Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan yang belum dapat
ditanggulangi dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Sampai saat
ini, sepsis neonatorum merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada bayi baru lahir. Pada bulan pertama kehidupan, infeksi yang
terjadi berhubungan dengan angka kematian yang tinggi, yaitu 13%-15%
(Hartanto et al., 2016).
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan
(Pudjiadi et al., 2011). Angka kejadian sepsis neonatal di negara
berkembang meningkat yaitu (1,8-18 per 1000 kelahiran hidup), sedangkan
pada negara maju sebanyak (4-5 per 1000 kelahiran hidup) (Wilar et al.,
2016).
Di negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang
dirawat mempunyai masalah yang berkaitan dengan sepsis. Hal yang sama
juga ditemukan di negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan
intensif bayi baru lahir. Di samping morbiditas, mortalitas yang tinggi
ditemukan pula pada bayi baru lahir yang menderita sepsis (Effendi &
Indrasanto, 2008).
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) terdapat
98% dari 5 juta kematian pada neonatal terjadi di negara berkembang.
Sedangkan angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000
kelahiran hidup bayi baru lahir. Lebih dari dua pertiga kematian itu terjadi
pada periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal disebabkan infeksi
seperti: sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia, dan diare
(Putra, 2012).
Menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-
6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%,

1
2

sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain.


Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital
18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR)
12,8%, dan respiratory distress syndrome (RDS) 12,8%. Di samping tetanus
neonatorum, case fatality rate yang tinggi ditemukan pada sepsis
neonatorum, hal ini terjadi karena banyak faktor infeksi pada masa perinatal
yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. Angka kematian sepsis
neonatorum cukup tinggi 13-50% dari angka kematian bayi baru lahir.
Masalah yang sering timbul sebagai komplikasi sepsis neonatorum adalah
meningitis, kejang, hipotermi, hiperbilirubinemia, gangguan nafas, dan
minum (Depkes, 2007).
Berdasarkan Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB)
sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Ini berarti di
Indonesia, ditemukan kurang lebih 440 bayi yang meninggal setiap harinya
dan penyebab kematian terbanyak disebabkan oleh masalah neonatal seperti
berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia, diare, pneumonia, serta penyakit
infeksi lainnya (Kemenkes, 2014). Sedangkan menurut Graber, Toth, and
Herting (2006) septikemia adalah invasi akut mikroorganisme pada aliran
darah yang menyebabkan timbulnya demam, menggigil, takikardia,
takipnea, dan perubahan keadaan mental.
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang
paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Umumnya merupakan transisi
fisiologis yang lazim pada 60%-70% bayi aterm dan hampir semua bayi
preterm (Rahardjani, 2008).
Bilirubin hasil pemecahan heme disebut bilirubin indirek, pada kadar
>20 mg/dL dapat menembus sawar darah otak dan bersifat toksik terhadap
sel otak (Porter & Denis, 2002). Hiperbilirubinemia berat dapat menekan
konsumsi O2 dan menekan oksidasi fosforilasi yang menyebabkan
kerusakan sel otak menetap dan berakibat disfungsi neuronal, ensefalopati
3

yang dikenal sebagai kernicterus (Porter & Denis, 2002; Dennery et al,
2001).
Tazami et al. (2013) dalam studi di RSUD Raden Mattaher Jambi
prevalensi ikterus neonatal diperoleh sebanyak 49 kasus (13,2%). Pada
penelitian ini menyebutkan ikterus dengan komplikasi (asfiksia, sepsis,
sefalhematom) terdapat sebanyak 16 (37,2%) kasus. Terdapat dua proses
yang melibatkan antara komplikasi dengan risiko terjadinya ikterus
neonatorum, yaitu; (a) Produksi yang berlebihan, hal ini melebihi
kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada perdarahan
tertutup dan sepsis. (b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar,
gangguan ini dapat disebabkan oleh hipoksia dan infeksi. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi perinatal dengan
kejadian ikterus neonatorum, meskipun jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan neonatus tanpa komplikasi.
Berdasarkan data penelitian-penelitian sebelumnya mengenai Sepsis
Neonatorum maupun Ikterus maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih
jauh tentang adakah hubungan antara keduanya. Sehingga diharapkan dapat
diperoleh sebuah penelitian yang lebih mendalam dan dapat lebih
bermanfaat dari penelitian sebelumnya.

B. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara sepsis neonatal dengan kejadian
ikterus pada bayi baru lahir ?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sepsis neonatal
yang dapat mempengaruhi kejadian ikterus pada bayi baru lahir.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Untuk memperluas wacana ilmu pengetahuan khususnya tentang
kejadian sepsis yang dapat menyebabkan ikterus pada bayi baru lahir.
2. Manfaat Praktis
4

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang


hubungan sepsis neonatal dengan kejadian ikterus pada bayi baru
lahir.
b. Memberikan informasi tentang sepsis sebagai faktor risiko yang
dapat meningkatkan timbulnya penyakit ikterus neonatorum, serta
sebagai dasar penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai