Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang

menggunakan cara yang invasive dengan membuka atau menampilkan bagian

tubuh, pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat

sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan

perbaikan yang diakhiri dengan tindak penutupan dan penjahitan luka (Hidayat &

Jong, 2011). Sectio caesarea (SC) adalah tindakan pembedahan untuk

melahirkan janin melalui insisi di dinding abdomen dan dinding uterus (O'Neill

et al., 2013; Schuller & Surbek, 2014) yang dikutif Ahsan, Sriati dan Lestari

(2017). Proses tindakan pembedahan pada pasien sectio caesaria dilakukan

berdasarkan adanya indikasi penyulit yang membahayakan bagi ibu dan janin

yang dikandung (Chamberlain, 2012).

Menurut WHO (2015) di negara berkembang proporsi kelahiran dengan cara

sectio caesarea berkisar 21,2% dari total kelahiran, sedangkan di negara maju

hanya 2%. Angka kejadian sectio caesarea di Indonesia menurut Data Demografi

dan Kesehatan Indonesia (2012) yaitu 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau

22.8% dari seluruh persalinan. Angka persalinan sectio caesarea di provinsi

Jawa Barat sekitar 8% dari seluruh persalinan. Sedangkan angka kejadian sectio

caesarea di Bandung mencapai 1441 kasus (Rekam Medis Rumah Sakit Ibu dan

Anak Kota Bandung, 2017). Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung,

1
2

tindakan operasi sectio caesarea pada tahun 2017 sebanyak 913 kasus, dan data

pada bulan Mei- juni 2018 sebanyak 272 kasus (Sumber: Rekam Medik RSUD

Kota Bandung, 2017- 2018).

Rencana tindakan pembedahan bagi pasien pre operatif merupakan stressor

psikososial yang dapat menimbulkan stres, cemas, dan depresi (Hawari, 2016).

Pre operatif merupakan masa sebelum dilakukan tindakan pembedahan, dimulai

sejak ditentukannya keputusan pembedahan sampai pasien berada di meja

operasi (Brunner & Suddarts, 2013). Respon paling umum pada pasien pre

operatif salah satunya adalah kecemasan, hal tersebut didukung pernyataan

menurut Carpenito (2011) yang dikutip oleh Inayati (2017) menerangkan bahwa

sebanyak 90% pasien pre operatif mengalami kecemasan. Menurut Ibrahim

(2012) yang dikutip Achadyah, Retno dan Mudhawaroh (2017) Ibu yang akan

dilakukan tindakan sectio caesarea umumnya mengalami ansietas (kecemasan)

yang bervariasi dari tingkat ringan sampai berat.

Kecemasan merupakan rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan

ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi dan ketidakamanan (Stuart, Keliat dan

Pasaribu, 2016). Kecemasan pra operatif merupakan reaksi emosional terhadap

persepsi adanya bahaya, baik yang nyata maupun dibayangkan. Ketakutan dan

kekhawatiran pada pasien preoperatif meliputi takut dikarenakan ketidaktahuan

prosedur operasi, ketidaktahuan prosedur anesthesia, komplikasi yang timbul

akibat tindakan pembedahan dan adanya ancaman keutuhan tubuh, kesehatan dan

kehidupan. Kecemasan ini akan dirasakan lebih hebat dan nyata bilamana

prospek pembedahan tidak sesuai dengan harapan, ketidaknyamanan, masalah


3

finansial dan sosial (Brunner & Suddarths, 2013). Hal ini diperkuat oleh

pendapat (Ahsan, Retno, Lestari dan Sriati, 2017) penyebab kecemasan pada

pasien pre opersi sectio caesaria yang umum diantaranya takut anastesinya

(tidak bangun lagi), takut nyeri akibat luka operasi, takut terjadi perubahan fisik

menjadi buruk atau tidak berfungsi normal, takut operasi gagal, cemas karena

tidak tahu prosedur operasi, bingung dan takut mati. Pendapat yang sama

menurut Petter & Perry (2005) yang dikutip Rahmawati, Widjajanto dan Astari

(2017) penyebab kecemasan pada pasien pre operatif sectio caesaria takut

terhadap prosedur asing yang akan dijalani, penyuntikan, nyeri luka post operasi,

menjadi bergantung pada orang lain bahkan ancaman kematian akibat prosedur

pembedahan dan tindakan pembiusan, termasuk timbulnya kecacatan atau

kematian

Dampak dari kecemasan berpengaruh secara langsung terhadap perubahan

fisiologis dan prilaku sedangkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap

respon kognitif dan afektif (Stuart, Keliat dan Pasaribu, 2016). Respon secara

fisiologis diatur oleh otak melalui system saraf otonom simpatis impuls

diteruskan ke kelenjar adrenal untuk melepaskan efinefrin maka pernafasan jadi

dalam, jantung berdetak lebih cepat, tekanan arteri meningkat, kadar gula darah

meningkat dan nilai tekanan darah meningkat. Perubahan tekanan darah

meningkat bila tidak segera ditangani menjadi salah satu penyebab terhalangnya

kegiatan opeasi (Inayati & Ayubbana, 2017). Respon prilaku biasanya menarik

diri, gelisah, menghindar dan bicara cepat. Respon kognitif ditandai dengan

adanya gangguan perhatian, lupa, bingung, malu dan mimpi buruk. Respon
4

apektif ditandai dengan adanya gelisah, gugup, takut dan frustasi (Stuart, Keliat

dan Pasaribu,2016).

Penatalaksanaan cemas dapat dilakukan dengan pencegahan dan terapi.

Pencegahan cemas memerlukan pendekatan yang bersifat holistik agar seseorang

tidak jatuh dalam keadaan cemas, dengan berpola hidup yang teratur, selaras,

serasi dan seimbang secara vertikal antara dirinya dengan Tuhan, secara

horizontal antara dirinya dengan orang lain, lingkungan dan alam sekitar

(Hawari, 2016). Sedangkan penatalaksanaan cemas dengan terapi, meliputi terapi

farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan

pemberian terapi psikofarmaka dan terapi somatik. Terapi non farmaklogi salah

satunya adalah dengan dilakukannya psikoterapi (Hawari,2016).

Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata yaitu “Psyche” yang

artinya jiwa, pikiran atau mental dan “Therapy” yang artinya penyembuhan,

pengobatan atau perawatan. Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan

istilah terapi kejiwaan, terapi mental, atau terapi pikiran. Psikoterapi adalah

usaha penyembuhan untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran perasaan dan

prilaku (Basuki, 2008). Psikoterapi terbukti dapat membantu mengatasi masalah

psikologis, karena terbukti statistik menunjukan lebih dri 75% pasien sangat

tertolong dengan menjalani psikoterapi (Nordqvist,2009).

Menurut Gunarsa (2008) yang dikutip dari Wolberg (1996), penanganan

kecemasan pada pasien pre operatif yang efektif adalah dengan psikoterapi re-

edukasi dimana perlakuan atau penanggulangan berfokus pada masalah yang

sedang dihadapi pasien, Psikoterapi re-edukasi bertujuan untuk mengubah


5

pikiran atau perasaan pasien agar mampu menyesuaikan diri dengan lebih baik.

Terapi ini dapat secara efektif dilaksanakan dengan tekhnik konseling. Menurut

Saprudin yang dikutip Rompas, Henry, dan Palandeng (2013) konseling

dianggap mampu menurunkan kecemasan pasien.

Menurut Willis (2013) konseling merupakan proses pemberian informasi

objektif dan lengkap dilakukan secara sistematik dengan panduan komunikasi

interpersonal, tehnik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinis yang

bertujuan untuk membantu seseorang mengenali kondisiya dan masalah yang

dihadapi, serta menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah

tersebut. Konseling menjadi strategi utama dalam memecahkan masalah-masalah

psikologis, sehingga terdapat perubahan peningkatan kesehatan psikis pada

pasien. Pentingnya konseling pra operatif ini didukung oleh pendapat Brunner &

Suddarths (2013) menyatakan bahwa kunjungan Perawat ruang operasi

(konseling) lebih memiliki efek yang menenangkan dan melegakan dibanding

barbiturate (obat anxiety).

Menurut (Brunner & Suddarths, 2013) peran perawat preoperatif dalam

memberikan dukungan mental harus mampu mengevaluasi tingkat kecemasan

pada pasien sehingga dapat dikurangi secara efektif. Meliputi membantu pasien

mengetahui tindakan-tindakan yang akan di alami pasien sebelum operasi,

memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, memberikan

informasi tentang prosedur operasi, jenis anastesi, mengoreksi pengertian yang

salah tentang tindakan operasi karena pengertian yang salah akan menimbulkan

kekhawatiran pada pasien, penanganan ini dapat dilakukan dengan konseling


6

penanganan kecemasan pre operatif. menurut Potter & Perry yang dikutif

Rompas, Henry, dan Palandeng (2013) konseling dalam bentuk edukasi pre

operasi akan mengurangi rasa takut dan cemas akibat ketidaktahuan yang dialami

pasien sebelum operasi.

Hasil dari sebuah riset menunjukan bahwa konseling berpengaruh

terhadap penurunan tingkat kecemasan salah satunya penelitian yang dilakukan

Irawan (2015) yang berjudul “Pengaruh konseling kesehatan terhadap penurunan

tingkat kecemasan pasien TBC paru diPUSKESMAS Campurejo Kediri

mengungkapkan bahwa konseling berpengaruh terhadap penurunan tingkat

kecemasan. Perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah dilakukan

konseling didapatkan hasil P-Value- 0,04 < (a=5%) sehingga Ho ditolak artinya

konseling kesehatan berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan pada

pasien TBC paru.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti selama 3 hari dari

tanggal 25 sampai 27 juli 2018 pada pasien pre operatif sectio caesarea di

Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota Bandung sebanyak 10 orang responden.

Penulis melakukan pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunkan

instrument Zung Self-Rating Anxiety (SAS/SRAS) didapatkan hasil 4 orang

tidak mengalami kecemasan, 2 orang mengalami kecemasan ringan dan 4 orang

mengalami kecemasan sedang. Hasil wawancara terhadap 6 orang responden

yang mengalami kecemasan ringan dan sedang rata-rata mengeluh jantungnya

terasa berdebar-debar, lemas, kaki tangan terasa gemetar, nafas terasa berat dan

pusing, mereka mengatakan operasi sectio caesaria merupakan pengalaman yang


7

menegangkan dalam hidupnya, takut prosedur operasi, anestesi, tidak paham

dengan prosedur operasi sectio caesaria sehingga bingung apa yang harus

dilakukan, malu dan takut sakit. Hasil observasi pada 6 orang responden tersebut

muka tampak tegang, gelisah, murung, menangis, diam dan tangan pasien teraba

dingin.

Hasil wawancara dengan perawat ruang transit instalasi bedah sentral

mengatakan” kebanyakan pasien sectio caesaria tidak elektif sehingga tak jarang

membuat pasien jadi takut, gelisah dan cemas”. Saat ditanya upaya apa yang

dilakukan untuk mengatasi kecemasan pada pasien pre operasi perawat ruang

transit mengatakan sesuai SOP manajemen pre operatif Instalasi Bedah Sentral

RSUD Kota Bandung durasi operasi diklasifikasikan empat kategori yaitu:

Emergensi dimana prosedur yang mengancam jiwa harus dikerjakan sebelum 30

menit sehingga pasien mengalami cemas atau tidak diabaikan langsung

semuanya disiapkan dimeja operasi yang penting pasien terselamatkan. Prioritas

yaitu prosedur yang harus dikerjakan dalam 30 menit sampai 4 jam, sehingga

pasien yang menunjukan gejala kecemasan diobservasi dan pemberian oksigen

nasal dan upaya untuk menenangkan dan istirahat pasien. Jika dalam 4 jam tidak

ada perbaikan konsultasi dengan anestesi tentang alternatif jenis anestesi yang

efektif dan pemberian premedikasi. Urgent yaitu prosedur yang harus dikerjakan

dalam 4jam sampai 24 jam, sehingga pasien yang menunjukan gejala kecemasan

setelah 4 sampai 6 jam tidak ada perbaikan biasanya anestesi memberikan obat

anxiety dan analgetik drif infus, konfirmasi dengan dr operator mengenai jam

induksi dan informed consent dengan pasien dan keluarga. Non- urgent yaitu
8

prosedur yang dikerjakan setelah 24 jam, jika setelah 4jam tidak ada perbaikan

pasien dikembalikan ke ruang rawat inap untuk jadwal ulang operasi, pemberian

obat anxiety oral atau injek terjadwal, konsultasi dengan bagian lain yang

dianggap perlu.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

suatu penelitian dengan judul “Pengaruh Psikoterapi Re-edukasi (Konseling)

Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre operatif Sectio caesaria di Instalasi

Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh pelaksanaan psikoterapi re-edukasi (konseling) terhadap

tingkat kecemasan pada psien pre operatif sectio caesari di Instalasi Bedah

Sentral RSUD Kota Bandung ?.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh Psikoterapi Re-edukasi (Konseling) terhadap tingkat

kecemasan pada pasien pre operatif Sectio caesaria di Instalasi Bedah Sentral

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien pre operatif Sectio caesaria

sebelum diberi Psikoterapi Re-eduksi (Konseling) di Instalasi Bedah Sentral

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung.


9

1.3.2.2 Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien pre operatif Sectio caesaria

setelah diberi Psikoterapi Re-edukasi (Konseling) di Instalasi Bedah Sentral

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung.

1.3.2.3 Untuk menganalisis pengaruh Psikoterapi Re-eduksi (Konseling) terhadap

tingkat kecemasan pasien pre operatif Sectio caesaria di Instalasi Bedah

Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1 Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya khasanah ilmu keperawatan dan

sebagai referensi tentang pengaruh Psikoterapi Re-edukasi (Konseling)

terhadap tingkat kecemasan.

1.4.1.2 Stikes Bhakti Kencana

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai tambahan referensi atau rujukan

tentang pengaruh Psikoterapi Re-edukasi (Konseling) terhadap tingkat

kecemasan pre operatif sectio caesaria.

1.4.2 Manfaat Bagi Praktis

1.4.2.1 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan pembuatan program

penanganan kecemasan dengan Psikoterapi Re-edukasi (Konseling) di

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung.


10

1.4.2.2 Perawat Praktisi Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umun Daerah Kota

Bandung

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi masukan sebagai edukator praktik

terapi Psikoterapi Re-edukasi (Konseling) terhadap tingkat kecemasan pasien

pre operatif Sectio caesaria di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Bandung.

1.4.2.3 Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan reperensi atau pembanding

dalam penelitian selanjutnya tentang pengaruh Psikoterapi Re-edukasi

(Konseling) terhadap tingkat kecemasan pasien pre operatif Sectio caesaria.

Anda mungkin juga menyukai