Anda di halaman 1dari 29

Laboratorium Ilmu Rehabilitasi Medik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/RSUD Abdul Wahab Sjahranie

CEREBRAL PALSY

Oleh
Grasia Angger Ayu Wilujeng (1810029030)

Dosen Pembimbing
dr. Wa Ode Sri Nikmatiah, Sp. KFR

Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda

2018
BAB 1
Pendahuluan

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu
dalam perkembangan anak, di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif
akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.Walaupun lesi
serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan
berubah akibat maturasi serebral.1

Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama
kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang anak-anak pada
usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut
mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah
membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut
little 's disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini
merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan
dalam terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP.2,3

Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen selama
kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang mengendalikan
fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud tidak sependapat.
Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai masalah lain misalnya
retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa penyakit tersebut
mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin. Kesulitan
persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat
mempengaruhi perkembangan fetus.
Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih
memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan penderita
CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya paparan
intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi dini CP pada bayi akan
memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat penanganan optimal dalam upaya
memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil
dalam memperbaiki teknik diagnostik misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait modern.
Kondisi tertentu yang sudah diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus, pada saat ini
sudah dapat diterapi dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal dengan metode
khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional sangat penting
untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan braces banyak
membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit yang
berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas.
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan postur
tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan atau di masa
kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi,
komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa
penyebab kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan
dengan pergerakan dan postur tubuh.

Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun, yaitu
manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan umumnya diikuti
spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang tidak progresif. Pengaruh gangguan otak
terhadap pergerakan dan postur tidak hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau
kurang jelas seiring berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat
menjadi semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari intervensi
terapi.2, 4

2.2 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran hidup
dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi cerebral palsy
dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang
berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup.2

Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus cerebral palsy,
antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang Surakarta jumlah anak dengan
kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah 313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak,
tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun 2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005
berjumlah 118 anak, tahun 2006 sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan
tahun 2007 sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat kunjungan pasien
anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.

2.3 Etiologi dan faktor resiko


Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada janin, misalnya
oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan yang
mencolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam
kandungan, terkena radiasi sinar x, dan intoksikasi kehamilan dapat menimbulkan
cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah trauma kepala.
Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan
presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa,
infeksi plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio
kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu
pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat
terjadi di ruang subarakhnoid akan menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal
sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan
korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih
banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah, dan lain-lain masih belum sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal
akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas
golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya
akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis, dan
luka parut pada otak pasca-operasi.7

Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain
adalah: 2
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir
dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya
berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang
nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah
protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
Kejang pada bayi baru lahir

2.4 Klasifikasi
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat pada bagian di
bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.

b. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu


1. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan dan secara
permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai mengalami spastisitas, maka pada saat
berjalan akan akan tampak bergerak kaku dan lurus.
2. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan
adalah gerakan-gerakan yang involunteer dengan ayunan yang melebar. Atetosis
dibagi menjadi:
a. Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian proksimal. Gerakan yang
dihasilkan lambat dan berulang-ulang.
b. Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-gerakan
involunteer, tidak terkontrol, berulang-ulang, dan biasanya melakukan gerakan
stereotype.
3. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan dengannya. Cerebral
palsy tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh dan/atau disertai dengan
abnormalitas gerakan.
4. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan atetosis.8

c. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)


GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik kasar pada anak-anak
dengan cerebral palsy.
 Level 1
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga tanpa hambatan.
Anak-anak juga bisa berlari dan melompat namun kecepatan, keseimbangan, dan
koordinasinya terganggu.
 Level 2
Anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga dengan
berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki keterbatasan berjalan di permukaan yang
tidak rata maupun pada tempat yang ramai atau sempit. Anak-anak tersebut memiliki
kemampuan yang minimum untuk berlari dan melompat.
 Level 3
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan alat bantu, menaiki tangga
dengan berpegangan, dan bisa menggunakan kursi roda sendiri atau ditransportasikan
pada jarak yang jauh dan di luar rumah pada permukaan yang tidak rata.
 Level 4
Anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan menggunalan walker atau
dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan komunitas.
 Level 5
Memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan untuk mempertahankan
postur kepala dan badan terganggu. Semua fungsi motorik terganggu. Anak-anak ini
tidak bisa bergerak sendiri dan harus ditransportasikan.9

d. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.


1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari sehingga sama
sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan
khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak
atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat
mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul,
hidup di tengah masyarakat dengan baik.

3. Berat

Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin
dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang
diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam
rumah perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita
dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-
emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya

2.5 Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural yang
mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal, perinatal atau postnatal karena
vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–risiko patofisiologi dari kelahiran prematur.
Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 %
kasus cerebral palsy. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang
abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau
infeksi, atau vascular insufficiency).

Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa waktu penting, dan
waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:

1. Primary neurulation – terjadi pada 3 – 4 minggu kehamilan.


2. Prosencephalic development – terjadi pada 2 – 3 minggu kehamilan.

3. Neuronal proliferation – penambahan maksimal jumlah neuron terjadi pada bulan ke 3


– 4 kehamilan.

4. Organization – pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel, eliminasi


selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5 kehamilan sampai beberapa
tahun setelah kelahiran.

5. Myelination – penyempurnaan sel–sel neuron yang terjadi sejak kelahiran sampai


beberapa tahun setelah kelahiran.

Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya, menyebabkan


otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral ischemia yang terjadi sebelum
minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan defisit migrasi neuronal, antara minggu ke–24
sampai ke–34 menyebabkan periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34
sampai ke–40 menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.

Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat terjadinya
cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak dan sistem peredaran
darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi.

Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada keadaan
yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang menyeluruh. Pada keadaan
yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah paraventrikular substansia alba dan dapat
terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau
menyeluruh tergantung tempat yang terkena.

Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur seperti imaturitas
pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa
prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum
dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya
hipoperfusi sampai dengan periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan
haemorrhage pada matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa,
hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral mayor),
yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga dapat
terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal
(seperti koreoatetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan
seringkali terjadi dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.

Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi, dan kerusakan
ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin. Autoregulasi peredaran
darah serebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan
vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan
dengan vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.

Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan, area
periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan terhadap cedera.
Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung jawab terhadap kontrol motorik dan tonus
otot pada kaki, cedera dapat menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan
kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat
lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat
melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.

Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak janin, dapat
ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan tentang kelainan migrasi
(disordered migration), seperti lissencephaly atau heterotopia grey matter, mengindikasikan
bahwa kerusakan yang terjadi sebelum 22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi
neuronal normal. Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white
matter. PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter pada
anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter dapat menyebabkan
salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan gejala yang
menyerupai spastik hemiplegia tetapi karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks
kapiler germinal dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas vaskular di antara
zona akhir striate dan arteri thalamik.

Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia gestasi, mencapai
puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah penurunan pada awal kematian
postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang
mengalami cerebral palsy dilahirkan sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi
yang mengalami cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).

Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-intraventricular


hemorrhages, sebagai berikut :

a. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada subependymal


(<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).

b. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area periventrikular.

c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area periventrikular

d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah parenchymal.
Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan ventrikular. Tetapi
sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat berhubungan dengan periventricular-
intraventricular hemorrhage.

Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral palsy diskinetik


(atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir cukup bulan yang ditandai dengan
hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kern ikterus
mengacu pada encephalopathy dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda
kelompok nuclear yang spesifik dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan
ganglia basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus; substantia
nigra; beberapa nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor, vestibular, cochlear dan facial
nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf
cerebellar seperti pada dentate dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus, kehilangan
pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau distonia) adalah ciri–ciri utama
hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan dalam manajemen awal hiperbilirubinemia,
banyak kasus cerebral palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat
hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury pada ganglia
basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau hipoksia, kemungkinan suatu
kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai dasar fenotip perlu dipertimbangkan.

Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk cerebral palsy,
umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat haemolitik pada bayi baru lahir
terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan peningkatan insiden pada dekade
terakhir. Sosialisasi kebijakan antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan
Rhesus negatif setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.

Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh neonatal
hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi cukup bulan
daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya gumpalan karena suatu
abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal dan thalamus yang
menyebabkan fenotip cerebral palsy diskinetik.

2.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokalisasi
serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis cerebral palsy. Kelainan fungsi
morik terdiri dari:

1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun
penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi
kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan
tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di
telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki
dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks
neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus
kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya kerusakan, yaitu:
 Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat
dari yang lainnya.
 Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
 Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan.
 Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.

2. Tonus otot yang berubah


Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan berbaring seperti
kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang
usia 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila
dibiarkan berbaring tampak flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila
dirangsang atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang
normal dan refleks Babinski negatif tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck
reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh asfiksia
perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan
sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak bayi flaksid tetapi
sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak
adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan
terletak pada ganglia basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa
neonatus. Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan
menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan keseimbangan tampak
bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung
dan kaku. Kerusakan terletak di cerebellum. Terdapat kira-kira 5% dari kasus cerebral
palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi sehingga sulit
menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis dan pada 5-10% anak
dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi
dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut
sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada
keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25% penderita cerebral palsy
menderita kelainan mata.7
2.7 Diagnosis
Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat berdasarkan kewaspadaan
terhadap faktor risiko, screening perkembangan regular pada bayi-bayi yang berisiko tinggi, dan
pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua kondisi medis, pendekatan yang sistemastis
berfokus pada riwayat maternal, obstetrik, dan perinatal, tinjau perkembangan mental dan fisik
anak (developmental milestones), dan pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta observasi
anak dalam berbagai posisi seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri, berjalan, dan berlari.

Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi berusia kurang dari 6
bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari berbagai bentuk cerebral palsy muncul
perlahan-lahan dengan petunjuk awal adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan
fisik anak dan tonus otot yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif.
Milestones sekali mendapatkan tidak ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa
hipertonik atau hipotonia. Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau distonia pada
usia 2-3 tahun.

Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun pertama, kelainan tonus
berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai distribusi, adanya refleks neonatus yang
abnormal, keterlambatan dalam refleks melindungi dan postural, dan pergerakan yang tidak
simetris. Refleks primitif seharusnya menghilang secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara
refleks primitif yang paling berguna secara klinis adalah Moro, Tonic labyrinthine, dan
Asymmetric Tonic Neck Reflex (ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak
memungkinkan hingga usia 12 bulan.

Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy, EEG dilakukan
apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika belum dilakukan pada masa
nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy. MRI lebih dianjurkan disbanding CT-scan
Pemeriksaan genetik dan metabolik jika terdapat bukti kemunduran atau kompensasi metabolik,
riwayat keluarga dengan gangguan neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan
cerebral palsy. Pemeriksaan untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga
penting.

Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan penglihatan,
berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif. Evaluasi ortopedi suatu keharusan
karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas menyebabkan subluksasi/dislokasi panggul,
deformitas equina, kontraktur, dan skoliosis.11

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy

Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan antiepilepsi yang
konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis, deformitas equina,
dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan yang lebih
baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang
baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter
THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah
luar biasa, dan orang tua penderita.

Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program
latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu
istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat
latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang penderita hidup.

Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan
otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan
pada penderita dengan pergerakan koreo-atetosis yang berlebihan.

Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di sekolah luar biasa
dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya
diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-
sama sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua
janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di
rumah dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi

Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai dengan
karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot
yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong, misalnya diazepam,
klordiazepoksid (Librium), nitrazepam (mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan.
Imipramine (tofranil) diberikan kepada penderita dengan depresi.7

2.9 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa
dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat pengaman pada
saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan eliminasi
kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan optimal selama mandi dan
bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir dengan
fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar. Inkompatibilitas
faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak.
Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama,
karena secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum khusus yang
diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang
jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi tersebut berkembang selama kehamilan
pertama atau produksi antibodi tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat
perkembangan bayi dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan
atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan imunisasi sebelum
hamil.
2.10 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin banyak gejala
penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran) dan
makin berat gejala motoriknya, makin buruk prognosisnya.
LAPORAN KASUS

I. Identitas
A. Identitas pasien
Nama : An. Abid Raifan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tgl Lahir : 25/05/2015
Umur : 3 tahun 6 bulan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Nomer RM : 88.97.06

B. Identitas Orangtua Pasien


Identitas Ayah
Nama Ayah : Abdul Rahman
Usia : 37 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Jl. Pesut RT 14
Agama : Islam

Identitas Ibu
Nama Ibu : Rika Santika
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : IRT (Ibu Rumah Tangga)
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Jl. Pesut RT 14
Agama : Islam

Anamnesa dilakukan secara heteroanamnesa yang diperoleh dari ibu pasien pada Jumat 23
November 2018

II. Anamnesa
1. Latar Belakang Pasien
A. Susunan Keluarga
Anak kedua dari dua bersaudara, Saudara pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 9
tahun.
B. Riwayat Kehamilan
Pasien dikandung cukup bulan, yaitu 9 bulan. Selama kehamilan, ibu pasien rutin
memeriksakan kehamilan ke puskesmas terdekat dan rutin mengkonsumsi tablet besi.
Selama kehamilan pasien mengeluhkan mual muntah hingga usia kandungan 7 bulan,
sehingga mengeluh tidak dapat makan. Pasien menyangkal mengkonsumsi alkohol dan
rokok namun memiliki kebiasaan mengkonsumsi sayuran mentah

C. Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan normal dibidan, bayi tidak langsung mengangis saat dilahirkan, tidak
bergerak dan kulitnya sedikit kebiruan sehingga pasien langsung dirujuk ke rumah sakit.
Bayi saat lahir tidak langsung ditimbang karena kondisi yang tidak memngkinkan dan
baru ditimbang setelah 1 minggu kemudian. BB bayi 3,300 gram dengan panjang 50 cm.

D. Riwayat Post Persalinan


Setelah dilahirkan, pasien dirawat di incubator selama 1 minggu. Pasien mendapat
imunisasi lengkap. Pada usia 9 bulan pasien dinyatakan terinfeksi TORCH

2. Keluhan Utama
Orang tua pasien mengeluh bahwa tubuh anaknya cenderung kaku, belum mampu
melakukan aktivitas seperti anak lainnya.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD AWS dibawa oleh ibunya untuk mengikuti okupasi terapi, terapi
wicara dan fisioterapi. Pasien telah menjalani terapi sejak usia 9 bulan. Keluhan awal
pasien datang adalah tubuh anaknya cenderung kaku dan belum bisa tengkurap ataupun
mengangkat kepala walaupun telah berusia 9 bulan. Setelah mengikuti terapi pasien telah
mampu mengangkat kepala dan tengkurap usia 1 tahun, mengucapkan mam-mam baa-
baa pada usia 2 tahun namun belum mampu duduk secara mandiri, berdiri dan berjalan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada usia 9 bulan dinyatakan terinfeksi TORCH
5. Riwayat Penyakit Penyerta
Tidak ada

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Sepupu pasien menderita penyakit yang serupa. Kakak pasien di diagnosa mengalami
ADHD
7. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak ada mengkonsumsi obat rutin

8. Anamnesis Sistem
a.) Kepala dan leher : Tidak ada keluhan
b.) Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
c.) Respirasi : Saat ini batuk pilek
d.) Gastrointestinal : Tidak ada keluhan
e.) Urogenital : Tidak ada keluhan
f.) Muskuloskeletal : kekakuan di ekstremitas bagian atas dan bawah namun lebih
didominasi AGB. Tangan pasien kurang fungsional

III. Pemeriksaan Fisik


b. Kesadaran : Composmentis GCS
E4V3M4
c. Tanda Vital : Tekanan Darah 90/70 mmHg
d. Nadi : 77 x/menit
e. Pernafasa : 22 x/menit
f. Tinggi Badan : 98 cm
g. Berat Badan : 14 kg
Kepala/leher
Mata : Strabismus esotrophia bilateral. Anemis (-/-), ikterik (-/-),
pupil isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-), drooling
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Bentuk dan besar dada normal, tampak simetris,
pergerakan simetris, retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikular (+)
Jantung: Inspeksi : Pulsasi ictus kordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba kuat
Auskultasi : suara jantung 1 2 tunggal reguler

Abdomen
Inspeksi : Massa (-), organomegali (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan, organomegali
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : BU (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior: akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Hiperekstensi ankle bilateral, ROM terbatas, spastik (+/+), akral
hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT < 2 detik.
Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal

Kognitif : Tidak dapat dinilai


Intrapersonal : Pasien mampu merespon ketika dipanggil
Interpersonal : Pasien belum bisa bersikap kooperatif dengan baik.

Kemampuan fungsional dan Lingkungan Aktivitas

1) Kemampuan fungsional dasar


Pasien belum mampu duduk, berdiri dan berjalan. Merayap (+)

2) Aktifitas fungsional
Pasien belum mampu melakukan gerakan fungsional misalnya minum, makan, dan
berpakaian

Nervus Kranialis
Tidak dievaluasi

Skala Asworth
Group otot Kanan Kiri

Ekstensor shoulder 0 0

Fleksor shoulder 1 1

Adduktor shoulder 0 0

Abduktor shoulder 0 0

Internal rotator shoulder 0 0

Eksternal rotator shoulder 0 0

Fleksor elbow 0 0

Ekstensor elbow 2 2

Fleksor wrist 0 0

Ekstensor wrist 0 0
Adduktor hip 1 1

Abduktor hip 1 1

Endorotator hip 0 0

Eksorotator hip 0 0

Fleksor hip 2 2

Ekstensor hip 4 4

Fleksor knee 0 0

Ekstensor knee 4 4

Plantar fleksor anlke 4 4

Dorsal fleksor ankle 0 0

Reflex Fisiologis
Bisep ( + / + )

Trisep ( + / + )

Patella ( ↑ / ↑ )

Achilles ( ↑ / ↑ )

Reflex Patologis
Hoffman (-/-)
Tromner (-/-)
Babinski (+/+)
Chadock (+/+)

Reflex Primitif
Snout Reflex (-)
Rooting (-)
Grarsp Reflex (-)
Reflex Postural
Duduk (-), berdiri (-), berjalan(-).

Barthel Index of Activities of daily Living

Bowels 2
0 = incontinent (or needs to be given enemata)

1 = occasional accident (once/week)

2 = continent
Bladder 2
0 = incontinent, or catheterized and unable to manage

1 = occasional accident (max. once per 24 hours)

2 = continent (for over 7 days)


Grooming 0
0 = needs help with personal care

1 = independent face/hair/teeth/shaving (implements

provided)
Toileting 0
0 = dependent

1 = needs some help, but can do something alone

2 = independent (on and off, dressing, wiping)


Feeding 0
0 = unable

1 = needs help cutting, spreading butter, etc.

2 = independent (food provided within reach)


Transfer 0

0 = unable – no sitting balance

1 = major help (one or two people, physical), can sit

2 = minor help (verbal or physical)

3 = independent
Mobility 0
0 = immobile

1 = wheelchair independent, including corners, etc.

2 = walks with help of one person (verbal or physical)

3 = independent (but may use any aid, e.g., stick)


Dressing 0
0 = dependent

1 = needs help, but can do about half unaided

2 = independent (including buttons, zips, laces, etc.)

Stairs 0
0 = unable

1 = needs help (verbal, physical, carrying aid)

2 = independent up and down


Bathing 0
0 = dependent

1 = independent (or in shower)


Scoring 4

Diagnosis
Diplegia Cerebral Palsy

Diagnosis Fungsional
Impairment :
 ROM AGB bilateral terbatas
 Spastik pada ekstremitas bawah
 AGA kurang fungsional
 Global development delay
 Drooling

Disability :
 Tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri
 Tidak dapat duduk dan berdiri
 Tidak dapat melakukan ambulasi
 Tidak dapat berkomunikasi dengan baik

Handicap :
 Tidak dapat bermain dengan teman seusianya.
 Tidak dapat bersekolah sesuai usianya

Goals

 Pasien dapat bermain, duduk mandiri, berdiri dan berjalan.


 AGA dapat dioptimalkan fungsinya (menggenggam, meraih barang, makan)
Planning
Terapi : Terapi okupasi, Fisoterapi, Terapi wicara
Cerebral Palsy

Body function Activity Participation


 ROM AGA/AGB bilateral  Tidak dapat melakukan aktivitas  Tidak dapat bermain dengan
terbatas secara mandiri teman seusianya.
 Spastik pada ekstremitas bawah  Tidak dapat duduk dan berdiri  Tidak dapat bersekolah sesuai
 Gangguan kognitif  Tidak dapat melakukan usianya
 Global development delay ambulasi
 Drooling  Tidak dapat berkomunikasi
 AGA kurang fungsional dengan baik

Environmental factors Personal factors


 Dukungan terapi dari keluarga sangat  Laki-laki
besar  Usia 3 tahun 4 bulan
 Health services: merupakan pasien  Tidak bersekolah
bpjs yang rutin melakukan terapi di  Attentional difficulty
poli rehabilitasi medik (fisioterapi,
terapi okupasi, terapi wicara)
 Pasien mengalami gangguan atensi
bila kondisi ramai

Anda mungkin juga menyukai