Anda di halaman 1dari 85

Lalai untuk Belajar Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua
pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun
sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia sampai -sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari,
kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan
ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.

Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia;
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai .” (QS. Ar Ruum: 7)

Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang -orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap
urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)

Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun
mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui
kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan
tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui kalau dunia i tu
akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu
mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam,
dan selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
1
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja
seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar
lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini
akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)

Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan
membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal
Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan
manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan perdagangan. Namun
bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula
mereka benar-benar lalai dari kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan
mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri
yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125)

Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun
menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama
menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai
membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada ilmu
dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang menyedihkan.

Bahaya Jahil akan Ilmu Agama


Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu
pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain yang
mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan
shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum

2
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka ilmuilah (ketahuilah)!
Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah
untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu
sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al Hilyahketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini,
lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu.
Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini
bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pe n). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila
yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat -buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula
mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau
mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta diganti lebih
(alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba.
Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal. Mu’adz bin Jabal berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada
di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

3
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu
jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran
kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa
yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan .” (Al Amru
bil Ma’ruf, hal. 15)

Beri Porsi yang Adil


Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu dunia bisa menjadi wajib jika memang
belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent
sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk mempelajari
ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat.

Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat
anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3,
menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung,
namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani sehari -hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti bahwa
menggantungkan jimat dalam rangka melariskan dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu
syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia bisa
meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang harus dipelajari setiap
muslim. Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham bagaimanakah mentauhidkan Allah,
bagaimana tata cara wudhu, tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari -hari. Tidak mesti setiap anak kelak
menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu
mengerahkan si anak ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh orang -orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana

4
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun jika mema ng
si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia pelajari.

Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter, engineer, pakar IT dan
lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan,
maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 da n Tirmidzi no. 2682,
Shahih)

Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada anak -anak kita, jangan lupa
didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan keseharian mereka.

Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam


Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. M encari ilmu
adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada
orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah
(mendekatkan diri pada Allah).”

Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib
yang lebih utama dari menuntut ilmu.”

5
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama
menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat
tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskip un sudah berada di usia senja. Ada yang
sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun
mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah(semangat yang kuat dalam belajar).

Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.

Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum


Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia
senja”.

Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok


Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?”
“Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.

Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’


Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi
seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.

Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil


Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara
atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit
dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar
ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 3 0 tahun”.

6
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40
tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.

Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi


Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”

Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal


Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.

Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm


Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin
(agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum
shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambi l
berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang
bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas
merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.

Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali
memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini
bukan waktu untuk shalat”(**).

Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia
bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya
Imam Malik bin Anas.

7
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut
ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.

* Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat
Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah
shalat yang ada sebab.

Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam


Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan
beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.

Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah


Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang
lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi
untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama -sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah
yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk
dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”

Referensi:
 ‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
 Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj , Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul
Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

8
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Kemuliaan Ilmu dan Ulama
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas
seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi -nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang
dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh jatah
warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan
kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai
Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya
penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka
menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-
’Ulama, hal. 37)

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau
berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-
Bari [1/172])

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah
kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil
amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)

9
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan
para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi
manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau
mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan
di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)

Petaka Lenyapnya Ilmu


Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebagian di antara tanda dekatnya hari
kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-
’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])

Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup
manusia yang menopang urusan dunia dan akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis
keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena
praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana (lihat Fath al-Bari[1/218])

Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud
adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan
cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-
pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])

10
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika Hajjatul Wada’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui
yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya
(meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath al-Bari [1/237-238])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan
kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun
lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap
mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh
lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu. ”
(lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang
Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik
sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam -tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus
sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka
sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak
pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran
yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan
orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana
hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.”
(lihat Fath al-Bari [1/215]).

11
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana
tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan
ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu


Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan
oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di
dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu
dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.


Alloh Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada -adakan terhadap Allah apa saja
yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar
yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh
mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan berbicara tentang Alloh
tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum -hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang
nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.”
12
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
[Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan,
penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal
dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya
sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim -
pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa
tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.” (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa
ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga
dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul
Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.


Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah
mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman: “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa
nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun” (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-
Thahawiyah, hal: 393)

13
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul -Nya dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga
pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman,
dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-
laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka.
Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah
mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia
menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam: “Barangsiapa menyeru
kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa -dosa
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun . (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.


Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Isra’ : 36)

Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang
mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang
merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

14
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya
berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an,
di antaranya adalah firman Allah di bawah ini: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata:
“Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.


Allah berfirman: “Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa
yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu.
Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu.

Tahapan Dalam Menuntut Ilmu


Fadhilatus Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah ditanya pertanyaan berikut: “Bagaimana metode yang benar dalam
belajar agama secara bertahap? Dan bagaimana metode yang benar dalam belajar ilmu aqidah, tafsir, fiqih dan hadits. Dari mana
kita memulainya?”

15
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Beliau lalu menjawab: “Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya sedang mencari metode yang benar untuk mendapatkan ilmu
agama. Namun yang benar, pertama-tama, seorang penuntut ilmu hendaknya mencari dulu guru yang menguasai ilmu syar’i yang
berjalan di atas manhaj salafus shalih. Karena memilih guru dan memilih kitab yang tepat adalah metode yang benar untuk
menuntut ilmu syar’i.

Memilih mata pelajaran dalam ilmu syar’i baik aqidah, tafsir, hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah, semuanya ini tidak diragukan lagi
butuh tahapan dan butuh pula kebijaksanaan dalam berpindah dari satu tahapan ke tahapan yang lain atau dari satu kitab ke kit ab
yang lain.

Ketika belajar aqidah dan ingin melalui tahapan yang benar, maka seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dengan belajar
kitab Al Ushul Ats Tsalatsah milik Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (wafat 1206 H) rahimahullah. Dalam
kitab ini terdapat ilmu yang melimpah dalam permasalahan aqidah yang tidak akan membuat penuntut ilmu menyimpang dari
manhaj salafus shalih dalam memahami agama.

Setelah itu lanjutkan mempelajari Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah Ushulil Iman. Tulisan-tulisan ini
merupakan panduan dalam bidang aqidah dan merupakan pelajaran pokok dalam mempelajari ilmu-ilmu syariah yang lain. Ketika
seseorang telah mempelajari kitab-kitab ini, ia akan memiliki akidah yang benar dan berjalan di atas manhaj salafiy, serta
mendapatkan pencerahan darinya. Kemudian setelah mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya berpindah ke tahapan yang lebih
tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah menyelesaikan kitab ini berpindah lagi ke kitab Al Aqidah Al Washithiyyah milik
Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke kitab Al Hamawiyyahdan At
Tadmuriyyah lalu Al Aqidah Ath Thahawiyyah.

Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang berkaitan dengan pembahasan sunnah dan tahdzir terhadap
bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah milik Al Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik Al Khallal
(wafat 311H), Kitab As Sunnah milik Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah milik Ibnu Bathah Al’Akbari (wafat
387H), dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah (wafat 311H) dan kitab-kitab lain yang termasuk dalam bidang ini.

16
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk para penuntut ilmu adalah kitab Tafsir Ibni
Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H) rahimahullah. Lebih khusus lagi, aku menyarankan Mukhtashar
Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad Nasib Ar Rafi’i karena -sepengetahuan kami- beliau telah meringkas Tafsir Ibni Katsir hingga
sejalan dengan manhaj salaf. Jika mampu menyelesaika n kitab-kitab tadi, maka pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H) juga kitab-
kitab tafsir selain yang disebutkan yang bila seorang penuntut ilmu membacanya lalu menelaahnya ia bisa menyadari jika
menemukan ta’wil-ta’wil yang tercela, semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat 671H). Dan dapat juga mempelajari kitab tafsir
lainnya seperti Tafsir Ibnul Jauzi (wafat 597H), dan Tafsir Asy Syaukani (wafat 1250H).

Namun dengan catatan, dalam sebagian kitab-kitab tafsir yang bagus dan mengandung limpahan ilmu tersebut, penulisnya -
rahimahullah ‘alaihim- terkadang men-ta’wil ayat-ayat tentang sifat Allah. Tapi sedikit sekali ta’wil yang disepakati oleh mereka
yang men-ta’wil nash Qur’an dan Sunnah dengan ta’wilan yang tercela. Penyebab terjadinya hal tersebut, -sepengatahuan kami-
ada tiga:

1. Pengaruh lingkungan tempat sang mufassir hidup


2. Pengaruh guru tempat sang mufassir menuntut ilmu
3. Pengaruh telaah kitab-kitab. Sebagian mufassir menelaah kitab-kitab yang memuat berbagai pemikiran manusia, lalu ia
terpengaruh

Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in An Nawawiyah untuk dihafal dan
dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di dalamnya. Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul
Ahkam kemudian Bulughul Maram, juga dengansyarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk
mempelajari Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal dan keilmuan manusia itu senantiasa
berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta keberlanjutannya dalam me nuntut ilmu tanpa terputus.

Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu sekedar membaca hadits -hadits saja ia akan mendapat banyak
pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka juga mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang
merinci permasalahan-permasalahan furu’ atau juga kitab Zaadul Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini dengan adanya
17
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
banyak kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama terdahulu maupun ulama di masa ini. Di antara syarah yang mudah
dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama masa ini, Syaikh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam kitab As Syarh Al
Mumthi’. Kitab ini memang benar-benar memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat bahasan-bahasan yang bermanfaat
dan penjelasan-penjelasan yang langka. Semoga Allah memberikan ganjaran kepada beliau, menjadikan manfaat yang besar dari
ilmu beliau, dan menambah keutamaan beliau.

Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah Nabawiyyah karya Imam Mujaddid Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian setelah itu mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam (wafat 183H). Dan di
zaman ini, walhamdulillah, kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas.

Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti ilmu ushul fiqih, qawa’id, musthalah, serta
butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab dan qa waidul fiqhiyyah. Sehingga barulah seseorang memiliki kemampuan untuk
mengambil ilmu dari dalil-dalil Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar.

Semua ini, tidak cukup hanya dengan membaca kitab secara otodidak, bahkan jika perlu seseorang menempuh perjalanan untuk
mencari guru ke daerah lain jika memang di daerahnya tidak ada, sebagaimana yang dilakukan para salafus shalih dal am
menuntut ilmu. Ini jika memang mampu untuk menempuh perjalanan tersebut. Jika tidak mampu menempuh perjalanan tersebut,
maka bacalah kitab-kitab lalu kumpulkan hal-hal yang membingungkanmu, kemudian tempuhlah sekedar perjalanan pendek (untuk
menanyakanya kepada ulama, pent). Apalagi di zaman ini berhubungan dengan ulama melalui telepon telah mencukupi kebutuhan
tersebut tanpa harus bersusah payah.”
Catatan:
Urutan dan jenis kitab dalam menuntut ilmu sebagaimana yang disebutkan di atas bukanlah suatu yang saklek harus demikian.
Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda sehingga sangat mungkin berbeda pula tahapan
belajarnya. Dan akan sangat mungkin berbeda jawabannya jika ditanyakan kepada ulama yang lain. Namun yang pasti, seorang
penuntut ilmu hendaknya belajar kepada seorang guru yang mapan ilmunya, sehingga sang guru dapat mengarahkan tahapan
belajar yang cocok baginya.

18
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Pengaruh Teman Bergaul
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab -adab serta batasan-batasan dalam
pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Dampak buruk akan menimpa seseorang akibat bergaul
dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya manfaat yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang -orang yang baik.

Pengaruh Teman Bagi Seseorang


Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun
juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda
beliau: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pan dai besi. Penjual
minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak,
engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan
kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan Menjauhi
Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih
dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan
bergaul dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terda pat
larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih
Muslim 4/227)

19
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat
merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat
memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”( Fathul Bari 4/324)

Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik


Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua -
duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
permisalan pertemanan dengan dua contoh (yak ni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan
teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan
bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding
dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut. Kebaikan yang akan diperoleh seorang
hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama dari pada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan
mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan
mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada
kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia
baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman de katnya
dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang
shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga
dari maksiat, dan mengajak berlomba -lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu
baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika
engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya
denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)

20
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau
kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman
dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi
orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya.
Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti
sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah
yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. S ebaliknya, hukuman
bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)

Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik dan buruknya agama seseorang. Oleh
sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah
kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

Jangan Sampai Menyesal di Akhirat


Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama seseorang. Jangan sampai kita menyesal pada hari kiamat nanti karena
pengaruh teman yang jelek sehingga tergelincir dari jalan kebenaran dan terjerumus dalam kemaksiatan. Re nungkanlah firman
Allah berikut: “Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu
mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku.
Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau
menolong manusia” (Al Furqan:27-29)

21
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah menjadikan orang-orang yang jelek sebagai teman-temannya di
dunia sehingga di akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah tidak berguna lagi.

Sifat Teman yang Baik


Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki
lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang
rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).

Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena
orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal
adalah orang yang memamahai segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan
kepada orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai
oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman dengannya. Sedangkan orang yang
fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan
engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan
kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)

Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya


Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa
banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari
teman-temannya. Hendaknya orangtua memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak -anaknya, karena setap orang tua adalah
pemimpin bagikeluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.
Allah Ta’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).

22
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Menebar Kasih Sayang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada: “Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang
penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan
(Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn
ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as -Shahihah no 925)

Kata dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan
faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang
yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan
hewan-hewanpun termasuk di dalamnya.

Al-Munaawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh
jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung”
(Faidhul Qodiir 1/605)

Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita
diperintahkan untuk merahmati hewan…!!! “Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku
merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”,
Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no
26)

Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut
misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak
23
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
sama dengan seseorang yang menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha
menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang
tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.

Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor
sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh
Albani)

Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari
kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.

Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini: “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena
kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari
kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-
pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu ” (HR Al-
Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita
merahmati sesama manusia ???

Merahmati seorang fajir


Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana
perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan
kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam.
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??

24
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti -nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..??
sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa
mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!

Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di Idzaa’ atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah
Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya
selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hirauk an. Hingga bertahun-tahun
berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-
bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at setelah ashar (yang merupakan
waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah
putraku atau cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa sang ibu dan
menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.
Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala adzan
dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun
lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang menegurku..!!”

Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang
meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-
lembutnya.

Merahmati pelaku bid’ah


Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di
zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan
banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara
turun temurun.

25
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau
mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara -saudara kita yang
terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar
kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan
masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang salafy
yang kemudian mendekat kepada kita sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.

Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah: “Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka
dengan pandangan taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita memohon
kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan
mereka dengan hujjah agara mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)

Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi
saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya”

Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga
demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau
bid’ah juga masih merupakan saudara kita sesama muslim???

Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pe laku bid’ah


Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa
nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah
marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela
agama.. wallahul musta’aan.

26
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar
biasa.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita
dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah.
Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah.
Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir
untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:

Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun


Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan
mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu
Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut
kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan membai’at
Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali
kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang
sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu
Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang
pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang
ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah
menyimpan dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi
tersebut.

Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan
yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…, maka

27
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka
sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan
petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang -ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang
menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya,
aku tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah
18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-’Uquud Ad-Durriyyah hal 221)

Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia


Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah
berkata, “Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh
beliau”

Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka.
Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras
menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi
wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan turut
berduka cita dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian
membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan membantu ka lian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan
mendoakan Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat perkataan Ibnul Qoyyim
ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)

Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala
meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul
Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.

28
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod
‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu
Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk mem ukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang semakin
banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang
dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi
Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al -Bakri.
Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau mer upakan hak kalian atau
merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah hak
kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian mela kukan apa yang
kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia
kehendaki”.

Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –
tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya
iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits
Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)

Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan
baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan mus uh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah
dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti
Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu
untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan
lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)

29
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al -Qur’an
dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan
janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam
agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya; “Dengan kesabaran dan
keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)

Allah telah berfirman: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami” (As-Sajdah ayat 24)

Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian
kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia
korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita
mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang
memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana
lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq
tersebut, maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.

Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah…
semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan -tulisan
saya yang lalu. Allahul Musta’aan (Silahkan lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97 -salah-kaprah-
tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah)

30
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Tawakkal
Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah
bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada
Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka -sangka, dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)

Makna Bertawakkal Kepada Allah


Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau
mengatakan, “Ta wakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul Qadir,
5/311). Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Imam Ahmad mengatakan, “Ta wakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al
Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali
mengatakan, “Ta wakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan
dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, “Ta wakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”

Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan


Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan
dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk
menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka
barang siapa yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa
mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)

Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu
Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau
31
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung).
Perkataan ini pulalah yang diungkapkan oleh Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau,
Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap mereka.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir. Lihat Fathul Bari VIII/77)

Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah:
‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)

Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki


Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya,
pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah
mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, “Hadist ini merupakan tonggak tawakkal. Tawakkal kepada Allah itulah faktor terbesar dalam
mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah
berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap -
tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala sesuatu
yang membuat sempit manusia.”

Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha


Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus
bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah
Ta’ala.

32
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita
harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang
dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah
menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang
pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia
keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya
adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya
justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka
bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di
TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan sela mat, sebagaimana burung-
burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau
bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu.
Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku dalam bayang -bayang
tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung -burung. Mereka berangkat pagi-pagi
dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad
berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul
Bari, 11/305-306)

Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak da lam gerak dan usaha seseorang ketika
bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu
letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang a da di dalam hati setelah

33
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
seseorang meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir -Nya. Dan jika
terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.” (Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits. Seseorang
berkata kepada NabiShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah
kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat
Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku
ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’,
Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1/368)
Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan
penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini
bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

Jangan Marah…
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Berilah
saya nasihat.” Beliaushollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang permintaannya dan
beliau tetap menjawab, “Jangan marah.”(HR. Bukhari). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna jangan marah yaitu
janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya
marah adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah menasihatkan, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam kondisi berdiri
maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad, Shohih)

Dahulu ada juga seorang lelaki yang datang menemui Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rosululloh,
ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thobrani, Shohih)
34
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan, “Bukanlah maksud beliau adalah melarang memiliki
rasa marah. Karena rasa marah itu bagian dari tabi’at manusia yang pasti ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu
ketika muncul rasa marah. Supaya kemarahanmu itu tidak menimbulkan dampak yang tidak baik. Sesungguhnya kemarahan
adalah bara api yang dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk hati bani Adam. Oleh sebab itulah anda bisa melihat kalau orang
sedang marah maka kedua matanya pun menjadi merah dan urat lehernya menonjol dan menegang. Bahkan terkadang rambutnya
ikut rontok dan berjatuhan akibat luapan marah. Dan berbagai hal lain yang tidak terpuji timbul di belakangnya. Sehingga
terkadang pelakunya merasa sangat menyesal atas perbuatan yang telah dia lakukan.”

Tips Menanggulangi Kemarahan


Syaikh Wahiid Baali hafizhohulloh menyebutkan beberapa tips untuk menanggulangi marah. Diantaranya ialah:

1. Membaca ta’awudz yaitu, “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim”.


2. Mengingat besarnya pahala orang yang bisa menahan luapan marahnya.
3. Mengambil sikap diam, tidak berbicara.
4. Duduk atau berbaring.
5. Memikirkan betapa jelek penampilannya apabila sedang dalam keadaan marah.
6. Mengingat agungnya balasan bagi orang yang mau memaafkan kesalahan orang yang bodoh.
7. Meninggalkan berbagai bentuk celaan, makian, tuduhan, laknat dan cercaan karena itu semua termasuk perangai orang -
orang bodoh.

Syaikh As Sa’di rohimahulloh mengatakan, “Sebaik-baik orang ialah yang keinginannya tunduk mengikuti ajaran Rasul shollallohu
‘alaihi wa sallam, yang menjadikan murka dan pembelaannya dilakukan demi mempertahankan kebenaran dari rongrongan
kebatilan. Sedangkan sejelek-jelek orang ialah yang suka melampiaskan hawa nafsu dan kemarahannya. Laa haula wa laa
quwwata illa billaah” (lihat Durrah Salafiyah).

35
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Bahaya Lisan
Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang haq ataupun malah terjerumus ke dalam dos a dan
maksiat.

Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan berupa gunjingan (ghibah), mengadu domba (namimah) atau
maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang
amat kotor dan menjijikkan. Alloh berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah
salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
dengannya.” (Al-Hujurat: 12)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna ghibah (menggunjing) ini. Beliau bersabda, “Tahukah kalian apakah
ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau mengabarkan tentang
saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada
saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya
(melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim)

Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik tentang agama, kekayaan, akhlak, atau
bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal itu disebutkan, dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak
tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal
dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu ada
tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki -laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba
yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)

36
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemunkaran dan membela
saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana dalam
sabdanya, “Barangsiapa membela (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Alloh akan menghindarkan api
Neraka dari wajahnya.” (HR. Ahmad)

Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah). Mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan
merusak hubungan di antara keduanya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api
kebencian dan permusuhan antar manusia. Alloh mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti
setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur fitnah.” (Al-Qalam: 10-
11). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR. Bukhari). Ibnu
Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia
membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.” (An-Nihayah 4/11)

Oleh karena itu ada beberapa hal penting perlu kita perhatikan dalam menjaga lisan. Pertama, hendaknya pembicaraan kita selalu
diarahkan ke dalam kebaikan. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka,
kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia.” (An-Nisa: 114)

Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri kita maupun orang lain yang akan mendengarkan.
Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Ketiga, tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia
dengar.” (HR. Muslim)

37
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan
dusta sekalipun bercanda. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga
bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi
siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda.”(HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani)

Kelima, Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam apabila membicarakan suatu hal, dan ada orang yang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya” (HR.
Bukhari-Muslim). Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga diri kita, sehingga diri kita senantiasa berada dalam
kebaikan.

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan anak dan istri. Atau
barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent, namun ketika ortu memanggil, jawaban sang anak, “ Aduh Mama, ini
lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya) diganggu.” Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan lai nnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah jalan menuju surga?

Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab Al Adabul Mufrod.

Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata, “Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap
termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang
telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa
besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita
mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berb uat maksiat di dalam masjid, menghina, dan
[menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena durhaka [kepada keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut
masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah k edua orang tuamu masih hidup?”
38
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
“Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur
kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa -dosa
besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash Shahihah 2898)

Lihatlah akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap lemah lembut pada orang tua yang mengandung dan
membesarkan kita bisa memasukkan dalam surga! Subhanallah … Ternyata begitu ringan amalan tersebut bagi siapa yang Allah
mudahkan.

Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama, dari Urwah, ia berkata mengucapkan firman Allah, “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)

Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 9,
shahih secara sanad)

Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada ortu sungguh luar biasa. Amalan sederhana. Namun memang
butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang mudah emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran. Kalau
kita mengingat balasan lemah lembut, sungguh itu akan membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas keburukan
dengan kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah sama kebaikan
dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS.
Fushilat: 34-35)

Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar
ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek.

39
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh -
musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena
membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)

Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh
terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda , ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang
tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga .” (HR. Muslim
no. 2551)

Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka sebagai jalan menuju surga yang penuh kenikmatan yang tiada
tara.

Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah
tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)

Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al Ahbar. Beliau pernah ditanyakan mengenai perkara yang t ermasuk
bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan, “Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan
dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap
keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)

40
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Hakikat Sabar
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan,
konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan
di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam
menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah


2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang
timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan


Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang
tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

41
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar
adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar
menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan
atas kalian berkat kesabaran kalian.”(QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab
kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam
hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
(Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan


Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka
dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan
serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak
mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan
dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut

42
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali ora ng-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal.
12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu


Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan
yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan
ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang -orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali
ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua -
keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang
sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik -baik penolong” (Taisirul wushul,
hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah


Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar mengha dapi
gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul.
Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kitashallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan
membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para
pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran
As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai
kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung
dengan kelompok mereka.

43
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan
kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah
didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga
disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah
pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah
dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika
Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh denga nnya. Sesungguhnya hal
itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya
dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi
rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga
disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka
(kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa
jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang -orang
pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” ( Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

44
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus
merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal.
122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya
Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar
di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai
ibunya bersumpahmogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin
Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar,
sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan
iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa
dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada
cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan
harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar
keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang
muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah
akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

45
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya
kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesem pitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan
ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim
dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat


Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga
dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh
Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula
yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut
bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka
itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara
mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali -kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah
adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang
akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam
kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

46
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya
dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan
menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al
Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir


Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar
dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum -Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu
gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah ya ng mentakdirkannya. Maka
bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan
lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid


Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab
Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat
berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian
ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung -relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat
penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

47
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya
dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi
musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan
demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda“Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka
menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan
sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan
larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan
dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal
kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar
dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah.

48
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang -orang tatkala mereka mendapatkan ujian
berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa
bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan
“shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan
demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak
merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati
dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman,
sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya
kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali
bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga
bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang
keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan

49
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus
dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah
cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah


Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab
(sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima
terhadap ketetapan dan takdir Allah.

Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:


Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah
yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan
hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa
ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya
haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha
terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban
atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan
sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab(disunnahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni

50
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan)
Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)

Sabar dan Syukur


Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali
pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.”(HR. Muslim)

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi
menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.

Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan
tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta meng harapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia
memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.

Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan
melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus
dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika
mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik
bagi dirinya.

Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak
mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh orang -orang
kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau

51
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan
tetapi lain halnya bagi orang kafir.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan
rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang
beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).

Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang -orang yang tidak
beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat
nanti mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama -sama buruknya, wal
‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108)

Hikmah di Balik Musibah


Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-
Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba -Nya maka
Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di
dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan
oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor
1220)

Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa.
Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali
taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan
kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat
bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam

52
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi
keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.”

“Sesungguhnya ada di antara orang -orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru
menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan
sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dar i sisi
dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang
dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang
semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ‘azza wa jalla sekaligus
sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan
suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus
karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).

Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah
orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Bara ng siapa yang
merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut” Selesai perkataan
Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal. 353-354)

Doa Apabila Tertimpa Musibah


Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif lii khairan minhaa
Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala atas
musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal. 96-97)

53
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi diri atau
hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk
kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa
menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang
demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam, dan juga para hamba Allah
yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah
para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”

Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa (yang mereka
lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam
firman Allah Yang Mahasuci yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan
tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.”(QS. Asy Syura [42]: 30).

Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan dan tidak menunaikan kewajiban
yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa -dosa
yang diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.

Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang shalih, entah berupa penyakit tertentu
ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan
Rasul dalam rangka mengangkat derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh untuk orang
lain dalam hal kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih dengan sebab terjadinya
musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para
Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.

54
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum dalam firman
Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan maupun
gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti menghapuskan sebagian dosa kesalahan -kesalahannnya,
bahkan sampai duri yang menusuk bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang
diinginkan baik oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”

Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat yang
dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya
di alam dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba -Nya maka Allah menahan hukuman atas dosa itu
hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4,
diterjemahkan dari website beliau)

Marah Saat Tertimpa Musibah ?


Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi musibah terbagi dalam empat
tingkatan :
Tingkatan Pertama: Marah
Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa yang
sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa

55
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia da n
akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).

Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau
ucapan semacamnya, ini juga haram.

Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan
menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram
hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.

Tingkatan Kedua: Bersabar


Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,

Sabar itu memang seperti namanya


Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu

Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya. Dia
merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya
musibah itu masih terasa berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk
bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al
Alnfaal [8]: 46).

56
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha
Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama saja
baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat
dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan
sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan
terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai sesuatu yang sukar baginya,
namun dia masih tetap bersabar.

Tingkatan Keempat: Bersyukur


Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa pad a
hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan
amal kebaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim,
kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640)
dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fata wa Arkanil Islam, hal. 126-127)

Balasan Bagi Orang yang Sabar


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan
harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang
apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada -
Nya”. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang -
orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]: 155-157).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa
yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian.
Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh or ang-orang yang sabar

57
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang -orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 76)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS.
Az Zumar [39]: 10).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis
kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar
dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada -
Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya
keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala
urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721)

Surga Bagi Orang yang Sabar


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang
saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan at as kesabaran
kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).

58
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Tebarkan Salam
Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk selalu meningkatkan kecintaan terhadap saudara semuslim,
merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkan hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka
syariat Islam memerintahkan untuk menyebarkan salam.

Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang sangat besar dan penting. Namun begitu, sekarang ini salam sering
sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang lain, entah itu dengan good morning, selamat pagi, selamat siang, salam
sejahtera atau sejenisnya. Tentunya seorang muslim tidak akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini kemudian
diganti dengan ucapan-ucapan lain. Allah berfirman, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?” (Al Baqarah: 61). Dan sungguh apa yang ditetapkan Allah untuk manusia, it ulah yang terbaik.

Perintah dari Allah


Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada
(penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi A llah, yang diberi berkat lagi
baik.” (Qs. An Nur: 61)

Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah mensyari’atkan salam bagi kalian dan
menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi
berkat lagi baik, maka hal tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa akan
menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rohman)

Perintah dari Nabi


Baro’ bin Azib berkata, “Rasulullah melarang dan memerintahkan kami dalam tujuh perkara: Kami diperintah untuk mengiringi
jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan menolong orang yang dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab

59
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
salam dan mendoakan orang yang bersin…”(HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Perintah menjawab salam
maksudnya yaitu menyebarkan salam di antara manusia agar mereka menghidupkan syariatnya.” (Lihat Fathul Bari 11/23)

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan
tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya
kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Dari Abdulloh bin Salam, Rasulullah
bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah
ketika manusia tidur malam, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (Shohih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Etika Salam
Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum. Maka nabi
menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi berkata, “Dia mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain
mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullah. Maka Nabi menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala baginya.” Kemudian
ada yang datang lagi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Nabi pun menjawabnya dan
berkata, “Dia mendapat tiga puluh pahala.” (Shohih. Riwayat Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu, berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan yang terakhir Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih baik, atau minimal serupa dengan yang mengucapkan. Allah
berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang
lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)

60
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan. Yang
berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang
muda kepada yag lebih tua.” Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang yang meninggalkan tatacara salam
seperti pada hadits ini tidaklah mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang utama.

Salam Kepada Orang yang Dikenal dan Tidak Dikenal


Termasuk mulianya syariat ini ialah diperintahkannya kaum muslimin untuk member salam baik pada orang yang dikenal maupun
orang yang belum dikenal. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat apabila salam hanya ditujukan
kepada orang yang telah dikenal.”(Shohih. Riwayat Ahmad dan Thobroni)

Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah


Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan
terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu
seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan
membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan
kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan
nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang
panas. Dia memberikan keteranga n di sekelilingnya akan tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.

Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid


Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab
Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah).
61
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab ya ng sangat
berfaedah ini:

“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat
mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang
sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesua tu),
atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang
ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar
menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-
hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian
dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia)
dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas
membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebaga i rasul ialah dengan bentuk
perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan
dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menya kitkan) tentu juga diperlukan bekal
kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar
dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian

62
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang -orang tatkala mereka
mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa
sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin
memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga
wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam
keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.
Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya
terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka
menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman,
sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya
kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali
bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga
bercabang-cabang. Maka dengan perkataan“Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk
salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang
menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran

63
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan
sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan ba hwa
seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang
lainnya hanya bisa terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa
dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah
niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala
menghadapinya karena yaki n terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat
hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).

Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia
menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada -Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:
“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar
dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke
dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada
Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah
akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya
tidak merasa marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai

64
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan
karena dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-
Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:

1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.
2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih hidayah dan merasakan ketenteraman
diri.
3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala. (Al Jadiid, hal. 314).

Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah


Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan: “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah
adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar.
Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah
salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak
terima terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridho terhadap perbuatan Allah
yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan
hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa
ridho terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya
haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

65
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridho
terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban
atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan
sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni
merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan)
Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan


Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-
Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba -Nya maka
Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di
dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan
oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor
1220).

Syaikhul Islam mengatakan: “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa.
Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah i tulah yang melahirkan sikap kembali
taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan
kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat
bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjeru mus dalam
kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi
keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.

66
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sesungguhnya ada di antara orang -orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan
munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian
kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin
membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang
timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya it u sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan
musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini
sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai
rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu
musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah d osanya terhapus
karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya atas musibah yang
menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari
Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang
merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan
Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).

Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:

1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan
kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini senantiasa kita rasakan.
5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada diri
kita.

67
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut. (Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit
penyesuaian redaksional).

Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar


Allah ta’ala berfirman, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda,
jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa
musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada -Nya.’ Mereka itulah
orang-orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa
yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian.
Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang -orang yang sabar
bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar:
10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis
kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar
dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada -
Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang -orang yang sabar pahala untuk
mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah
bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan
menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).

68
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sombong vs Tawadhu
Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan mengajak kita untuk
meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an
Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman, “Hamba-hamba Tuhan
Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya


Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Allah ta’ala juga berfirman, “Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk
menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)

Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri kepada manusia
dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk
dirinya. Karena barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan
kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya. Bahkan
di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar kel uar dari
jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang
remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolongkesombongan yang
paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak
semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.

69
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan kesalahan cetak, seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di atas, di
sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin
bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka
semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan
nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan
setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk
menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan
kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia
dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali
bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan
derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk
menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa.
Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda.
Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya, “Ini adalah karunia dari
Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”

Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal
itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat .
Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari -Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah
menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang
menimpanya. Allah ta’ala berfirman, “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan

70
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya
mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali -kali bukanlah
demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)

Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat
(duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi -Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan
Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)

Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu


Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah
kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat
telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan
kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena
faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang -orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku,
‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada
celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya, laki -laki itu datang dan ternyata di situ
ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia
selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang
tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan
pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah
mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah menola k cerita saya dahulu?!” Umar
mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada
saat itu dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa ridha
keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama
dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah me ndengarkan hal
itu, akan tetapi inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)

71
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka
mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana
mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah
mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini
dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik -baiknya. Hanya pada
Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12
tahun) yaitu Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawa wiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda, “Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau
pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al
ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih
lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang
pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang
membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah
tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)

72
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat.
Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan
kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di
dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR.
Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita, “Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan
mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di
dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab )
dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu


Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum
datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5]
Hidupmu sebelum datang kematianmu.”(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At
Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di
waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang
menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum
datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”

73
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang
bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena
siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan, “Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah
seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi
kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti
berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-
sia.

Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang
terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung
dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus -putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di
antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu
masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.

74
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga
Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau
dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa
tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan
masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan
dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah
(yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus -putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang
yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah
berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala
Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti
untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran
sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)

Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki -Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar
Ruum: 54)

Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adala h
dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu
berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan
lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu

75
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu
setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh
uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga
pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik -baiknya. Janganlah
disia-siakan.

Jika engkau masi h berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan, “Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada
akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya
safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju nege ri
akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba.” (Kam Madho Min ‘Umrika?,
Syaikh Abdurrahman As Suhaim)

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib, “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)

Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu


Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani
wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)

76
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu
adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah


1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-
mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah engkau berteman melainkan
dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal. ” (HR. Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik
mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam bersama tamu-tamunya: “Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia
mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-
Dzariyat: 26-27)

77
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu
Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.

8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan
kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang -bincang dengan pembicaraan yang
menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang,
dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.

12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan
tentang Ibrahim ‘alaihis salam, “Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka
kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

78
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menjamu tamu
adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat sau daranya
sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa -apa untuk menjamu tamunya.”

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu


1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang
menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang diundang
maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul -Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:

 Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
 Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
 Orang yang mengundang adalah muslim.
 Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan
boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak
bagi yang diundang.
 Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
 Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.

2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.

79
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan
bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah
menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu -nunggu
waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa
memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk
menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan
kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, seba gaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan
apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak
menolak tempat duduk yang telah disediakan.

7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.

8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala
dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara
sesama muslim,

80
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR.
Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana
hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia
mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa
mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla m
mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho ,
izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR.
Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut
dengan doa: “Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian.
semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)

“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang
yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)

“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan
memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

81
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Miskin Tapi Kaya
Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …


maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia

Sekitar tujuh tahun yang lalu saya (Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA) berkunjung di kamar seorang teman saya di Universitas
Madinah yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang sa ling dibatasi dengan sitar (kain)
sehingga membagi kamar tersebut menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia sekamar
dengan seorang mahasiswa yang berasal dari negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali aku dap ati ternyata Ahmad
sering dikunjungi teman-temannya para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering makan
bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka. Akupun tertarik melihat sikap
Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang
mahasiswa yang telah berkeluarga dan telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah
menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…, hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu bersedih hati karena
memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan.

Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan
melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya
dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Ma ka
Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa
jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan seorang raja di dunia ini sama saja” .

Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa
tersenyum.
82
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua
keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa
cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta
juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona’ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh
karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih b aik dari
seorang raja di dunia”.

Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam
As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.
Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar -benar
mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata “Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap
ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang -orang yang baik, dan pada ketetapan Allah
lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)

Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa
berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada
Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal
kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ; “Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di
tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)

83
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah
diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang
sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman, ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl : 97)

Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Kehidupan yang baik adalah
qona’ah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 17/290)

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana
dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,

Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutn ya)
hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing)
betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun
memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani rahimahullah berkata : “Aku
melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku

84
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/
menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri -istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang -orang menangis
sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid-pen).
Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu, “Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan
rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang -
orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah. Hal ini akan menjadikan orang -
orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-Tobaqoot Al-
Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah yang berpenampilan orang miskin.., karena
memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang
haqiqi adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)

Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tida k
nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli
dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk
mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup
(nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka
seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya,
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”. Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya
Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar )
berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata : “Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki -pen) adalah kayanya hati, dan
kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-
Targiib wa At-Tarhiib no 827)

85
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Akhlak Sumber: http://muslim.or.id/

Anda mungkin juga menyukai