Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk hidup yang dianugerahi dengan sistem metabolisme
tubuh yang sangat kompleks. Dalam tubuh manusia terdiri berbagai macam system yang
membentuk satu kesatuan yang utuh hingga manusia dapat menjalankan siklus kehidupan.
Salah satu system yang paling berperan penting dalam siklus kehidupan adalah
system pencernaan. Semua organisme memerlukan suplai tetap zat-zat berenergi tinggi,
yang dikenal sebagai makanan, untuk meyediakan bahan bakar bagi kebutuhan-kebutuhan
fungsionalnya.
Pencernaan makanan adalah aktivitas saluran makanan (tractus digectivus) dan
kelenjar-kelenjarnya dalam suaatu proses memersiapkan makanan untuk dapat diserap oleh
usus. Suatu kehidupan yang dihayati oleh organisme akan dapat dipertahankan bila makanan
dalam jumlah cukup dapat dipasok dan dapat digunakan bagi berlangsungnya suatu reaksi
oksidatif yang dapat menghsilkan energi dan juga bagi keperluan tubuh atau bagian tubuh
guna perbaikan, pertumbuhanm dan reproduksi.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai proses sistem pencernaan dari
awal (mulut) hingga akhir (anus) keluar dari tubuh menjadi ampas.

B. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk mengetahui tahapan-tahapan proses pencernaan yang dialami manusia
b. Untuk memberitahu pembaca anatmi fisiologi dari proses pencernaan

C. MANFAAT PENULISAN
a. Pembaca dapat mengantisipasi jika terjadi masalah pada pencernaan karena sudah
mengetahui prosesnya
b. Pembaca dapat mengetahui bagian dan fungsi dari alat pencernaan pada tubuhnya

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian
Sistem pencernaan (digestive) atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) merupakan sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,
usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
 Ingesti : pergerakan makanan
 Digesti : penyederhanaan bentuk makanan
 Absorpsi : penyerapan pada usus halus
 Eliminasi : pembuangan zat-zat sisa

B. Anatomi dan fisiologi


Dalam sistem pencernaan terjadi proses ingesti, digesti, absorpsi, metabolisme, dan
ekresi.

INGESTI
Ingesti adalah suatu proses masuknya makanan dan cairan dari lingkungan ke dalam
tubuh melalui proses menelan baik melalui koordinasi gerakan volunter dan involunter.Tahap
pertama adalah koordinasi otot lengan dan tangan membawa makanan ke mulut terjadi
proses mengunyah yaitu proses penyederhanaan ukuran makanan yang melibatkan gigi,otot
mulut,gusi dan lidah.
Tahap selanjutnya adalah setelah makanan dikunyah adalah proses
menelan,merupakan bergeraknya makanan dari mulut ke esofagus menuju lambung.Proses
ini terjadi secara refleks akibat penekanan pada bagian faring.
Organ-organ sistem pencernaan:
1. Mulut, Merupakan sebuah rongga yang dibatasi pipi, bibir, palatum,lidah pada bagian dasar
dan bersambung dengan faring pada bagian posterior. Pada mulut terdapat gigi, lidah dan
kelenjar saliva.
Refleks Menelan
o Bolus makanan didorong oleh lidah ke bagian posterior
o Palatum lunak menutup saluran hidung
o Epiglotis menutup laring dan trakhea
o Makanan masuk ke esophagus

2. Kerongkongan (Esofagus), Merupakan tabung berotot dengan panjang 20-25


cm,dimulai dari faring,thoraks,menembus diafragma,dan masuk kedalam abdomen
bersambung dengan lambung,terletak di belakang trakhea di depan vertebra.Esofagus terdiri
atas 4 lapisan yaitu:jaringan ikat yang longgar,2 lapis otot sirkuler dan longitudinal,lapisan sub
mukosa,dan mukosa.
Pada esofagus terjadi gerakan peristaltik,sehingga bolus makana masuk ke lambung
dikarenakan juga oleh adanya gaya gravitasi.

3. Lambung, Merupakan lapisan peritoneal yang juga lapisan serosa,dan lapisan ototnya
terdiri dari:Lapisan longitudinal,sirkuler,dan obliq.Lapisan sub mukosa nya terdiri dari areolar
yang banyak mengandung pembuluh darah dan limfa.
Kelenjar pada lambung:
 glandula cardiaceae,menghasilkan mukus
 glandula gastricae,menghasilkan pepsin dan asam lambung (HCL)
 glandula pyloricae,menghasilkan hormon
Pencernaan pada lambung:
Terjadi gerakan pada lambung yang berfungsi mencampur makanan dengan sekret lambung
dan mengosongkan makanan,makanan yang bercampur dengan sekret menjadi
chyme.Sekresi lambung:mukus,asam lambung,tripsin,lipase, amilase dan protease.

DIGESTI
Merupakan rangkaian kegiatan fisik dan kimia pada makanan yang di bawa kedalam
lambung dan usus halus.Pada proses ini terjadi penyederhanaan ukuran makanan sampai
dapat di absorbsi oleh intestinal.
Ringkasan proses digesti protein,lemak dan karbohidrat:
 Digesti Karbohidrat: Proses dimulai pada mulut,dibantu oleh enzim ptialin yang mengubah
amilum menjadi maltosa.Proses dibantu oleh enzim amilaseyang dihasilkan pankreas.Lalu
proses ini dilakukan di usus halus melalui proses mekanik dan kimiawi.
 Digesti protein:Pada digesti proteindi lambung, terjadi pengubahan protein menjadi pepton
oleh enzim pepsin. Pepton kemudian didigesti lagi menjadi peptida yang lebih kecil di
duodenum oleh enzim tripsin yang di hasilkan pankreas.Peptida didigesti lagi menjadi asam
amino yang siap untuk diabsorbsi
 Digesti Lemak : Pada proses awal digesti lemak,lemak tersebut diemulsi di lambung,lalu
diurai menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim lipase yang dihasilkan pankreas.Hasil
penguraian akan diabsorbsi di usus, Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang
berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada
lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak
lambung.
Asam klorida (HCl) menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin
guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang
terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
Enzim yang di hasilkan lambung yaitu pepsinogen,renin,dan lipase.Pepsinogen
diaktifkan oleh HCL menjadi pepsin untuk memecah protein menjadi proteosa dan
pepton.Renin berfungsi untuk menggumpalkan susu dan hanya terdapat pada
neonatus.Enzim lipase berfungsi untuk memecah sebagian kecil lemak.

4. Kandung empedu
Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau
gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang
dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran
empedu.Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu: membantu pencernaan dan penyerapan
lemak dan berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin
(Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

5. Usus halus (usus kecil), bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung
dan usus besar. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga
melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus
halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot
memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )Usus halus terdiri dari tiga
bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan
(ileum). Di dalam usus halus terdapat getah pankreas,getah usus dan empedu.Getah
pankreas (pH 7.5-8) diproduksi pankreas atas rangsangan hormon-hormon yang di produksi
sel-sel duodenum/jejunum.
Enzim yang dihasilkan pankreas:
 Tripsin dan kimotripsin,untuk memecah protein/proteosa/pepton menjadi polipeptida
 Karboksipeptidase,untuk melepaskan asam amino ujung terminal C rantai polpeptida
 Amilase,memecahkan amilum menjadi maltose
 Lipase,memecahkan lemak menjadi asam lemak dan gliserol
 Ribonuklease dan deoksiribonuklease,memecah DNA dan RNA
 Fosfatase,memecah zat-zat fosfat organik menjadi asam fosfat dan zat organik.
6. Usus dua belas jari (Duodenum)
Dinding duodenum tersusun atas 4 lapisan:
1. Lapisan paling luar yang dilapisi peritoneum, disebut serosa.
Merupakan kelanjutan dari peritoneum, tersusun atas selapis pipih sel-sel mesothelial diatas
jaringan ikat longgar.
2. Lapisan muskuler (tunika muskularis) tersusun atas serabut otot longitudinal ( luar) &sirkuler
(dalam). Pleksus myenterikus Aurbach terletak diantara kedua lapisan ini. Pleksus Meissner’s
ditemukan didalam submukosa di antara jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh
darah dan limfe.
3. Submukosa, Terdapat kelenjar Brunner yang bermuara ke krypta Lieberkuhn melalui duktus
sekretorius. Sekresi kelenjar Brunner bersifat visceus , jernih, dengan pH alkali ( pH 8,2 – 9,3
), berguna melindungi mukosa duodenum terhadap sifat korosif dari gastric juice. Epitel
kollumnernya mengandung 2 jenis sel: mucus secreting suface cell – HCO3- secreting surface
cell dan absorptive cell.
4. Mukosa, yang merupakan lapisan dinding yang paling dalam.Terdiri dari 3 lapisan: lapisan
dalam adalah muskularis mukosa , lapisan tengah adalah lamina propria, lapisan terdalam
terdiri dari selapis sel-sel epitel kolumnar yang melapisi krypte dan villi-villinya. Fungsi utama
krypte epitelum ialah (1) pertumbuhan sel ; (2) fungsi eksokrin, endokrin, dan fungsi sekresi
ion dan air ; (3) penyerapan garam, air dan nutrien spesifik. Krypte epitelium paling sedikit
tersusun atas 4 jenis sel yang berbeda ; Paneth, goblet, undefferentieted cell dan sel-sel
endokrin. Pada bagian pertama duodenum ditutupi oleh banyak lipatan sirkuler yang di
namakan plica circularis, tempat saluran empedu & duktus pancreatikus mayor menembus
dinding medial bagian ke dua duodenum. Duktus pankreatikus accesorius (bila ada) bermuara
ke duodenum pada papila yang kecil yang jaraknya sekitar 1,9 cm di atas papilla duodeni
mayor. Dinding duodenum sebelah posterior dan lateral letaknya retoperitoneal sehingga
tidak ditemukan lapisan serosa
Duodenum berfungsi :
Motilitas. Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali kontraksi,
dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi (kontraksi segmen
pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan belakang) dan peristaltik (migrasi aboral
dari gelombang kontraksi dan bolus makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik
vagal bersifat inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular;
sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.
Pencernaan dan Absorpsi
Lemak Lipase pankreas menghidrolisis trigliserida. Komponen yang bergabung dengan
garam empedu membentuk micelle. Micelle melewati membran sel secara pasif dengan difusi,
lalu mengalami disagregasi, melepaskan garam empedu kembali ke dalam lumen dan asam
lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali trigliserida dan
menggabungkannya dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein membentuk kilomikron.
Asam lemak kecil memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu diresorbsi ke
dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal. Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr hilang setiap hari,
dan kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.
Protein didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai proteolisis. Protease pankreas
(tripsinogen, diaktivasi oleh enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase, eksopeptidase),
lebih lanjut mencerna protein. Menghasilkan asam amino dan 2-6 residu peptida. Transpor
aktif membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam sel-sel absorptif. Karbohidrat. Amilase
pankreas dengan cepat mencerna karbohidrat dalam duodenum. Air dan Elektrolit. Air, cairan
empedu, lambung, saliva, cairan usus adalah 8-10 L/hari, kebanyakan diabsorpsi. Air secara
osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau secara pasif berdifusi. Natrium dan klorida
diabsorpsi berpasangan dengan zat terlarut organik atau dengan transpor aktif. Bikarbonat
diabsorpsi dengan pertukaran natrium/hidrogen. Kalsium diabsorpsi melalui transpor aktif
dalam duodenum, jejunum, dipercepat oleh PTH dan vitamin D. Kalium di absorpsi secara
pasif.
 Fungsi Endokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam darah (endokrin ) melalui
pelepasan lokal (parakrin) atau sebagai neurotransmiter.
 Sekretin, Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh mukosa usus kecil melalui
asidifikasi atau lemak. Merangsang pelepasan bikarbonat yang menetralkan asam lambung,
rangsang aliran empedu dan hambat pelepasan gastrin, asam lambung dan motilitas.
 Kolesistokinin., dilepaskan oleh mukosa sebagai respons terhadap asam amino
dan asam lemakàkontraksi kandung empedu dengan relaksasi sfingter Oddi dan sekresi
enzim pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan pankreas, merangsang motilitas,
melepaskan insulin.
 Fungsi Imun, mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria. Sel-sel M menutupi limfosit dalam
bercak Peyer yang terpanjang pada antigen, bermigrasi ke dalam nodus regional, ke dalam
aliran darah, kemudian kembali untuk berdistribusi kedalam lamina propria untuk
meningkatkan antibodi spesifik.

7. Usus Besar (Kolon), Sel mukosa usus besar menghasilkan mukus, selain itu dalam lumen
usus besar terdapat banyak mikroorganisme yang melakukan fermentasi dan sintesis vitamin
K.Dalam proses fermentasi terjadi pengubahan karbohidrat manjadi
karbomdioksida, hidrogen, dan metan, sedangkan asam amino diubah menjadi amina seperti
indol,skatol dan lain-lain.
 Absorbsi
Absorbsi merupakan proses nutrien diserap usus melalui saluran darah dan getah
bening menuju ke hepar .Di lambung hanya terjadi absorbsi alkohol,pada usus halus terjadi
proses utama yaitu 90% dari nutrien yang sudah dicerna dan sedikit absorbsi air.
Secara spesifik ,absorpsi yang terjadi di usus halus adalah Pada usus halus bagian atas
mengabsorbsi vitamin yang larut dalam air,asam lemak,dan gliserol,natrium,kalsium.Fe,serta
klorida.Usus halus bagian tengah mengabsorbsi monosakarida,asam amino,dan zat
lainnya.Sedangkan usus halus bagian bawah mengabsorbsi garam empedu dan vitamin
B12.Absorpsi air paling banyak dilakukan pada kolon.
 Absorbsi Nutrien
o Absorbsi karbohudrat : Karbohidrat diabsorbsi dalam bentuk monosakarida terutama
glukosa,galaktosa,fruktosa.Absorpsi terjadi secara transpor aktif untuk glukosadan galaktosa
dan secara difusi untuk fruktosa.
o Absorbsi protein : Protein diabsorbsi dalam bentuk asam amino secara transpor aktif
o Absorbsi lemak : Lemak diabsorbsi dalam bentuk asm lemak dan gliserol dengan bantuan
asam empedu masuk ke dalam sel mukosa usus halus.
o Metabolisme adalah prose akhir penggunaan makanan dalam tubuh yang memmeliputi
semua perubahan kimia yang dialami zat makanan sejak diserap oleh tubuh hingga
dikeluarkan oleh tubuh sebagai sampah. Glukosa yang merupakan hasil akhir digesti
karbohidrat akan mengalami proses oksidasi dan menghasilkan kalori,energi.dan zat buangan
seperti karbondioksida.Bila glukosa ini tidak dapat dipakai sebagai sumber energi,maka
glukosa akan mengalami proses glikogenesis dan menghasilkan glikogen yang disimpan di
hepar dan otot.Bila sewaktu-waktu glukosa kurang,maka glikogen diubah kembali menjadi
glukosa (glikolisis). Protein oleh tubuh digunakan untuk aktivitas dalam tubuh,sistem
imun,dan normalisasi pertumbuhan,memproduksi enzim,memelihara sel,perbaikan jaringan
dan menjags keseimbangan tubuh.Bila kekurangan protein akan menyebabkan terjadinya
edema,asites,dan gangguan pertumbuhan.
o Eksresi adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme dalam tubuh untuk menjaga
homeostasis,caranya melalui defekasi yaitu mengsksresi sisa metabolisme berupa feses
melalui saluran cerna.Miksi membuang sisa metabolisme dalam bentuk urin yang dikeluarkan
oleh urogenitalia.Diaforesis merupakan pembuangan zat sisa metabolisme melalui keringat.
8. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses sedangkan Anus merupakan
lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus
terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan
penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi
(buang air besar - BAB), yang merupakan fungsi utama anus. Pada rektum dan anus terjadi
proses pembuangan yang dinamakan defekasi .
Defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau
tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk hidup.
Mekanisme Defekasi :
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai
kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang
sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah
makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka
peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari
kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke
dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah
perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi
diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce,
2002).

Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada
sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat
kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan
kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten
yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup
ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan
menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah
cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon
distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan
haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu
untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30
detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi
pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian
pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul
kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah
mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton,
1997).

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang
lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut tajam
yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum,
kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan
massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari :
1) sfingter ani interni;
2) sfingter ani eksternus
Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum
mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan
eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks
intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum.
Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen
menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon
descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic
mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus
mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter
sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat
dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-
otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang
dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi
atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi,
sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla
spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla
spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus
melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat
gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks
defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat
Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas
dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun
ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin
anus mengeluarkan feses.
Refleks dalam Proses Defekasi
1. Refleks Defekasi Intrinsik
Berawal dari feses yang masuk rektum sehingga terjadi distensi rektum, yang kemudian
menyebabkan rangsangan pada fleksus mesenterika dan terjadilah gerakan perilstaltik.
Feses tiba di anus, secara sistematis spingter interna relaksasi maka terjadilah defekasi

2. Refleks Defekasi Parasimpatis


Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang kemudian diteruskan
ke spinal cord.
Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektum yang
menyebabkan intensifnya peristaltik, relaksasi spinter internal, maka terjadilah defekasi.
Dorongan feses juga dipengaruhi oleh :
o -Kontraksi otot abdomen
o -Tekanan diafragma
o -Kontraksi otot elevator
2. Histologi

Dinding usus besar terdiri dari empat lapisan yaitu mukosa, sub mukosa,
muskularis eksterna dan serosa. Mukosa terdiri atas epitel selapis silindris,
kelenjar intestinal, lamina propia dan muskularis mukosa (Eroschenko, 2003).
Usus besar tidak mempunyai plika dan vili, jadi mukosa tampak lebih rata
daripada yang ada pada usus kecil (Sudoyo, 2006). Submukosa di bawahnya
mengandung sel dan serat jaringan ikat, berbagai pembuluh darah dan saraf.
Tampak kedua lapisan otot di muskulus eksterna. Baik kolon tranversum maupun
kolon sigmoid melekat ke dinding tubuh oleh mesenterium, oleh karena itu,
serosa menjadi lapisan terluar pada kedua bagian kolon ini. Di dalam
mesenterium terdapat jaringan ikat longgar, sel-sel lemak, pembuluh darah dan
saraf (Eroschenko, 2003).

B. Epidemiologi Karsinoma Kolorektal

Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4


dalam hal kejadian. Secara umum didaptkan kejadian kanker kolorektal
meningkat tajam setelah usia 50 tahun (Sudoyo, 2006). Insidensi
puncaknya pada usia 60 dan 70 tahun. Laki-laki terkena sekitar 20% lebih
sering daripada perempuan (Robbins, 2012).

Di Amerika, karsinoma kolorektal adalah penyebab kematian kedua


terbanyak dari seluruh pasien kanker dengan angka kematian mendekati
60.000 (Sudoyo, 2006). Di Amerika Serikat, umumnya rata-rata pasien
karsinoma kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian
terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun. Di Indonesia, menurut
data dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada tahun
2010 karsinoma kolorektal tetap masuk dalam 10 besar kanker tersering.
Gambar 3. 10 Besar Kanker Tersering di RSKD (Kasus Baru) Tahun
2010.(Sumber: Bidang Rekam Medik RSKD)

C. Lokalisasi

Menurut laporan MUIR (1947) yang mengumpulkan 714 karsinoma dari


kolon, ternyata bahwa 15% terdapat di kolon ascendens, 10% di kolon
desendens, 16% di transversum, sedang 58% terdapat di rektum atau
regtosigmoid (Sujono, 2013).

D. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Walaupun penyebab kanker usus besar (seperti kanker lainnya) masih belum
diketahui, namun telah dikenali beberapa faktor predisposisi (Price
&Wilson, 2006). Beberapa faktor predisposisi tersebut adalah:
1. Usia

Individu dengan usia dewasa muda dapat terkena karsinoma


kolorektal, tetapi kemungkinan meningkat tajam setelah usia 50 tahun, sekitar 9
dari 10 orang didiagnosis dengan karsinoma kolorektal berusia minimal 50 tahun
(Alteri, 2011).

2. Polip Kolon

Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus.
Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur mukosa
yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi
keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut
polip adenomatosa atau adenoma (Robbins, 2012).

Tabel 1. Klasifikasi Polip Kolon


Polip Nonneoplastik Polip Neoplastik
Polip hiperplastik Adenoma
Polip Hamartomatosa
Polip juvenilis
Polip Peutz-Jeghers
Polip inflamatorik
Sumber: Robbins, 2008
Polip hiperplastik
merupakan polip kecil yang
berdiameter 1-3mm dan
berasal dari epitel mukosa
yang hiperplastikdan
metaplastik. Umumnya,
polip ini tidak bergejala
tetapi harus dibiopsi untuk
menegakkan diagnosa
histologik (Sjamsuhidajat &
de Jong, 2011).

Polip juvenilis pada dasarnya adalah proliferasi hamartomatosa, terutama di


lammina propia, yang membungkus kelenjar kistik yang terletak berjauhan. Polip
ini paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Polip ini tidak
memiliki potensi keganasan
(Robbins, 2012).

Polip adenomatosa adalah polip asli yang bertangkai dan jarang ditemukan pada
usia dibawah 21 tahun. Insidensinya meningkat sesuai dengan meningkatnya
usia. Letaknya 70% di sigmoid dan rektum. Polip ini bersifat pramaligna sehingga
harus diangkat setelah ditemukan (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Polip
adenomatosa dibagi menjadi tiga subtipe berdasarkan struktur epitelnya:
- Adenoma tubular : merupakan yang tersering

- Adenoma vilosa : tonjolan-tonjolan seperti vilus (1% adenoma)

- Adenoma tubulovilosa : campuran dari yang di atas (1-10% adenoma)

(Robbins, 2012).

Karena polip adenomatosa dapat berkembang menjadi kelainan pramaligna dan


kemudian menjadi karsinoma, maka setiap adenoma yang ditemukan harus
dikeluarkan (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).
Timbulnya karsinoma dari lesi adenomatosa disebut sebagai sekuensi/urutan
adenoma-karsinoma.

Sindrom poliposis atau poliposis kolon atau poliposis familial merupakan penyakit
herediter yang jarang ditemukan. Gejala pertamanya timbul pada usia 13-20
tahun. Frekuensinya sama pada pria dan wanita. Polip yang tersebar di seluruh
kolon dan rektum ini umumnya tidak bergejala. Kadang timbul rasa mulas atau
diare disertai perdarahan per ani. Biasanya sekum tidak terkena. Risiko
keganasannya 60% dan sering multipel (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).

Gambar 4.Rangkaian adenoma-karsinoma. Perkembangan karsinoma


dari lesi adenomatosa disebut sebagai rangkaian
adenomakarsinoma.
(Sumber: Kendal & Tao)

3. Inflammatory Bowel Disease

a. Ulseratif Kolitis
Ialah penyakit ulserasi dan inflamasi akut atau kronis dari rektum dan
kolon dengan tanda-tanda yang khas yaitu adanya diare, perdarahan
per rektal, nyeri di perut, anoreksia dan penurunan berat badan. Kolitis
ulserative sering juga menyebabkan terjadinya karsinoma dari kolon
dan paling banyak terdapat di segmen proksimal kolon (Sujono, 2013).

b. Penyakit Crohn’s

Penyakit ini sering disebut kolitis granulomatosis atau kolitis


transmural, merupakan radang granulomatois di seluruh dinding,
sedangkan kolitis ulseratif secara primer merupakan inflamasi yang
terbatas pada selaput lendir kolon. Resiko kejadian karsinoma
kolon pada Crohn’s lebih besar (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2011).

4. Genetik (Riwayat Keluarga)

Menurut Gordan B. Mills and Paula Trahan Rieger, Genetic predisposition to


Cancer, menyatakan bahwa kanker adalah penyakit genetic. 5 dari 10 persen
dari semua pasien yang terkena kanker adalah karena pewarisan gen. Individu
dengan riwayat keluarga memiliki resiko menderita karsinoma kolorektal 5 kali
lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat
penyakit tersebut. Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga
penderita karsinoma kolorektal, yaitu:
- Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary

Non-Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).


- Individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial

Adenomatous Polyposis (FAP).

(Sjamsuhidajat, 2004).

5. Diabetes Tipe 2

Individu dengan diabetes tipe 2 memiliki risiko yang tinggi dalam perkembangan
karsinoma kolorektal. Diabetes tipe 2 dan karsinoma kolorektal menunjukkan
beberapa faktor resiko yang sama seperti kelebihan berat badan (Siegel & Jemal,
2013).

6. Pola Makan (Kebiasaan Makan)

Kekurangan serat dan sayur-mayur hijau serta kelebihan lemak hewani dalam diet
merupakan faktor resiko karsinoma kolorektal
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).

7. Kurang Aktivitas Fisik

Jika individu tidak aktif secara fisik, maka individu tersebut memilki kesempatan
lebih besar terkena karsinoma kolorektal. Meningkatkan aktivitas fisik adalah
salah satu upaya untuk mengurangi risiko terkena penyakit kanker ini (Siegel &
Jemal, 2013).

8. Obesitas

Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten
mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian
karsinoma kolorektal. Salah satu penelitian kohort menunjukkan kenaikan resiko
15% karsinoma kolon pada orang yang overweight dibanding berat badan normal
(Sjamsuhidajat,
2004).

9. Merokok

Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan


kejadian karsinoma kolorektal, tetapi penelitian terbaru menunjukkan perokok
jangka lama (periode induksi 30-40 tahun) mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali
(Sjamsuhidajat, 2004).

10. Konsumsi Alkohol

Hubungan karsinoma kolorektal dengan konsumsi alkohol tidak jelas. Meskipun


kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara konsumsi
alkohol dengan kejadian karsinoma kolorektal
(Sjamsuhidajat, 2004).

E. Patologi

1. Makroskopis

Secara makroskopis , terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum. Tipe
polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk bunga
kol dan ditemukan terutama di sekum dan kolon asendens. Tipe skirus
mengakibatkan penyempitan sehingga stenosis dan gejala obstruksi, terutama
ditemukan di kolon desendens, sigmoid dan rektum. Bentuk ulseratif terjadi
karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada tahap lanjut, sebagian
besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak maligna (Sjamsuhidajat
& de Jong,
2011).

2. Mikroskopis

Apapun penampakan makroskopiknya, semua karsinoma kolon secara


mikroskopis serupa. Hampir semua adalah adenokarsinoma yang berkisar dari
berdiferensiasi baik hingga tidak berdifferensiasi dan jelas anaplastik. Banyak
tumor menghasilkan musin, yang disekresikan ke dalam lumen kelenjar atau ke
dalam intestisium dinding usus. Karena sekresi ini menyebabkan dinding usus
merekah (diseksi), kanker mudah meluas dan memperburuk prognosis. Kanker di
daerah anus umumnya berasal dari sel skuamosa (Robbins, 2012).

3. Klasifikasi

Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO, adalah sebagai


berikut:
a. Adenokarsinoma

Sebagian besar (98%) kanker di usus besar adalah

adenokarsinoma. Kanker ini merupakan salah satu tantangan besar


bagi profesi kedokteran, karena kanker ini hampir selalu timbul di
polip adenomatosa yang secara umum dapat disembuhkan dengan
reseksi (Robbins, 2012).
b. Adenosquamous karsinoma
Adenosquamous karsinoma yaitu suatu karsinoma yang terdiri dari
komponen glandular dan squamous. Adenosquamous merupakan
jenis tumor yang jarang ditemukan (Hamilton & Aaltonen, 2000).
c. Mucinous adenokarsinoma

Istilah “mucinosa” berarti bahwa sesuatu yang memiliki banyak lendir.


Diklasifikasikan mucinous adenokarsinoma jika lebih dari
50% lesi terdiri dari musin (Hamilton & Aaltonen, 2000).
d. Signet ring cell carcinoma

e. Squamous cell carcinoma

f. Undifferentiated carcinoma
Merupakan jenis yang paling ganas memiliki berbagai gambaran

histopatologis sehingga tidak dikenali lagi asal selnya (Hamilton

& Aaltonen, 2000).


g. Medullary carcinoma

Sel berbentuk bulat dengan inti vesikuler dan anak inti jelas
diantaranya sel-sel terdapat sel radang limfosit yang tidak
menginfiltrasi tapi mendesak gambarannya seperti ganas namun
prognosisnya lebih baik (Hamilton & Aaltonen, 2000).

4. Stadium

Gambar 5. Stadium pada karsinoma kolorektal


(Sumber: Alteri, 2011)

Klasifikasi karsinoma ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930
(Sjamsuhidajat, 2004). Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi
karsinoma ke dinding usus (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2011).

Tabel 2. Klasifikasi karsinoma kolorektal (Dukes)


Dukes Dalamnya infiltrasi Prognosis
hidup setelah
5 tahun
A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan muskularis 80%
mukosa
C Metastasis kelenjar limf
C1 Beberapa kelenjar limfe dekat tumor 65%
C2 primer 35%
Dalam kelenjar limf jauh
D Metastasis jauh <5%
Sumber: Sjamsuhidajat & de Jong, 2011

5. Metastase

Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh
sambil menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah oral dan
aboral. Di daerah rektum penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua
sentimeter. Penyebaran per kontinuitstum menembus jaringan sekitar atau organ
sekitarnya misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina atau prostat. Penyebaran
limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka, mesenterium dan paraaorta. Penyebaran
hematogen terutama ke hati. Penyebaran peritoneal mengakibatkan peritonitis
karsinomatosa dengan atau tanpa asites (De Jong, 1997).

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis dini tergantung dari pemeriksaan rutin. Gejala klinis karsinoma kolon
kiri berbeda dengan kanan. Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada.
Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus,
obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).
Kanker kolon sisi kiri (sigmoid):
- gejala dini obstruksi (sisi kiri memiliki lumen yang lebih sempit);

- tumor tersebut menimbulkan konstriksi seperti “cincin serbet/napkin ring”

atau “bagian tengah apel/apple core”

(pertumbuhan anular yang melingkar); dan


- dapat mengeluh adanya perubahan pada kebiasaan buang air besar.
Kanker kolon sisi kanan:

- anemia, penurunan berat badan dan nyeri abdomen;

- tumor yang menyerupai kembang kol/cauliflower (penampakan


polipoid atau fungating); dan
- feses dalam kolon sebelah kanan masih berupa cairan; jadi, gejala

obstruksi jarang dijumpai.

Kanker kolon pada kedua sisi:

- perubahan pada feses (melena, hematokezia, tinja


yang

diameternya kecil seperti pensil);


- rasa tidak nyaman pada perut; dan

- gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, keringat pada

malam hari dan demam

(Kendall & Tao, 2013).

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Pada
pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah keadaan tumor dan
mobilitas tumor (Sjamsuhidajat, 2004).

3. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk


diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT
Scan, MRI, barium enema, dan CEA (Sjamsuhidajat, 2004).
a. Endoskopi

Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi


rigid, sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid
digunakan untuk visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang
efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi fleksibel
(Sjamsuhidajat, 2004). Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu visualisasi
langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid
dapat dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman
bagi pasien. Enam puluh persen dari semua tumor usus besar
dapat terlihat secara langsung menggunakan alat ini (Price &
Wilson, 2006). Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang
sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma
kolorektal. Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis
adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95% (Sjamsuhidajat,
2004).

b. CT Scan dan MRI

CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke


kelenjar getah bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar.
Akurasi pembagian stadium dengan menggunakan CT-Scan adalah
80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase kelenjar getah
bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang MRI 39%
(Sjamsuhidajat, 2004).

c. Barium Enema

Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi


gangguan kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi
enema barium bersifat akurat hingga 90% pemeriksaan (Price &
Wilson, 2006).

d. CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel


yang masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai
marker serologi untuk memonitor status karsinoma kolorektal dan
mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu
insensitif dan non spesifik untuk bisa digunakan sebagai screening
karsinoma kolorektal (Kendal & Tao, 2013).

Tabel 5. Diagnosis pasti karsinoma kolorektal

Cara pemeriksaan Persentase


Colok dubur 40%
Rektosigmoidoskopi 75%
Foto kolon dengan barium / 90%
kontras ganda
Kolonoskopi 100% (hampir)
(Sumber : Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997)
G. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindak bedah. Tujuan utama ialah
memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Tindak
bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limf regional. Bila
sudah terjadi metastasis jauh, tumor primer akan di reseksi juga dengan maksud
mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel, dan nyeri
(Sjamsuhidajat & de Jong,
2011).

2. Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan


menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2
cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal.
Radiasi eksternal (external beam radiation therapy) merupakan penanganan
dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel karsinoma. Terapi
radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung menit
(American Cancer
Society, 2013).

3. Kemoterapi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada
kemoterapi terhadap karsinoma kolorektal. Beberapa dekade ini hanya
menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) – disusul oleh kehadiran asam folinat
/leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. Selanjutnya, pemilihan obat
diperluas dengan diterimanya irinotecan sebagai terapi lini pertama pada tahun
1996, oxaliplatin pada tahun 2004 dan capecitabine (tahun 2004) sebagai
pengganti oral koombinasi 5-FU/FA (Sjamsuhidajat, 2004).

H. Prognosis

Angka ketahanan hidup 5 tahun tergantung dari stadium A:80% , B:60%,


C:35%, D:5%. Angka ketahanan hidup 5 tahun setelah reseksi metastasis
hati yang sukses adalah sebesar 25% (Grace & Barley, 2006).

I. Skrining
Beberapa organisasi (misal, National Cancer Institute, American Cancer
Society, American College of Physicians) memiliki penuntun skrining yang
telah disetujui untuk mendeteksi kanker kolorektal pada stadium yang
masih dapat disembuhkan. Strategi skrining pada orang yang tidak
memperlihatkan gejala dianjurkan sebagai berikut: (1) laki-laki dan
perempuan berusia lebih dari 40 tahun harus menjalani pemeriksaan
digital (rectal toucher) setiap tahun, dan (2) Orang berusia diatas 50 tahun
harus menjalani pemeriksaan darah samar feses setiap tahun dan
pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 hingga 5 tahun setelah dua kali
pemeriksaan awal yang berjeda setahun. Orang yang berisiko tinggi
karena memiliki riwayat keluarga juga harus menjalani pemeriksaan kolon
total dengan enema barium kontras-udara atau kolonoskopi setiap
3-5 tahun (Price&Wilson, 2006).

J. Pencegahan

1. Endoskopi

Sigmoidoskopi atau endoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan


menurunkan insiden daripada karsinoma kolorektal pada pasien yang menjalani
kolonoskopi polipektomi
(Lippincott Williams & Wilkins, 2004).

2. Diet

Penelitian awal menunjukkan bahwa diet tinggi bahan fitokimia mengandung zat
gizi seperti serat, vitamin C, E dan karoten dapat meningkatkan fungsi kolon dan
bersifat protektif dari mutagen yang menyebabkan timbulnya kanker (Price &
Wilson, 2006).

3. Obat-obatan

Beberapa penelitian epidemiologi terakhir mengisyaratkan bahwa pemakaian


aspirin dan NSAID lain memiliki efek protektif terhadap kanker kolon. Dalam
Nurses’ Health Study, perempuan yang mengonsumsi empat sampai enam tablet
aspirin/hari selama 10 tahun atau lebih, memperlihatkan penurunan insidensi
kanker kolon. Dasar kemoprevensi ini belum diketahui. Mekanisme yang mungkin
adalah induksi apoptosis pada sel tumor dan inhibisi angiogenesis. Efek yang
terakhir tampaknya diperantarai oleh inhibisi siklogenase 2. Enzim dalam jalur
sintesis prostaglandin ini tampaknya meningkatkan angiogenesis dengan
meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF).
Berdasarkan temuan ini, Federal Drug Adminitration menyetujui pemakaian
inhibitor siklooksigenase 2 sebagai zat kemopreventif pada pasien dengan
sindrom poliposis adenomatosa familial (Robbins, 2012).

Anda mungkin juga menyukai