Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/RSUD Abdul Wahab Sjahranie
CEREBRAL PALSY
Oleh
Grasia Angger Ayu Wilujeng (1810029030)
Dosen Pembimbing
dr. Wa Ode Sri Nikmatiah, Sp. KFR
Samarinda
2018
BAB 1
Pendahuluan
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu
dalam perkembangan anak, di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif
akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.Walaupun lesi
serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan
berubah akibat maturasi serebral.1
Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama
kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang anak-anak pada
usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut
mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah
membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut
little 's disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini
merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan
dalam terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP.2,3
Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen selama
kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang mengendalikan
fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud tidak sependapat.
Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai masalah lain misalnya
retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa penyakit tersebut
mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin. Kesulitan
persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat
mempengaruhi perkembangan fetus.
Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih
memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan penderita
CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya paparan
intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi dini CP pada bayi akan
memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat penanganan optimal dalam upaya
memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil
dalam memperbaiki teknik diagnostik misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait modern.
Kondisi tertentu yang sudah diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus, pada saat ini
sudah dapat diterapi dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal dengan metode
khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional sangat penting
untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan braces banyak
membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit yang
berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan postur
tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan atau di masa
kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi,
komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa
penyebab kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan
dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun, yaitu
manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan umumnya diikuti
spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang tidak progresif. Pengaruh gangguan otak
terhadap pergerakan dan postur tidak hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau
kurang jelas seiring berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat
menjadi semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari intervensi
terapi.2, 4
2.2 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran hidup
dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi cerebral palsy
dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang
berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus cerebral palsy,
antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang Surakarta jumlah anak dengan
kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah 313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak,
tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun 2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005
berjumlah 118 anak, tahun 2006 sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan
tahun 2007 sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat kunjungan pasien
anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.
Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain
adalah: 2
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir
dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya
berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang
nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah
protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
Kejang pada bayi baru lahir
2.4 Klasifikasi
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat pada bagian di
bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin
dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang
diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam
rumah perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita
dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-
emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya
2.5 Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural yang
mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal, perinatal atau postnatal karena
vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–risiko patofisiologi dari kelahiran prematur.
Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 %
kasus cerebral palsy. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang
abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau
infeksi, atau vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa waktu penting, dan
waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat terjadinya
cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak dan sistem peredaran
darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi.
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada keadaan
yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang menyeluruh. Pada keadaan
yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah paraventrikular substansia alba dan dapat
terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau
menyeluruh tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur seperti imaturitas
pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa
prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum
dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya
hipoperfusi sampai dengan periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan
haemorrhage pada matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa,
hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral mayor),
yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga dapat
terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal
(seperti koreoatetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan
seringkali terjadi dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi, dan kerusakan
ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin. Autoregulasi peredaran
darah serebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan
vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan
dengan vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan, area
periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan terhadap cedera.
Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung jawab terhadap kontrol motorik dan tonus
otot pada kaki, cedera dapat menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan
kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat
lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat
melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak janin, dapat
ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan tentang kelainan migrasi
(disordered migration), seperti lissencephaly atau heterotopia grey matter, mengindikasikan
bahwa kerusakan yang terjadi sebelum 22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi
neuronal normal. Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white
matter. PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter pada
anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter dapat menyebabkan
salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan gejala yang
menyerupai spastik hemiplegia tetapi karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks
kapiler germinal dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas vaskular di antara
zona akhir striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia gestasi, mencapai
puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah penurunan pada awal kematian
postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang
mengalami cerebral palsy dilahirkan sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi
yang mengalami cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah parenchymal.
Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan ventrikular. Tetapi
sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat berhubungan dengan periventricular-
intraventricular hemorrhage.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk cerebral palsy,
umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat haemolitik pada bayi baru lahir
terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan peningkatan insiden pada dekade
terakhir. Sosialisasi kebijakan antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan
Rhesus negatif setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh neonatal
hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi cukup bulan
daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya gumpalan karena suatu
abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal dan thalamus yang
menyebabkan fenotip cerebral palsy diskinetik.
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun
penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi
kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan
tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di
telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki
dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks
neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus
kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya kerusakan, yaitu:
Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat
dari yang lainnya.
Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan.
Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.
Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi berusia kurang dari 6
bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari berbagai bentuk cerebral palsy muncul
perlahan-lahan dengan petunjuk awal adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan
fisik anak dan tonus otot yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif.
Milestones sekali mendapatkan tidak ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa
hipertonik atau hipotonia. Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau distonia pada
usia 2-3 tahun.
Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun pertama, kelainan tonus
berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai distribusi, adanya refleks neonatus yang
abnormal, keterlambatan dalam refleks melindungi dan postural, dan pergerakan yang tidak
simetris. Refleks primitif seharusnya menghilang secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara
refleks primitif yang paling berguna secara klinis adalah Moro, Tonic labyrinthine, dan
Asymmetric Tonic Neck Reflex (ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak
memungkinkan hingga usia 12 bulan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy, EEG dilakukan
apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika belum dilakukan pada masa
nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy. MRI lebih dianjurkan disbanding CT-scan
Pemeriksaan genetik dan metabolik jika terdapat bukti kemunduran atau kompensasi metabolik,
riwayat keluarga dengan gangguan neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan
cerebral palsy. Pemeriksaan untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga
penting.
Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan penglihatan,
berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif. Evaluasi ortopedi suatu keharusan
karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas menyebabkan subluksasi/dislokasi panggul,
deformitas equina, kontraktur, dan skoliosis.11
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy
Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan antiepilepsi yang
konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis, deformitas equina,
dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan yang lebih
baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang
baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter
THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah
luar biasa, dan orang tua penderita.
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program
latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu
istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat
latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan
otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan
pada penderita dengan pergerakan koreo-atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di sekolah luar biasa
dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya
diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-
sama sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua
janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di
rumah dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai dengan
karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot
yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong, misalnya diazepam,
klordiazepoksid (Librium), nitrazepam (mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan.
Imipramine (tofranil) diberikan kepada penderita dengan depresi.7
2.9 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa
dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat pengaman pada
saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan eliminasi
kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan optimal selama mandi dan
bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir dengan
fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar. Inkompatibilitas
faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak.
Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama,
karena secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum khusus yang
diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang
jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi tersebut berkembang selama kehamilan
pertama atau produksi antibodi tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat
perkembangan bayi dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan
atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan imunisasi sebelum
hamil.
2.10 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin banyak gejala
penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran) dan
makin berat gejala motoriknya, makin buruk prognosisnya.
LAPORAN KASUS
I. Identitas
A. Identitas pasien
Nama : An. Abid Raifan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tgl Lahir : 25/05/2015
Umur : 3 tahun 6 bulan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Nomer RM : 88.97.06
Identitas Ibu
Nama Ibu : Rika Santika
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : IRT (Ibu Rumah Tangga)
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Jl. Pesut RT 14
Agama : Islam
Anamnesa dilakukan secara heteroanamnesa yang diperoleh dari ibu pasien pada Jumat 23
November 2018
II. Anamnesa
1. Latar Belakang Pasien
A. Susunan Keluarga
Anak kedua dari dua bersaudara, Saudara pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 9
tahun.
B. Riwayat Kehamilan
Pasien dikandung cukup bulan, yaitu 9 bulan. Selama kehamilan, ibu pasien rutin
memeriksakan kehamilan ke puskesmas terdekat dan rutin mengkonsumsi tablet besi.
Selama kehamilan pasien mengeluhkan mual muntah hingga usia kandungan 7 bulan,
sehingga mengeluh tidak dapat makan. Pasien menyangkal mengkonsumsi alkohol dan
rokok namun memiliki kebiasaan mengkonsumsi sayuran mentah
C. Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan normal dibidan, bayi tidak langsung mengangis saat dilahirkan, tidak
bergerak dan kulitnya sedikit kebiruan sehingga pasien langsung dirujuk ke rumah sakit.
Bayi saat lahir tidak langsung ditimbang karena kondisi yang tidak memngkinkan dan
baru ditimbang setelah 1 minggu kemudian. BB bayi 3,300 gram dengan panjang 50 cm.
2. Keluhan Utama
Orang tua pasien mengeluh bahwa tubuh anaknya cenderung kaku, belum mampu
melakukan aktivitas seperti anak lainnya.
8. Anamnesis Sistem
a.) Kepala dan leher : Tidak ada keluhan
b.) Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
c.) Respirasi : Saat ini batuk pilek
d.) Gastrointestinal : Tidak ada keluhan
e.) Urogenital : Tidak ada keluhan
f.) Muskuloskeletal : kekakuan di ekstremitas bagian atas dan bawah namun lebih
didominasi AGB. Tangan pasien kurang fungsional
Thorax
Paru: Inspeksi : Bentuk dan besar dada normal, tampak simetris,
pergerakan simetris, retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikular (+)
Jantung: Inspeksi : Pulsasi ictus kordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba kuat
Auskultasi : suara jantung 1 2 tunggal reguler
Abdomen
Inspeksi : Massa (-), organomegali (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan, organomegali
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : BU (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior: akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Hiperekstensi ankle bilateral, ROM terbatas, spastik (+/+), akral
hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT < 2 detik.
Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal
2) Aktifitas fungsional
Pasien belum mampu melakukan gerakan fungsional misalnya minum, makan, dan
berpakaian
Nervus Kranialis
Tidak dievaluasi
Skala Asworth
Group otot Kanan Kiri
Ekstensor shoulder 0 0
Fleksor shoulder 1 1
Adduktor shoulder 0 0
Abduktor shoulder 0 0
Fleksor elbow 0 0
Ekstensor elbow 2 2
Fleksor wrist 0 0
Ekstensor wrist 0 0
Adduktor hip 1 1
Abduktor hip 1 1
Endorotator hip 0 0
Eksorotator hip 0 0
Fleksor hip 2 2
Ekstensor hip 4 4
Fleksor knee 0 0
Ekstensor knee 4 4
Reflex Fisiologis
Bisep ( + / + )
Trisep ( + / + )
Patella ( ↑ / ↑ )
Achilles ( ↑ / ↑ )
Reflex Patologis
Hoffman (-/-)
Tromner (-/-)
Babinski (+/+)
Chadock (+/+)
Reflex Primitif
Snout Reflex (-)
Rooting (-)
Grarsp Reflex (-)
Reflex Postural
Duduk (-), berdiri (-), berjalan(-).
Bowels 2
0 = incontinent (or needs to be given enemata)
2 = continent
Bladder 2
0 = incontinent, or catheterized and unable to manage
provided)
Toileting 0
0 = dependent
3 = independent
Mobility 0
0 = immobile
Stairs 0
0 = unable
Diagnosis
Diplegia Cerebral Palsy
Diagnosis Fungsional
Impairment :
ROM AGB bilateral terbatas
Spastik pada ekstremitas bawah
AGA kurang fungsional
Global development delay
Drooling
Disability :
Tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri
Tidak dapat duduk dan berdiri
Tidak dapat melakukan ambulasi
Tidak dapat berkomunikasi dengan baik
Handicap :
Tidak dapat bermain dengan teman seusianya.
Tidak dapat bersekolah sesuai usianya
Goals