Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Organ Reproduksi pada kehamilan


Organ yang paling banyak mengalami perubahan pada masa kehamilan ialah
uterus. Hal ini dikarenakan uterus berperan sebagai tempat untuk
berkembangnya janin hingga tiba proses melahirkan. Perubahan yang terjadi
pada uterus ini bertujuan untuk mendukung tumbuh dan kembang janin
selama proses kehamilan. Perubahan tersebut diantaranya ialah ukuran rahim
akan membesar hingga dua puluh kali lipat dari ukuran normal biasanya.
Pembesaran ini disebabkan karena hyperplasia dan hipertrofi dari sel
miometrial meliputi otot dan jaringan ikat fiber. Kadar hormon progresteron
dan estrogen juga berhubungan dengan mekanisme pembesaran uterus selama
periode perkembangan fetus.6
Ketebalan dinding uterus akan menipis menjadi 1,5cm disertai
peningkatan berat uterus yang semula hanya 70g hingga mampu menccapai
1100g disertai peningkatan volume kapasitas menjadi 5L. Pada saat
kehamilan, uterus mampu berkontraksi yang disebut dengan kontraksi Braxton
Hicks.6
Kontraksi Braxton Hicks bersifat irregulan dan tidak menimbulkan rasa
nyeri. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar estrogen pada masa kehamilan
yang menyebabkan perubahan secara strukturan dan fungsional dari
miometrium. Saat menjelang kelahiran, kontraksi akan semakin kuat,dan
intens. Kontraksi ini tidak berhubungan dengan perubahan serviks.6
Pada organ serviks akan timbul Goodell’s Sign dimana terjadi peningkatan
vaskularisasi, edema, hipertofi dan hyperplasia. Hal-hal tersebut menyebabkan
serviks pada wanita hamil cenderung lebih lembut dari wanita tidak hamil.
Perubahan serviks ini terjadi selama trimester pertama dan kedua kehamilan.

1
Universitas Tarumanagara
Pada bulan kedua trimester ketiga, serviks akan cenderung lebih pendek dari
panjang sebelumnya. Setengah dari serviks ditempati oleh kelenjar serviks.
Tepat setelah proses pembuahan terjadi,kelenjar endoservikal akan
menghasilkan mucus kental yang disebut dengan operculum, operculum ini
kemudian akan mengisi saluran serviks. Operculum ini berfungsi untuk
mencegah masuknya infeksi.6
Kadar estrogen dan progresteron yang tinggi akan menekan keluarnya
hormon FSH dan LH sehingga proses ovulasi tidak dapat terjadi lagi. Korpus
luteum tetap aktif untuk memproduksi estrogen dan progresteron hingga
minggu ke 6-7 kehamilan. Namun setelah minggu ke-7, produksi progresteron
akan digantikan oleh plasenta.6
Pada vagina akan timbul Chadwick’s sign dimana terjadi peningkatan
vaskularisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan warna kulit menjadi
warna biru keunguan. Diikuti dengan hipertrofi dan hyperplasia dari jaringan
ikat elastin dan sel epitel di vagina.6 Perubahan ini juga dipengaruhi oleh
perubahan intrinsic kulit, peningkatan tekanan mekanik, dan peningkatan
jumlah glikogen. Munculnya Leukorrhea yang bersifat fisiologis dengan pH
3,5-6,0 dengan fungsi untuk mengontrol pertumbuhan bakteri patogen. Seperti
halnya dengan organ reproduksi lainnya, vulva juga akan mengalami
peningkatan vaskularisasi dan hipertrofi dikarenakan adanya penumpukan
lemak pada bagian eksternal.6,8

2.2. Perubahan Hormon pada Kehamilan


Pada kehamilan, terjadi perubahan hormonal pada tubuh wanita yang
berfungsi untuk menunjang pertumbuhan janin selama kehamilan hingga
proses kelahiran.7 Plasenta janin merupakan suatu organ endokrin yang
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan hormon steroid dan peptide
9
esensial untuk mempertahankan kehamilan. Beberapa hormon steroid yang
dikeluarkan oleh plasenta adalah :
2.2.1. Progresteron

2
Universitas Tarumanagara
Kadar progresteron dalam plasma maternal pada semester I adalah 40
ug/ml. kadar ini akan terus meningkat secara linear hingga lebih dari
175 ug/ml pada trimester ke III.
Peningkatan kadar progresteron ini juga akan mengakibatkan mukus
serviks yang dihasilkan akan lebih kental.7
Fungsi utama progresteron pada masa kehamilan ialah mendorong
pmbentukan sumbat mukus di kanalis servikalis, mencegah
kontaminan vagina mencapai uterus sehingga mencegah keguguran
dan juga berperan dalam perkembangan kelenjar susu di payudara
untuk persiapan laktasi.9

2.2.2. Estrogen
Plasenta menghasilkan estrogen dari konversi prekursor androgen
maternal dan adrenal janin. Efek peningkatan estrogen pada mukus
serviks akan bertolak belakang dengan hormon progresteron, dimana
estrogen akan menyebabkan kadar air dalam mukus serviks
meningkat.7,9
Estrogen juga akan merangsang pertumbuhan miometrium serta
mendorong perkembangan duktus-duktus di mamaria yang akan dilalui
oleh air susu ketika proses laktasi dimulai. Kadar estrogen akan terus
meningkat seiring usia kehamilan dan akan mengalami puncak
kenaikan ada masa menjelang kelahiran, agar mempersiapkan uterus
dan serviks untuk persalinan dan kelahiran.9

Sesaat sebelum kelahiran kadar estrogen akan menurun secara


drastis11.
Peningkatan estrogen juga menyebabkan peningkatan kadar
glikogen dalam vagina, dimana glikogen ini merupakan sumber
makanan untuk mikroorganisme didalam vagina. Glikogen juga akan
menyebabkan lingkungan yang baik bagi mikroorganisme patogen
untuk tumbuh. Hal ini dapat menjadi faktor resiko terjadinya keputihan
patologis pada ibu hamil12.

3
Universitas Tarumanagara
G
a
m
b
a
r

1
P
e
r
u
b
a
h
a
n

Hormon Estrogen dan Progresteron pada Kehamilan26

Pada gambar diatas, kadar progresteron dan estrogen meningkat


sejak pertama kehamilan hingga menjelang kelahiran. Estrogen yang
akan meningkat pada kehamilan adalah Estrone (E1), Estradiol (E2),
dan Estriol (E3). Namun, pada saat kehamilan kadar yang paling
dominan adalah produksi Estradiol (E2). Kadar estradiol mulai
meningkat pada awal usia kehamilan 11 minggu dan akan terus
meningkat hingga usia kehamilan 24 minggu. Untuk kemudian sedikit
menurun kemudian akan meningkat kembali11.

2.2.3. Hormon Gonadotropin Korion (hCG)


Hormon hCG berfungsi menyerupai hormon LH yaitu untuk
merangsang dan mempertahankan korpus luteum agar tidak terjadi
degenerasi. Stimulasi hCG diperlukan karena pada masa kehamilan
kadar LH yang pada fase luteal siklus haid berfungsi untuk
mempertahankan korpus luteum ditekan oleh adanya feedback negative
dari tingginya kadar progresteron. Selain itu produksi hCG pada
trimester pertama sangat penting untuk mempertahankan kadar
estrogen dan progresteron tetap tinggi. Selain itu, hCG pada janin laki-
laki merangsang precursor sel Leydig di testis janin untuk
mengeluarkan testosterone untuk maskulinisasi saluran reproduksi10.

4
Universitas Tarumanagara
Kadar hormon hCG pada serum dapat diperiksa pada 6-9 hari
setelah hormon LH mengalami surge. Konsentrasi hCG akan
meningkat dua kali lipat setiap 29-53 jam pertama selama 30 hari masa
implantasi. Kadar tertinggi dari hormmn hCG dicapai setelah 60-80
hari setelah hari terakhir menstruasi dengan kadar mencapai 30,000–
100,000 mIU/mL13.
Kadar akan menurun secara konstan ke kadar 5,000–10,000
mIU/mL saat menjelang 120 hari hingga masa kelahiran tiba. Hal ini
dikarenakan plasenta mulai mengeluarkan hormon estrogen dan
progresteron. Turunnya kadar hCG dikarenakan hCG sudah tidak
dibutuhkan lagi untuk memproduksi hormon steroid tersebut.
Kemudian korpus luteum kehamilan akan mengalami regresi parsial
seiring dengan turunnya kadar hCG, tetapi struktur ini tidak diubah
menjadi jaringan parut sampai setelah proses persalinan13.

2.3.Flora normal dalam reproduksi wanita

Didalam vagina manusia, terdapat beberapa flora normal yang juga


berperan terhadap pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen.
Flora normal contohnya Lactobacillus sp. merupakan organiseme
predominan yang ada pada vagina selama masa reproduktif. Estrogen akan
menstimulasi peningkatan konsentrasi glikogen dimana glikogen akan di
metabolism oleh Lactobacillus spp sehingga menghasilkan asam laktat
sehingga menyebabkan pH pada vagina normal berada di kisran 3,8-
4,414.Selain itu juga Lactobacillus spp. akan menghasilkan hydrogen
peroksida yang dapat menghambat organisme nonendogen Beberapa
bakteri yang umumnya flora normal di vagina dapat menyebar hingga ke
saluran reproduksi bagian atas. Saluran reproduksi bagian atas wanita
bersifat tidak steril sehingga, adanya bakteri tersebut belum tentu
mengindikasikan bahwa wanita tersebut mengalami infeksi bakteri9.

5
Universitas Tarumanagara
Aerob Anaerob
Gram positif Gram negative Gram positif Gram negatif
Lactobacillus spp Escherichia coli Peptostreptococcus spp Prevotella spp
Diphtheroids Klebsiella spp Clostridium spp Bacteroides spp
Staphylococcus Proteus spp Lactobacillus spp Bacteroides
aureus fragilis group
Staphylococcus Enterobacter spp Propionibacterium spp Fusobacterium
epidermidis spp

GroupB Acinetobacter spp Eubacterium spp Veilonella spp


streptococcus
Enterococcus Citrobacter spp Bifidobacterium spp
faecalis
Staphylococcus Pseudomonas spp Actinomyces israelii Yeast : Candida
spp Albicans

Tabel 1. Bakteri flora pada saluran reproduksi bagian bawah9

Beberapa penelitian mengatakan bahwa Lactobacillus penghasil


hydrogen peroxide lebih sedikit pada wanita yang memiliki ras kulit hitam.
Dilaporkan bahwa wanita ras kulit hitam memiliki pH vagina lebih tinggi
dibandingkan ras kulit putih tetapi tidak terdiagnosis menderita Bakterial
Vaginosis (BV). Kadar pH vagina yang lebih tinggi dari normal pada
wanita ras kulit hitam masih dianggap fisiologis selama tidak mengalami
keluhan15.
Ekosistem pada vagina tidak bersifat statis melainkan selalu
berubah-ubah sesuai respon terhadap pajanan endogen maupun eksogen.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi ekosistem pada vagina ialah
siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan kontrasepsi, penggunaan
vaginal douche, penggunaan panty liners, penggunaan antibiotik. Pajanan
tertentu akan meningkatkan ataupun menghilangkan flora normal pada
vagina. Sebagai contoh, hubungan seksual ataupun penggunaan antibiotic

6
Universitas Tarumanagara
akan menurunkan jumlah Lactobacillus, beberapa penelitian lain
mengatakan bahwa hubungan seksual tanpa menggunakan kondom tidak
mempengaruhi jumlah Lactobacillus namun akan meningkatkan jumlah
Escherichia coli dan bakteri batang gram negatif15.

2.4.Leukorrhea
Menurut kamus kedokteran Dorland, Leukorrhea atau biasa disebut dengan
keputihan dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana keluarnya cairan
sekret putih dan kental yang keluar dari vagina dan rongga uterus16.Keputihan
dapat dibagi menjadi keputihan fisiologis dan keputihan patologis.
2.4.1. Leuokorrhea Fisiologis
Pada wanita, keputihan yang bersifat fisiologis tersebut merupakan
suatu mekanisme normal dari tubuh untuk pertahan dari beberapa
mikroorganisme patogen dan juga sebagai cairan lubrikasi. Keputihan
fisiologis dapat berupa transudat campuran dari sekresi cairan dari
serviks, uterin, folikuler dan cairan peritoneal dan mengandung sedikit
sel epitel deskuamosa dan sedikit leukosit14,17.
Konsistensi dari cairan keputihan ini umunya bergantung pada
hormon reproduksi wanita. Ketika estrogen meningkat pada
pertengahan siklus, maka cairan vagina akan lebih kental dan akan
keluar lebih banyak bersamaan dengan ovulasi. Ketika ovulasi, kadar
progresteron meningkat sehingga sekresi cairan keputihan akan lebih
kental lagi namun, keputihan akan menjadi encer kembali menjelang
mensturasi. Keputihan dapat dikatakan masih dalam batas normal ialah
apabila cairan keputihan hanya mengandung sel epitel vagina tanpa
inflamasi dengan pH dibawah 4,514.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya keputihan
fisiologis ialah ketika baru lahir, menstruasi yang terlambat, kehamilan
dan stimulasi seksual17.

2.4.2. Leukorrhea Patologis

7
Universitas Tarumanagara
Leukorrhea yang terjadi pada wanita dapat merupakan suatu
manifestasi klinis dari berbagai infeksi, keganasan, tumor jinak saluran
reproduksi. Leukorrhea patologis umumnya tidak menyebabkan
mortalitas tetapi dapat menimbulkan morbiditas karena dapat
menimbulkan iritasi dengan berbagai keluhan seperti gatal, bau, iritasi,
pembengkakan,dysuria,lower abdominal pain, dan low back pain
sehingga dapat mengganggu kenyamanan bagi penderitanya18.
Keputihan patologis terkadang sulit dibedakan dengan keputihan
yang bersifat fisiologis. Hal ini dikarenakan tidak semua kasus
keputihan patologis akan menimbulkan gejala berupa gatal ataupun
iritasi. Sehingga terkadang wanita tidak menyadari bahwa ia
mengalami keputihan patologis. Dan apabila keputihan ini tidak
ditangani dengan baik akan dapat menimbulkan komplikasi yang
serius18.

2.5.Etiologi Penyebab Leukorrhea


Etiologi dari leukorrhea dapat berupa adanya infeksi ataupun non-infeksi.
Polip serviks, neoplasma serviks, trauma,atrofi vaginitis ataupun alergi
terkadang akan menimbulkan keputihan19.Leukorrhea yang disebabkan oleh
infeksi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti
jamur, protozoa, bakteri, ataupun virus.
2.5.1. Candida albicans

Candida albicans adalah jamur yang bersifat saprofit yang


merupakan flora normal yang ada di vagina. Candida albicans adalah
penyebab kedua terbanyak dari vaginitis setelah vaginosis bakteria20.
Candida albicans pada keadaan tertentu dapat meningkat jumlahnya
dan menimbulkan kondisi patologis pada tubuh wanita. Penyebab
terbanyak terjadinya keputihan pada wanita yang mengalami infeksi
jamur, umumnya 80% disebabkan oleh jamur Candida albicans.
Sebagian kecil lainnya juga disebabkan oleh kelompok Candida yang
berbeda strain yaitu Candida glabrata. Terdapat beberapa faktor
predisposisi terhadap kejadian infeksi vagina oleh Candida albicans

8
Universitas Tarumanagara
diantaranya adalah kehamilan, penggunaan alat kontrasepsi, diabetes,
penggunaan antibiotik dan defisiensi dari zat besi21.
Prevalensi infeksi jamur Candida albicans akan meningkat selama
proses kehamilan. Khusunya pada trimester ketiga kehamilan. Namun
gejala rekuren dapat terjadi sepanjang masa kehamilan22.

Faktor yang meningkatkan terjadinya kolonisasi Candida


asimptomatik dan Candida Vaginitis
Kehamilan
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol
Oral kontrasepsi tinggi estrogen
Terapi kortikosteroid
Pemakaian celana dalam yang terlalu ketat
Penggunaan antibiotik (oral,parenteral ataupun topical)
Penggunaan IUD
Hubungan seksual yang sering

Tabel 2. Faktor yang meningkatkan terjadinya kolonisasi Candida asimptomatik dan Candida
Vaginitis 22
Patogenesis infeksi Candida terjadi ketika adanya faktor
predisposisi yang memudahkan pseudohifa Candida untuk menempel
pada sel epitel mukosa vagina dan membentuk kolonisasi. Setelah
berkolonisasi, Candida akan mengeluarkan zat keratolitik berupa
fosfolipase. Fosfolipase akan mengakibatkan terhidrolisisnya
fosfolipid pada membrane sel epitel sehingga invasi Candida akan
meluas hingga ke jaringan. Dalam jaringan Candida akan
mengeluarkan faktor kemotaktik neutrophil yang mengakibatkan
reaksi inflamsi akut yang akan bermanifestasi sebagai daerah yang
hiperemi atau eritema pada mukosa vulva dan vagina. Fosfolipase juga
akan terus merusak lapisan epitel mukosa sehingga akan menimbulkan
ulkus-ulkus yang dangkal. Saat terjadi inflamasi maka tubuh akan
menghasilkan respon imun yang mengakibatkan jaringan-jaringan

9
Universitas Tarumanagara
akan menglami nekrotik. Sisa-sisa jaringan nekrotik, sel-sel epitel dan
jamur akan menggumpal diatas daerah yang mengalami eritema23,24.
Beberapa pustaka mengatakan bahwa peningkatan kolonisasi
jamur Candida albicans berhubungan dengan peningkatan kadar
glikogen pada lapisan epitel vagina yang distimulasi oleh hormon
reproduksi21. Peningkatan kadar estrogen yang tinggi akan
menstimulasi peningkatan glikogen dimana glikogen ini berfungsi
sebagai sumber makanan bagi jamur Candida25. Penekanan sel imun
pada kehamilan juga menurunkan kemampuan tubuh untuk membatasi
proliferasi dari jamur tersebut20.
Beberapa studi menemukan bahwa, pada kehamilan infeksi
Candida albicans akan lebih menimbulkan gejala8. Gejala yang paling
sering ditimbulkan ialah rasa gatal pada area vulva vagina. Gatal
terkadang disertai dengan keluarnya sekret mukus dengan ciri khas
‘cottage cheese-like’. Sekret dapat bersifat cair ataupun kental22.Gejala
tambahan lain yang dapat ditimbulkan antara lain iritasi, perih, sensasi
terbakar pada area vulva,dan terkadang beberapa wanita mengeluhkan
rasa sakit saat buang air kecil. Infeksi jamur Candida menimbulkan
bau minimal yang cenderung tidak mengganggu penderitanya. Tanda
dan gejala ini umunya akan banyak terjadi seminggu sebelum
terjadinya menstruasi atau pada saat kadar estrogen dalam keadaan
yang tinggi22.
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan eritema dan
pembengkakan pada area labia dan vulva, sering disertai dengan
keluarnya sekret putih kental,pustulopapular dan lesi di bagian
peripheral. Eritema juga ditemukan di bagian mukus vagina. Keadaan
serviks umumnya normal dan tidak mengalami kelainan22. Mukosa
vagina akan mengalami atrofi apabila kondisi infeksi telah
berkembang menjadi kronis25.

10
Universitas Tarumanagara
Gambar 2. Gambaran Fisik Candida Vaginitis

Untuk menegakkan diagnosis Candida dapat dilakukan beberapa


pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan pH vagina,dan juga kultur
Pemeriksaan mikroskopik sederhana dari sekret vagina. Preparat
saline basah memiliki sensitivitas 40-60% dan preparat 10% sodium
hidroksida memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk mendiagnosis jamur
Candida22. Pemeriksaan pH vagina
Penderita yang terinfeksi oleh Candida albicans umumnya memiliki
kadar pH vagina yang normal yaitu 4.0-4.5. Apabila kadar pH melebihi
4.5 kemungkinan penyebabnya ialah infeksi bakteri, trichomoniasis,
atrophic vaginitis ataupun infeksi campura22. Pemeriksaan tambahan
yang dapat kita lakukan ialah pemeriksaan kultur cairan vagina.
Pemeriksaan ini diindikasikan apabila pemeriksaan mikroskop pada
kasus yang diduga terinfeksi menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan
kutur merupakan pemeriksaan yang paling sensitive untuk mendeteksi
adanya infeksi Candida. Tetapi meskipun begitu, hasil kultur yang
positif tidak selalu mengindikasikan bahwa gejala yang ditimbulkan
disebabkan oleh Candida itu sendiri22.
Infeksi Candida albicans umumnya tidak berhubungan dengan
kejadian komplikasi bayi lahir premature, ketuban pecah dini dan bayi
lahir dengan berat badan rendah20.

2.5.2. Bakterial vaginosis


Bakterial vaginosis terjadi akibat adanya ketidakseimbangan flora
yang ada di vagina. Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh
menurunnya jumlah flora normal vagina, Lactobacillus dan digantikan

11
Universitas Tarumanagara
oleh bakteri anaerob seperti Gardnerella vaginalis, Mobiluncus
species, dan Mycoplasma hominis. Belum ditemukan mekanisme jelas
mengapa hal ini dapat terjadi. Diduga hydrogen peroxide memiliki
peranan penting terhadap pertumbuhan bakteri anaerob tersebut26.
Hidrogen peroxide yang dihasilkan oleh Lactobacillus memiliki
peranan penting untuk menghambat pertumbuhan bakteri
patogen9.Bakterial vaginosis tidak menyebabkan penyakit menular
seksual tapi mungkin berhubungan dengan aktifitas seksual26.
Umumnya bakterial vaginosis tidak menimbulkan keluhan. Sekret
vagina bakterial vaginosis akan berwarna keabuan dengan karakteristik
khas berbau amis. Bakterial vaginosis tidak menyebabkan inflamasi
pada mukosa vagina dan sangat jarang menimbulkan gatal26.
Penegakan diagnosis bakterial vaginosis dilakukan dengan
menggunakan kriteria Amsel. Dimana seseorang positif bakterial
vaginosis bila memiliki tiga dari empat kriteria Amsel27:
1. Ditemukannya sekret homogen
2. pH vagina lebih dari 4,5
3. epitel skuamosa pada vagina ditutupi oleh clue cells
(penurunan Lactobacillus,terdapat sel darah putih pada smear
vagina)
4. Adanya bau amine ataupun amis saat sekret vagina diberi
potassium hydroxide (KOH 10%) (whiff test positif).

Selain kriteria Amsel, terdapat Skoring Nugent dengan


membandingkan banyaknya Lactobacillus dengan bakteri Gardnella
dan Mobiluncus per lapang pandang mikroskop.
Skor Skor I Skor II Skor III
Lactobacillus per Gardnella per Mobiluncus per
lapang pandang lapang pandang lapang pandang
0 ≥30 0 0
1 5-30 <1 1-5
2 1-4 1-4 ≥5

12
Universitas Tarumanagara
3 <1 5-30
4 0 ≥30
Tabel 3. Skore Nugent28

Skor Nugent ini digunakan sebagai standar diagnosis untuk


bakterial vaginosis. Namun, membutuhkan keahlian dan waktu yang
cukup lama untuk melakukan penegakan diagnosis menggunakan
skoring ini. Hasil pemeriksaan dikatakan normal apabila Skor I+II+III
bernilai 0-3. Jumlah skor 4-6 bernilai intermediate, dan seseorang
dikatakan terinfeksi BV apabila skor nugent bernilai 7-1029.

2.5.3. Trichomonas Vaginalis


Trichomonas vaginalis ada parasit yang berflagel yang dapat melekat
dan menempel pada sel epitel vagina melalui mekanisme fagositosis.
Fagositosis sel akan menyebabkan kematian sel-sel sehingga tubuh
menghasilkan respon inflamasi. Respon inflamasi akan meningkatkan
leukosit PMN dalam cairan vagina. Pada pemeriksaan mikroskop,
peningkatan dari leukosit PMN dapat menandakan adanya infeksi
ataupun inflamasi30.
Infeksi Trichomonas vaginalis terkadang tidak menimbulkan
gejala. Namun,kebanyakan wanita yang mengalami infeksi akan
mengeluhkan rasa gatal terus-menerus, rasa terbakar pada area vagina,
dysuria, dan dyspareunia.Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema
pada vulva,vagina,dan cervix diikuti dengan keluarnya cairan sekret
berwarna kuning kehijauan yang tidak berbau. Penegakan diagnosis
untuk infeksi Trichomonas dilakukan dengan cara pengambilan secret
vagina kemudia sekret diberi laruta saline basah. Pemeriksaan dengan
saline basah memiliki spesitifitas yang tinggi dengan persentase
sensitivitas 60-70%9.
Infeksi Trichomonas vaginalis akan menyebabkan beberapa
komplikasi seperti pelvic inflammatory disease, infertilitas, cervical

13
Universitas Tarumanagara
dysplasia dan apabila terjadi pada pertengahan kehamilan akan
meningkatkan resiko terjadinya bayi lahir dengan berat badan rendah,
bayi lahir premature, dan keguguran20.

14
Universitas Tarumanagara
DAFTAR PUSTAKA

1. http://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.IMRT.IN?end=2015&locatio
ns=ID&start=2015&view=bar
2. http://www.obsgyn.unimelb.edu.au/students/Undergrad/med5/Lecturers/Pr
eterm03%20SBrennecke.pdf
3. Centers for Disease control. Sexually transmitted Disease Guidelines.
Morbidity and mortality weekly Report, 42 (RR- 14) 1993: 1-102
4. Aslam, Hafeez, Ijaz, dan Tahir, 2008. Vulvovaginal Candidiasis in
Pregnancy. Available from : http://thebiomedicapk.com/articles/255.
5. Maria W. Lower genital tract infections among pregnant women: a review.
East African Medical Journal. 2001;78(11)
6. Mattson Smith J. Core curriculum for maternal-newborn nursing. 1st ed.
St. Louis: Saunders; 2004:83-85.
7. Sherwood L. Human physiology. 1st ed. Australia: Thomson/Brooks/Cole;
2007.
8. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 4.Jakarta :Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2010.
9. Cunningham, Lenovo, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Williams obstetrics.
Edisi 23.USA: McGraw-Hill;2010
10. Brett MBexendale S. Motherhood and memory: a review. 2016.
11. Torgerson R, Marnach M, Bruce A, Rogers R. Oral and vulvar changes in
pregnancy. Clinics in Dermatology. 2006;24(2):122-132.
12. https://mospace.umsystem.edu/xmlui/bitstream/handle/10355/15965/Diag
nosisPregnancy.pdf?sequence=1&isAllowed=y
13. Witkin S, Linhares I, Giraldo P. Bacterial flora of the female genital tract:
function and immune regulation [Internet]. Elsevier. 2016 [cited 21
November 2016]. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1521693406001623
14. Mancuso ARyan G. Normal Vulvovaginal Health in Adolescents. Journal
of Pediatric and Adolescent Gynecology. 2015;28(3):132-135.
15. Dorland W Kumala P. Kamus saku kedokteran Dorland. Jakarta: EGC;
1998.
16. Fonseca T, Cesar J, Mendoza-Sassi R, Schmidt E. Pathological Vaginal
Discharge among Pregnant Women: Pattern of Occurrence and
Association in a Population-Based Survey [Internet]. 2016 [cited 21
November 2016]. Available from:
https://www.hindawi.com/journals/ogi/2013/590416/
17. Depkes RI, 2010. Infeksi Saluran Reproduksi.
http://www.ppl.depkes.go.id//IMS-dan-ISR-pada-pelayanan-
kesehatanreproduksi/
18. Sobel J. Epidemiology and pathogenesis of recurrent vulvovaginal
candidiasis. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
1985;152(7):924-935.

15
Universitas Tarumanagara
19. Katsambas A. European handbook of dermatological treatments. 1st ed.
Springer.
20. Sobel J. Genital candidiasis. Medicine. 2010;38(6):286-290.
21. Gispen, W. Vulvovaginal Candida. Leiden Cytologi and pathology
Laboratory Leiden Netherland;2007
22. Melbourne Sexual Health Centre. (2010, July). RECURRENT VULVO
VAGINAL CANDIDIASIS
23. McDonald H, Brocklehurst P, Gordon A. Antibiotics for treating bacterial
vaginosis in pregnancy. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007.
24. Yudin M, Money D, Boucher M, Cormier B, Gruslin A, Money D et al.
Screening and Management of Bacterial Vaginosis in Pregnancy. Journal
of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2008;30(8):702-708.
25. Martin D. The Microbiota of the Vagina and Its Influence on Women’s
Health and Disease. The American Journal of the Medical Sciences.
2012;343(1):2-9.
26. Demirezen S, Safi Z, Beksaç S. The interaction ofTrichomonas
vaginaliswith epithelial cells, polymorphonuclear leucocytes and
erythrocytes on vaginal smears: light microscopic observation.
Cytopathology [Internet]. 2000 [cited 22 November 2016];11(5):326-332.
Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365-
2303.2000.00237.x/abstract
27. Bubakar, Abdul Rahman, Monalisa, Muhammad D. Clinical aspects of
fluor albus of female and treatment.Makassar: department of
dermatovenereology medical daculty of hasanuddin university;2012
28. Donders G, Van Calsteren K, Bellen G, Reybrouck R, Van den Bosch T,
Riphagen I, Van Lierde S. Predictive value for preterm birth of abnormal
vaginal flora, bacterial vaginosis and aerobic vaginitis during the first
trimester of pregnancy. BJOG 2009;116:1315–1324.
29. Rao, D., Pindi, D., Rani, D., Sasikala, D. and Kawle, D. (2016). Diagnosis
of Bacterial Vaginosis: Amsel’s Criteria vs Nugent’s scoring. Scholars
Journal of Applied Medical Sciences, [online] 4(6), pp.2027-2031.
Available at: http://saspublisher.com/wp-
content/uploads/2016/07/SJAMS-46C-2027-2031.pdf [Accessed 12 Nov.
2017].
30. Muliawan, S. (2001). Diagnosis Praktis Vaginosis Bakterial pada
Kehamilan. 20(2), pp.74-78.43 buyung Ramadhan
http://eprints.undip.ac.id/44514/3/Buyung_Ramadhan_Mandala_Putra_22
010110130149_Bab2KTI.pdf

16
Universitas Tarumanagara
31. Munjoma M. Marshall W. Munjoma. SIMPLE METHOD FOR THE
DETECTION OF BACTERIAL VAGINOSIS IN PREGNANT WOMEN
[Internet]. 2017 [cited 15 November 2017];. Available from:
https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/30100/MarshallxW.xMun
joma.pdf?sequence=2
32. Ibrahim S, Bukar M, Galadima G, Audu B, Ibrahim H. Prevalence of
bacterial vaginosis in pregnant women in Maiduguri, North-Eastern
Nigeria. Nigerian Journal of Clinical Practice. 2014;17(2):154.
33. Tiyyagura S, Taranikanti M, Ala S, Mathur D. BACTERIAL VAGINOSIS
IN INDIAN WOMEN IN THE REPRODUCTIVE AGE GROUP.
International Journal of Biomedical Research. 2012;3(8).
34. Anggraini Dwi, Maryuni Sri Wahyu, Pratiwi Nia Eza. Prevalensi dan
Karakteristik Wanita Hamil Penderita Bacterial Vaginosis di Poliklinik
Obstetri dan ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru .(2012).
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/368/Eza%2
0Nia%20Pratiwi.pdf?sequence=1&isAllowed=y
35. Marconi C, et al, Prevalence of and risk factors for bacterial vaginosis
among women of reproductive age attending cervical screening in
southeastern Brazil, Int J Gynecol Obstet (2015),
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijgo.2015.05.016
36. Bradshaw C, Walker J, Fairley C, Chen M, Tabrizi S, Donovan B et al.
Prevalent and Incident Bacterial Vaginosis Are Associated with Sexual
and Contraceptive Behaviours in Young Australian Women. PLoS ONE.
2013;8(3):e57688.
37. Olarinde O. Bacterial vaginosis among pregnant women attending a
primary health care center in Ile-Ife, Nigeria. Global Advanced Research
Journal of Medicine and Medical Science [Internet]. 2015 [cited 17
November 2017];4(1):057-060. Available from:
https://www.google.co.id/search?q=40.+Bacterial+vaginosis+among+preg
nant+women+attending+a+primary+health+care+center+in+Ile-
Ife%2C+Nigeria&rlz=1C1CHBF_enID770ID770&oq=40.+Bacterial+vagi
nosis+among+pregnant+women+attending+a+primary+health+care+cente
r+in+Ile-
Ife%2C+Nigeria&aqs=chrome..69i57.274j0j7&sourceid=chrome&ie=UT
F-8#

17
Universitas Tarumanagara
38. Rivers C, Adaramola O, Schwebke J. Prevalence of Bacterial Vaginosis
and Vulvovaginal Candidiasis Mixed Infection in a Southeastern
American STD Clinic. Sexually Transmitted Diseases. 2011;38(7):672-
674.

39. Kamus kedokteran dorland


40. Fonseca T, Cesar J, Mendoza-Sassi R, Schmidt E. Pathological Vaginal
Discharge among Pregnant Women: Pattern of Occurrence and
Association in a Population-Based Survey [Internet]. 2016 [cited 21
November 2016]. Available from:
https://www.hindawi.com/journals/ogi/2013/590416/
41. Cunningham, Lenovo, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Williams obstetrics.
Edisi 23.USA: McGraw-Hill;2010
42. Mancuso ARyan G. Normal Vulvovaginal Health in Adolescents. Journal
of Pediatric and Adolescent Gynecology. 2015;28(3):132-135.
43. Depkes RI, 2010. Infeksi Saluran Reproduksi.
http://www.ppl.depkes.go.id//IMS-dan-ISR-pada-pelayanan-
kesehatanreproduksi/
44. Ramos-e-Silva M, Martins N, Kroumpouzos G. Oral and vulvovaginal
changes in pregnancy. Clinics in Dermatology. 2016;34(3):353-358.
45. Sobel J. Epidemiology and pathogenesis of recurrent vulvovaginal
candidiasis. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
1985;152(7):924-935.
46. Katsambas A. European handbook of dermatological treatments. 1st ed.
Springer.
47. Sobel J. Genital candidiasis. Medicine. 2010;38(6):286-290.
48. McDonald H, Brocklehurst P, Gordon A. Antibiotics for treating bacterial
vaginosis in pregnancy. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007.
49. Yudin M, Money D, Boucher M, Cormier B, Gruslin A, Money D et al.
Screening and Management of Bacterial Vaginosis in Pregnancy. Journal
of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2008;30(8):702-708.
50. https://mospace.umsystem.edu/xmlui/bitstream/handle/10355/15965/Diag
nosisPregnancy.pdf?sequence=1&isAllowed=y
51. Larsson P. Diagnosis of bacterial vaginosis: need for validation of
microscopic image area used for scoring bacterial morphotypes. Sexually
Transmitted Infections. 2004;80(1):63-67.
52. Martin D. The Microbiota of the Vagina and Its Influence on Women’s
Health and Disease. The American Journal of the Medical Sciences.
2012;343(1):2-9.

18
Universitas Tarumanagara
53. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 4.Jakarta :Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2010.
54. Sheerwood
55. Witkin S, Linhares I, Giraldo P. Bacterial flora of the female genital tract:
function and immune regulation [Internet]. Elsevier. 2016 [cited 21
November 2016]. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1521693406001623
56. Brett MBexendale S. Motherhood and memory: a review. 2016.
57. Leslie B, Robin P, Barbara Y, Katie H, Kelly R, Wendy E. Microbiology.
USA : Pearson Education; 2010
58. Gispen, W. Vulvovaginal Candida. Leiden Cytologi and pathology
Laboratory Leiden Netherland;2007
59. Melbourne Sexual Health Centre. (2010, July). RECURRENT VULVO
VAGINAL CANDIDIASIS
60. Demirezen S, Safi Z, Beksaç S. The interaction ofTrichomonas
vaginaliswith epithelial cells, polymorphonuclear leucocytes and
erythrocytes on vaginal smears: light microscopic observation.
Cytopathology [Internet]. 2000 [cited 22 November 2016];11(5):326-332.
Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365-
2303.2000.00237.x/abstract

(5)Huslein, Lamont R.editors. Strategies to Prevent the Morbidity and


Mortality Associated with Prematurity. J Obstet Gynaecol 2003;110:1-
135.

19
Universitas Tarumanagara

Anda mungkin juga menyukai