Anda di halaman 1dari 28

PENYULUHAN

HIV/AIDS PADA KEHAMILAN

Pembimbing :
dr. Arvitamuriany T. Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG

Mentor :
dr. Jeffri Syaputra

Disusun oleh :
Diko H. Saragih 130100397
Zuriel I. Natan 130100291
Nandini 130100398
Mevira B. Yanuar 130100278
Saqinah 130100223

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Arvitamuriany T. Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyuluhan ini dengan judul
“HIV/AIDS Pada Kehamilan”. Penyuluhan ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada dr. Arvitamuriany T. Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan dan izin dalam menyampaikan
penyuluhan ini. Dengan demikian diharapkan melalui penyuluhan ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan materi penyuluhan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan dalam penulisan selanjutnya.

Medan, 31 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2. Tujuan.......................................................................................................... 2

1.3. Manfaat ........................................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3

2.1. Epidemiologi.................................................................................................. 3

2.2. Definisi dan Struktur HIV ............................................................................. 4

2.3. Patogenesis .................................................................................................... 5

2.4. Gambaran Klinis ............................................................................................ 8

2.5. Transmisi ..................................................................................................... 11

2.6. Diagnosis Laboratorium .............................................................................. 13

2.7. Efek Kehamilan Pada AIDS ........................................................................ 14

2.8. Efek AIDS Pada Kehamilan ........................................................................ 14

2.9. Antenatal Care Wanita Hamil dengan HIV ................................................. 14

2.10. Transmisi Vertikal ....................................................................................... 15

2.11. Pengobatan ................................................................................................... 15

2.12. Perawatan Sebelum Kehamilan ................................................................... 18

2.13. Perawatan Selama Kehamilan ..................................................................... 18

2.14. Pencegahan .................................................................................................. 19

iii
2.15. Prognosis Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV ...................................................... 19

BAB 3 KESIMPULAN ....................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah
AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah
35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS.
HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis
kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi.
Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan
memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi
HIV.

Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup


dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia.
Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total
keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi
melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan atau
menyusui. Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIV-positif akan
menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui.

Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari
5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak atau
yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk
terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir. PMTCT
dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita melakukan tes HIV dan
menerima hasilnya bahwa dia positif HIV. Rekomendasi di bagian sub-Sahara
Afrika adalah terapi ARV diberikan pada wanita selama kehamilan, saat persalinan,
dan selama masa nifas atau sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus

1
2

menjalani tes HIV secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus
sementara ia disusui.

PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi kurang dari
1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika Serikat dan Eropa,
tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di negara-negara Afrika.
Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah meningkat secara signifikan
selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2003,
hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif di wilayah ini dimanfaatkan untuk
melakukan PMTCT. Persentase ini meningkat drastis menjadi 33% pada tahun
2007 dan 53% pada tahun 2010. Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah
dari semua perempuan hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT,
menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi
mereka.

1.2. Tujuan
Tujuan dari penyuluhan ini adalah untuk menguraikan teori-teori tentang
HIV/AIDS selama masa kehamilan dan bagaimana tatalaksana dan pencegahan
transmisinya. Penyuluhan ini juga sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

1.3. Manfaat
Penyuluhan ini diharapkan dapat membantu pemahaman mansyarakat
awam tentang HIV/AIDS, bagaimana seseorang bisa terinfeksi, apa yang bisa
dilakukan jika kehamilan terjadi dalam kondisi tersebut. Diharapkan melalui
penyuluhan ini masyarakat lebih hati-hati akan penularan HIV/AIDS dan
bagaimana penanganannya selama kehamilan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak cairan tubuh yang mengandung
virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah
dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya, Oleh karena itu kelompok
risiko tinggi terhadap HIV/AIDS, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersil dan pelanggannya, serta narapidana.

Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh berbagai


keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan HIV adalah wanita
dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang terinfeksi HIV adalah
wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di negara berkembang, sementara
600.000 wanita meninggal di awal tahun karena komplikasi dari kehamilan dan
persalinan. Infeksi HIV pada wanita hamil berkisar dibawah 1% sampai 40% pada
negara-negara yang berbeda. Terjadi peningkatan jumlah wanita hamil yang
terinfeksi oleh HIV dengan komplikasi yang berefek pada angka mortalitas
maternal.

Saat ini terdapat 33 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, 15 juta
diantaranya adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun. Transmisi penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat dihitung dari
besarnya infeksi yang didapat oleh anaknya sendiri. Penularan dari ibu ke anak
dapat terjadi melalui intrauterin, intrapartum dan selama menyusui. Tanpa adanya
pengobatan antiretroviral, faktor risiko infeksi pada wanita yang dapat ditularkan
ke anak berkisar antara 16 hingga 40%. Menyusui merupakan faktor risiko
penularan yang berperan hanya 10%. Obat-obatan antivirus yang diberikan pada
ibu hamil yang terinfeksi HIV dan bayinya secara signifikan dapat mengurangi
risiko penularan dari ibu ke anak. Dengan pengobatan antriretroviral menyebabkan

3
4

jumlah virus HIV yang rendah, tidak menyusui dan operasi sesaria elektif,
penularan HIV ke anak dapat diturunkan sekitar 0 hingga 2%.

2.2. Definisi dan Struktur HIV


AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi
berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria
homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi virus tersebut.

Partikel HIV adalah virus RNA yang berenvelop, berbentuk bulat sferis
dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single
stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein)
dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah
tonjolan (spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope polipeptida terdiri dari dua
subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor
(receptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan
bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini
terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor
kemokin. Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks
(p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural
virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral
(p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga
membentuk 'cangkang' di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat
dalam 'cangkang' tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.
5

2.3. Patogenesis
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar
melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui
mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada
viral load individu yang terinfeksi. Viral load ialah perkiraan jumlah copy RNA
per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang yang
belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus
menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk
pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh
virus, bisa CD4+ sel T dan manosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag
pada jaringan mukosa.

Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada


limfosit-T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target
selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel
Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan
bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini
kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus
6

limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari
sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar
secara hematogen dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus
limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan
mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan
tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus
limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat
berikatan dengan limfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan
sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus
limfatikus.

Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal
infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu
hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV.
Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan
dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal,
replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak
pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen
jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons
terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang
menjadi AIDS.

Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel
dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan
limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung
sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak
sekali replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut
akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus
HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut
dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis.
7

Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan


infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.

Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan
oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama
perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar disbanding jumlah sel
yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan
rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan
mati.

Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik
yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang
dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi
kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode
laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada
awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk
menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+
sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit,
siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan
penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi.

Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap
infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus
HIV dan kerusakan jaringan limfoid semak in menyebar. Progresivitas penyakit ini
akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada
keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+
sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita
AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia
(HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan
saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam
respons imun selular dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan
8

sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan
terhadap berbagai macam jenis infeksi.

2.4. Gambaran Klinis


Gambaran klinis infeksi HIV terdiri atas tiga fase sesuai dengan perjalanan
infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV asimtomatik, Infeksi
HIV simtomatik atau AIDS.

1. Serokonversi
Serokonversi adalah masa selama virus beredar menuju target sel (viremia)
dan antibody serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV
primer menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6
minggu setelah infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut
(acute retroviral syndrome; ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta
penyebaran HIV dan terdiri dari gejala–gejala yang tipikal, namun tidak khas.
Sindrom ini memiliki bermacam–macam manifestasi, gejala yang paling umum
mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam kulit, limfadenopati, dan nyeri
tenggorokan (sore throat). Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat
dengan penurunan jumlah limfosit CD4.

2. Penyakit HIV Asimtomatis


Setelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respons
imun spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi.
Tahap ini dapat saja asimtomatis sepenuhnya. Istilah klinis 'laten' dulu digunakan
untuk menandai tahap ini, namun istilah tersebut tidak sepenuhnya akurat karena
pada tahap laten sejati (true latency), replikasi virus terhenti sementara. Jika tidak
diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18 bulan hingga 15 tahun bahkan
lebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak rentan terhadap infeksi
dan dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4 sel T secara
perlahan mulai turun dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan masa
laten yang lama, biasanya menunjukkan prognosis yang lebih baik.
9

3. Infeksi HIV simtomatis atau AIDS


Jika terjadi penurunan jumlah sel CD4 yang meningkat disertai dengan
peningkatan viremia maka hal tersebut menandakan akhir masa asimtomatik.
Gejala awal yang akan ditemui sebelum masuk ke fase simtomatik adalah
pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh (general limfadenopati) dengan
konsistensi kenyal, mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring dengan
menurunnya jumlah sel CD4+ dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi
akan mempercepat terjadinya infeksi oportunistik. Sebagian besar permasalahan
yang berkaitan dengan infeksi HIV terjadi sebagai akibat langsung hilangnya
imunitas selular (cell mediated immunity) yang disebabkan oleh hancurnya limfosit
T-helper CD4+. Orang dengan penurunan jumlah sel CD4+ hingga kurang dari 200
sel/mm3 dikatakan menderita AIDS, meskipun kondisi ini tidak disertai dengan
adanya penyakit yang menandai AIDS (Tabel 1). Definisi ini mencerminkan
peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang berkaitan dengan HIV yang
menyertai rendahnya jumlah sel CD4+ secara progresif. Setelah AIDS terjadi, maka
sistem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak mampu lagi
mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada kondisi normal tidak
berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya beberapa keganasan.

Tabel 1. Penyakit yang Menandai AIDS


• Koksidiomikosis, ekstrapulmoner
• Kandidiasis: esofageal, trakeal, atau bronkial
• Kriptokokosis, ekstrapulmoner
• Kanker serviks, infasif
• Kriptosporidiosis, intestinal kronik (>1 bulan)
• CMV renitis, atau CMV di hati, limpa, nodul limfatik
• Enselopati HIV
• Herpes simpleks dengan ulkus mukokutaneus > 1 bulan, bronkitis atau
pneumonia
• Histoplasmosis: tersebar atau ekstrapulmoner
• Isosporiasis, kronik > 1 bulan
10

• Kaposi sarkoma
• Limfoma: Burkitt, imunoblastik, khususnya di otak
• M. avium atau M. kansasii, ekstrapulmoner
• M. tuberculosis, pulmoner atau ekstrapulmoner
• Pneumonia Pneumosistis carinii
• Pneumonia, bakteri rekurens (= 2 episode per tahun)
• Leukoensepalopati multifokal
• Bakteremia salmonela
• Toksoplasmosis, serebral
• Wasting syndrome HIV
11

2.5. Transmisi
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :

• Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti
sifilis dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.
• Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood,
plasma, trombosit, atau fraksi sel darah lainnya.
• Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum
yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-
obatan psikotropika.
• Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40%
berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air
susu ibu. (Tabel 2)

Secara transplasental, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi


penularan virus HIV dengan meningkatkan resiko penularan virus HIV anatra lain
rendahnya sel CD4, rendahnya antibodi terhadap virus HIV, adanya keluhan
terhadap infeksi HIV, dan tingginya kadar virus HIV dalam tubuh ibu yang dapat
redeteksi melalui antigen p24 dalam serum ibu atau dengan metode lain seperti
mendeteksi asam nukleat HIV melalui PCR. Faktor lain yang meningkatkan risiko
penularan HIV transplasental adalah rendahnya kadar vitamin A serum ibu dimana
vitamin A mampu mengaktifkan sistem imun ibu dan menjaga fungsi pertahanan
mukosa. Ada beberapa faktor lain juga seperti adanya peradangan plasenta terutama
chorioamnionitis, ibu perokok, pengguna obat, dan penyakitmenular seksual
lainnya yang menyertai serta hubungan seksual tanpa pemakaian alat pengaman
selama kehamilan.

Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi
membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di
12

bawahnya, melalui masuknya darah ibu penderita pada bayinya saat persalinan dan
melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital
dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan sedang berlangsung.

Dari segi obstetrik, terdapat beberapa faktor yang meningkatkan resiko


penularan HIV pada bayi saat persalinan antara lain :
a. Jenis persalinan Persalinan per vaginam memiliki risiko penularan lebih besar
daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan Semakin lama persalinan berlangsung maka risiko
penularan akan semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya paparan
darah dan lendir ibu di jalan lahir.
c. Pecahnya ketuban lebih dari 4 jam meningkatkan risiko penularan hingga dua
kali lipat.
d. Episiotomi, ekstraksi vakum dan foseps meningkatkan risiko penularan
karena terdapat potensi perlukaan terhadap ibu atau bayi.

Berdasarkan waktu terdeteksinya virus HIV, baik dengan cara PCR maupun
kultur, dapat ditentukan melalui proses apa bayi tertular HIV. Pada bayi yang
tertular HIV transplasental saat masih di dalam kandungan, virus akan terdeteksi
pada 7-90 hari pertama kehidupannya. Kebanyakan bayi tertular pada akhir
kehamilan atau pada saat persalinan yang ditunjukkan dengan terdeteksinya virus
dalam darah bayi setelah beberapa hari sampai beberapa minggu pertama
kehidupannya. Penularan HIV melalui ASI yang diberikan ibu penderita HIV
ditunjukkan dengan terdeteksinya virus HIV setelah bayi berusia 3 bulan.

Penularan HIV juga tergantung akan beberapa faktor, seperti fase infeksi,
kadar virus dalam serum, adanya trauma, infeksi sekunder, efisiensi fungsi barier
epithel, adanya sel dengan reseptor terhadap virus, sistem imunitas orang yang
terpapar dan intensitas paparan virus. Salah satu pertanda daya infeksius dari
seorang penderita HIV adalah fase infeksi. Pada kebanyakan infeksi virus, kadar
virus tertinggi terjadi pada awal infeksi, sebelum terbentuk antibodi. Untuk HIV
13

fase ini sulit ditemukan karena kebanyakan penderita asimptomatis pada fase ini
dan respon anti-HIV tidak dapat diketahui.

HIV Tanpa intervensi, risiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang
dilaporkan 15-45%. Penularan dapat terjadi pada saat kehamilan, intrapartum, dan
pasca persalinan. Sebagian besar penularan terjadi intrapartum. Pengaruh
Kehamilan pada Perjalanan Penyakit HIV Kehamilan tidak secara signifikan
mempengaruhi risiko kematian, progresivitas menjadi AIDS, atau progresivitas
penurunan CD4+ pada Odha perempuan. Pada kehamilan normal terjadi penurunan
jumlah CD4+ pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin dan meningkat
kembali pada trimester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan, sedangkan pada
ODHA penurunan tetap terjadi selama kehamilan dan setelah melahirkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Italian Serovonversion Study Group
kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas menjadi AIDS karena tidak
terdapat perbedaan risiko menjadi AIDS atau penurunan CD4+ menjadi kurang dari
200 pada ODHA yang pernah hamil dan tidak.

2.6. Diagnosis Laboratorium


Diagnosis laboratorium yang dapat dilakukan adalah:7 isolasi virus HIV,
serologi dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) atau
tes aglutinasi, deteksi asam nukleat atau antigen: pengujian amplifikasi seperti
reverse trancriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan imunologi: nilai
absolut limfosit CD4 dan rasio CD4:CD8 rendah pada orang yang terinfeksi HIV.
14

2.7. Efek Kehamilan Pada AIDS


Kadar plasma HIV dan sel CD4 merupakan penanda beratnya penyakit.
Kadar rata-rata CD4 pada orang dewasa sehat 500-1.500 sel/ìL. Pada semua wanita
hamil kadar CD4 menurun 543±169 sel/ìL tetapi tidak menggambarkan terinfeksi
atau tidaknya wanita tersebut oleh HIV. Kehamilan tidak dihubungkan dengan
beratnya AIDS.

2.8. Efek AIDS Pada Kehamilan


Infeksi HIV meningkatkan insidensi gangguan pertumbuhan janin dan
persalinan premature pada wanita dengan penurunan kadar CD4 dan penyakit yang
lanjut. Tidak ditemukan hubungan kelainan kongenital dengan infeksi HIV.

2.9. Antenatal Care Wanita Hamil dengan HIV


Semua wanita hamil HIV positif harus dilakukan pemeriksaan yang ketat dan
dilakukan juga pengobatan terhadap infeksi genital selama kehamilannya. Hal ini
harus dilakukan sedini mungkin.

Pengukuran kadar plasma dan CD4 limfosit T harus diulang 4-6 kali setiap
bulan selama kehamilannya dan dianjurkan terapi antivirus serta dibutuhkan terapi
profilaksis untuk Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Profilaksis PCP biasanya
diberikan bila kadar CD4 limfosit T di bawah 200 sel/ìL dalam bentuk
kotrimoksazol (sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprin 160 mg) sekali sehari.

Wanita yang sedang pengobatan HAART harus dilakukan monitoring


terhadap intoksikasi obat seperti jumlah sel darah, ureum, elektrolit, fungsi hepar,
laktat, dan gula darah. Adanya gejala dan tanda preeklamsi, kolelitiasis, atau
gangguan fungsi hati selama kehamilan menandakan adanya intoksikasi obat.

Ultrasonografi (USG) mendetail tentang adanya anomali janin sangat penting


dilakukan terutama wanita hamil yang telah terpapar obat HAART dan antagonis
folat yang digunakan untuk profilaksis PCP.
15

Monitoring janin intensif termasuk adanya gangguan anatomi, gangguan


pertumbuhan, dan fetal well being pada saat trisemester III diharuskan pada ibu
hamil yang mendapat obat kombinasi HAART untuk melihat efek obat pada janin.

2.10. Transmisi Vertikal


Transmisi penyakit dari ibu ke janin (mother-to child trasmission = MTCT)
dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan, dan menyusui. Pada ibu hamil yang
tidak diberikan obat HAART selama kehamilan, 80% terjadi transmisi MTCT pada
usia kehamilan lanjut (di atas 36 minggu), saat persalinan, dan postpartum dan
kurang dari 2% transmisi MTCT terjadi selama trisemester I dan II kehamilan.
Tidak adanya intervensi dengan obat HAART, risiko transmisi MTCT pada ibu
yang menyusui sebesar 15-20% dan 25-40% pada ibu yang menyusui bayinya.
Adanya intervensi dengan obat HAART, seksio sesaria, dan tidak menyusui akan
menurunkan risiko trasmisi MTCT dari 25-30% menjadi <2%.

2.11. Pengobatan
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang
melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk
melakukan perawatan prenatal. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV sama
dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T
CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu setiap 3-4
bulan) yang berguna untuk menentukan pemberian ARV dalam pengobatan
penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1
tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.

Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil terinfeksi
HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan
pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk
mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu
dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan
menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus
banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam
16

plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya
penularan perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus
diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.

Pengobatan dengan menggunakan HAART yang aman saat ini pada wanita
hamil adalah dengan menggunakan AZT (azidotimidin) atau ZDV (zidovudin).
Pengobatan wanita hamil dengan menggunakan regimen AZT ini dibagi atas tiga
bagian, yaitu: wanita hamil dengan HIV positif, pengobatan dengan menggunakan
AZT harus dimulai pada usia kehamilan 14-34 minggu dengan dosis 100 mg, 5 kali
sehari, atau 200 mg 3 kali sehari, atau 300 mg 2 kali sehari, pada saat persalinan;
AZT diberikan secara intravena, dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan
dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam sampai partus, terhadap bayi diberikan AZT dengan
dosis 2 mg/kgBB secara oral atau 1,5 mg/kgBB secara intravena tiap 6 jam sampai
usianya 4 minggu.

Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan


klinis HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi
kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013
merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu memberikan ART bagi
semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm3,
Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi mereka dengan
penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4 350 cells/mm3.

Rekomendasi Terbaru

1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple ARV
yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke anak.
Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan pengobatan ARV
harus dilanjutkan seumur hidup.
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan menyusui
dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur hidup.
17

3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk


pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama risiko
penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.

JENIS PERSALINAN

Wanita hamil dengan viral load < 50 kopi/mL saat pemberian HAART pada
usia kehamilan 36 minggu dianjurkan melahirkan pervaginam. Keadaan ini tidak
dianjurkan pada riwayat operasi dinding rahim, adanya kontraindikasi melahirkan
pervaginam, infeksi genitalia berulang, dan diprediksi persalinannya akan
berlangsung lama. Wanita hamil dengan HIV positif, tetapi tidak mendapat
pengobatan HAART selama kehamilannya, seksio sesaria merupakan pilihan untuk
mengurangi transmisi MTCT.

PENATALAKSANAAN SAAT PERSALINAN

Persalinan Pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan selaput
amnionnya utuh selama mungkin. Pemakaian eleklroda fetal scalp dan pengambilan
sampel darah janin harus dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat HAART,
maka obat ini harus dilanjutkan sampai partus. Jika direncanakan pemberian infus
zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan sampai tali pusat
diklem.

Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan dilanjutkan
1 mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapine dosis tunggal 200 mg harus
diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi
harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena
alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.

Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan
antibiotik profilaksis. Infus zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria
dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan
18

diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepat mungkin pada saat seksio
sesaria dan bayi harus dimandikan segera.

PEMBERIAN MAKANAN BAYI

Apabila ibu memilih memberikan ASI, maka dianjurkan memberikan ASI


secara eksklusif selama 6 bulan. Apabila tidak dapat memberikan ASI eksklusif,
maka dianjurkan untuk segera beralih ke pemberian susu formula. Apabila syarat
AFASS (acceptable, feasible, affordable, sustainable, safe) tercapai sebelum usia
6 bulan, maka ibu boleh beralih ke pemberian susu formula dan pemberian ASI
dihentikan.

2.12. Perawatan Sebelum Kehamilan


Wanita yang terinfeksi HIV harus berkonsultasi adengan dokter spesialisasi
HIV sebelum mencoba untuk hamil. Beberapa obat HIV tidak aman untuk
dikonsumsi selama kehamilan, dan perlu dipertimbangkan sebelum mencoba untuk
hamil. Wanita yang terdeteksi tidak ada virus yang dalam darah, memiliki risiko
jauh lebih rendah menularkan virus HIV ke bayi mereka daripada wanita yang
memiliki virus yang terdeteksi dalam darah mereka.

2.13. Perawatan Selama Kehamilan


Selama pemeriksaan awal, akan dilakukan tes darah untuk menentukan
jumlah virus HIV dalam darah (misalnya, viral load HIV) dan kekuatan sistem
kekebalan tubuh (misalnya, jumlah sel T CD4). Selain itu, juga dilakukan tes darah
lain untuk mengevaluasi kesehatan umum dan untuk memantau efek samping obat.
Selama kehamilan, kebanyakan wanita dengan HIV disarankan untuk mengambil
rejimen antiretroviral dengan menggunakan tiga obat HIV. Bila mungkin,
zidovudine (AZT) disertakan karena telah terbukti secara signifikan mengurangi
risiko penularan HIV ke bayi dan dianggap aman untuk dikonsumsi selama
kehamilan. Studi menunjukkan bahwa wanita yang memulai pengobatan HIV pada
awal kehamilan lebih mungkin untuk memiliki jumlah virus yang rendah dalam
darah. Namun, beberapa wanita mungkin lebih suka untuk memulai setelah
trimester pertama kehamilan untuk menghindari paparan obat yang tidak perlu pada
19

bayi. Pengobatan HIV terus berlanjut sepanjang kehamilan untuk mencegah


penularan HIV ke bayi.

Cara paling aman untuk perempuan dengan HIV untuk melahirkan bayi (yaitu
dengan operasi sesaria elektif), dan tergantung pada viral load HIV selama
kehamilan. Manfaat dari kelahiran sesaria yang dijadwalkan adalah dapat
meminimalkan paparan bayi dari darah ibu dan cairan vagina di jalan lahir.
Risikonya bahwa kelahiran dengan sesaria dapat mengakibatkan komplikasi pada
ibu (perdarahan, infeksi, dll), dan mungkin lebih sulit untuk pulih setelah operasi
sesaria dibandingkan dengan persalinan normal. Wanita hamil dengan HIV yang
telah mengkonsumsi obat HIV selama kehamilan dan memiliki viral load yang tidak
terdeteksi pada 34-36 minggu kehamilan dapat memilih untuk melakukan
persalinan normal.

2.14. Pencegahan
HIV sering ditransmisikan melalui darah, sehingga usaha pencegahan
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: meskipun asimtomatik setiap individu
yang terinfeksi HIV dapat menularkan-nya kepada individu yang lain, sehingga
dibutuhkan pemeriksaan kesehatan rutin. Individu yang terinfeksi dilarang untuk
menjadi pendonor baik itu donor darah, plasma, organ tubuh, jaringan, atau sperma.
Seluruh peralatan yang dapat berkontaminasi dengan darah seperti sikat gigi atau
alat cukur tidak boleh digunakan bersama.

2.15. Prognosis Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV


Ibu dengan HIV positif tidak menunjukkan tanda-tanda spesifik HIV pada
bayi yang dilahirkan. Bila terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat
ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat
dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi. Gejala klinik
tidak spesifik, menyerupai gejala infeksi virus pada umumnya. Gejala klinik dapat
berupa : BBLR, Infeksi saluran nafas berulang, PCP (pneumocystis carinii
Pneumonia), sinusitis, sepsis, dan lain-lain

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bayi meliputi :


20

1. Status HIV ibu ( angka berat bayi lahir rendah pada anak dengan ibu yang
terinfeksi HIV)
2. Berat badan ibu ( anak dengan ibu yang memiliki badan yang lebih berat
secara konsisten memiliki berat bayi lahir yang lebih dibandingkan dengan
anak yang lahir dari ibu yang lahir dengan berat badan yang lebih rendah)
3. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dengan penyakit lanjut (jumlah
CD4 <200 sel/ml) selalu memiliki berat yang kurang.
BAB 3
KESIMPULAN

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang


disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyebaran HIV ini
berkembang dengan cepat dan mengenai wanita dan anak-anak. Angka morbiditas
dan mortalitas yang disebabkan oleh HIV semakin meningkat dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Hingga saat
ini belum ditemukan imunisasi profilaksis atau pengobatan AIDS, meskipun
demikian terapi antiretrovirus seperti highly active antiretroviral therapy (HAART)
tetap dikembangkan. Penggunaan obat antivirus dan persalinan berencana dengan
seksio sesaria telah menurunkan angka transmisi perinatal penyakit ini.

Semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya diberi konseling HIV
untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan
untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa
memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat. Ibu hamil
diharapkan untuk dapat dengan rutin melakukan kontrol rutin untuk pencatatan dan
pemantauan selama kehamilan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Watts DH. Human immnunodeficiency virus. Dalam: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, Gonik B, editor. High risk pregnancy management options. Edisi
ke-3. USA: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 620-35.
2. Sweet RL, Minkoff H. Maternal infection, human immunodeficiency virus
infection, and sexually trasmitted diseases in pregnancy. Dalam: Reece EA,
Hoobins JC, editor. Clinical obstetrics the fetus and mother. Edisi ke-3.
Massachusetts: Blackwell Publishing; 2007. hlm. 885-930.
3. Goering RV, Dockrell HM, Zuckerman M, Walekin D, Roitt IM, Mims C, et
al. Medical microbiology. Edisi ke-4. China: Mosby Elseiver; 2008. hlm.
261-86.
4. Tripathi R, Tyagi S, Chanchal. HIV in obstetrics and gynaecology. Dalam:
Gandhi G, Metha S, Batra S, editor. Infection in obstetrics and gynaecology.
India: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2006. hlm. 34-55.
5. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick, JL, Adelberg EA, et
al. Medical microbiology. Edisi ke-24. USA: Prentice-Hall International Inc;
2007.
6. A Service of the U.S. Department of Health and Human Services. HIV and
pregnancy (diunduh Oktober 2007). Tersedia dari: http://aidsinfo.nih.gov
7. Murray RP, Rosenthal KS, Pfaler MA. Medical microbiology. Edisi ke-5.
Pennsylvania: Mosby Elsevier; 2005.
8. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and molecular immunology. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders; 2003.
9. National Institute of Allergy and Infectious Disease. Treatment of HIV
infection (diunduh November 2007). Tersedia dari :
http://www.niaid.nih.gov/factsheet/treathiv.htm
10. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide
to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and
control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.

22
11. McCutchan A. HIV infection and AIDS pathogenesis (diunduh 29 November
2007). Tersedia dari:
www.hivtraining.ucsd.edu/powerpoint/HIV_AIDS_Pathogenesis_1-04.ppt
12. John Hopkins Blooberg School of Public Health. Population report; Family
planning choices for women with HIV. 2007 Agustus; 5 (serial L).
13. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. Hauthh JC, Gilstrap III LC,
Wenstrom KD. Williams obstetrics. Edisi ke-22. USA: McGraw-Hill; 2005.
14. Syamsuri AK. Breastfeeding in HIV infection. Dibacakan dalam PIT X
Fetomaternal, Malang, 2009.
15. Bernstein HB, Weinstein M. Normal pregnancy and prenatal care. Dalam:
Decherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editor. Current diagnosis
and treatment obstetrics and gynecology. Edisi ke-10. New York: McGraw-
Hill; 2007. hlm. 187-202.
16. Toumala RE, Shapiro DE, Mofenson LM, Bryson Y, Culname M, Hughes
MD, et al. Antiretroviral therapy during pregnancy and the risk of an adverse
outcome. N Eng J Med. 2002;346(24):1863-70.
17. De Bruyn M. Reproductive choice and women living with HIV/AIDS
(diunduh 5 Oktober 2008). Tersedia dari:
http://www.genderandaids.org/downloads/topics/Repro_Choice_HIV_AIDS
.pdf
18. Irianti IT. Referat HIV/AIDS dalam kehamilan dan penatalaksanaannya
(WHO 2013). Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia. Makasar. 2013
19. Yunihastuti, E., Wibowo, N., Djauzi, S., Djoerban, Z., 2003. Infeksi HIV
pada Kehamilan. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
20. Murtiastutik, D., 2008. Infeksi Menular Seksual. Surabaya : Airlangga
University Press. National AIDS Control Organisation. 2007. Guidlines for
HIV Testing. Ministry of Health and Family Welfare.

23

Anda mungkin juga menyukai