Anda di halaman 1dari 8

Potret Salaf Dalam Birrul Walidain

Aris Munandar, Ss., Mpi. 22 May 2008 6 Comments

 Share on Facebook
 Share on Twitter


Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf
mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar,
menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab,
“Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau
sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit
amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair, karya adz-Dzahabi)

Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada
ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang
paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama
ibumu.” Beliau menjawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah
dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul
Akhyar, karya Ibnu Qutaibah)

Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain.
Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu
rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah
serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat
Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu
karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga
Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.”
Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.” (Diambil
dari kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari)

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud
meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum,
ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya
sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Diambil dari kitab Birrul walidain,
karya Ibnu Jauzi)

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di
rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan
duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan
shalatnya, agar makin besar pahala yang di dapatkan anaknya. (Diambil dari Birrul walidain,
karya Ibnu Jauzi)

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar,
ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.”
Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil
dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau
lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking
tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam
liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking. Melihat
tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan
seperti itu.” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari
liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’)

Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah
pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli
sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya. (bagian batang kurma yang
berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan
kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya,
“Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon
kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma,
dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa ku berikan pasti ku berikan.”
(Diambil dari Shifatush Shafwah)

Hafshah binti Sirin mengatakan, “Ibu dari Muhammad bin Sirin sangat suka celupan warna
untuk kain. Jika Muhammad bin Sirin memberikan kain untuk ibunya, maka beliau belikan
kain yang paling halus. Jika hari raya tiba, Muhammad bin Sirin mencelupkan pewarna kain
untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan
ibunya. Apabila beliau berkata-kata dengan ibunya, maka beliau seperti seorang yang
berbisik-bisik. (Diambil dari Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi).

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat
beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah beliau bertanya kepada para
sahabat Muhammad bin Sirin, “Ada apa dengan Muhammad, apakah dia mengadukan suatu
hal? Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, “Tidak. Akan tetapi memang
demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’,
karya adz-Dzahabi)

Humaid mengatakan, tatkala Ibu dari Iyas bin Muawiyah meninggal dunia, Iyas menangis,
ada yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab, “Aku
memiliki dua buah pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satu pintu
tersebut sudah tertutup.” (Dari kitab Bir wasilah, karya Ibnul Jauzi)

Kisah Uwais al-Qorni

Dari Asir bin Jabir beliau mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar
Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang bernama
Uwais bin Amir”, sampai suatu hari beliau bertemu dengan Uwais, beliau bertanya, “engkau
Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di
Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn?”, “Betul,” sahutnya. Beliau bertanya, “Dulu
engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu
sebesar uang dirham?”, “Betul.” Beliau bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah
Umar mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di
Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu
sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki
seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah,
pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar
memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun
kepada Allah untukku, Uwais al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul
Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,”
jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah
agar melayanimu? Uwais al-Qorni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang
sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.” (HR. Muslim)

***

Penulis: Ustadz Aris Munandar


Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Kisah Uwais Al Qarni dan Baktinya pada Orang Tua


Kisah Uwais Al Qarni dan Baktinya pada
Orang Tua
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 15, 2015 Akhlaq, Teladan 4 Comments 63,058
Views
Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya
amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan
melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya
adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh
hari.

Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu
‘anhu.

َ ‫علَ ْي ِه أ َ ْمدَادُ أ َ ْه ِل ْاليَ َم ِن‬


‫سأ َلَ ُه ْم‬ َ ‫ب إِذَا أ َت َى‬ ِ ‫َطا‬ َّ ‫ع َم ُر ب ُْن ْالخ‬ َ ُ ‫ع ْن أ‬
ُ َ‫سي ِْر ب ِْن َجابِ ٍر قَا َل َكان‬ َ
‫ قَا َل‬. ‫ام ٍر قَا َل نَعَ ْم‬ ِ ‫ع‬ َ ‫ْس ب ُْن‬ ُ ‫ت أ ُ َوي‬ َ ‫علَى أ ُ َوي ٍْس فَقَا َل أ َ ْن‬ َ ‫ام ٍر َحتَّى أَتَى‬ ِ ‫ع‬ َ ‫ْس ب ُْن‬ُ ‫أَفِي ُك ْم أ ُ َوي‬
.‫ِم ْن ُم َرا ٍد ث ُ َّم ِم ْن قَ َر ٍن قَا َل نَعَ ْم‬
‫ قَا َل لَ َك َوا ِلدَة ٌ قَا َل نَعَ ْم‬.‫ض َع د ِْر َه ٍم قَا َل نَعَ ْم‬ َ ْ‫ص فَبَ َرأ‬
ِ ‫ت ِم ْنهُ ِإالَّ َم ْو‬ ٌ ‫قَا َل فَ َكانَ بِ َك بَ َر‬
Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan
pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais
bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais
bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod,
dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali
sebesar satu dirham.”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”

Uwais menjawab, “Iya.”

‫ام ٍر َم َع‬ َ ‫ْس ْب ُن‬


ِ ‫ع‬ َ ‫ يَقُو ُل « يَأْتِى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
ُ ‫علَ ْي ُك ْم أ ُ َوي‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫قَا َل‬
ُ‫ض َع د ِْره ٍَم لَه‬ ِ ‫ص فَبَ َرأ َ ِم ْنهُ ِإالَّ َم ْو‬ ٌ ‫أ َ ْمدَا ِد أ َ ْه ِل ْاليَ َم ِن ِم ْن ُم َرا ٍد ث ُ َّم ِم ْن قَ َر ٍن َكانَ بِ ِه بَ َر‬
.» ‫ت أ َ ْن يَ ْست َ ْغ ِف َر لَ َك فَا ْفعَ ْل‬ َ ‫ط ْع‬ َ َ ‫َّللاِ ألَبَ َّرهُ فَإِ ِن ا ْست‬
َّ ‫علَى‬ َ ‫س َم‬َ ‫َوا ِلدَة ٌ ُه َو بِ َها بَ ٌّر لَ ْو أ َ ْق‬
‫ب لَ َك ِإلَى‬ ُ ُ ‫ قَا َل أَالَ أ َ ْكت‬.َ‫ع َم ُر أَيْنَ ت ُ ِريدُ قَا َل ْال ُكوفَة‬ ُ ُ‫ فَقَا َل لَه‬.ُ‫ فَا ْست َ ْغفَ َر لَه‬.‫فَا ْست َ ْغ ِف ْر ِلى‬
َّ َ‫اس أ َ َحبُّ ِإل‬
‫ى‬ ِ َّ‫اء الن‬ ِ ‫غب َْر‬َ ‫ون فِى‬ ُ ‫ام ِل َها قَا َل أ َ ُك‬
ِ ‫ع‬َ
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan
pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit
kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat
berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan
yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni,
mintalah padanya.”

Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais
mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.
Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung
jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”

Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”

‫ع ْن أ ُ َوي ٍْس قَا َل‬


َ ُ‫سأَلَه‬ َ َ‫ع َم َر ف‬ ُ َ‫قَا َل فَلَ َّما َكانَ ِمنَ ْالعَ ِام ْال ُم ْقبِ ِل َح َّج َر ُج ٌل ِم ْن أ َ ْش َرافِ ِه ْم فَ َوافَق‬
« ‫ يَقُو ُل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ قَا َل‬.ِ‫ت قَ ِلي َل ْال َمتَاع‬ ِ ‫ث ْالبَ ْي‬َّ ‫ت َ َر ْكتُهُ َر‬
‫ص‬ ٌ ‫ام ٍر َم َع أ َ ْمدَا ِد أ َ ْه ِل ْاليَ َم ِن ِم ْن ُم َرا ٍد ث ُ َّم ِم ْن قَ َر ٍن َكانَ ِب ِه بَ َر‬ ِ ‫ع‬ َ ‫ْس ب ُْن‬ َ ‫يَأْتِى‬
ُ ‫علَ ْي ُك ْم أ ُ َوي‬
‫ت أ َ ْن‬ َ َ ‫َّللاِ ألَبَ َّرهُ فَإِ ِن ا ْست‬
َ ‫ط ْع‬ َّ ‫علَى‬ َ ‫س َم‬ َ ‫ض َع د ِْره ٍَم لَهُ َوا ِلدَة ٌ ُه َو بِ َها بَ ٌّر لَ ْو أ َ ْق‬ ِ ‫فَبَ َرأ َ ِم ْنهُ ِإالَّ َم ْو‬
.» ‫يَ ْست َ ْغ ِف َر لَ َك فَا ْفعَ ْل‬
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia
bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut
menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya
sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan
datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia
berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh
darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya.
Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika
engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

‫ قَا َل‬.‫صا ِلحٍ فَا ْست َ ْغ ِف ْر ِلى‬َ ‫سفَ ٍر‬ َ ‫ع ْهدًا ِب‬َ ‫ث‬ ُ َ‫ت أَحْ د‬ ً ‫فَأَتَى أ ُ َو ْي‬
َ ‫ قَا َل أ َ ْن‬.‫سا فَقَا َل ا ْست َ ْغ ِف ْر ِلى‬
ُ‫ فَا ْست َ ْغفَ َر لَه‬.‫ع َم َر قَا َل نَعَ ْم‬ َ ‫ قَا َل لَ ِق‬.‫ا ْست َ ْغ ِف ْر ِلى‬
ُ ‫يت‬
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah
ampunan pada Allah untukku.”

Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji),
mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”

Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.

‫علَى َوجْ ِه ِه‬


َ َ‫طلَق‬
َ ‫اس فَا ْن‬
ُ َّ‫فَفَ ِطنَ لَهُ الن‬
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh
dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:

1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari
Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.
2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah orang yang
menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang
mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang
biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.

Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,

‫ع َم َر َوفِي ِه ْم َر ُج ٌل ِم َّم ْن َكانَ يَ ْسخ َُر بِأ ُ َوي ٍْس‬


ُ ‫أ َ َّن أ َ ْه َل ْال ُكوفَ ِة َوفَدُوا إِلَى‬
“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan
atau merendahkan Uwais.”

Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka
sering merendahkannya.

3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk
memberikan ampunan padanya.

4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.

5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya
lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan
untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.

6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat lainnya, dari
‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اض فَ ُم ُروهُ فَ ْليَ ْست َ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم‬ ٌ ‫ِإ َّن َخي َْر التَّا ِب ِعينَ َر ُج ٌل يُقَا ُل لَهُ أ ُ َوي‬
ٌ َ‫ْس َولَهُ َوا ِلدَة ٌ َو َكانَ ِب ِه بَي‬
“Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama . Uwais. Ia memiliki
seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah
padanya untuk meminta ampun untuk kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas
menunjukkan bahwa Uwais adalah tabi’in yang terbaik.

Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang terbaik dari
kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang dimaksud adalah baik dalam hal
keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan
bukan maksudnya terbaik di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk
mukjizat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia
sampai mengatakan pada ‘Umar,

َّ َ‫اس أ َ َحبُّ ِإل‬


‫ى‬ ِ َّ‫اء الن‬ ُ ‫أ َ ُك‬
َ ‫ون فِى‬
ِ ‫غب َْر‬
“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.” Maksud perkataan ini adalah Uwais
lebih senang menjadi orang-orang lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu
lebih ia sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha
untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim.

8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua
terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.

9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup
terasing dari orang-orang.

10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.

11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah doa yang mustajab.
Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih (safar ibadah).

12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah
merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa
dalam hati.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm,
cetakan pertama, tahun 1433 H.

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, malam 25 Jumadal Ula 1436 H di Masjid Jami’
Al Adha Darush Sholihin, Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber : https://rumaysho.com/10538-kisah-uwais-al-qarni-dan-baktinya-pada-orang-
tua.html

Anda mungkin juga menyukai