KASUS
Tn. Ginanjar (45 tahun) adalah seorang kepala keluarga yang bekerja sebagai
karyawan swasta Tn. Ginanjar didiagnosa menderita diabetes melitus tipe-2 sejak 8 tahun
yang lalu, namun ia tidak pernah mau mengikuti anjuran dokter untuk menjaga pola makan
dan pola hidup. Ia memang mempunyai riwayat DM di keluarga yaitu sang ibu, sejak dulu ia
selalu banyak makan tanpa suka olahraga. Saat ia berusia 22 tahun ibunya meninggal dan
pola hidupnya semakin tidak teratur dimana ia mulai untuk mencoba rokok. Tn. Ginanjar
menikah dengan Ny. Nia yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, ia sulit mencari pekerjaan
karena hanya lulusan SMP. Awal menikah Tn.Ginanjar mulai merubah pola hidupnya, ia
suka berolahraga namun tetap tidak menjaga pola makan. Setelah kelahiran anak pertama Tn.
Ginanjar mengalami masalah di kantor dan akhirnya dipecat, namun tidak lama kemudian ia
menemukan pekerjaan baru tapi di lingkungan baru ini ia merasa tertekan. Sejak saat itu ia
kembali lagi ke kebiasaannya yang lama yaitu merokok hingga suka keluar rumah bersama
teman-temannya. Tn. Ginanjar juga jarang shalat 5 waktu dan pergi ke masjid.
Semakin hari hubungan pasangan suami istri ini semakin tidak harmonis karena
kondisi ekonomi yang tidak stabil dan tingkah laku Tn. Ginanjar yang dianggap semakin
aneh, akhirnya sang istri selalu emosi dan menimbulkan pertengkaran keadaan dirumah yang
tidak membuat nyaman. Hal inilah yang menjadi alasan Tn. Ginanjar untuk lebih sering
berada di luar.
Pasangan ini mempunyai dua orang anak Randi (17 tahun) dan Septi (14 tahun).
Kedua anak mereka mempunyai IMT diatas batas normal yaitu >27 dan hal ini dianggap
biasa baik oleh Tn. Ginanjar maupun Ny. Nia dengan alasan bahwa dulunya Tn. Ginanjar
juga mengalami hal yang sama, namun sekarang ia sudah mengalami penurunan berat badan
yang drastis hingga termasuk ke dalam IMT normal.
Saat ini Tn. Ginanjar mengeluh sering merasa kesemutan dan sandal yang ia pakai kerap
terlepas tanpa ia sadari, ditambah lagi berat badannya yang tak kunjung naik walaupun ia
sudah makan dengan porsi yang besar.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Genogram
Keterangan:
: Pasien
: Meninggal
: Meninggal
: Garis keturunan
Family assesment tool yang digunakan pada gambar diatas yaitu genogram.
Genogram merupakan suatu alat bantu berupa peta skema (visual map) dari silsilah keluarga
pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk segera mendapatkan informasi
2
tentang nama anggota keluarga pasien, kualitas hubungan antar anggota keluarga. Genogram
adalah biopsikososial pohon keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga,
riwayat sakit di dalam keluarga serta hubungannya.
Genogram dapat membantu dotter untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang
data yang terintegrasi antara kesehatan fisik dan mental di dalam keluarga serta mengenai
pola multigenerasi dari penyakit dan disfungsi.
Pada kasus Tn. Ginanjar ditemukan bahwa ibu pasien mengalami DM semasa
hidupnya. Tn. Ginanjar memiliki 3 saudara yaitu dua adik perempuan dan satu adik laki-laki.
Diketahui dari garis keturunan bahwa Tn. Ginanjar dan adik laki-laki nya mengalami D tipe
2. Hal ini dapat dipengaruhi karena faktor genetik dan pola hidup Tn. Ginanjar. Tn. Ginanjar
kemudian menikah dengan istrinya yang tidak memiliki faktor risiko tersebut. Mereka tinggal
satu rumah dan memiliki dua orang anak.
3
bulan (2,5 tahun). Kemudian selama 3,5 tahun mereka memiliki anak yang masuk
kategori preschool yaitu usia (30 bulan-6 tahun). Pada saat ini juga anak kedua
mereka lahir. Tahap ke-empat menunjukkan bahwa mereka memiliki anak usia
schoolchildren selama 7 tahun (6- 13 tahun). Saat ini usia Randi anak tertua mereka
berusia 17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ereka berada pada fase ke-lima selama
4 tahun. Jadi, Tn Ginanjar dan Ny. Nia teah melangsungkan pernikahan selama 19
tahun.
Randi
Tn. Ginanyar
Keterangan:
: Fungsional
: Disfungsional
4
serupa dengan hubungan antara Randi dan Septi, Ny. Nia (Ibu) dengan Nn. Septi,
serta Randi dan Ny. Nia.
2.4 APGAR
APGAR digunakan untuk menilai fungsi keluarga yang dinilai berdasarkan lima komponen
yaitu adaptasi, kemitraan, pertubuhan, kasing sayang, dan kebersamaan. Jika akan dilakukan
assessment terhadap fungsi keluarga menggunakan APGAR, maka dapat dinilai
menggunakan kuisioner yang dapat diisi sesuai dengan perasaan pasien terhadap
keluarganya. Hasil jumlah dari APGAR SCORE dnilai mulai dari 0-10.
5
0-3 = keluarga yang tidak sehat/disfungsional berat.
2.5 SCREEM
Sumber Patologi
Social Pasien dapat hidup Lingkungan baru di
bermasyarakat dengan baik tempat kerja membuat
yang terlihat sering pergi dirinya tertekan.
bersama temannya. Hubungan suami istri
tidak harmonis yang
ditandai dengan istrinya
yang sering emosi dan
menganggap suaminya
aneh.
Cultural - Pasien sejak dulu selalu
banyak makan tanpa
suka olahraga
Setelah bekerja pasien
jadi lebih sering
merokok (pola hidup
makin buruk)
6
lulusan SMP sehingga
sulit untuk mencari
pekerjaan
Tn. Ginanjar dan istri
menganggap bahwa
IMT>27 adalah hal yang
biasa.
SCREEM merupakan alat bantu untuk menilai kehidupan keluarga yang berasal dari
sumber daya yang berguna dan patologis. SCREEM merupakan singkatan dari Social,
Culture, Ritual, Economics, Education, and Medical. Untuk mengisi kolom family SCREEM
kita harus bisa menentukan sumber daya yang berguna dan yang tidak berguna (patologis)
baik dari segi sosial, budaya, agama, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Pada kasus ini, Tn. Ginanjar banyak mendapatkan hal patologi sehingga
kehidupannya semakin memberat. Contohnya dalam lingkungan kerjanya, pasien merasa
tertekan dan hubungan suami istri yang tidak harmonis. Namun untuk lingkungan sekitarnya,
pasien cukup baik dalam bersosialisasi yang terlihat dari pasien sering pergi dengan
temannya. Kualitas hidup pasien dilihat dari faktor-faktor yang telah disebutkan, namun
pasien sering kali seringkali memiliki faktor patologis baik dari segi apapun.
(tahun)
7
1997 24 Mendapat pekerjaan
1999 26 Menikah
renggang
Family Life Line dapat menggambarkan secara kronologis tingkat stress dalam kehidupan.
Pada kasus ini, pasien memiliki stressor pada usia ke 22 yaitu kematian ibunya. Selanjutnya
saat mulai mendapatkan pekerjaan, menikah, dan memiliki anak pertama pada usia 28 tahun,
tingkat stressor menjadi jauh menurun. Namun, mulai pada usia 29 tahun pasien
mendapatkan stressr yang berat mulai dari mendapat masalah di kantor, adanya kelahiran
anak ke-dua dan hubungan dengan istri yang mulai renggang. Hubungan dengan istri yang
seperti inilah yang menjadikan stressor terbesar bagi Tn. Ginanjar.