Anda di halaman 1dari 65

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pneumonia pada Anak

2.1.1. Konsep anak

1) Definisi Anak

Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan (UU RI, 2017).

Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan

(UNICEF, 2012).

2) Tahap perkembangan dan pertumbuhan anak

Pada dasarnya, kehidupan manusia mengalami berbagai

tahapan tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu.

Tahapan tumbuh kembang yang paling memerlukan perhatian dan

menetukan kualitas seseorang di masa mendatang adalah pada masa

anak. Ada beberapa tahapan pertumbuhan dan perkembangan pada

masa anak, tahapan tersebut adalah:

a. Pertumbuhan dan perkembangan masa infant

Masa bayi/infancy umur 0-12 bulan, terjadi adaptasi

terhadap lingkungan dan terjadi perubahan sirkulasi darah, serta

organ-organ tubuh mulai berfungsi (Susilaningrum, dkk., 2013).

7
8

b. Pertumbuhan dan perkembangan masa toddler

Masa toddler memiliki rentang dari usia 1 hingga 3 tahun.

Baik pertumbuhan fisik maupun pemerolehan ketrampilan

motorik baru sedikit melambat selama usia toddler.

Penyempurnaan ketrampilan motorik, dilanjutkan dengan

pertumbuhan kognitif, dan kemahiran ketrampilan bahasa yang

tepat sangat penting selama toddler (Kyle & Carman, 2014).

c. Pertumbuhan dan perkembangan masa anak prasekolah

Anak-anak prasekolah antar usia 3-6 tahun, tumbuh tumbuh

lebih lambat daripada tahun sebelumnya, dan anak prasekolah

yang sehat bertubuh ramping dan tangkas, dengan postur yang

tegak. Perkembangan kognitif, bahasa, dan psikososial sangat

penting selama periode prasekolah. Seiring dengan peningkatan

ketrampilan kognitif, pemikiran magis berlebihan (Papalia &

Felman, 2011 dalam Kyle & Carman, 2014). Sebagian besar tugas

yang dimulai selama periode toddler dikuasai dan disempurnakan

selama periode prasekolah, terutama koordinasi motorik halus.

Anak harus belajar menoleransi perpisahan dari orang tua,

memiliki rentang perhatian yang lebih panjang, dan terus belajar

ketrampilan yang akan mengarah pada keberhasilan dikemudian

hari pada periode usia sekolah (Kyle & Carman, 2014).

d. Pertumbuhan dan perkembangan masa anak usia sekolah


9

Anak-anak usia sekolah, antara usia 6-12 tahun mengalami

pertumbuhan fisik yang lambat secara progresif, sedangkan

pertumbuhan sosial dan perkembangan mereka mengalami

akselerasi serta peningkatan dalam kompleksitas. Mereka

bergerak ke arah pemikiran yang lebih abstrak. Fokus dunia

mereka meluas dari pengaruh keluarga menjadi pengaruh guru,

teman sebaya, dan individu lain (misal pelatih & media). Anak

pada tahap ini menjadi lebih mandiri secara bertahap seraya

berpartisipasi dalam aktivitas di luar rumah (Kyle & Carman,

2014).

e. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja

Masa remaja umur 12-20 tahun mengalami perubahan fisik cepat

dan jelas, maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa,

teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep

dirinya, kemampuan berpikir abstrak dan menggunakan alas an

yang bersifat ilmiah sudah berkembang, memiliki sifat egosentris

menetap pada beberapa perilaku (Soetjiningsih & Ranuh, 2013).

2.1.2. Pneumonia pada Anak

1) Definisi

Pneumonia adalah radang paru-paru yang biasanya disebabkan

oleh infeksi. Tiga penyebab utama pneumonia adalah bakteri, virus


10

dan fungi. Anak-anak di bawah 2 tahun dan manula beresiko tinggi

menderita infeksi ini (Oktami, 2017).

Pneumonia pada balita adalah penyakit infeksi yang

menyerang pada paru-paru (Pudiastuti, 2011). Pneumonia adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri pada

alveolus yang menyebabkan terjadinya radang paru-paru (Prayahara,

2011).

Pneumonia merupakan inflamasi paru yang ditandai dengan

konsilidasi karena eksudat yang mengisi alveoli dan bronkiolus

(Axton & Fugate, 2014). Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi

parenkim paru terutama pada bronchielos dan alveoli (Yuliastati &

Nining, 2016). Pneumonia merupakan peradangan pada perenkim

paru yang terjadi pada masa anak-anak dan sering terjadi pada masa

bayi. Penyakit ini timbul sebagai penyakit primer dan dapat juga

akibat penyakit komplikasi (Hidayat, 2008).

Pneumonia adalah peradangan paru dimana asinus terisi

dengan cairan, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang

kedalam dinding alveoli dan rongga interstisium (Ridha, 2014).

Pneumonia merupakan suatu infeksi saluran pernapasan bawah akut

(ISNBA) yang biasanya ditandai dengan gejala batuk disertai dengan

sesak napas. Kondisi eksudasi dan konsolidasi dapat dilihat melalui

gambaran radiologi (Nurarif, 2015).


11

2) Klasifikasi

Pneumonia diklasifikasikan menjadi 4 bagian berdasarkan

klinis dan epidemiologi, kuman penyebab, predileksi infeksi dan

balita batuk dan atau kesukaran bernapas sebagai berikut:

a. Menurut Ridha (2014), pneumonia berdasarkan klinis dan

epidemiologi digolongkan menjadi 4 klasifikasi yaitu:

(1) Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia)

adalah pneumonia infeksius pada seseorang yang menjalani

rawat inap di rumah sakit.

(2) Pneumonia nosokomial (Hospital-acquired pneumonia)

adalah pneumonia yang diperoleh selama perawatan

dirumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau

prosedur.

(3) Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan

dari lambung, baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil

inflamasi pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat

menjadi infeksi karena bahan yang teraspirasi mungkin

mengandung bakteri anaerobik atau penyebab lain dari

pneumonia.

(4) Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah

pneumonia yang terjadi pada penderita yang mempunyai

daya tahan tubuh yang lemah.


12

b. Pneumonia berdasarkan kuman penyebab, digolongkan menjadi

4 klasifikasi (Wong, 2009), yaitu:

(1) Pneumonia bakterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat

terjadi pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai

tedensi menyerang seseorang yang peka, misalnya

Klebsiella pada penderita alkoholik dan Staphylococcus

pada penderita pasca infeksi influenza.

(2) Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan

oleh Mycoplasma.

(3) Pneumonia virus adalah pneumonia yang sering dikaitkan

dengan ISPA virus, dan RSV yang berkontribusi terhadap

persentase pneumonia terbesar pada bayi daripada

pneumonia bakteri.

(4) Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering

merupakan infeksi sekunder, terutama pada penderita

dengan daya tahan tubuh lemah (Immunocompromised).

c. Pneumonia berdasarkan predileksi infeksi, digolongkan menjadi

3 klasifikasi (Wong, 2009), yaitu:

(1) Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu

lobus atau segmen dan kemungkinan disebabkan oleh

adanya obstruksi bronkus, misalnya pada aspirasi benda

asing atau adanya proses keganasan. Jenis pneumonia ini


13

jarang terjadi pada bayi dan orang tua dan sering pada

pneumonia bakterial.

(2) Bronkopneumonia adalah pneumonia yang ditandai dengan

adanya bercak-bercak infiltrat pada lapang paru. Pneumonia

jenis ini sering terjadi pada bayi dan orang tua., disebabkan

oleh bakteri maupun virus dan jarang dihubungkan dengan

obstruksi bronkus.

(3) Pneumonia interstitial adalah proses inflamasi dengan

batas-batas yang lebih atau kurang dalam dinding alveolus

(interstitium) dan jaringan peribronkial dan interlobaris.

d. Pneumonia dapat diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan

gejala yang ada. Klasifikasi tersebut adalah:

Tabel 2.1. Klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas

TANDA
PENYERTA
KELOMPOK
KLASIFIKASI SELAIN BATUK
UMUR
ATAU SUKAR
BERNAFAS
Pneumonia berat Tarikan dinding dada
bagian bawah ke
2 bulan - <5 dalam (Chest
tahun Indrawing).
Pneumonia Nafas cepat sesuai
golongan umur :
14

- 2 bulan - <1 tahun :


50 kali atau lebih
/menit
- 1-<5 tahun : 40 kali
atau lebih/menit.
Bukan Tidak ada napas cepat
pneumonia dan tidak ada tarikan
dinding dada bagian
bawah ke dalam.
Pneumonia berat Napas cepat >60 kali
atau lebih/menit atau
tarikan kuat dinding
dada bagian bawah ke
<2 bulan dalam.
Bukan Tidak ada napas cepat
pneumonia dan tidak ada tarikan
dinding dada bagian
bawah ke dalam.
(Sumber: Kemenkes RI, 2015)

3) Etiologi

a. Pneumonia bisa disebabkan karena beberapa faktor diantaranya

adalah:

(1) Bakteria : Diplococcus Pneumonia, Pneumococcus,

Streptococcus Hemolyticus, Bacillus Friedlander.

(2) Virus : Respiratory Syncytial Virus, Adeno Virus, Virus

Sitomegalitik, Virus Influenza.


15

(3) Mycoplasma Pneumonia (organisme yang mirip bakteri).

(4) Jamur : Histoplasma Capsulatum, Cryptococcus

Neuroformans, Blastomyces Dermatitids, Coccidodies

Immitis, Aspergilus Species, Candida Albicans.

(5) Aspirasi : makanan, Kerosene (bensin, minyak tanah), cairan

amninon, benda asing.

(6) Pneumonia Hipostatik

Pneumonia jenis ini sering timbul pada dasar paru yang

disebabkan karena pernapasan yang dangkal dan terus-

menerus berada dalam posisi yang sama.

(7) Sindrom Loeffler

Pada umumnya pneumonia terjadi akibat adanya infeksi

bakteri Pneumococcus (Streptococcus Pneumonniae) pada

foto rontgen tampak infiltrat yakni migrasi larva-larva cacing

dari usus ke peredaran darah lalu ke paru-paru (Nurarif,

2015).

b. Penyebab virus yang paling sering pada anak dengan pneumonia

(Prihaningtyas, 2014), yaitu:

(1) Streptococcus pneumnia/pneumococcus, bakteri penyebab

paling banyak terjadinya pneumonia pada anak di negara

berkembang (30-50 % kasus).


16

(2) Haemophilus influenza type B (Hib), bakteri yang

menyumbang hingga 30 % kasus pneumonia. Selain

menyebabkan pneumonia, Hib dapat menyebabkan

meningitis (infeksi selaput otak).

(3) Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan penyebab

terbesar pneumonia yang diakibatkan oleh virus dan biasanya

menyerang anak pra sekolah.

(4) Penumocytis jiroveci merupakan penyebab pneumonia yang

banyak ditemukan pada bayi dengan HIV positif.

4) Manifestasi Klinik

Gejala pneumonia pada anak diperlihatkan dengan adanya ciri-

ciri sebagai berikut:

a. Batuk berdahak dengan dahak yang sering berwarna seperti karat

(berasal dari darah) disertai sesak napas dan hidung tersumbat

(Pudiastuti, 2011; Mumpuni & Romiyati, 2016; Oktami, 2017).

b. Pada bayi dengan pneumonia bakterial sering menunjukkan

gangguan gastrointestinal berupa muntah, anoreksia, diare, dan

distensi abdomen (Widagdo, 2012; Oktami, 2017).

c. Demam tinggi diatas 38ºC sampai 41,1ºC pada 5-10 hari pertama

disertai menggigil, anak nampak gelisah (Ridha, 2014; Mumpuni

& Romiyati, 2016; Oktami, 2017)


17

d. Sianosis, yaitu warna kulit dan membran mukosa kebiruan atau

pucat karena kandungan oksigen yang rendah dalam darah

(Mumpuni & Romiyati, 2016; Bezt & Sowden, 2009).

e. Pemeriksaan fisik didapatkan suara pernapasan vesikuler

melemah disertai adanya ronki pada lesi. Ronki yaitu suara gaduh

yang terdengar saat menarik maupun mengeluarkan napas

(Mumpuni & Romiyati, 2016; Widagdo, 2012; Bezt & Sowden,

2009; Oktami, 2017).

f. Anak mengalami kesulitan bernapas atau bernapas terlalu cepat

(takipnea), napas cuping hidung, frekuensi napas cepat bila

tarikan napas tiap menitnya mencapai jumlah tertentu, seperti

tampak pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Ukuran anak dianggap mengalami gangguan napas

cepat

Umur balita Tarikan napas tiap menit

2 bulan – 1 tahun 50 kali atau lebih

1 tahun – 5 tahun 40 kali atau lebih

(Sumber : Pudiastusi, 2011; Bezt & Sowden, 2009)

g. Retraksi dinding toraks/interkosta, yaitu kontraksi yang terjadi

pada otot perut dan iga yang tertarik ke dalam saat bernapas

(mumpuni & Romiyati, 2016; Bezt & Sowden, 2009).


18

h. Nyeri Abdomen (disebabkan oleh iritasi diagfragma oleh paru

terinfeksi didekatnya) (Bezt & Sowden, 2009).

5) Patofisiologi

Suatu penyakit infeksi pernapasan dapat terjadi akibat adanya

serangan agen infeksius yang transmisi atau ditularkan melalui udara.

Namun pada kenyataannya tidak semua penyakit pernapasan di

sebabkan oleh agen bertransmisi dengan cara yang sama. Pada

dasrnya infeksius memasuki saluran pernapasan melalui berbagai

cara seperti inhalasi (melalui udara), hematogen (melalui darah),

ataupun dengan aspirasi langsung ke dalam saluran tracheobronchial.

Selain itu masuknya mikroorganisme ke dalam saluran pernapasan

juga dapat di akibatkan oleh adanya perluasan langsung dari tempat-

tempat lain di dalam tubuh. Pada kasus pneumonia, mikroorganisme,

keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan

antara daya tahan tubuh, sehingga mikoorganisme dapat berkembang

biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit (Marni, 2014).

Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial

yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan

tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan napas

sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli

dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli


19

membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,

yaitu:

1. Stadium I (4-12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan

permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.

Hal ini ditandai dengan peningkkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi

akibat pelepasan mediator-mediator peradangan sel-sel mast

setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-

mediator tersebut mecakup histamine dan prostaglandin.

Dragunalasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamine dan protalglandin

untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan

permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi

pembengkalan dan edema antar kapiler dan alveolus.

Penimbunan cairan di anatara kapiler dan alveolus meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida

maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan

sering mengakibatkan penurunan staurasi oksigen haemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


20

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi

oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus

yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli

tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

jam.

3. Stadium III (3-8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah

putih mengkolonisas daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan

terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

4. Stadium IV (7-11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon

imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis

dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke

strukturnya semula. Penyakit pneumonia sebenarnya merupakan

manifestasi dari rendahnya daya tahan tubuh seseorang akibat

adanya peningkatan kuman patogen seperti bakteri yang

menyerang saluran pernapasan. Selain adanya infeksi kuman dan


21

virus, menurunnya daya tahan tubuh dapat juga disebabkan

karena adanya tindakan endotracheal dan tracheostomy serta

konsumsi obat-obatan yang dapat menekan refleks sebagai

akaibat dari upaya pertahanan saluran pernapasan terhadap

serangan kuman dan virus (Wulandari & Erawati, 2016).

6) Komplikasi

Apabila pengobatan dan perawatan tidak tepat dan cepat dapat

mengakibatkan kondisi semakin memburuk atau komplikasi, berikut

beberapa komplikasi yang mungkin muncul:

a. Pneumonia interstitial yaitu penurunan elastisitas paru-paru,

sehingga fungsi pernapasan menurun dan pasokan oksigen dalam

darah berkurang (Betz & Sowden, 2009).

b. Atelectasis segmental atau lobar kronik, suatu kondisi ketika

sebagian atau satu lobus (segmen) paru-paru pada seseorang tidak

berfungsi. Pada atelectasis kantung-kantung udara (alveoli) pada

paru-paru mengempis sehingga mengganggu fungsi pernapasan

(Betz & Sowden, 2009). .

c. Efusi Pleura yaitu cairan dalam ruang yang mengelilingi paru

(rongga pleura) (Betz & Sowden, 2009; Kyle & Carman, 2014). .

d. Paru hiperlusen unilateral atau sindrom Swyer James adalah

sekuele fokal dari pneumonia nekrotik berat, yaitu sebagian dari


22

paru mengalami peningkatan translusensi radiologi dan berkaitan

dengan infeksi adenovirus tipe 21 (Marcdante, et al., 2014).

e. Fibrosis Paru, yaitu jarigan paru rusak atau terluka (Betz &

Sowden, 2009). .

f. Bronkiolitis, yaitu infeksi bronkiolus secara menyeluruh yang

ditandai dengan adanya obstruksi inflamasi pada saluran napas

(Betz & Sowden, 2009).

i. Bakteremia yaitu kondisi ketika terdapat bakteri dalam aliran

darah, jika bakteri bertahan cukup lama dalam jumlah banyak

dalam aliran darah, kondisi ini bisa menyebabkan infeksi serius

hingga sepsis.

j. Pneumonia bakterial seringkali menyebabkan cairan inflamasi

terkumpul diruang pleura, kondisi ini mengakibatkan efusi

parapneumonik (Marcdante, et al., 2014).

k. Hipoksemia, yaitu rendahnya kadar oksigen dalam darah,

khususnya di arteri. Hipoksemia merupakan tanda adanya

masalah dalam sistem sirkulasi atau pernapasan yang dapat

menyebabkan sesak napas (Ridha, 2014).

l. Emfiema yaitu peradangan di paru terjadi karena kuman atau

bakteri berhasil dilokalisasi oleh pertahanan tubuh namun tidak

dapat di basmi akhirnya muncul nanah dan mengumpul di antara


23

paru dan dinding dada (Marcdante, et al., 2014; Ridha, 2014; Kyle

& Carman, 2014)..

m. Diseksi udara di antara jaringan paru mengakibatkan timbulnya

pneumatokel (Marcdante, et al., 2014).

n. Pneumonia yang menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan paru

menyebabkan terjadinya abses paru. Abses paru merupakan kasus

yang jarang terjadi pada anak dan umumnya disebabkan oleh

aspirasi pneumonia atau infeksi di belakang bronkus yang

mengalami obstruksi (Marcdante, et al., 2014; Kyle & Carman,

2014).

o. Bronkiolitis obliteran, yaitu proses inflamasi sub akut dimana

saluran respiratori berkaliber kecil digantikan oleh jaringan parut,

sehingga terjadi penurunan volume paru dan komplians paru

(Marcdante, et al., 2014; ).

p. Pneumotoraks

Udara dari alveolus yang pecah disebabkan karena sumbatan atau

peradangan disaluran bronkioli yang membuat udara bisa masuk

namun tidak bisa keluar. Lambat laun alveolus menjadi penuh

sehingga tak kuat menampung udara dan pecah (Kyle & Carman,

2014).
24

Jaringan parut pada saluran respiratori dan parenkim paru akan

menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus dan mengakibatkan

bronkiektasis (Kyle & Carman, 2014).

7) Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan yaitu:

a. Foto rontgen dada (chest X-ray)

Mengidentifikasikan distribusi struktural (Misal lobar, Bronchial)

dapat juga menyatakan abses.

b. Biopsi paru untuk menetapkan diagnosis.

c. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah untuk dapat

mengidentifikasi semua organisme yang ada.

d. Pemeriksaan serologi membantu dalam membedakan diagnosis

organisme khusus.

e. Pemeriksaan fungsi paru untuk mengetahui paru-paru menetapkan

luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.

f. Spirometrik statik untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.

g. Bronkoskopi untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda

asing (Nurarif, 2015).

8) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang tepat dilakukan untuk mengatasi

penyakit pneumonia adalah dengan pemberian terapi medis dan

perawatan. Terapi yang dapat diberikan yaitu obat antibiotika sesuai


25

penyebabnya misalnya amoxicillin, clarithromycin/erythromycin

dan ampicillin. Ada dua golongan antibiotik yang dipakai untuk

mengobati pneumonia yaitu golongan penicillin dan golongan

sefalosprin. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan dilakukan

tindakan seperti, menjaga ketenangan dan istirahat pasien, perawatan

febris dengan melakukan kompres hangat, lakukan fisioterapi dada

untuk membantu mengeluarkan dahak, pencegahan dehidrasi dengan

mengajurkan pasien banyak minum, perawatan dyspnea/sesak napas

dengan memberikan sesuai kebutuhan dan sesuai program

pengobatan, berikan intravena sesuai program pengobatan, dan

Terapi lain sesuai dengan komplikasi (Ridha, 2014).

2.1.3. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Anak dengan Pneumonia

1) Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan suatu tahap penting dari

proses pemberian asuhan keperawatan yang sesuai bagi individu.

Pengkajian keperawatan pada sistem pernapasan adalah salah satu

dari komponen proses keperawatan yang merupakan suatu usaha

yang dilakukan oleh perawat dalam mengkaji permasalahan sistem

pernapasan dari pasien meliputi usaha pengumpulan data tentang

status kesehatan seseorang klien secara sistematis, menyeluruh,

akurat, singkat, dan berkesinambungan (Arif, 2010).


26

Pengkajian yang dilakukan pada anak dengan pneumonia

(Riyadi & Sukarmin, 2009), yaitu:

(1) Identifikasi pasien dan keluarga penanggung jawab.

(2) Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan

pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan adalah adanya

demam, kejang, sesak nafas, batuk produktif, tidak mau makan,

anak rewel dan gelisah sera sakit kepala.

(3) Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama.

Apabila keluahan utama batuk, maka perawat harus menanyakan

sudah berapa lama keluhan batuk muncul pada pasien

pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadakdan tidak

berkurang setelah minum obat batuk yang biasanya ada

dipasaran. Pada awalnya menjadi batuk produktif dengan mucus

purulen kekuningan, kehijauan, kecoklatan, atau kemerahan dan

sering kali berbau busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami

demam tinggi dan menggigil serta sesak nafas, peningkatan

frekuensi pernafasan dan lemas.

(4) Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit diarahkan pada waktu sebelumnya, apakah klien

pernah mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

dengan gejala seperti luka tenggorokan, kongesti nasal, bersin,


27

dan demam ringan. Perlu dikaji pula Riwayat alergi, pengobatan

saat ini dan imunisasi.

(5) Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit infeksi, TBC, pneumonia, dan penyakit-

penyakit infeksi saluran nafas lainya. Perlu juga dikaji mengenai

kebiasaan keluarga, dan lokasi geografis rumah.

(6) Riwayat Keperawatan Berdasarkan Pola Kesehatan Fungsional

(a) Pola Persepsi Kesehatan

Data yang muncul, sering orang tua beranggapan meskipun

anaknya batuk masih dianggap belum terjadi gangguan

serius, biasanya orang tua menganggap anaknya benar –

benar sakit apabila anak sudah mengalami sesak nafas.

(b) Pola Metabolik Nutrisi

Anak dengan pneumonia sering uncul mual anoreksia

(akibat respon sistemik melalui control saraf pusat), mual

dan muntah (karena peningkatan rangsangan gasteer

sebagai dampak peningkatan toksik mikororganisme).

(c) Pola Eliminasi

Penderita sering mengalami penurunan produksi urin akibat

perpindahan cairan melalui proses evaporasi karena demam.

(d) Pola Istirahat – Tidur


28

Data yang sering muncul adalah anak terlihat lemah, sering

menguap, dan anak juga sering menangis pada malam hari

karena ketidaknyamanan tersebut.

(e) Pola Aktivitas dan Latihan

Aktifitas dan latihan anak tampak menurun sebagai dampak

kelemahan fisik. Anak tampak lebih banyak minta gendong

orang tuanya atau bedrest.

(f) Pola Kognitif – Persepsi

Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang pernah

disampaikan biasanya sesaat akibat penurunan asuhan

nutrisi dan oksigenasi pada otak. Pada saat di rawat anak

tampak bingung kalau ditanya tentang hal – hal baru

disampaikan.

(g) Pola Persepsi Konsep Diri

Tampak gambaran orang tua terhadap anak diam kurang

bersahabat, tidak suka bermain, kekuatan terhadap orang

lain meningkat.

(h) Pola Hubungan Peran

Anak tampak malas untuk diajak bicara baik dengan teman

sebaya maupun yang lebih dewasa, anak lebih banyak diam

dan selalu bersama dengan orang tua.

(i) Pola Seksualitas – Reproduksi


29

Pola kondisi sakit dan anak kecil masih sulit terkaji. Pada

anak yang sudah mengalami pubertas mungkin terjadi

gangguan menstruasi pada wanita tetapi bersifat sementara

dan biasanya penundaan.

(j) Pola Toleransi Stress – Koping

Aktifitas yang sering tampak saat menghadapi stress adalah

anak sering menangis, kalau sudah remaja saat sakit yang

domain adalah mudah tersinggung dan suka marah.

(k) Pola Nilai Keyakinan

Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan

kebutuhan untuk mendapat sumber kesembuhan dari Allah

SWT.

(7) Pemeriksaan Fisik

(a) Status penampilan kesehatan : lemah

(b) Tingkat kesadaran kesehatan : kesehatan normal, letargi,

stupor, koma, apatis tergantung tingkat penyebaran

penyakit.

(c) Tanda – Tanda Vital

Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi, hipertensi dan

frekuensi pernapasan: takipnea, dspsnea, progresif,

pernapasan dangkal, penggunaan otot bantu pernapasan,

pelebaran nasal.
30

(d) Suhu tubuh

Hipertermi akibat penyebaran toksik mikroorganisme yang

direspon oleh hipotalamus.

(e) Intergumen kulit

Warna : pucat samapi sianosis

Suhu : pada pasien hipertermi kulit teraba panas

Turgor : menurun saat dehidrasi

(f) Kepala

Pertahanan bentuk dan kesimetrisan, periksa kebersihan

kulit, ada tidaknya lesi, rambut dan warna

(g) Mata

Pemeriksaan palpebra, sclera, pupil, diameter pupil kanan

kiri, dnan reflek terhadap cahaya.

(h) Data yang paling menonnjol pada pemeriksaan fisik adalah

thorax dan paru-paru :

Inspeksi :

Frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernapas antara lain:

takipnea, dyspnea progresif, dan pernapasan dangkal.

Palpasi :

Adanya nyeri tekan, peningkatan fokal fremitus pada daerah

yang terkena.

Perkusi :
31

Pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya

tympani (terisi udara) resonasi.

Auskultasi :

Suara bronkovesikuler atau baronkial pada daerah yang

terkena, suara napas tambahan ronkhi pada sepertiga akhir

inspirasi.

(8) Penegak diagnosis

a. Pemeriksaan labolatorium

1) Leukosit 18.000-40.000/mm3

2) Hitung jenis didapatkan geseran ke kiri

3) LED meningkat

b. Sinar X dada

Tedapat bercak-bercak infiltrat tersebar (bronko

pneumonia) atau meliputi satu/sebagian besar lobus/lobuler.

2) Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada anak

dengan pneumonia (Herdman, et al., 2018), yaitu:

a. Ketidakefetifan bersihan jalan napas (00031) berhubungan

dengan obstruksi jalan napas : mukus berlebih.

b. Gangguan pertukaran gas (00030) berhubungan dengan

perubahan membran alveolar-kapiler.


32

c. Ketidakefektifan pola napas (00032) berhubungan dengan

deformitas dinding dada.

d. Hipertermi (00007) berhubungan dengan proses penyakit.

e. Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cedera biologis

(infeksi).

f. Intoleran aktivitas (00092) berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

3) Intervensi Keperawatan

Intervensi yang sesuai dengan diagnosa keperawatan yang

muncul (Moorhead & Bulechek, 2016), yaitu:

a. Ketidakefetifan bersihan jalan napas (00031) berhubungan

dengan obstruksi jalan napas: mukus berlebih.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

masalah Ketidakefetifan bersihan jalan napas teratasi.

NOC :

Menunjukkan status pernapasan : kepatenan jalan napas (0410)

Dipertahankan pada ………. Ditingkatkan pada ……….

Tabel 2.3 Kriteria Hasil Ketidakefetifan bersihan jalan napas

Skala target Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


outcome berat yang sedang ringan ada
dari cukup dari dari deviasi
berat dari
33

kisaran dari kisaran kisaran kisaran


normal kisaran normal normal normal
normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Frekuensi
1 2 3 4 5
pernapasan
Irama
1 2 3 4 5
pernapasan
Akumulasi
1 2 3 4 5
sputum
Suara napas
1 2 3 4 5
tambahan
Pernapasan
cuping 1 2 3 4 5
hidung
Penggunaan
otot bantu 1 2 3 4 5
napas
Batuk 1 2 3 4 5
Dyspnea 1 2 3 4 5

NIC :

Managemen jalan napas (3140) :

(1) Monitor status pernapasan dan oksigenasi, sebagaimana

mestinya.

(2) Posisikan untuk meringankan sesak napas

(3) Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun

atau tidak ada dan adanya suara tambahan

(4) Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya


34

(5) Gunakan teknik yang menyenangkan untuk memotivasi

bernapas dalam kepada anak-anak (misal : meniup

gelembung, meniup kincir, peluit, harmonika, balon, meniup

layaknya pesta, buat lomba meniup dengan bola ping pong,

meniup bulu).

(6) Kelola nebulizer ultrasonik, sebagaimana mestinya

b. Gangguan pertukaran gas (00030) berhubungan dengan

perubahan membran alveolar-kapiler.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

masalah gangguan pertukaran gas teratasi :

NOC :

Status pernapasan : pertukaran gas (0402)

Dipertahankan pada ……… Ditingkatkan ke ……….

Tabel 2.4 Kriteria Hasil Gangguan Pertukaran Gas

Skala Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


target berat yang sedang ringan ada
outcome dari cukup dari dari deviasi
kisaran berat kisaran kisaran dari
normal dari normal normal kisaran
kisaran normal
normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen
35

Hasil
1 2 3 4 5
rontgen
Dyspnea
dengan
1 2 3 4 5
aktivitas
ringan
Tekanan
parsial
oksigen
1 2 3 4 5
didarah
arteri
(PaO2)

NIC :

Monitor pernapasan (3350)

(1) Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi (seperti

SaO2, SvO2, SpO2) sesuai protocol yang ada.

(2) Monitor hasil foto thorax.

(3) Monitor keluhan sesak napas pasien, termasuk kegiatan yang

meningkatkan atau memperburuk sesak napas tersebut.

c. Ketidakefektifan pola napas (00032) berhubungan dengan

deformitas dinding dada.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

masalah Ketidakefektifan pola napas teratasi :

NOC :

Menunjukan status pernapasan (0415)


36

Dipertahankan ………. Ditingkatkan ke ……….

Table 2.5 Kriteria Hasil Keidakefektifan pola napas

Skala target Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


outcome berat yang sedang ringan ada
dari cukup dari dari deviasi
kisaran berat kisaran kisaran dari
normal dari normal normal kisaran
kisaran normal
normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Frekuensi,
irama,
kedalaman 1 2 3 4 5
inspirasi
pernapasan
Penggunaan
otot bantu 1 2 3 4 5
napas
Dyspnea
saat 1 2 3 4 5
istirahat
Gangguan
1 2 3 4 5
ekspirasi
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen

NIC :

Monitor pernapasan (3350) :

(1) Monitor kecepatan irama, kedalaman dan kesulitan bernapas

(2) Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi.


37

(3) Monitor keluhan sesak napas pasien, termasuk kegiatan

meningkatkan atau memperburuk sesak napas tersebut.

(4) Berikan bantuan terapi napas jika diperlukan (misalnya,

nebulizer).

d. Hipertermi (00007) berhubungan dengan proses penyakit.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

masalah hipertermi teratasi

NOC :

Termoregulasi (0800) :

Dipertahankan pada ………. Ditingkatkan ke ……….

Tabel 2.6 Kriteria Hasil hipertermi

Skala target Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


outcome berat yang sedang ringan ada
dari cukup dari dari deviasi
kisaran berat kisaran kisaran dari
normal dari normal normal kisaran
kisaran normal
normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Hipertermia 1 2 3 4 5
Peningkatan
dan
1 2 3 4 5
penurunan
suhu kulit
Dehidrasi 1 2 3 4 5
38

Menggigil
1 2 3 4 5
saat dingin

NIC :

Pengaturan demam (3800) :

(1) Monitor suhu dan tanda-tanda vital lainnya

(2) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat

(3) Anjurkan memakai selimut atau pakaian ringan, tergantung

pada fase demam yaitu memberikan selimut hangat untuk

fase dingin, menyediakan pakaian atau linen tempat tidur

ringan untuk demam dan fase bergejolak/flush

(4) Kolaborasi pemberian obat atau cairan IV (misalnya

antipiretik, agen bakteri dan agen anti menggigil)

e. Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cedera biologis

(infeksi).

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam resiko

masalah nyeri pasien teratasi

NOC :

Tingkat nyeri (2102)

Dipertahankan pada ……… ditingkatkan ke ……….


39

Tabel 2.7 Kriterian Hasil Nyeri Akut

Skala Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


target berat dari yang sedang ringan ada
outcome kisaran cukup dari dari deviasi
normal berat dari kisaran kisaran dari
kisaran normal normal kisaran
normal normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Eksprsi
1 2 3 4 5
wajah
Nyeri yang
1 2 3 4 5
dilaporkan
Tidak bisa
1 2 3 4 5
istirahat
Mengerang
dan 1 2 3 4 5
menangis

NIC :

Managemen nyeri (2380)

(1) Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai

ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat

berkomunikasi secara efektif

(2) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif pada anak (QUEST)

(3) Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (seperti bifeed

back, TENS, hyposis, relaksasi, bimbingan antisipasif, terapi

musik, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresure, aplikasi

panas atau dingin dan pijatan, sebelum, sesudah dan jika


40

memungkinkan, ketika melakukan aktivitas yang

menimbulkan nyeri terjadi atau meningkat dan bersamaan

dengan tindakan penurun rasa nyeri lainya).

(4) Kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk memberikan

pasien penurun nyeri yang optimal dengan peresepan

analgesik.

f. Intoleran aktivitas (00092) berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

masalah intoleran aktivitas teratasi

NOC :

Toleransi terhadap ativitas (0005) :

Dipertahankan pada ………. Ditingkatakan ke ……….

Tabel 2.8 Kriteria Hasil intoleran aktivitas

Skala target Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak


outcome berat yang sedang ringan ada
dari cukup dari dari deviasi
kisaran berat kisaran kisaran dari
normal dari normal normal kisaran
kisaran normal
normal
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen
41

ketika
beraktivitas
Frekuensi
pernapasan
1 2 3 4 5
ketika
beraktivitas
Kekuatan
tubuh
1 2 3 4 5
bagian atas
dan bawah
Warna kulit 1 2 3 4 5
Kemudahan
dalam
melakukan
ADL 1 2 3 4 5
(Activities
of Daily
Living)

NIC :

Managemen energi (0180) :

(1) Kaji status fisiologis pasien menyebabkan kelelahan sesuai

kegiatan dengan konteks usia dan perkembangan.

(2) Monitor sistem kardirespirasi pasien selama kegiatan

(misalnya takikardia, disritmia yang lain, dyspnea,

diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik, frekuensi

pernapasan).

(3) Lakukan latihan ROM aktif/pasif untuk menghilangkan

ketegangan otot.
42

(4) Anjurkan aktivitas fisik (misalnya ambulai, ADL) sesuai

dengan kemampuan pasien.

(5) Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai cara meningkatkan

energi dari makanan.

g. Resiko kekurangan volume cairan (00028) berhubungan dengan

intake tidak adekuat.

Tujuan :

Setalah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam resiko

kekurangan volume cairan tidak terjadi atau teratasi

NOC :

Keseimbangan cairan (0601)

Dipertahankan pada ………. Ditingkatkan ke ……….

Tabel 2.9 Kriteria hasil resiko kekurangan volume cairan

Skala target Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak


outcome terganggu terganggu terganggu terganggu terganggu
Skala
1 2 3 4 5
Outcome
Vital sign 1 2 3 4 5
Keseimbang
an intake
1 2 3 4 5
dan output
24 jam
Turgor kulit 1 2 3 4 5
Kelembaba
n membran 1 2 3 4 5
mukosa
43

NIC :

Manajemen cairan (4120)

(1) Pertahankan catatan intake dan output yang adekuat

(2) Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, turgor

kulit)

(3) Monitor vital sign

(4) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori

harian

(5) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

(6) Kolaborasi pemberian cairan IV.

4) Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan

rencana asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan

guna membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Implementasi keperawatan merupakan pengelolahan dan perwujudan

dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan

(Nursalam, 2013),.

Implementasi adalah pengelolaan dan peruwujudan dari

rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan

(Setiadi, 2012).

5) Evaluasi
44

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil

akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada

tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan

identifiksi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau

tidak (Nursalam, 2013). Hasil yang diharapkan :

a. Frekuensi penapasan, saturasi oksigen, dan nilai gas darah arteri

anak akan sesuai dengan parameter sesuainya tanpa penggunaan

suplemen oksigen.

b. Anak terhidrasi adekuat.

c. Suhu tubuh anak akan tetap dalam rentang normal.

d. Anak akan berpartisipasi dalam aktivtas perawatan diri dengan

keluhan kesulitan bernapas minimal sampai tidak ada (Betz &

Sowden, 2009).

2.1.4. Konsep Oksigenasi

1) Pengertian

Oksigen merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan

hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigen diperlukan untuk proses

metabolisme tubuh secara terus menerus. Oksigen diperoleh dari

atmosfer melalui proses pernapas. Pada atmosfer, gas selain oksigen

juga terdapat karbon dioksida (CO), nitrogen (N), dan unsur-unsur


45

lain seperti argon dan helium (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Pemenuhan kebutuhan oksigenasi sangat ditentukan oleh

keadekuatan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler (Dewi &

Irdawati, 2016).

2) Fisiologis Sistem Kardiologi

Sistem kardivaskular juga berperan dalam proses oksigenasi ke

jaringan tubuh yaitu berperan dalam proses transportasi oksigen.

Oksigen ditransportasikan ke seluruh tubuh melalui aliran darah.

Aliran darah yang adekuat hanya dapat terjadi apabila fungsi jantung

normal. Dengan demikian, kemampuan oksigenasi pada jaringan

sangat ditentukan oleh adekuatnya fungsi jantung. Fungsi jantung

yang adekuat dapat dilihat dari kemampuan jantung memompa darah

dan perubahan tekanan darah (Tarwoto & wartonah, 2015).

3) Fisiologis Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan atau respirasi berperan dalam menjamin

ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolisme sel-sel tubuh

dan pertukaran gas. Melalui peran sistem respirasi, oksigen diambil

dari atmosfer, di transport masuk ke paru-paru dan terjadi pertukaran

gas oksigen dengan karbon dioksida di alveoli, selanjutnya oksigen

akan didifusi masuk kapiler darah untuk dimanfaatkan oleh sel dalam

proses metabolisme (Tarwoto & Wartonah, 2015).


46

Proses oksigenasi dimulai dari pengambilan oksigen di

atmosfer, kemudian oksigen masuk melalui organ pernapasan bagian

atas seperti hidung atau mulut, faring, laring, dan selanjutnya masuk

ke organ pernapasan bagian bawah seperti trakea, bronkus utama,

bronkus sekunder, bronkus tersier (segmental), terminal bronkiolus,

dan selanjutnya masuk ke alveoli. Selain untuk jalan masuknya udara

ke organ pernapasan bagian bawah, organ pernapasan bagian atas

juga berfungsi untuk pertukaran gas, proteksi terhadap benda asing

yang akan masuk ke pernapasan bagian bawah, menghangatkan,

filtrasi, dan melembabkan gas. Sementara itu, fungsi organ

pernapasan bagian bawah, selain sebagai tempat untuk masuknya

oksigen, berperan juga dalam proses difusi gas (Tarwoto &

Wartonah, 2015). Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi

(pernapasan) didalam tubuh terdapat tiga tahapan yakni ventilasi,

difusi, dan transportasi (Hidayat, 2008), yaitu:

a. Ventilasi

Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen

dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer,

dalam proses ventilasi ini terdapat beberapa hal yang

mempengaruhi, diantaranya adalah perbedaan tekanan antara

atmosfer dengan paru. Semakin tinggi tempat maka tekanan

udara semakin rendah. Demikian sebaliknya, semakin rendah


47

tempat tekanan udara semakin tinggi. Hal lain yang

mempngaruhi proses ventilasi kemampuan thoraks dan paru pada

alveoli dalam melaksanakan ekspansi atau kembang kempisnya,

adanya jalan napas yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang

terdiri atas berbagai otot polos yang kerjanya sangat dipengaruhi

oleh sistem saraf otonom, terjadinya rangsangan simpatis dapat

menyebabkan relaksasi sehingga dapat terjadi vasodilatasi,

kemudian kerja saraf simpatis dapat menyebabkan konstriksi

sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi atau proses

penyempitan, dan adanya refleks batuk dan muntah juga dapat

mempengaruhi adanya proses ventilasi, adanya peran mucus

ciliaris yang sebagai penangkal benda asing yang mengandung

interveron dapat mengikat virus. Pengaruh proses ventilasi

selanjutnya adalah komplians (complience) dan recoil yaitu di

antaranya surfaktan yang terdapat pada lapisan alveoli yang

berfungsi untuk menurunkan tegangan thraks atau keadaan paru

itu sendiri. Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan sel

alveoli, surfaktan disekresi saat klien menarik napas, sedangkan

recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO2 atau

kontraksi atau menyempitnya paru. Apabila complience baik

akan tetapi recoil terganggu maka CO2 tidak dapat keluar secara

maksimal.
48

Pusat pernapasan yaitu medula oblongata dan pons pun

dapat mempengaruhi proses ventilasi, karena CO2 memiliki

kemampuan merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2

dalam batas 60 mmHg dapat dengan baik merangsang pusat

pernapsan dan bila pCO2 kurang dari sama dengan 80 mmHg

maka dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan.

b. Difusi

Difusi merupakan pertukaran antara oksigen alveoli dengan

kapiler paru dan CO2 kapiler dengan alveoli. Dalam proses

pertukaran ini terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhinya, di antaranya, pertama, luasnya permukaan

paru. Kedua, tebal membran respirasi/permeabilitas yang terdiri

atas epitel alveoli dan interstitial kedunya. Ini dapat

mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan.

Ketiga, perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 dalam rongga

alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis

(masuk dalam darah secara berdifusi) dan pCO2 dalam arteri

pulmonalis juga akan berdifusi ke dalam alveoli. Keempat,

afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling

mengikat Hb.

c. Transportasi
49

Transportasi mengantarkan O2 kapiler ke jaringan tubuh dan

CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi, O2 akan

berikatan dengan Hb membentuk Oksihemoglobin (67 %) dan

larut dalam plasma (3 %). Kemudian pada transportasi CO2 akan

berikatan dengan Hb membentuk karbominohemoglobin (30 %),

dan larut dalam plama (5 %), kemudian sebagian menjadi HCO3

berada pada darah (65 %).

Pada transportasi gas terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi, diantaranya curah jantung (cardiac output) yang

dapat dinilai melalui isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung.

Isi sekucup ditentukan oleh kemampuan otot jantung untuk

berkontraksi dan volume cairan. Frekuensi denyut jantung dapat

ditentukan oleh keadaan seperti over load atau beban yang

dimiliki pada akhir diastole. Pre load atau jumlah cairan pada

akhir diastol, natrium yang paling berperan dalam menentukan

besarnya potensial aksi, kalsium berperan dalam kekuatan

kontraksi dan relaksasi. Faktor lain dalam menentukan proses

transportasi adalah kondisi pembuluh darah, latihan/olahraga

(exercise), hematrikit (perbandingan antara sel darah dengan

darah secara keseluruhan atau HCT/PCV), eritrosit, dan Hb.

Pada saat lahir sistem pernapasan khususnya jumlah

bronhiolus dan alveoli belum lengkap dan akan meningkat sesuai


50

dengan perkembangan anak sampai dengan masa pubertas. Saat

lahir memiliki sedikit otot polos dengan hingga usia 4-5 bulan

adanya otto yang cukup untuk mekanisme respons terhadap

adanya alergen. Pada usia 1 tahun kemampuan pernapasan dalam

menghadapi respons alergi sudah mulai baik sebagaimana orang

dewasa. Kemudian sebelum bayi menarik napas pertama,

bronkhiolus terminalis dan alveoli tidak mengalami kolaps tetapi

secara normal akan terisi cairan dan sekresi glandular. Ketika

pernapasan, hormone bradikinin menurunkan tahanan vaskular

dan aliran paru meningkat agar alveoli dapat berkembang.

Tegangan permukaan diturunkan oleh zat yang namanya

surfaktan sebagai zat yang mencegah kolaps dan

mempertahankan udara yang cukup dalam alveoli. Umunya pada

masa bayi sering terjadi gangguan pernapasan karena bayi

benapas dari hidung dan obstruksi saluran napas dapat terjadi

kecuali saluran nasalnya utuh dan diberikan napas bauatn, karena

iga neonatus hampir horizontal dan laring bayi terletak dekat

kepala dibandingkan pada kehidupan kemudian hari. Sehingga,

glotis berlokasi di atara vertebra servikalis 3 dan 4 sehingga

reflek laringeal sangat aktif dan epiglotis lebih panjang.

4) Faktor – Faktor yang mempengaruhi Oksigenasi


51

Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi

(Tarwoto & Wartonah, 2015), diantaranya faktor fisiologis,

perkembangan, perilaku, dan lingkungan :

a. Faktor fisiologi

(a) Menurunnya kapasitas O2 seperti pada anemia.

(b) Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada

obstruksi saluran napas bagian atas, penyakit asma.

(c) Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun

mengakibatkan transport O2 terganggu seperti pada hipotensi,

syok, dan dehidrasi.

(d) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam,

ibu hamil, luka, dan penyakit hipertiroid.

(e) Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada seperti

pada kehamilan, obesitas, muskuloskeletal yang abnormal,

serta penyakit kronis seperti TB paru.

b. Faktor perkembangan

(a) Bayi premature : yang disebabkan kurangnya pembentukan

surfaktan.

(b) Bayi dan toddler adanya risiko infeksi saluran pernapasan

akut.

(c) Anak usia sekolah dan remaja: risiko infeksi pernapasan dan

merokok.
52

(d) Dewasa muda dan pertengahan: diet yang tidak sehat, kurang

aktivitas, dan stres yang mengakibatkan penyakit jantung dan

paru-paru.

(e) Dewasa tua: adanya proses penuaan yang mengakibatkan

kemungkinan arteriosclerosis, elastisitas menurun, dan

ekspansi paru menurun.

c. Faktor perilaku

(a) Nutrisi

Pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru, gizi

yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen

berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan

arteriosclerosis.

(b) Latihan

Latihan dapat meningkatkan kebutuhan oksigen karena

meningkatnya metabolisme.

(c) Merokok

Nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer

dan coroner.

(d) Penyalahgunaan substansi (alkohol dan obat-obatan)

menyebabkan intake nutrisi-fe menurun mengakibatkan

penurunan hemoglobin, alkohol menyebabkan depresi pusat

pernapasan.
53

d. Faktor lingkungan

(a) Tempat kerja (populasi), populasi udara merusak ikatan

haemoglobin dengan oksigen, sedangkan zat polutan dapat

mengiritasi mukosa saluran pernapasan.

(b) Temperatur lingkungan, suhu yang panas akan meningkatkan

konsumsi oksigen tubuh.

(c) Ketinggian tempat dari permukaan laut, semakin tinggi suatu

tempat kandungan oksigen makin berkurang.

2.1.5. Konsep Fisioterapi Dada

1) Definisi

Fisioterapi dada merupakan kumpulan teknik terapi atau

tindakan pengeluaran sekret yang dapat digunakan, baik secara

mandiri maupun kombinasi agar tidak terjadi penumpukan sekret

yang mengakibatkan tersumbatnya jalan napas dan komplikasi

penyakit lain sehingga mnurunkan fungsi ventilasi paru–paru

(Madiarti, 2014). Ada beberapa teknik dalam fisioterapi dada yaitu

postural drainage, perkusi, dan vibrasi (Wong, 2009).

2) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum sunyek penelitian

dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti yaitu:
54

a. Anak usia 1–5 tahun yang mengalami gangguan bersihan jalan

nafas ditandai dengan Respirasi Rate (RR) >40x/menit

pernapasan cuping hidung (PCH) +, serta retraksi intercostal

(RIC) +.

b. Nadi dan suhu dalam batas normal.

c. Kesadaran baik (Composmentis).

d. Orang tua pasien memberikan ijin menjadi responden (Nursalam,

2008 dalam Madiarti, 2014).

3) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

sunjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi, yaitu:

a. Pasien dengan kelainan dinding dada: fraktur iga, infeksi,

neoplasma, riketsia.

b. Pasien dengan tension pneumotoraks.

e. Pasien yang mengalami kelainan yang berhubungan dengan

darah: kelainan pembekuan, haemoptisis, perdarahan

intrabronkial yang massif (Nursalam, 2008 dalam Madiarti,

2014).

4) Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan fisioterapi dada

sebagai berikut:

a. Mempertahankan ventilasi yang adekuat dan mencegah infeksi.


55

b. Melepaskan dan mengeluarkan sekret dari bronkus dan

bronkiolus.

c. Mencegah kolaps dari paru–paru yang disebabkan oleh

tersumbatnya sekret yang keluar (Madiarti, 2014)

5) Pengkajian

Pengkajian yang perlu dilakukan sebelum tindakan fisioterapi

dada, yaitu:

a. Kaji RR, kedalaman & auskultasi suara napas, penggunaan otot

bantu pernapasan, serta pergerakan dinding dada.

b. Kaji kondisi pasien dan status medis pasien yang menindikasikan

bahwa pasien memerlukan fisioterapi dada (misalnya hasil

rontgen menunjukkan atelectasis, lobar collapse pneumonia,

bronchiectasis, ketidakefektifan batuk dan mengeluarkan sputum,

suara napas abnormal, dan terabanya fremitus).

c. Identifikasi segmen bronchial yang mana yang hendak

mendapatkan fisioterapi dada (untuk memberikan posisi yang

tepat pada klien) (Asmadi, 2008).

6) Fisioterapi Dada

Adapun beberapa teknik fisioterapi dada yang terdiri atas

perkusi, vibrasi, dan postural drainage (Asmadi, 2008), yaitu:

a. Perkusi
56

Perkusi disebut juga clapping adalah pukulan kuat, bukan

berarti sekuat-kuatnya, pada dinding dada dan punggung dengan

tangan dibenuk seperti mangkuk.

Tujuan :

Secara mekanik dapat melepaskan sekret yang melekat pada

dinding bronkus.

Prosedur :

1) Tutup area yang akan dilakukan perkusi degan handuk atau

pakaian untuk mengurangi ketidaknyamanan.

2) Anjurkan klien tarik napas dalam dan lambat untuk

meningkatkan relaksasi.

3) Perkusi pada tiap segmen paru selama -2 menit.

4) Perkusi tidak boleh dilakukan pada daerah dengan struktur

yang mudah terjadi cedera seperti mammae, sternum, dan

ginjal.
57

Gambar 2.1 Ilustrasi tangan saat melakukan clapping

(perkusi) (Sumber : myhealth.alberta.ca)

b. Vibrasi

Vibrasi adalah getaran kuat secara serial yang dihasilkan

oleh tangan perawat yang diletakkan datar pada dinding dada

klien.

Tujuan :

Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi

udara ekspirasi dan melepas mucus yang kental. Sering dilakukan

bergantian dengan perkusi.

Prosedur :

1) Letakkan tangan, telapak tangan menghadap ke bawah di area

di drainage. Satu tangan di atas tangan yang lain dengan jari-


58

jari menempel bersama dan ekstensi. Cara yang lain : tangan

bisa diletakkan secara bersebelahan.

2) Anjurkan pasien menarik napas dalam melalui hidung dan

menghembus napas secara lambat lewat mulut atau pursed

lips.

3) Selama masa ekspirasi, tegangkan seluruh otot tangan dan

lengan, dan gunakan hampir semua tumit tangan. Getarkan

(kejutkan) tangan, gerakan ke arah bawah. Hentikan getaran

jika klien melakukan inspirasi.

4) Setelah tiap kali vibrasi, anjurkan pasien batuk dan keluarkan

sekret ke dalam sputum pot.

Gambar 2.2 ilustrasi vibrasi pada fisioterapi dada (sumber:

myhealth.alberta.ca)

c. Postural drainage

Postural drainage merupakan salah satu intervensi untuk

melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru-paru dengan


59

menggunakan pengaruh gaya gravitasi. Waktu yang terbaik untuk

melakukannya yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan

sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam hari. Postural drainage

harus lebih sering dilakukan apabila lendir pasien berubah

warnanya menjadi kehijauan dan kental atau ketika pasien

menderita demam. Hal yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaan postural drainage antara lain :

1) Batuk dua atau tiga kali berurutan setelah setiap kali berganti

posisi.

2) Minum air hangat setiap hari sekitar 2 liter

3) Jika harus menghirup bronkodilator, lakukanlah 15 menit

sebelum melakukan postural drainage.

4) Lakukan laihan napas dan latihan yang dapat membantu

mengecerkan lendir.

Prosedur :

1) Mencuci tangan

2) Pilih area yang tersumbat yang akan di-drainage berdasarkan

pengkajian semua area paru, data klinis dan chest X-ray.

3) Baringkan klien dalam posisi untuk men-drainage area yang

tersumbat.

4) Minta pasien mempertahankan posisi tersebut selama 10-15

menit.
60

5) Selama 10-15 menit drainage pada posisi tersebut, lakukan

perkusi dan vibrasi dada di atas area yang di-drainage.

6) Setelah drainage pada posisi pertama, minta pasien duduk dan

batuk. Bila tidak bisa batuk, lakukan suction. Tampung

sputum di sputum pot.

7) Minta pasien istirahat sebentar bila perlu.

8) Anjurkan klien untuk minum sedikit air.

9) Ulangi langkah 3-8 sampai semua area tersumbat telah di-

drainage.

10) Ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru.

11) Cuci tangan.

12) Dokumentasi.

7) Evaluasi

Evaluasi yang dapat dilakukan setelah dilakukan fisioterapi

dada, yaitu:

a. Observasi RR, kedalaman & auskultasi suara napas, penggunaan

otot bantu pernapasan, serta pergerakan dinding dada.

b. Evaluasi karakteristik sputum (jumlah, warna, bau, konsistensi).

c. Monitor pemeriksaan diagnostik, baik hasil sputum, hasil rontgen,

dan analisa gas darah (Asmadi, 2008).

2.1.6. Konsep Bermain


61

1) Pengertian Bermain

Aktifitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan

cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosi dn sosial. Bermain

dapat digunakan sebagai media psiko terapi atau pengobatan

terhadap anak yang dikenal dengan sebuah terapi bermain. Terapi

bermain merupakan usaha mengubah tingkah laku bermasalah

dengan menempatkan anak dalam situasi bermain (Ridha, 2014).

Menurut wong (2009) bermain merupakan kegiatan anak-anak,

yang dilakukan berdasarkan keinginannya sendiri untuk mengatasi

kesulitan, stres dan tantangan yang ditemui serta berkomunikasi

untuk mencapai kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain.

Bermain merupakan kegiatan atau simulasi yang sangat tepat untuk

anak. Bermain dapat meningkatkan daya pikir anak untuk

mendayagunakan aspek emosional, sosial dan fisik serta dapat

mningkatkan kemampuan fisik, pengalaman dan pengetahun serta

keseimbangan mental anak. Berdasarkan paparan diatas dapat

disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan yang dilakukan

anak untuk mengatasi berbagai macam perasaan yang tidak

menyenangkan dalam dirinya. Dengan bermian anak akan

mendapatkan kegembiraan dan kepuasan.

Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah

emosi dan perilaku anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan


62

unik dan beragam dalam perkembangan mereka. Anak-anak tidak

seperti orang dewasa yang dapat berkomunikasi secara alami melalui

kata-kata, mereka lebih alami mengekspresikan diri melalui bermain

dan beraktivitas (Saputro & Fazrin, 2017). Terapi bermian

merupakan suatu bentuk permainan anak-anak, di mana mereka

dapat berhubungan dengan orang lain, saling mengenal, sehingga

dapat mengungkapkan perasaanya sesuai dengan kebutuhan mereka

(Vanfleet, et al, 2010 dalam Saputro & Fazrin, 2017).

2) Fungsi Bermain

Dunia anak tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bermain.

Diharapkan dengan bermain, anak akan mendapatkan stimulus yang

mencukupi agar dapat berkembang secara optimal. Adapun fungsi

bermain pada anak (Saputro & Fazrin, 2017), yaitu:

1. Perkembangan sensorik-motorik

Aktivitas sensorik-motorik merupakan komponen terbesar

yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk

perkembangan fungsi otot.

2. Perkembangan intelektual

Anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala

sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal

warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek. Misalnya

anak bermain mobil-mobilan, kemudian rodanya terlepas dan


63

anak dapat memperbaikinya maka anak telah belajar memecahkan

masalahnya melalui eskplorasi mainannya dan untuk mencapai

kemampuan intelektualnya.

3. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan

berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain,

anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang

lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial

dan belajar memecahkan dari hubungan tersebut. Saat melakukan

aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman,

memahami lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada

pada kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia

sekolah dan remaja.

4. Perkembangan kreativitas

Beraksi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan

mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang

dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan

mencoba untuk merealisasikan ide-idenya.

5. Perkembangan kesadaran diri

Perkembangan kesadaran diri melalui bermain, anak akan

mengembangkan kemapuannya dalam mengatur tingkah laku.

Anak juga akan belajar mengenal kemampuanya dengan mencoba


64

peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya

terhadap orang lain. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting

untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam

kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif

dan negatif dari perilakunya terhadap orang lain.

Nilai-nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah

dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan

melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan

untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di

lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan

kelompok yang ada dalam lingkungannya.

6. Bermain sebagai terapi

Pada saat anak dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami

berbagi perasaan yang sangat tidak menyenangkan seperti: marah,

takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan terseut merupakan dampak

dan hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa

stressor yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan

melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan

stres yang dialaminya karena dengan melakukan permainan, anak

akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainnya

(diatraksi).

3) Prinsip Bermain di Rumah Sakit


65

Menurut Saputro & Fazrin (2017), agar anak dapat lebih efektif

dalam bermain di rumah sakit, perlu diperhatikan prinsip-prinsip

sebagai berikut:

a. Permainan tidak banyak menggunakan energi, waktu bermain

lebih singkat untuk menghindari kelelahan dan alat-alat

permainannya lebih sederhana. Lama pemberian terapi bermain

bisa bervariasi, idealnya dilakukan 15-30 menit dalam sehari

selam 2-3 hari. Penatalaksanaan terapi ini dapat memberikan

mekanisme koping dan menurunkan kecemasan pada anak.

b. Mainan harus relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.

Dalam bermain harus memperhatikan keamanan dan

kenyamana. Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap

benda-benda yang dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak

untuk memberi rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur dimalam

hari, mainan tidak membuat anak tersedak, tidak mengandung

bahan berbahaya, tidak tajam, tidak membuat anak terjatuh, kuat

dan tahan lama serta ukurannya menyesuaikan usia dan kekuatan

anak.

c. Sesuai dengan kelompok usia.

Pada rumah sakit yang mempunyai tempat bermain,

hendaknya perlu dibuatkan jadwal dan dikelompokkan sesuai usia


66

karena kebutuhan bermain berlainan antara usia yang lebih rendah

dan yang lebih tinggi.

d. Tidak bertentangan dengan terapi.

Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila

program terapi mengharuskan anak istirahat, maka aktivitas

bermain hendaknya dilakukan ditempat tidur. Permianan tidak

boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan

anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan

yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak

bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khususnya yang

ada di ruang rawat.

e. Perlu keterlibatan orang tua dan keluarga.

Banyak teori yang mengemukakan tentang terapi bermain,

namun menurut wong (2009), keterlibatan orang tua dalam terapi

adalah sangat penting, hal ini disebabkan karena orang tua

mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya

stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat di

rumah sakit. Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya tidak

dibiarkan sendiri. Keterlibatan orang tua dalam perawatan anak di

rumah sakit diharapkan dapat mengurangi dampak hospitalisasi.

Keterlibatan orang tua dan anggota keluargaa tidak hanya

mendorong perkembangan kemampuan dan ketrampilan sosial


67

anak, namun juga akan memberikan dukungan bagi

perkembangan emosi positif, kepribadian yang adekuat serta

kepedulian terhadap orang lain.

Kondisi ini juga dapat membangun kesadaran buat anggota

keluarga lain untuk dapat menerima kondisi anak sebagaimana

adanya. Keterlibatan orang tua dalam pelaksanaan terapi bermain

memberikan efek yang lebih bear dibandingkan pelaksanaan

terapi bermain yang diberikan oleh seorang professional

kesehatan mental. Menurut perawat hanya bertindak sebagai

fasilitator sehingga apabila permainan dilakukan oleh perawat,

orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai

dari awal permainan sampai mengevaluasi hasil permianan

bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya.

4) Bermain Meniup Tiupan Lidah

Bermain meniup dapat dianalogikan dengan latihan napas

dalam Pursed Lip Breathing, merupakan salah satu teknik termudah

dalam mengurangi sesak napas. Teknik ini merupakan cara mudah

dalam memperlambat frekuensi napas sehingga napas menjadi lebih

efektif. Teknik ini dapat membantu untuk menghasilkan udara yang

banyak ke dalam paru dan mengurangi energi yang dikeluarkan saat

bernapas. Selain itu juga PLB dapat meningkatkan tekanan alveolus

pada setiap lobus paru sehingga dapat meningkatkan aliran udara saat
68

ekspirasi. Peningkatan aliran udara pada saat ekspirasi dan

mengkatifkan silia pada mukosa jalan napas sehingga mampu

mengevakuasi sekret keluar saluran napas. Tindakan ini sebagai

salah satu upaya yang diduga mampu meningkatkan status

oksigenasi (Brunner & Sudarth, 2008 dalam Sutini, 2011).

Alat yang digunakan berupa mainan yang disebut “tiupan

lidah”. Cara meniupnya menggunakan teknik Pursed Lip Breathing,

yaitu anak bernapas dalam dan ekhalasi melalui mulut, dengan mulut

dimonyongkan atau mencucu dan dikerutkan sehingga mainan yang

tadinya tergulung setelah ditiup menjadi mengembang dan panjang

karena terisi udara. Meniup dilakukan terus menerus sebanyak 30

kali dalam rentang 10-15 menit dan setiap tiupan diselingi dengan

istirahat (napas biasa). Posisi anak saat bermain adalah duduk atau

bersandar dengan posisi setengah duduk diatas tempat tidur atau

kursi (Sutini, 2011).

Dalam permainan ini anak berperan dalam memegang alat,

memperhatikan, mengikuti atau mendemostrasikan yang dilakukan

oleh perawat sedangkan perawat berperan dalam memberikan contoh

bermain. Saat bermain perawat harus memperhatikan keadaan umum

anak serta dapat memberi pujian apabila anak dapat melakukan

permainan dengan benar (Sutini, 2011).


69

Gambar 2.4 Mainan Tiupan Lidah

Menurut Sutini, (2011) & Sulisnadewi, dkk., (2014), status

oksigen yang dipengaruhi oleh aktivitas bermain meniup “tiupan

lidah” diantaranya :

1. Heart Rate (HR), rata-rata denyut jantung atau nadi yang

dihitung dalam 1 menit.

2. Respiratory Rate (RR), rata-rata jumlah pernapasan yang

dihitung dalam 1 menit.

3. Saturasi oksigen, hasil pengukuran oksigen yang tersaturasi oleh

hb atau hasil pengukuran terhadap oksigen jaringan perifer.


70

2.2. Kerangka Teori


Jamur, bakteri, protozoa

Sistem pertahanan tubuh


terganggu
Kuman masuk : inhalasi, aspirasi kuman,
hematogen
Streptococcus Stapilococcus
pneumonia pneumonia
Alveoli Radang dibronkioli

Mengisi alveoli bersama Peningkatan


sel darah merah, sekret berlebih
leukosit
Reaksi radang (stadium Ketidakefektifan
I kongesti 4-12 jam) Bersihan jalan
napas
Penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan parenkim paru pada
saluran napas (stadium II,
hepatisasi)
Gangguan
Peningkatan Meluas keseluruh lobus
pertukaran
suhu tubuh (stadium III kelabu)
gas

Hipertermi Konsolidasi Pekak ronkhi

Peningkatan cairan
Resiko alveolus
kekurangan
volume cairan Pengembangan paru
Sesak napas Suplai O2 menurun
tidak maksimal
Pola napas tidak Intoleran aktivitas
Nyeri akut
efektif

Gambar 2.5 Patway Pneumonia (sumber : Ridha, 2014, Wulandari & Erawati,

2016)
71

2.3. Kerangka Konsep

Pemenuhan Kebutuhan Pemberian fisioterapi


Oksigenasi dada dengan bermain
tiupan lidah.

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai