringkasan paduan obat

Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan

I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau

2 RHZE / 6 HE
BTA - , lesi
luas *2RHZE / 4R3H3
II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji Bila streptomisin
resistensi atau 2RHZES / 1RHZE alergi, dapat
- Gagal / 5 RHE diganti
pengobatan kanamisin
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE

II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan


berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

III -TB paru BTA neg. 2 RHZE / 4 RH atau


lesi minimal
6 RHE atau

*2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)

IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2


atau H seumur hidup

Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

C. EFEK SAMPING OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.
4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta


warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung
pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg
BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko
kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan Tatalaksana


Penyebab

Minor OAT
diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum
malam sebelum
tidur

Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin


/allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6


(piridoksin) 1 x
100 mg perhari

Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri


penjelasan,
tidak perlu
diberi apa-apa

Mayor Hentikan obat

Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri


kulit antihistamin
dan dievaluasi
ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin


dihentikan

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin


(vertigo dan nistagmus) dihentikan

Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan


(penyebab lain disingkirkan) semua OAT
sampai ikterik
menghilang
dan boleh
diberikan
hepatoprotektor

Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan


(suspected drug-induced semua OAT
pre-icteric hepatitis) dan lakukan uji
fungsi hati

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan


etambutol

Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan


syok dan purpura rifampisin

D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan
tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif

2. lndikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan


c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

· Bronkoskopi

· Punksi pleura

· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

E. EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi
penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

· Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

- Pada akhir pengobatan

· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapatdilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untukdata dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting
adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis
dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek
samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12
dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau
tanpa OAT lainnya

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :


- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat
pengobatan sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB
dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu.
Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi
oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering
disebabkan oleh MDR

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :


- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup
tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop,
setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua
atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
- Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten
pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang daftar obat yang resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabiliti obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang


bekerja pada pH asam

2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon

3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon

Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat


digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.

Resistensi silang

Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis
OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi
terjadi resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan
proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan
tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya
juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih
sensitif terhadap kapreomisin.
. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon
yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang.
- Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat
golongan lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB.
Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid,
sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1 ditambah
dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800
mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama
yaitu minimal 18 bulan
- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-
HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65%
kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu
kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB

Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB

Dosis Rasio kadar puncak serum


Tingkatan Obat Aktiviti antibakteri
harian terhadap MIC
1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid
a. Streptomisin menghambat 20-30
b. Kanamisin atau organisme yang 5-7.5
amikasin multiplikasi aktif
c. Kapreomisin 10-15
2 Thiomides 10-20 Bakterisid 4-8
(Etionamid mg/kg
protionamid)
3 Pirazinamid 20-30 Bakterisid pada pH 7.5-10
mg/kg asam
4 Ofloksasin 7.5-15 Bakterisid mingguan 2.5-5
mg/kg
5 Etambutol 15-20 Bakteriostatik 2-3
mg/kg
6 Sikloserin 10-20 Bakteriostatik 2-4
mg/kg
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER

· Rawat inap

· Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH

· Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang

· Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan

- Tanda / gejala meningitis

- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik

- Demam tinggi

B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)

Paduan obat: 2RHZE/4RH.


- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)


- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah
terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9
bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan
pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini
bila terjadi kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi
TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai
bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan
pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.
Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Gambaran TB-HIV

Infeksi dini Infeksi lanjut


(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak

Mikobakterimia Tidak ada Ada

Tuberkulin Positif Negatif

Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier / interstisial
Adenopati hilus/ Tidak ada Ada
mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup
dan dosis serta jangka waktu yang tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan
efek toksik berat pada kulit
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang
serius pada hati
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain
dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat.
Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat
penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat
rendah dalam serum
- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan
sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)

Tabel 8. Pengobatan TB-HIV

Jumlah sel CD4 Rejimen yang dianjurkan Keterangan

CD4 < 200/mm3 Mulai terapi TB Dianjurkan ART:


Mulai ART segera setelah EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur
terapi TB dapat ditoleransi tanpa kontrasepsi efektif.
(antara 2 minggu hingga 2
bulan) EFV dapat diganti dengan:

Paduan yang mengandung - SQV/RTV 400/400 mg 2


EFVb,c.d kali sehari
- SQV/ r 1600/200 4 kali
sehari (dalam formula soft
gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
ABC

CD4 200-350/mm3 Mulai terapi TB Pertimbangan ART


- Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase intensif (mulai l
dini dan bila penyakit berat):
Paduan yang mengandung EFV:b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau
- Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak
menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP

CD4>350 mm3 Mulai terapi TB Tunda ART

CD4 tidak mungkin Mulai terapi TB Perimbangan ART


diperiksa

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya
tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah
terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1 kali
sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai pengganti
EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau
ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan


-
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT

- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT
karena bersifat sebagai buffer antasida

- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida


dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan
nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai
saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART

Tabel 9. Obat ART

Golongan Obat Dosis

Nukleosida RTI (NsRTI)

· Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

· Didanosin (ddl) 250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)

· Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

· Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)

· Zidovudin (ZDV) 300 mg 2x/hari

Nukleotida RTI
· TDF 300 mg 1x/hari

Non nukleosid RTI (NNRTI)

· Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari

· Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari

Protease inhibitor (PI)

· Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg 2x/hari

· Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg 2x/hari

· Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari

· Saquinavir/ritonavir (SQV/r) 1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1x/hari

· Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.

E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI

- Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin, karena efek


samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin

- Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetetapi
konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
- Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat
kontrasepsi hormonal berkurang.
- Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL

- Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin

- Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya


memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat
diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
- Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum,
kreatinin)

- Rujuk ke ahli Paru

G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI

- Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan

- Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan


- Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH
atau 2 SHE/10 HE

- Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitis
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

H. HEPATITIS IMBAS OBAT

- Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug


induced hepatitis)

- Penatalaksanaan

. Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop

. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:


Bilirubin > 2 ® OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali ® teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :

- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

- Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan
klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN

Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB
paru menurut ATS,misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama
pengobatan OAT dapat diberikan 9 – 12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2RHZE / 7-
10 RH.
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan kebutuhan intervensi operasi
dan menurunkan kematian, pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis
yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu.

BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam
masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

- Batuk darah

- Pneumotoraks

- Luluh paru

- Gagal napas

- Gagal jantung

- Efusi pleura

BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut
oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional


2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan
penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak
mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV,
DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain
dan pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan
pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB
Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada
pemeliharaan kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik
dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

A. Tujuan :
· Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
· Mencegah putus berobat
· Mengatasi efek samping obat jika timbul
· Mencegah resistensi

B. Pengawasan

Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :

Pasien berobat jalan


Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial
dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat
dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan

2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)

3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit,
selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT


Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO

 PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
 PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO

 Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


 Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
 Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
 Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
 Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
 Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
 Melakukan kunjungan rumah
 Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

· Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saat mengambil obat dll
· Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga
pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit dll
Cara memberikan penyuluhan
. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai
bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan
alat peraga (brosur, leaflet dll)
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem
informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan
klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu
:
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB
(TB03).
Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada
organ yang penyakitnya paling berat
. Contoh formulir terlampir

LAMPIRAN
LAMPIRAN I
ALUR DIAGNOSIS P2TB

LAMPIRAN II

.INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang


melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan
rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan
februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk
diagnosis , 9 estándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan
masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang
tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak
anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum
secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila
memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan
anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang
dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan
dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif
paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap
dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons
terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena
mempunyai efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat).
Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan.
Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak
dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan
terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferongamma release
assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan
pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung
atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan
kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan
melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan
selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari
INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase
lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif
untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi
terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan
pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari
3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu
INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila
tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan
kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan
pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan
kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi
yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi
dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada
pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan
kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan
terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing
masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi
pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru
penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling
kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada
akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan
dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang
tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB
paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan
foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan
(misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan
rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan
pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan
tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB
dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah
mempunyai indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus
dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti
pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat
antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang
tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan
penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT
jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat
kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens
resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus
dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan
etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas
obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui
atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada
pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu
yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV
yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk
pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus
pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas
kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang
berlaku
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at:
http//www.who.Tuberculosis.htm. Accesed on March 3, 2004.

2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.

3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A,


Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi.
Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11.

4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.

5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium


tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan
WHO Center for Tuberculosis, 2002.

6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In:
Murray JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2 nd ed. Philadelphia,
WB Saunders Co, 1994;1095-100.

7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology


3rd ed. New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.

8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium


tuberculosis. In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess,
1994;285-301.

9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev


Respir Dis 1986;134:1062-71.

10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium


Tuberculosis. In: In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess,
1994;307-32.

11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai


Polimerasa / Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang Ilmu
Kesehatan Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Jakarta, 1998.

12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of
medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.

13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi


obat (MDR-TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah
Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997.

14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis.
Am J Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in
China, 1997;1-9.

16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of
a rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of
Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.

17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp
sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat
tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading.

18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan
pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta,
Departemen Kesehatan RI, 2003.

19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of
Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia
Persahabatan Hospital, Jakarta-Indonesia.

20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi


Drug Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI, RS Persahabatan - Jakarta.

21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO,
2003.

22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3rd ed. WHO
– Geneva, 2003.

23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen


Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, 2004.

24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse.Simposium tuberculosis


terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta
1998.

25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 – 2015. Available
at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.

Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998. 12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie
MB, Brass A. The Ciba colletion of medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company,
1979:189. 13.Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-
TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang
1997. 14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir Crit
Care Med, 1997;155:1804-14. 15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis
test in China, 1997;1-9. 16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of
a rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium tuberculosis in
China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8. 17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap
Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat
tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading. 18.Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur
tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen
Kesehatan RI, 2003. 19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of
Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-
Indonesia. 20.Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug
Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS Persahabatan -
Jakarta. 21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO,
2003. 22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3rd ed. WHO – Geneva,
2003. 23.Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004. 24. Prihatini S. Directly
observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas
Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998. 25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 –
2015. Available at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.

Anda mungkin juga menyukai