Anda di halaman 1dari 107

LAPORAN KASUS

ANESTESI BLOK SUBARACHNOID PADA PASIEN


G5P3A1 HAMIL 38-39 MINGGU DENGAN ANEMIA DAN
BEKAS SECTIO CAESAREA 3 KALI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF
Anestesi dan Reanimasi, Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Jayapura

OLEH:
Arief Zando, S.Ked

PEMBIMBING:
dr. Diah Widyanti, Sp.An KIC

SMF ANESTESI DAN REANIMASI, PERAWATAN INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh Penguji Laporan Kasus Fakultas


Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura, sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Anestesi dan
Reanimasi Rumah Sakit Umum Jayapura.
Nama : Arief Zando, S.Ked
NIM : 0100840060

Pada,
Hari :
Tanggal :
Tempat : Ruangan Pertemuan SMF Anestesi dan
Reanimasi RSU Jayapura

Mengetahui,
Dosen Penguji/Pembimbing

dr. Diah Widyanti, Sp.An KIC


EVALUASI LAPORAN KASUS
KEPANITTERAAN KLINIK ANESTESI DAN REANIMASI PERAWATAN
INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH –
RSUD JAYAPURA

Nama : Arief Zando, S.Ked


Nim : 0100840060
Judul : Anestesi Blok SubArachnoid pada Pasien G5P3A1 Hamil 38-39 Minggu
dengan Anemia dan Bekas Sectio Caesarea 3 kali

No. Penilaian Nilai Keteranga


1 Presentasi
1. Penyajian Presentasi
2. Penguasaan Materi
3. Slide Presentasi
2 Makalah
4. Susunan Makalah
5. Isi Makalah
6. Isi Pembahasan Kasus
3 Diskusi
7. Penguasaan Materi Kasus
8. Penguasaan Materi di Luar
Kasus
9. Peran Aktif Peserta Lain
Peran Aktif Peserta Diskusi
1. Nama :
Pertanyaan :
2. Nama :
Pertanyaan :
3. Nama :
Pertanyaan :
4 Keterampilan Klinik
1. Teori Dasar
2. Kemampuan/Skill
5 Sikap
1. Kemampuan Menimba
Ilmu/Inisiatif
2. Disiplin Kerja
3. Kecermatan/Ketelitian Kerja
4. Kemampuan Belajar
6 Komentar

Jayapura, 07 April 2018


Pembimbing

dr. Diah Widyanti, Sp. An. KIC


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan


aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya


perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu,
operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius
pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada
di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls
saraf di area itu.

Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal
juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi
tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen
bagian bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat
blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.

Bedah sesar atau sectio cesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di
Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik
operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan
sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat
persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress. Indikasi-
indikasi utama seksio sesarea meliputi: bekas seksio sesarea (8%), dystocia (7%),
letak sungsang (4%), fetal distress (2%-3%) dan lain-lain. Kontributor terbesar pada
tingginya angka seksio sesarea terletak pada kategori seksio ulangan. Lebih dari
sepertiga dari semua persalinan dengan seksio sesarea terjadi dari hasil persalinan
seksio sebelumnya.

Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis pembedahan, tentu saja
tindakan ini juga memerlukan anestesi untuk mengurangi rasa sakit pasien. Anestesi
adalah keadaan dimana tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan nyeri. Hal
ini terjadi akibat dari pemberian obat atau intervensi medik lainnya. Keadaan ini,
secara umum, menguntungkan bagi pasien dan dokter saat melakukan pembedahan.
Anestesi obstetrik merupakan hal yang unik karena pertama, dokter menghadapi
dua nyawa yang sama pentingnya. Kedua, selama kehamilan terjadi perubahan
fisiologik yang dinamis. Seorang anestesiologi harus tau benar usia kehamilan
pasien yang dihadapinya oleh karena perubahan fisiologik yang berubah-ubah,
bergantung pada usia kehamilan. Manajemen anesthesia tentu juga harus
disesuaikan dengan perubahan fisiologik yang terjadi.7 Teknik anestesi yang biasa
digunakan pada pasien bedah sesar ada dua macam, yaitu teknik anestesi umum dan
teknik anestesi regional (anestesi spinal atau anestesi epidural).

Seperti yang diuraikan diatas bahwa tindakan anestesi selama kehamilan,


terutama ibu yang memiliki faktor resiko kehamilan dengan resiko tinggi,
diperlukan pertimbangan yang baik untuk keselamatan ibu dan janin. Oleh karena
itu diperlukan manajemen yang baik dalam melakukan anestesi terhadap ibu hamil
selama preoperative, durante operatif serta postopertif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi
hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus
dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada
trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi
yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien
hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi,
kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal.

2.1.1 Berat Badan dan Komposisi :


Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira
17% dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat
badan adalah akibat dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus
(uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan
volume darah dan cairan interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak
serta protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selama
trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg pada
trimester 2 dan 3.

a. Implikasi Klinisnya :
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan
oksigen sebelum induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau
epidural anestesi menjadi lebih sulit. Karena penambahan berat
badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan
menimbulkan kesulitan intubasi.
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan
terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem
kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada
sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika
cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada
wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima
kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32
kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai
masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu
kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output
dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut
jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana
meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak dari pada pada
wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk
dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam
denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat
penurunan komponen simpatis.

Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus


menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada
minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi
kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur
ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir
kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien
berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang
terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena
yang mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial,
penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah
dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan
mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu,
perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral
harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari
kehamilan.
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi
jantung dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada
gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T
pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-
bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga
terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.

a. Implikasi Klinis
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi
oleh wanita hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis
aorta, stenosis mitral) atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio
jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan, selama
persalinan, dan segera setelah melahirkan.

2.1.3 Perubahan Hematologi


Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa
kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-
angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan
dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah
meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya
meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan
terjadinya “anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin
rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor
oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu
memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung,
peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi
oxyhemoglobin.

Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi


yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan
darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,
VIII, IX, X, XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.
Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester
ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari
jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester
ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi
mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi.
Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.

a. Implikasi Klinis
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting
yaitu untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit
feto-plasenta, mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan
akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi hipercoagulabel selama
proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu setelah
melahirkan.6

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk
mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi
perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu.5
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara
progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang
lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen
akan meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga
50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mmHg. Alkalosis respiratorik
dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi
plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2
secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek
hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan
parsial oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika
berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan
antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung memicu
perfusi jaringan.
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran
uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior
dan transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory
reserve volume, residual volume dan functional residual capacity
menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 %
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan
peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru
total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah,
tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing volume
lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat
mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang
menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supine juga
dapat mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan
functional residual capacity. Volume residual dan functional residual
capacity kembali normal setelah proses persalinan.

a. Implikasi Klinisnya
Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya
penurunan MAC akan menyebabkan paturien lebih sensitive
terhadap anestetika inhalasi daripada wanita yang tidak hamil.6
Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas
membran mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa
endotrakhea yang lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.

2.1.5 Perubahan Sistem Renal


Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal
pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal
umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone
mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama
dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada
trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)
mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan
threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan
sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria
(<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.5

a. Implikasi Klinis
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah
dari wanita yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama
seperti wanita yang tidak hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal
yang abnormal.6

2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal


Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama
persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan
bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan
fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang
berhubungan dengan anestesi general.
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar
progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana
sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung.
Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko
tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster
tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan
mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa
persalinan. Di samping itu, hampir semua ibu hamil memiliki pH
lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume
lambung lebih dari 25mL. Kedua faktor tersbut telah dihubungkan
memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid
dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat
memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan
pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti
makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan
pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan
faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.

a. Implikasi Klinis
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa
melihat lama puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari.
Dianjurkan penggunaan rutin antacid non-partikel. Perubahan
gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu postpartum.6

2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer


Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama
masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua
anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali
normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon
maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang
memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis farmakologis,
meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa aterm
dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa
persalinan dan kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan
sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi baik regional maupun general.
Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil
membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak
hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan.
Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam
anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi
lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi
analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam
periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena
pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural
dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir
kehamilan menghasilkan tiga efek mayor: (1) penurunan volume cairan
serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3)
peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran
sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural,
dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam
insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.

a. Implikasi Klinisnya
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas
anestesi lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia
terjadi sampai 36 jam postpartum.

2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal


Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu
persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi
uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi
ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung.
Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam
kehamilan.

a. Implikasi Klinis
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna
vertebralis merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama
kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal atau epidural
analgesi.

2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental


Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam
perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi
sirkulasi uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi
pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat
mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada
aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta. Aliran
darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan
mencapai nilai rata rata antara 500 ml sampai 700 ml di masa aterm.
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan
memiliki resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20
minggu masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme
autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa
kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan
darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi
perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal,
dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan
kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus
(kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan
perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status
hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.
2.2 Anestesi Pada Obstetri
Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi
yang akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan
anestesi adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit
dilakukan intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil
posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval
syndrome”) sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi
lahir dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N2O/O2 namun analgesi
sering tidak memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional
(spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar,
bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual muntah sewaktu
pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca
bedah. Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut,
serba terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang
ditimbulkan kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering
mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.
Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin,
adalah penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang
menjadi ciri tiga trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya
bagi mereka berdua. Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
b. Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian
oksigen
c. Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
d. Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)

2.2.1 Perubahan Respon Anestesi


Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai
anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%,
metoksifluran 32%8. Selain terjadi penurunan MAC agen-agen anestesi
inhalasi, dosis thiopental yang dibutuhkan juga berkurang sejak awal
kehamilan.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik
lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini
karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.
Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas
pada anestesi spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan
respon terhadap blokade saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu
peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan
difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced
diffusion).
Konsentrasi cholinesterase plasma menurun sampai sebesar 25% sejak
awal kehamilan sampai tujuh hari post partum. Namun jarang terjadi
blokade neuromuskuler yang berkepanjangan karena volume plasma yang
besar mengakibatkan distribusi obat yang merata sehingga mengurangi efek
dari penurunan hidrolisis obat. Meskipun demikian dosis suksinilkolin
sebaiknya dikontrol dengan hati-hati pada pasien hamil dan ahli anestesi
harus memonitor blokade neuromuskuler dengan stimulator saraf untuk
memastikan reverse/pemulihan yang adekuat sebelum ekstubasi.
Pada kehamilan juga terjadi penurunan konsentrasi albumin sehingga
fraksi obat bebas dalam darah meningkat, akibatnya resiko toksisitas obat
selama kehamilan juga meningkat.

2.2.2 Pertimbangan Pada Fetus


a. Risiko teratogenisitas
Agen-agen anestesi dapat menyebabkan perubahan besar pada ibu
hamil berupa hipoksia dan hipotensi berat sehingga dapat berbahaya
bagi fetus. Selain efek tersebut, saat ini perhatian juga ditujukan pada
risiko teratogen dari obat-obat anestesi.
Teratogenisitas mempunyai pengertian sebagai setiap perubahan
post natal yang signifikan baik dalam fungsi atau bentuk setelah terapi
yang diberikan selama periode prenatal. Perhatian akan adanya efek
merugikan agen-agen anestesi berawal dari efek obat tersebut yang telah
diketahui pada sel-sel mamalia. Efek merugikan tersebut terjadi dalam
rentang dosis terapi dan perubahan sel irreversibel yang terjadi dapat
berupa berkurangnya motilitas sel, pemanjangan waktu sintesis DNA,
dan inhibisi pembelahan sel.

b. Prinsip-prinsip teratogenisitas
Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi
teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies,
dosis obat, durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.
Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat
penting. Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi
atau kematian pada embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang
lebih besar mungkin kurang berbahaya pada fetus.
Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian,
abnormalitas struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi
fungsional. Kematian akan menyebabkan abortus, fetal death atau
stillbirth pada manusia, tergantung pada waktu terjadinya, sedangkan
pada binatang akan menyebabkan resorbsi fetus. Abnormalitas
struktural dapat menyebabkan kematian jika sangat berat, akan tetapi
kematian juga dapat terjadi tanpa disertai anomali kongenital. Hambatan
pertumbuhan pada saat ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari
teratogenisitas, selain itu kondisi ini juga berhubungan dengan banyak
faktor lainnya seperti insufisiensi plasenta, faktor genetik dan
lingkungan. Usia kehamilan pada saat terpapar sangat menentukan
organ atau jaringan target, tipe defek, dan berat-ringannya kerusakan.
Sebagian besar abnormalitas struktural disebabkan oleh paparan selama
periode organogenesis, yaitu kira-kira pada hari ke 31 sampai 71 setelah
hari pertama haid terakhir.
Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi
perlu dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil
kehamilan yang buruk yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe
(1975) memperkirakan bahwa sebanyak 80% hasil konsepsi manusia
mengalami keguguran, bahkan keguguran tersebut banyak yang terjadi
sebelum diketahui ada kehamilan. Diperkirakan separuh dari abortus
dini ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Insiden anomali
kongenital diantara manusia adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak
diketahui sebabnya. Dari jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin
sebelumnya hanya sebesar 2% sampai 3%.

c. Teratogenisitas dalam periode perioperatif


Anestesia dan pembedahan dapat menyebabkan perubahan pada
fisiologi ibu sehingga mengakibatkan hipoksia, hiperkapnea, stress,
abnormalitas temperatur dan metabolisme karbohidrat. Kondisi-kondisi
tersebut dapat bersifat teratogen itu sendiri atau mereka dapat
meningkatkan teratogenisitas agen-agen lainnya. Hipoglikemia berat,
hipoksia dan hiperkarbia yang lama dapat menyebabkan anomali
kongenital pada binatang dalam percobaan laboratorium, tetapi bukti
tersebut masih kurang kuat untuk mendukung teratogenisitas pada
manusia setelah mengalami kondisi tersebut dalam waktu singkat.
Ibu hamil yang mengalami hipoksemia kronis dapat menyebabkan bayi
yang dilahirkan mempunyai berat lahir rendah tetapi tidak ditemukan
defek kongenital.
Radiasi pengion juga merupakan teratogen pada manusia, efek kelainan
yang muncul berhubungan erat dengan besar dosis yang diterima oleh
ibu hamil. Kelainan yang muncul mulai dari meningkatnya risiko kanker
pada anak sampai pada anomali kongenital atau kematian janin. Data
pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa paparan radiasi sebesar
5 sampai 10 rad tidak akan meningkatkan insiden anomali major atau
restriksi pertumbuhan. Besar dosis radiasi yang diterima oleh fetus pada
foto polos thorak diperkirakan sebesar 8 milirad dan pada barium enema
sebesar 800 milirad.
d. Teratogenisitas obat obat anestetik
Teratogenisitas tidak berkaitan dengan pemakaian obat-obat
induksi yang biasa digunakan, (seperti: barbiturat, ketamin, dan
benzodiazepin) bila obat tersebut diberikan dalam dosis klinis selama
anestesia. Selain itu tidak ditemukan bukti yang mendukung tentang
teratogenisitas opioid pada manusia, bukti yang ada menunjukkan
bahwa tidak ada peningkatan insiden anomali kongenital diantara ibu
hamil yang menggunakan morfin atau methadon selama kehamilan.
Data penelitian pada manusia menunjukkan adanya peningkatan
teratogenisitas pada pemberian tranquilizer. Dalam sebuah review,
dilaporkan bahwa insiden anomali kongenital berat sebesar 11% sampai
12% bila ibu hamil mengkonsumsi meprobamat atau klordiazepoksid
selama kehamilan dibandingkan dengan insiden sebesar 4,6% bila ibu
mengkonsumsi ansiolitik lainnya dan 2,6% bila ibu tidak minum obat.
Tetapi peneliti lain tidak mendapatkan adanya efek merugikan
berdasarkan penelitiannya dengan meprobamat atau klordiazepoksid
intrauterin.
Terapi benzodiazepin menjadi kontroversial setelah beberapa
penelitian melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam
oleh ibu hamil selama trimester pertama kehamilan dengan bayi yang
menderita palatoschizis, dengan atau tanpa labioschizis. Safra dan
Oakley (1975) melakukan penelitian terhadap 278 ibu yang bayinya
menderita malformasi berat; mereka mencatat bahwa pada ibu yang
mengkonsumsi diazepam mempunyai risiko empat kali lebih besar
bayinya menderita cleft mulut dibandingkan kelainan lainnya. Kedua
peneliti tersebut berkesimpulan bahwa risiko terjadi labioschizis sebesar
0,4% sedangkan risiko palatoschizis sebesar 0,2%.
Penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara konsumsi
diazepam oleh ibu hamil dengan kelainan cleft mulut. Seperti penelitian
retrospektif pada 854 wanita yang mengkonsumsi diazepam pada
trimester pertama kehamilan, gagal menunjukkan adanya peningkatan
risiko akibat terapi dengan benzodiazepin.
Walaupun konsensus para ahli anestesi menyebutkan bahwa
diazepam tidak terbukti teratogen pada manusia, namun sebaiknya perlu
dipertimbangkan rasio untung ruginya sebelum memberikan obat ini
untuk terapi jangka lama selama trimester pertama kehamilan. Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa pemberian benzodiazepin (seperti
midazolam) dosis tunggal selama tindakan anestesi akan
membahayakan fetus.

e. Teratogenisitas obat anestesi local


Prokain, lidokain dan bupivakain dapat menyebabkan efek sitotoksik
yang reversibel pada kultur fibroblast hamster.9 Akan tetapi, tidak ada bukti
yang mendukung adanya teratogenisitas morfologi atau behavioral akibat
pemberian lidokain pada tikus, dan juga tidak ada bukti yang mendukung
adanya teratogenisitas akibat penggunaan anestetik lokal pada manusia.
Penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil dapat menyebabkan outcome
kehamilan yang buruk, yaitu berupa abnormalitas perilaku neonatus, dan pada
beberapa penelitian disebutkan adanya peningkatan insiden defek kongenital
pada saluran genitourinaria dan gastrointestinal. Risiko yang paling besar pada
fetus akibat penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil adalah tingginya insiden
solusio plasenta.

f. Teratogenisitas obat pelumpuh otot


Penelitian tentang teratogenisitas obat-obat pelumpuh otot dengan
cara standar secara in vivo pada binatang mengalami kesulitan dengan
adanya depresi respirasi dan kebutuhan akan ventilasi mekanis.
Fujinaga dkk (1992) menggunakan sistem kultur embrio tikus untuk
menyelidiki toksisitas reproduktif d-tubocurarine, pancuronium,
atrakurium dan vecuronium dosis tinggi. Walaupun toksisitas tersebut
muncul dengan adanya penurunan panjang crown-rump (kepala-pantat),
berkurangnya jumlah pasangan somit, dan abnormalitas morfologi, efek
tersebut hanya terjadi pada konsentrasi plasma ibu sebesar 30 kali lebih
tinggi dibandingkan konsentrasi yang ditemukan dalam praktek klinis.
Obat-obat ini mempunyai batas keamanan yang lebar jika diberikan
pada ibu selama fase organogenesis karena kadar obat dalam plasma
fetus hanya sebesar 10% sampai 20% dari konsentrasi dalam plasma
ibu.12 Apakah obat ini bila diberikan pada kehamilan yang telah lanjut
dapat menyebabkan bahaya masih belum diketahui dengan pasti.
Terdapat banyak wanita yang mendapat obat pelumpuh otot
selama beberapa hari pada saat hamil tua namun tidak ditemukan adanya
efek merugikan pada bayinya.

g. Teratogenisitas obat anestesi inhalasi


Penelitian epidemiologis yang dilakukan mulai tahun 1960 sampai
tahun 1970 menunjukkan adanya bahaya reproduktif (seperti aborsi
spontan, anomali kongenital) pada pekerja dalam kamar operasi atau
bedah mulut. Bahaya tersebut disebabkan karena paparan agen-agen
anestesi, terutama dengan gas nitro oksida.
Pada tahun 1980 an Cohen dkk melaporkan adanya peningkatan
kejadian abortus spontan sebesar dua kali lipat diantara perawat kamar
operasi dokter gigi yang terpapar. Insiden defek bayi yang dilahirkan
oleh perawat kamar operasi dokter gigi yang terpapar juga mengalami
sedikit peningkatan dibandingkan dengan perawat yang tidak terpapar.
Akan tetapi, validitas hasil penelitian ini masih diragukan; karena
insiden anomali diantara dokter gigi yang tidak terpapar sama dengan
perawat kamar operasi yang terpapar. Secara keseluruhan peningkatan
risiko anomali kongenital akibat paparan kronis dengan gas nitro oksida
tidak didukung oleh data epidemologis yang ada.
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya penurunan fertilitas diantara
perawat wanita yang bekerja dalam ruangan dokter gigi yang tercemar
oleh gas nitro oksida selama lebih dari 5 jam perminggu. Akan tetapi,
karena kelompok yang terkena efek hanya terdiri dari 19 orang maka
sulit untuk diambil kesimpulan berdasarkan data tersebut.
Penelitian terbaru tidak mampu membuktikan adanya hubungan
antara pekerjaan dalam kamar operasi dengan meningkatnya risiko
reproduktif. Outcome kehamilan baik pada perawat kamar operasi yang
terpapar dan tidak terpapar adalah sama.

2.2.3 Teratologi Behavioral


Telah diketahui sebelumnya bahwa beberapa agen anestesi dapat
menyebabkan abnormalitas tingkah laku tanpa disertai perubahan morfologi
yang nyata. Sistem saraf pusat (SSP) sangat sensitif terhadap berbagai
pengaruh selama periode myelinisasi, yang pada manusia terjadi pada bulan
ke empat kehamilan sampai dua bulan post natal. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa paparan halotan selama periode intrauterin dalam
waktu singkat dapat mempengaruhi cara belajar selama post natal dan dapat
menyebabkan degenerasi SSP dan penurunan berat otak tikus. Sistem saraf
pusat tikus sangat rentan terhadap efek hatothan selama periode trimester
kedua. Pemberian obat (seperti barbiturat, meperidin dan promethazin)
secara sistemik selama periode prenatal juga dapat menyebabkan perubahan
tingkah laku pada binatang, sedangkan pemberian lidokain tidak
menimbulkan efek apapun.
Jevtovic-Todorovic dkk (2003) menyebutkan bahwa agen-agen
anestesi yang dipakai belakangan ini bekerja melalui dua mekanisme utama
yaitu potensiasi reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA) dan
antagonistik reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penggunaan obat yang bekerja melalui kedua
mekanisme tersebut dapat menginduksi apoptosis neuronal yang luas pada
otak tikus yang sedang berkembang bila diberikan pada periode
synaptogenesis (yaitu periode growth-spurt otak). Jevtovic-Todorovic dkk
juga mengamati bahwa pemberian obat anestesi general “cocktail”
(midazolam, isofluran dan nitro oksida) pada bayi tikus usia 7 hari dengan
dosis yang cukup untuk mempertahankan anestesi umum selama 6 jam akan
menyebabkan neurodegenerasi apoptosis luas pada otak yang berkembang,
defisit fungsi sinaptik hipokampus dan gangguan memori/belajar yang
permanen. Mereka menyimpulkan bahwa defisit tersebut terlalu ringan
sehingga sulit dideteksi, tetapi akan menetap sampai dewasa. Akan tetapi,
implikasi pada fetus manusia akibat pemberian anestesi general masih
belum diketahui.

2.3 Penatalaksanaan Anestesi Pada Obstetri


2.3.1 Anastesia Regional
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang
menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf
sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk
sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya,
sedangkan penderita tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional.
Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891.
Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan
menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara
injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin
akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal
salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan
bila kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah
menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di
kaudal).
Teknik Anestesi yang direkomendasikan oleh American College
of Obstetricians and Gynocologist and American Society of
Anestesiologist (ASA) untuk section secarrea adalah Regional Anestesi
(Spinal Anestesi) karena lebih sedikit mendepresi janin sedangkan
teknik general anestesi baik secara inhalasi maupun intravena tetap
dipersiapkan untuk bila regional anestesi mengalami kesulitan ataupun
kegagalan anestesi ataupun operasi section secarea berlangsung lebih
lama dari yang direncanakan
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum
dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi
didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat
lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi
dapat diperpanjang sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan
hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung, kelainan pembekuan
darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi,
seperti: penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau
biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih
mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan kasus
persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral, atau
kaudal.9
Anastesia lumbal : Sering digunakan persalinan pervaginam.
Anastesia Spinal : Sering digunakan untuk persalinan per
abdominam/sectio cesarea.

a. Keuntungan:
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian
depresi janin dapat dicegah/dikurangi
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif
dalam persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap. 9

b. Kerugian
 Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
 Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
 Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural
Punction Headache/ PDPH)
 Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih
lambat. 9

c. Kontraindikasi
 Pasien menolak
 Insufisiensi utero-plasenta
 Syok hipovolemik
 Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:


A. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan
anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan
dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
1. Informed consent kepada pasien dan keluarga terkait tindakan
anastesia yang akan dilakukan
2. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
3. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
4. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA
(American Society of Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian/ live style terbatas. Angka mortalitas
38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam,
baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka
mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E

Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang


meliputi:
Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
5. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska
bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
9. Makanan yang terakhir dimakan

Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynx, tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional

B. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
4. Memberikan analgesia, misal pethidin.
5. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan


fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu mempertimbangkan umur pasien, berat badan,
status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan
obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan
lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal
diazepam dan midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal simetidine

C. Prosedur Anastesi Spinal


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum
anestesi lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis
kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan steril,
pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal
(biasanya no 25 atau 27) pada bidang median setinggi vertebra L3-
4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa
ligamen, sampai akhirnya menembus duramater- subarachnoid.
Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar.
Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes
sensorik Pin prick test, menggunakan jarum halus atau kapas.
Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi
pasien diatur pada posisi operasi.

Pembagian tingkat anestesi spinal:


1. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah
lumbal bawah dan segmen sakrum.
2. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal
dan sakral.
3. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini
termasuk thoraks bawah, lumbal dan sakral.
4. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini
termasuk daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
5. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang
lebih tinggi.
D. Obat Anastesi Spnial
1. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya
terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase
pengikatannya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini
dimetabolisasi menjadi pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya
melalui kemih 5% dalam keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX,
dan sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk
kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan selama
kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal,
bupivakain adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC
adalah 1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama
dengan CSS disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS
adalah hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Tabel 1 Obat-obat anestesi dalam kehamilan adalah

Obat Anestesi
AAP
approved? Kategori Risiko
Nama Obat * Kehamilan** Risiko Menyusui**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine
(Carbocaine, Polocaine) NR C L3
Procaine HCL
(Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum
Halothane (Fluothane) Approved C L2
Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3
Thiopental (Pentothal) Approved C L3

Obat lain yang sering digunakan selama anestesi


Sedatives
Diazepam (Valium) Concern D L3; L4 for chronic use
Midazolam (Versed) Concern D L3
Propofol (Diprivan) NR B L2
Triazolam (Halcion) NR X L3
Narcotic Analgesics
Alfentanil (Alfenta) NR C L2
Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2
Hydromorphone
(Dilaudid) NR C L3
Morphine Approved B L3
Reversal Medication
Flumazenil (Romazicon) NR C NR
Naloxone (Narcan) NR C NR
Steroids
Decadron
(Dexamethasone) NR C NR
Stimulants
Epinephrine (Adrenaline) NR C L1
Anti-nausea
Promethazine
(Phenergan) NR C L2
* The AAP (American Academic of Pediatric) Policy Statement Transfer Obat dan
Bahan Kimia Lainnya Ke ASI, direvisi September 2001.
 Approved: Obat yang cocok untuk ibu menyusui
 Concern: Obat yang efeknya pada bayi yang menyusui tidak diketahui tetapi
harus diperhatikan
 Caution: Obat yang telah berhubungan dengan efek yang signifikan
pada beberapa bayi yang menyusui dan harus diberikan pada ibu menyusui dengan
perhatian
 NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh AAP.
** Per Medications’ and Mothers’ Milk by Thomas Hale, PhD (edisi 2004).

Kategori Resiko Laktasi Kategori Resiko Kehamilan


 L1 (sangat aman) A (studi kontrol menunjukkan tidak adanya resiko)
 L2 (aman) B (tidak ada bukti resiko pada manusia)
 L3 (sedang) C (resiko tidak bisa dicegah)
 L4 (kemungkinan berbahaya) D (positif adanya resiko)
 L5 (kontra indikasi) X (kontraindikasi dalam kehamilan)
NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh Hale. (Hale, 2004)

E. Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
 Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
 Naiknya konsumsi oksigen
 Airway closure
 Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
 Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
 Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
 Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

2. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
b) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml / kgBB / jam
 Sedang = 6 ml / kgBB / jam
 Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid/ dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
c) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari
pasien.

F. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska
operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar
atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum
pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
G. Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

2.3.2 Anastesia Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam /
sectio cesarea.
a. Indikasi
 Gawat janin
 Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
 Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah
b. Keuntungan
 Induksi cepat
 Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
 Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
c. Kerugian
 Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
 Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat
 Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan asidosis pada janin.
 Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas maternal.
d. Teknik
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-
30 menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien
diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau
pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai
10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan
operator siap, dilakukan rapid-sequence induction dengan
propofol 2 – 2.5 mg/kgBB atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5
mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon
pipa endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan
tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi
1.0% sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai
janin dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-
obat tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV
dan 0,2 mg methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip
perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik
inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi
rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar

2.4 Anemia Pada Kehamilan


2.4.1 Definisi
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi dengan kadar hemoglobin di
bawah 11gr/dL pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5gr/dL pada trimester
2, nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil,
terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2. Secara fungsional,
anemia merupakan keadaan dimana sel darah merah mengantarkan oksigen
yang dibutuhkan ke jaringan perifer secara tidak adekuat. Secara klinis,
anemia merupakan kadar hemoglobin atau hematokrit dibawah batas
normal. Nilai normal hemoglobin pada wanita dewasa adalah 12 - 15 g/dL.

2.4.2 Klasifikasi
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu
hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3
kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia
berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata
rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar
hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 – 8 gr% : Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat
2.4.3 Etiologi Anemia
Penyebab spesifik anemia sangat penting untuk mengevaluasi efek dari
anemia terhadap kehamilan. Keadaan-keadaan yang merupakan
predisposisi anemia defisiensi pada ibu hamil di Indonesia adalah
kekurangan gizi dan kekurangan perhatian terhadap ibu hamil. Selain itu
terdapat beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan defisiensi kalori-
besi, misalnya infeksi kronik, penyakit hati, dan thalassemia.
Tabel Penyebab Anemia Dalam Kehamilan
Penyebab Anemia dalam Kehamilan
Di dapat Anemia defesiensi besi
Anemia karena perdarahan akut
Anemia karena inflamasi dan keganasan
Anemia Megaloblastik
Anemia Hemolitik di Dapat
Anemia aplastik hipoplastik
Herediter Thalassemia
Hemoglobinopati sel sabit
Anemia Hemolitik lainnya
Hemoglobinopati lainnya

2.4.4 Patofisiologi
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan
volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan
sekresi aldesteron.
2.4.5 Gejala klinis
Gejala dan tanda anemia pada ibu hamil sangat tidak spesifik. Biasanya ibu
hamil dengan anemia akan datang dengan keluhan lemah, pucat, dan mudah
pingsan. Secara klinis, dapat dilihat tubuh yang malnutrisi dan pucat.
Apabila tekanan darah masih dalam batas normal, perlu dicurigai adanya
anemia defisiensi besi. Selain itu, tanda-tanda seperti demam, memar,
jaundice, hepatomegali, dan splenomegali juga perlu diperhatikan untuk
mengetahui apakah ada penyebab yang serius dari anemia.

2.4.6 Diagnosis
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah,
peningkatan penghancuran atau kehilangan sel darah merah, serta dilusi.
Evaluasi anemia pada kehamilan sama seperti pada seseorang yang tidak
hamil. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk
penegakan diagnosis. Pertanyaan tentang onset, durasi, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, asupan makanan, paparan lingkungan,
dan riwayat pengobatan sangatlah penting
Pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
kadar hemoglobin dan darah tepi. Pemeriksaan hemoglobin dengan
spektrofotometri merupakan standar, kesulitannya adalah alat ini tidak
selalu tersedia di semua layanan masyarakat.15 Pemeriksaan penunjang yang
berlebihan tidak efektif dan tidak ekonomis untuk menguji setiap wanita
hamil dengan anemia, mengingat bahwa sebagian besar anemia dalam
kehamilan yang sifatnya ringan disebabkan oleh defisiensi zat besi. Maka
dari itu, terapi suplementasi besi perlu diberikan apabila ibu hamil yang
mengalami anemia tersebut belum mengkonsumsinya.14
Apabila dicurigai adanya penyebab penyakit kronik seperti malaria dan
tuberkulosis, diperlukan adanya pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan
darah tepi dan pemeriksaan sputum. Selain itu, diperlukan adanya beberapa
pemeriksaan untuk membedakan anemia akibat defisiensi besi, defisiensi
asam folat, dan thalassemia.

Gambar 1 Alur Diagnosis Anemia dalam Kehamilan8

2.4.7 Pencegahan dan Penanganan Anemia


a. Pencegahan Anemia
Untuk menghindari terjadinya anemia sebaiknya ibu hamil melakukan
pemeriksaan sebelum hamil sehingga dapat di ketahui data dasar kesehatan
ibu tersebut, dalam pemeriksaan kesehatan di sertai pemeriksaan
laboratorium termasuk pemeriksaan tinja sehingga di ketahui adanya infeksi
parasit.
b. Penanganan pada Anemia sebagai berikut:
1. Anemia Ringan
Pada kehamilan dengan kadar Hb 9-10 gr% masih di anggap ringan
sehingga hanya perlu di perlukan kombinasi 60 mg/hari zat besi dan
500 mg asam folat peroral sekali sehari.
2. Anemia Sedang
Pengobatan dapat di mulai dengan preparat besi feros 600-1000
mg/hari seperti sulfat ferosus atau glukonas ferosus.
3. Anemia Berat
Pemberian preparat besi 60 mg dan asam folat 400 mg, 6 bulan
selama hamil, dilanjutkan sampai 3 bulan setelah melahirkan.

2.4.8 Komplikasi Anemia pada Kehamilan


Pengaruh anemia pada kehamilan bergantung pada keparahan dan penyebab
dari anemia. Anemia dalam kehamilan dapat mempengaruhi vaskularisasi
plasenta dengan mengubah angiogenesis pada masa awal kehamilan.
Anemia yang terjadi pada trimester pertama dapat meningkatkan risiko
persalinan preterm dan berat bayi lahir rendah.
Berikut ini adalah beberapa pengaruh anemia terhadap kehamilan,
persalinan, dan nifas:
- Keguguran
- Partus prematurus
- Inersia uteri dan partus lama
- Atonia uteri dan perdarahan postpartum
- Syok
- Afibrinogenemia dan hipofibrinogenemia
- Infeksi intrapartum dan dalam nifas.

2.4.9 Anastesi pada anemia


Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin
akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul
takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan
anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima
oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama
prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di antara
pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac
output. Seluruhnya bekerja dalam satu system dan menyediakan kapasitas
oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas,
maka menyebabkan komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut,
haemoglobin mempunyai kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi
3
sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.
Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen akan
ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh secara
fisik terlarut dalam plasma dan secara kimia terikat dengan haemoglobin 3
1. Secara Fisika
Pada suhu 37◦C 1 ml plasma mengandung 0,00003 ml oksigen tiap
tekanan parsial oksigen 1 torr (1 mmHg). Jadi jika tekanan parsial
oksigen arteri dianggap 100 mmHg maka oksigen yang terlarut dalam 1
ml plasma ialah 0,003 ml atau 0,3 ml tiap 100 ml plasma
2. Secara Kimia
Satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen atau
8 atom oksigen dan bentuk ikatan tersebut adalah reversibel dan
berlangsung sangat cepat sekitar 0,01 detik. Kebanyakan oksigen
ditransportasi secara kimiawi.
Sel darah merah dengan haemoglobin di dalamnya berfungsi untuk
mempertahankan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah.
Delivery oksigen (DO2) ditentukan oleh hasil dari cardiac output dan
3
kadar oksigen arterial (CaO2) dimana:

CaO2 = 1.34 x Hb (g/dl) x % Saturasi O2 + (0.003 x PaO2)

Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar


haemoglobin normal. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan
dengan cairan bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer
Laktat, Dextran, Hydroxyethyl Starch, gelatine). Selama keadaan
normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar
oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko
hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi
progresif dari CaO2 akan menurunkan delivery oksigen pada jaringan
(DO2). 4
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati
DO2 crit), jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi
tidak sesuai dengan permintaan oksugen dari jaringan, sebagai
konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan VO2 harus
diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia
jaringan. Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan
kematian dalam waktu kurang dari 3 jam. 4
Factor yang mempengaruhi delivery oksigen antara lain: 4
1. Volume Darah
Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah
normovolemia. Selama hipovolemia permintaan oksigen seluruh
tubuh meningkat karena release katekolamin dan hormons stress lain
dibandingakan dengan bila normovolemic.
2. Kedalaman Anestesi
Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac
output selama hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.
3. Pelemas Otot (muscle relaxant)
Otot rangka mempunyai masa tubuh ⅓ dari total, sehingga
relaksasi muscular dapat secara efektif menurunkan permintaan
oksigen dan meningkatkan toleransi anemia.
4. Temperature Tubuh
Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan
toleransi anemia karena penurunan permintaan oksigen tubuh.
5. Performa Miokard
Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung
kongestif, konsumsi obat-obatan cardiodepresan, akan
menyebabkan penurunan toleransi anemia.
Identifikasi DO2 crit dapat dilakukan dengan: 4
1. Pulmonary Artery catheter
2. Metabolic monitoring
3. ECG (perubahan segmen ST) dan Trans Esophageal Echocardiography (TEE)
(perubahan pergerakan dinding regional)

Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi


perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada
pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien dengan
Hb < 6 g/dl. Pada pasien dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif
harus dijaga antara 8 – 10 g/dl. 4
Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan: 4
1. Konsentrasi Hb aktual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan

Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat
meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada
perdarahan akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa jam
untuk meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan dengan
kristalloid / koloid sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat
menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat (kurang dari 15 menit). 3
Guideline transfusi darah CBO, 20055:
1. Mempertimbangkan transfusi darah kerika Hb < 6.4 g/dl :
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik
2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease

Kesimpulan
1. Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan anemia
adalah :
a. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang
menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi.
b. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat
memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre
atau post operasi.
c. Keadaan klinis pasien.
d. Kadar Hb pasien.
e. Adanya perdarahan
2. Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia :
1. Monitoring kardiovaskular
Pada pasien ini dilakukan monitoring nadi dan tekanan darah secara non
invasive, yaitu hanya melalui monitor elektronik.
2. Monitoring respirasi
Respirasi pada pasien dapat diamati dengan memperhatikan gerakan dada
– perut saat bernafas spontan. Saturasi O2 dapat diketahui dari monitor.
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot
sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal
setelah selesai anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan
anak kecil
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada
bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau
distensi vesica urinaria.

2.5 Sectio Caesarea


2.5.1 Pengertian
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu
persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada
dinding perut dan dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan
utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sementara menurut (Bobak et al,
2004) Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans
abdominal. Menurut (Mochtar, 1998) Sectio Caesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui
dinding depan perut atau vagina atau Sectio Caesarea adalah suatu
histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Sectio
Caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus

2.5.2 Indikasi
Menurut Kasdu (2003) Indikasi pemberian tindakan Sectio
Caesarea antara lain:
1. Faktor janin
a. Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant
baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya
pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu
menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan
terlalu lama di jalan lahir dapat membahayakan keselamatan
janinnya.
b.Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan
letak lintang. Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan
kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah.
Sedangkan letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu
membentuk sudut tegak lurus dengan sumbu memanjang janin. Oleh
karena seringkali bahu terletak diatas PAP (Pintu Atas Panggul),
malposisi ini disebut juga prensentasi bahu.
c. Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan,
memungkinkan untuk segera dilakukannya operasi. Apabila
ditambah dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Janin
pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui
ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat
ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada
tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai
oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula.
Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini
dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak
jarang meninggal dalam rahim. Apabila proses persalinan sulit
dilakukan melalui vagina maka bedah casarea merupakan jalan
keluar satu-satunya.

d.Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik,
dan hidrosepalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat
menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi.

e. Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan
keadaan gawat darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan
persalinan dengan operasi yaitu Plasenta previa (plasenta menutupi
jalan lahir), Solutio Plasenta (plasenta lepas), Plasenta accrete
(plasenta menempel kuat pada dinding uterus), Vasa
previa (kelainan perkembangan plasenta).

f. Kelainan tali pusat


Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi
yaitu prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali
pusat. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan
penyembuhan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau
di samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di
jalan lahir sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera
dilakukan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi,
misalnya sesak nafas karena kekurangan oksigen (O2). Terlilit tali
pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke
janin tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir,
sehingga mengganggu persalinan maka kemungkinan dokter akan
mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui
tindakan Sectio Caesaerea.

g.Bayi kembar (multiple pregnancy)


Tidak selamanya bayi kembar dilakukan
secara Caesarea. Kelahiran kembar memiliki resiko terjadi
komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Bayi
kembar dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga
sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami. Hal ini diakibatkan,
janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan membuat janin
mengalami kelainan letak. Oleh karena itu, pada kelahiran kembar
dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena kemungkinan sewaktu-
waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpadirencanakan.
Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara
alami. Faktor ibu menyebabkan ibu dilakukannya tindaka operasi,
misalnya panggul sempit atau abnormal, disfungsi kontraksi rahim,
riwayat kematian pre-natal, pernah mengalami trauma persalinan
dan tindakan sterilisasi. Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan
janin harus dilahirkan dengan operasi.

2. Faktor Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35
tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi
perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya
seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre-
eklamsia (kejang). Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat
menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali menyebabkan dokter
memutuskan persalinan dengan operasi caesarea.
b.Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan
dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.
c. Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
d.Faktor hambatan panggul
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit.
bemafas. Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma
atau tumor. Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau
macet, yang biasa disebut distosia.
e. Kelainan kontraksi Rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate
uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak
dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi
tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
Apabila keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan
melakukan operasi Caesarea.
f. Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat
menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan
membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit
atau habis.
g.Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami
akan mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa
sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi
tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan
melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya.
Sehingga untuk menghilangkan perasaan tersebut seorang
perempuan akan berfikir melahirkan melalui Caesarea

2.5.3 Jenis Sectio Caesarea


Ada beberapa jenis Sectio Caesarea (SC). Menurut Mochtar
(1998), antara lain:
1. Sectio Caesarea Abdominalis
a. Sectio Caesarea transperitonealis

 Sectio Caesarea klasik atau kopral dengan insisi


memanjang pada korpus uteri
 Sectio Caesarea ismika atau profunda dengan insisi
pada segmen bawah rahim

b. Sectio Caesarea Ekstraperitonealis


Yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian
tidak membuka kavum abdominal.
2. Sectio Caesarea Klasik (Kopral)

Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri


kira-kira sepanjang 10 cm.

Kelebihan:

a. Mengeluarkan janin lebih cepat


b. Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan:

a. Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak


ada reperinonealisasi yang baik
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan

3. Sectio Caesarea Ismika (profunda)


Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen
bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm

Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonealisasi
c. Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri
spontan kurang/lebih kecil

Kekurangan:
a. Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut:
a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
c. Sayatan huruf T (T – incision)

2.5.4 Komplikasi Sectio Caesarea


Setiap tindakan operasi SC memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.
Misalnya pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala
janin pada akhir jalan lahir, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah
atau cedera pada kandung kemih (robek). Dapat juga pada kasus operasi
sebelumnya di mana dapat ditemukan perlengketan organ dalam panggul
sering menyulitkan saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan
cedera pada kandung kemih dan usus.

Walaupun jarang namun fatal akibatnya adalah komplikasi emboli


air ketuban yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya
cairan ketuban ke dalam pembuluh darah terbuka yang disebut embolus.
Jika embolus mencapai pembuluh darah jantung maka akan timbul
gangguan pada jantung dan paru, di mana dapat terjadi henti jantung dan
henti nafas tiba-tiba, dan akibatnya adalah kematian mendadak dari ibu.

Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi SC adalah


infeksi, yang disebut morbiditas pasca operasi. Kurang lebih 90% dari
mobiditas pasca operasi disebabkan oleh infeksi (endometritis, infeksi
salurah kemih, usus dan luka operasi).

Tanda-tanda infeksi antara lain :

1. Demam tinggi
2. Nyeri perut
3. Nyeri bila buang air kecil
4. Kadang-kadang disertai lokia berbau
5. Luka operasi bernanah
6. Luka operasi terbuka dan sepsis.
Bila mencapai keadaan sepsis, resiko kematian ibu akan tinggi sekali.

Keadaan yang memudahkan terjadinya komplikasi :

1. Persalinan dengan ketuban pecah lama.


2. Ibu menderita anemia
3. Sangat gemuk
4. Hipertensi
5. Gizi buruk
6. Sudah menderita infeksi saat persalinan
7. Penyakit lain yang diderita ibu, misalnya Diabetes Mellitus

Komplikasi pada ibu:

a. Emboli air ketuban


b. Infeksi nifas
c. Perdarahan
d. Ruptur uteri
e. Cedera kandung kemih, cedera pembuluh darah, cedera usus
Komplikasi pada janin:

a. Depresi susuan saraf pusat janin akibat penggunaan obat-obat anastesi


b. Cedera pada bayi sampai kematian bayi.
Faktor-faktor yang menyebabkan bekas operasi SC transperitoneal profunda
lebih baik dibanding bekas operasi SC secara korporal.2
Bekas SC Transperitoneal Bekas SC
Profunda klasik/histerektomi

Aposisi Garis pemotong yang tipis Sulit untuk aposisi garis yang
membantu aposisi yang tebal. Terbentuk poket yang
baik tanpa meniggalkan mengandung darah, yang
poket akhirnya akan diganti dengan
jaringan fibrosa. Pembentukan
saluran pada bagian dalam
lebih sering terjadi karena
desisua sering tertinggal pada
waktu menjahit.
Keadaan uterus Bagian uterus tidak banyak Bagian uterus berkontraksi
sewaktu bergerak selama proses dan berretraksi sehingga
penyembuhan penyembuhan jahitan terganggu,
menyebabkan luka sembuh
kurang baik
Efek Bekas luka operasi pada Pereganggan terjadi bersudut
perenggangan kehamilan berikutnya dan tegak terhadap bekas operasi
persalinan normal
merenggang mengikuti
garis bekas operasi
Impalantasi Kemungkinan Kemungkinan besar plasenta
plasenta pada melemahnya bekas operasi melekat pada bekas operasi
kehamilan oleh pelekatan plasenta dan melemahnya dengan
berikutnya tidak ada adanya penetrasi trofoblas
atau herniasi kantong amnion
melalui saluran yang terbentuk
Efek keseluruhan a. Bekas operasi baik a. Bekas operasi lemah
b. Ruptur hanya terjadi b. Ruptur dapat terjadi pada
pada waktu partus waktu kehamilan tua dan
persalinan (5-20x lebih
sering)
Lama perawatan 5-7 hari, masa pemulihan selama 6 minggu
2.5.5 Pengelolaan Kehamilan Dan Persalinan Pervaginam Pada Bekas
Sectio Caesarea
Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada
persalinan berikutnya.
Suatu persalinan ditetapkan sebagai persalinan pervaginam pasca
seksio sesarea apabila cara persalinan dinyatakan sebagai persalinan
pervaginam pasca seksio sesarea atau sebagai persalinan pervaginam
seksio sesarea dengan bantuan alat (misalnya persalinan yang dibantu
dengan forsep atau vakum).10
Dalam “ACOG VBAC Guidelines”, dinyatakan bahwa apabila tidak
terdapat kontraindikasi pada wanita dengan riwayat persalinan seksio
sesarea dengan insisi segmen bawah rahim, maka wanita tersebut adalah
kandidat untuk persalinan pervaginam pasca seksio sesarea dan harus
diberi penyuluhan dan dianjurkan untuk menjalani persalinan
percobaan. 10
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90%
kasus. Tipe insisi ini banyak dipilih karena tidak membahayakan
segemen bagian atas uterus dan memberikan kemungkinan pilihan
persalinan percobaan pada kehamilan berikutnya. Apabila insisi
diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat terjadi pada salah satu atau
kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi transversal pada segmen
bawah rahim: (1) menyebabkan lebih sedikit perdarahan, (2) lebih
mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada tempat dengan kemungkinan
ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4) tidak
menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi.
Daerah segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan
pada saat persalinan mengalami peregangan secara perlahan-lahan,
sehingga memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya
ruptur. 10
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk
dengan baik atau apabila janin dalam posisi backdawn transverse. Insisi
vertikal merupakan pilihan yang bijaksana kecuali bila segmen bawah
rahim telah terbentuk dengan baik. Insisi klasik adalah insisi yang
melibatkan segmen uterus bagian atas. Kekurangannya adalah bahwa
insisi klasik memiliki kecenderungan terjadinya perlengketan yang
lebih besar dan memiliki resiko ruptur yang lebih besar pada kehamilan
selanjutnya. Dalam kehamilan berikutnya, ruptur lebih sering terjadi
pada insisi vertikal yang melebar ke miometrium bagian atas daripada
segmen bawah rahim, khususnya pada saat persalinan. Insisi vertikal
atau insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih tebal dan terletak
pad asegmen atas uterus yang lebih kontraktil.
Vermont /New Hampshire VBAC Guidelines membagi pasien-
pasien kandidat TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko: 10
1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan:
a. satu kali persalinan SCTPP
b. saat mulainya persalinan berlangsung spontan
c. tidak memerlukan augmentasi persalinan
d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang
e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea
2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan:
a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin
b. augmentasi persalinan dengan oksitosin
c. ≥ 2 kali persalinan SCTPP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu
persalinan saat ini < 18 bulan.
3 Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan :
a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang tidak
responsif terhadap intervensi pengobatan
b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya solusio
plasenta
c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his
adekuat.

Bila penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita


harus melakukan SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap,
wanita tersebut boleh melahirkan pervaginam dengan ketentuan sebagai
berikut: 9,2
1.Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk
memperbaiki his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus
diawasi ketat, bila terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal
ini menunjukkan tanda awal ruptur uteri, sehingga harus segera
dioperasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan
prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC memperbesar terjadinya
ruptur uteri.

2.Kala II harus dipersingkat


Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15
menit ini bagian janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan
mengedan lagi selama 15 menit lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak
turun dengan cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila
syarat-syarat terpenuhi.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,


disimpulkan bahwa induksi persalinan pada wanita yang pernah seksio
mengandung resiko ruptur uteri 2-3x lebih besar dibandingkan dengan
persalinan yang timbul secara spontan pada wanita dengan riwayat
seksio. ACOG (2002) menyebutkan bahwa oksitosin dapat digunakan
untuk induksi atau augmentasi dengan monitoring ketat pada wanita
yang mempunyai riwayat seksio sebelumnya yang akan menjalani
persalinan pervaginam (VBAC).
Induksi persalinan dengan prostaglandin E2 atau misoprostol
(analog prostaglandin) paling banyak mengakibatkan ruptur uteri pada
wanita dengan riwayat seksio sesaria. Jika dibandingkan dengan
oksitosin, resiko ruptur uteri 3 kali lebih besar.
Dari wanita yang menjalani P4S (VBAC), angka ruptura uteri sangat
bervariasi tergantung faktor risiko yang ada. Untuk menghindari terjadinya
komplikasi ini, kita harus mengenali faktor risiko pada pasien.
Adapun faktor risiko itu adalah:
1. Riwayat Persalinan , meliputi :
Jenis parut
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik
12%. Kepustakaan lain menyatakan bahwa resiko terjadinya ruptura
uterus pada bekas SC dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%,
low vertikal 1-7% dan transversal 0,2-1,5%.
Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini
masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai
penelitian. Akan tetapi dikatakan bahwa resiko ruptur lebih besar pada
wanita dengan riwayat seksio. Resiko ruptur pada wanita 2 kali seksio 5
kali lebih besar dari wanita dengan riwayat seksio 1 kali.
Interval persalinan
Jarak antara waktu persalinan seksio sesarea yang lalu dengan taksiran
partus kehamilan sekarang sekurang-kurangnya 18 bulan untuk
memastikan kekuatan uterus pada kehamilan sekarang.
Infeksi setelah SC
Infeksi setelah SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang
jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk
dilakukannya P4S.

2. Faktor Ibu, meliputi


Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyakan bahwa usia diatas 30 tahun
mungkin berhubungan dengan kejadian ruptura yang lebih tinggi, dengan
membandingkan insidens ruptura uteri pada wanita <30 tahun 0,5%
dengan wanita >30 tahun 1,4%. Wanita >30 tahun berisiko 3,2 kali
mengalami ruptura uteri dibandingkan dengan <30 tahun ( OR ; 3,2
angka kepercayaan 95 %).1,5 Wanita >40 tahun memiliki kemungkinan 3
kali lebih besar untuk gagal melakukan VBAC dibanding dengan wanita
<40 tahun.3
Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali
uterus.

3. Karakteristik kehamilan saat ini


Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan
janin karena terjadinya distensi uterus.
Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)
Risiko terjadinya ruptura 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 10% bila
2,6-3,5 mm dan 16% pada ketebalan <2,5mm.11

Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan


insisi uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan
pervaginam. Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu: 2,8
1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah
2. Panggul adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor
persalinan dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30
menit )
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.

Beberapa persyaratan lainnya antara lain : 2,8


1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa )
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.

Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG : 2,8


1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya
(termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ).
2. Panggul sempit atau makrosomia
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak
adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas.

Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian dengan


memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan pervaginam
sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya. Weinstein dkk dan
Alamia dkk telah menyusun sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan
P4S. Namun, menurut ACOG, tidak ada suatu cara yang memuaskan untuk
memperkirakan apakah P4S akan berhasil atau tidak.
Sistem skoring menurut Alamia

No. Variabel Nilai

1 Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya 2

2 Indikasi SCsebelumnya

-sungsang, gawat janin, PP, elektif 2

-distosia pada Ø < 5 cm 1

-distosia pada Ø > 5 cm 0

3 Dilatasi serviks

- > 4cm 2

- >2,5 cm tapi < 4 cm 1

- < 2,5 cm 0

4 Stasion dibawah -2 2

5 Panjang serviks ≤ 1 cm 1

6 Persalinan timbul spontan 1

*Nilai berkisar antara 0 sampai 10

Jika nilai:

- 7-10, prediksi keberhasilan 94,5%


- 4-6, prediksi keberhasilan 78,8%
- 0-3, prediksi keberhasilan 60%
Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S modifikasi Flamm-
Geiger adalah sebagai berikut : 8
No Faktor Nilai
1 Umur
Dibawah 40 tahun 2
Diatas 40 tahun 1
2 Riwayat persalinan pervaginam :
Sebelum dan setelah seksio sesarea 4
Setelah seksio sesarea 2
Sebelum seksio sesarea 1
Belum pernah 0
3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan 1
kemajuan persalinan
4 Nilai Bishop pada saat masuk rumah sakit
≥4 2
<3 1
5 Taksiran Berat Janin
Sekarang < dulu 2
Sekarang = dulu 1
Sekarang > dulu 0

Nilai 8-10: keberhasilan P4S 95 %


Nilal 4-7: keberhasilan P4S 78,8 %
Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%
Sistem skoring menurut Weinstein

Nilai*

No. Variabel Tidak Ya

1 Nilai bishop ≥ 4 0 4

2 Persalinan pervaginam sebelum 0 2


SC

3 Indikasi SC sebelumnya

KATEGORI A 0 6

Malpresentasi

Hipertensi dalam kehamilan


(HDK)

Gemeli

KATEGORI B 0 5

Plasenta previa atau solusio


plasenta

Prematuritas

Ketuban pecah dini

KATEGORI C 0 4

Fetal distress

CPD atau distosia

Prolaps tali pusat

KATEGORI D 0 3

Makrosomia
Pertumbuhan janin terhambat
(PJT)

*Nilai berkisar antara 0-12

Jumlah nilai tertinggi adalah 12, jika jumlah nilai adalah :

- ≥4, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 58%

- ≥6, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 67%

- ≥8, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 78%

- ≥10, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 85%

- ≥ 12, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 88%

2.6 Kontraktur
2.6.1 Definisi
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh
sehingga terjadi keterbatasan rentang gerak (range of motion).
Kontraktur adalah kontraksi yang menetap dari kulit dan atau
jaringan dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan
keterbatasan gerak. Kelainan ini disebabkan karena tarikan parut
abnormal pasca penyembuhan luka, kelainan bawaan maupun
proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah akibat
luka bakar (Perdanakusuma, 2009).
2.6.2 Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1) I : gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan
ruang lingkup gerak maupun fungsi.

2) II : sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit


penurunan fungsi namun tanpa mengganggu aktivitas sehari-
hari secara signifikan, tanpa penyimpangan arsitektur normal
daerah yang terkena.

3) III : terdapat penurunan fungsi, dengan perubahan awal arsitektur


normal pada daerah yang terkena.
4) IV : kehilangan fungsi dari daerah yang terkena.

2.6.3 Etiologi
Kontraktur diakibatkan karena kombinasi berbagai faktor meliputi:
posisi anggota tubuh, durasi imobilisasi, otot, jaringan lunak, dan
patologis tulang. Individu dengan luka bakar sering diimobilisasi, baik
secara global maupun fokal karena nyerinya, pembidaian, dan
posisinya. Luka bakar dapat meliputi jaringan lunak, otot, dan tulang.
Semua faktor ini berkontribusi terhadap kejadian kontraktur pada luka
bakar (Schneider et al, 2006). Berbagai hal yang dapat menyebabkan
kontraktur adalah sebagai berikut (Adu, 2011):
1. Trauma suhu
2. Trauma zat kimia
3. Trauma elektrik
4. Post-trauma (Volkmann’s)
5. Infeksi ulkus buruli
6. Idiopatik (Dupuytren’s)
7. Kongenital (camptodactyly)

2.6.4 Diagnosis kontraktur


Penegakan diagnosis kontraktur akibat luka bakar dapat
menggunakan bagan sebagai berikut:

Bedakan antara kontraktur


jaringan lunak dan ankilosis
persendian

Bedakan antara kontraktur jaringan ikat Evaluasi secara fungsional dan


dan kontraktur miogenik atau neurogenik estetika dari sendi atau jaringan
pada sebelum dan sesudah
terapi
Diagnosis banding kontraktur dari
struktur anatomi:
a. Kontraktur kutan, subkutan, atau fasial Nilai dan klasifikasi parut
b. Kontraktur tendon kontraktur untuk memutuskan
c. Kontraktur ligament metode terapi
d. Kontraktur otot

Gambar 2.1 Bagan Diagnosis Banding Kontraktur Akibat Luka Bakar


(Ogawa & Pribaz, 2010)
2.6.5 Patofisiologi
Patofisiologi yang jelas terbentuknya parut hipertrofi belum
diketahui namun banyak faktor yang berkontribusi terhadap proses
fibroproliferatif kulit tersebut. Paradigm yang sering digunakan
adalah “benih dan tanah”. Komponen selular seperti fibroblast,
keratinosit, sel induk, dan sel inflamasi merupakan benih sedangkan
komponen nonseluler seperti matriks ekstraseluler, kekuatan
mekanik, tekanan oksigen, dan cytokine milieu adalah tanah. (Wong
& Gurtner, 2010).
Mekanisme dasar pembentukan kontraktur didapat dari berbagai
macam etiologi yaitu congenital, didapat, atau idiopatik. Proses ini
disebabkan oleh aktifnya miofibroblas (sebuah sel dengan fibroblas
dan dengan karakteristik seperti otot polos yang terdistribusinya
granulasi di seluruh jaringan yang ada pada luka). Kontraksi dari
miofibroblas menyebabkan luka menyusut. Hal ini juga diikuti
dengan deposisi kolagen dan saling berhubungan untuk
mempertahankan kontraksi. Pada embryogenesis, kegagalan
diferensiasi jari-jari menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang
menyebakan fleksi proksimal sendi interfalang yang mengakibatkan
camptodactyly (Adu, 2011).
Kontraksi adalah proses aktif biologis untuk menurunkan dimensi
area anatomi dan jaringan yang dapat menyebabkan perlambatan
kesembuhan dari luka terbuka. Kontraktu adalah produk akhir dari
proses kontraksi. Kontraktur mengganggu secara fungsional dan
estetik (Pandya, 2001)

2.6.6 Prevalensi Kontraktur


Kontraktur dapat dicegah dari penyebab awal mulanya.
Kontraktur banyak disebabkan akibat luka bakar. Pencegahan luka
bakar dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer bertujuan untuk menurunkan insidensi luka
bakar melalui cara memasak yang aman, pemadam kebakaran, dan
edukasi tentang zat yang menyebabkan trauma panas di sekolah atau
komunitas. Pencegahan sekunder bertujuan untuk menurunkan
beratnya luka bakar melalui edukasi terhadap pertolongan pertama.
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi mortalitas dan
morbiditas terhadap luka bakar (Schwarz, 2007).
Terdapat dua kunci penting dalam pencegahan kontraktur. Hal
pertama adalah area yang terbakar dibidai pada posisi anatomis dan
berlatih maksimal lingkup gerak sendi tiap persendian.
Perkembangan bidai selama lima belas tahun terakhir berkontribusi
terhadap penurunan kejadian kontraktur dan hal ini semakin
dikembangkan (Schwarz, 2007). Secara umum terdapat berbagai
cara pencegahan kontraktur, yaitu (Procter, 2010):
1. Posisi yang mencegah kontraktur
Posisi yang melindungi dari kontraktur harus dimulai dari
hari pertama sampai beberapa bulan setelah trauma. Posisi ini
diaplikasikan terhadap semua pasien baik yang mendapat terapi
cangkok kulit maupun yang tidak. Posisi ini penting karena dapat
mempengaruhi panjang jaringan dengan menurunkan ruang
lingkup gerak sebagai akibat dari parut jaringan. Pasien
diistirahatkan dengan posisi yang nyaman, posisi ini biasanya
adalah posisi fleksi dan juga merupakan posisi kontraktur. Tanpa
dorongan dan bantuan dari orang lain, pasien akan meneruskan
posisi yang menyebabkan kontraktur. Sekali kontraktur mulai
terbentuk dapat terjadi kesulitan untuk bergerak sempurna seperti
sediakala. Penyesuaian awal memiliki esesnsi untuk memastikan
kemungkinan terbaik hasil terapi, selain itu pula untuk
meringankan nyeri.
Pasien harus selalu melakukan kebiasaan posisi pada
stadium awal penyembuhan. Pasien perlu dorongan untuk
mempertahankan posisi yang mencegah kontraktur (kecuali
ketika program latihan dan aktivitas fungsional lain), dukungan
keluarga sangat penting.
Ketika luka bakar terjadi pada bagian fleksor tubuh, risiko
kontraktur akan semakin meningkat. Posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur berdasarkan luka bakar adalah sebagai
berikut:
a. Leher depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi
leher, dagu ditarik ke arah dada, kontur leher menghilang
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi leher, tidak ada bantal di belakang kepala, putar balik
leher. Kepala dimiringkan bila posisi duduk.

Gambar 2.2. Kontraktur pada Leher Depan

Gambar 2.3. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


b. Leher belakang
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah ekstensi
leher dan pererakan leher yang lain sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah duduk dengan posisi
leher fleksi, berbaring dengan menggunakan bantal di
belakang kepala.

Gambar 2.4. Kontraktur pada Leher Belakang

Gambar 2.5. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

c. Aksila anterior, aksila posterior, maupun lipatan aksila


Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah terbatasnya
abduksi dan juga protraksi ketika luka bakar juga ada di dada
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah
berbaring dan duduk lengan abduksi 900 ditopang dengan
menggunakan bantal atau alat lain diantara dada dan lengan.

Gambar 2.6. Kontraktur pada Aksila

Gambar 2.7. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah
ekstensi siku.
Gambar 2.8. Kontraktur pada Siku

Gambar 2.9. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

e. Punggung tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah
hiperekstensi metacarpalphalangeal (MCP), fleksi
interphalangeal (IP), adduksi ibu jari, dan fleksi pergelangan
tangan sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah pada pergelangan tangan diekstensi 30-40 derajat,
fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi sendi IP, dan abduksi ibu
jari.
Gambar 2.10. Kontraktur pada Punggung Tangan

Gambar 2.11. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada


Punggung Tangan

f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan
fleksi jari-jari tangan, telapak tangan ditarik ke dalam
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi pergelangan tangan, fleksi minimal MCP, ekstensi
dan abduksi jari-jari tangan.
Gambar 2.12. Kontraktur pada Telapak Tangan

Gambar 2.13. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada


Telapak Tangan

g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan
adduksi pangkal paha sedangkan posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah berbaring tengkurap dengan
ekstensi tungkai, batasi duduk dan berbaring posisi
menyamping. Jika dengan posisi supine, berbaring dengan
posisi ekstensi tungkai, tanpa bantal di bawah lutut.
Gambar 2.14. Posisi yang Menyebabkan Kontraktur

Gambar 2.15. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

h. Belakang lutut
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi lutut
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi tungkai pada saat berbaring dan duduk.

Gambar 2.16. Kontraktur pada Belakang Lutut


Gambar 2.17. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

i. Kaki
Kaki adalah struktur komplek yang dapat ditarik dengan arah
yang berbeda-beda oleh jaringan yang telah menyembuh. Hal
ini dapat mengakibatkan mobilitas yang tidak normal. Posisi
yang mencegah terjadinya kontraktur adalah pergelangan kaki
diposisikan 90 derajat terhadap telapak kaki dengan
menggunakan bantal untuk mempertahankan posisi. Jika
pasien dalam keadaan duduk maka posisi kakinya datar di
lantai (tanpa edem).

Gambar 2.18. Kontraktur pada Kaki


Gambar 2.19. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

j. Wajah
Kontraktur pada wajah dapat meliputi berbagai hal termasuk
ketiakmampuan untuk membuka maupun menutup mulut
dengan sempurna, ketidakmampuan menutup mata dengan
sempurna, dan lain sebagainya.posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah secara teratur merubah ekspresi
wajah dan peregangan seperlunya. Tabung empuk dapat
dimasukkan ke dalam mulut untuk melawan kontraktur mulut.

Gambar 2.20. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


2. Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah
kontraktur dan merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai
program rehabilitasi komprehensif. Pembidaian membantu
mempertahankan posisi yang mencegah kontraktur terutama
terhadap pasien yang mengalami nyeri hebat, kesulitan
penyesuaian atau dengan area luka bakar yang dengan
menggunakan posisi pencegahan kontraktur saja tidak cukup.
Pembidaian dilakukan dengan posisi yang diregangkan
sehingga memberikan suatu latihan peregangan awal yang lebih
mudah. Parut tidak hanya berkontraksi namun juga mengambil
rute terdekat, parut sering menimbulkan selaput atau anyaman
diantara jari-jari, leher, lutut, aksilda, dan lain-lain. Bidai
membantu merenovasi jaringan parutkarena membentuk dan
mempertahankan kontur anatomis. Bidai adalah satu-satunya
modalitas terapeutik yang tersedia dan berlaku yang dapat
mengatur tekanan pada jaringan lunak sehingga dapat
menimbulkan remodeling jaringan.
Bidai dapat dibuat dari berbagai macam bahan. Bahan yang
ideal adalah yang memiliki temperature rendah dan ringan,
mudah dibentuk, dan disesuaikan kembali kemudian juga sesuai
dengan kontur.

Gambar 2.21. Contoh Pembidaian


3. Pereganggan dan mobilisasi awal
Sendi yang terkena luka bakar harus digerakkan dan
diregangkan beberapa kali setiap harinya. Pasien membutuhkan
pendamping baik dari tim medis maupun keluarganya untuk
mencapai pergerakan yang penuh terutama untuk anak-anak yang
memerluka perhatian yang lebih dari orang tua. Pasien perlu
mengembangkan kebiasaan tersebut dari hari ke hari.

4. Melakukan aktifitas sehari hari


Pasien luka bakar sering merasa kehilangan rasa dan
kemampuan untuk beraktivitas secara normal. Aktivitas sehari-
hari seperti makan, mandi sangat penting untuk melatih pasien
dapat hidup mandiri.

5. Pijat dan pemberian moisturizer


Pijatan pada parut sangat dianjurkan sebagai bagian dari
penatalaksanaan luka parut meskipun mekanisme efeknya belum
begitu diketahui. Hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemberian moisturiser luka sering kehilangan kelembaban
tergantung dari dalamnya luka dan sejauh kerusakan struktur
kulit. Luka tersebut dapat menjadi sangat kering dan
menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat menimbulkan
retak dan pecahnya parut. Pemijatan dengan moisturizer atau
minyak tanpa parfum pada bagian teratas parut dapat
melembutkan sehingga pasien merasa lebih nyaman dan
untuk mengurangi gatal.
b. Jika parut menjadi tebal dan meninggi dapat menggunakan
pijatan kuat dan dalam menggunakan ibujari atau ujung jari
untuk mengurangi kelebihan cairan pada tempat tersebut.
c. Parut akibat luka bakar mengandung kolagen empat kali
dibandingkan dengan luka parut biasa. Pijatan yang dalam
dengan pola sedikit memutar dapat meningkatkan
kesegarisan luka parut.
d. Penurunan sensoris dan perubahan sensasi dapat terjadi.
Pijatan rutin dan sentuhan pada parut dapat membantu
desensitisasi dari luka yang sebelumnya hipersensitif.
e. Faktor psikologis dari seseorang yang memiliki kesulitan
dan merasa tidak enak dipandang dapat dikurangi dengan
menyentuh parut dan belajar bagaimana menerima
keadaannya.

6. Terapi tekan
Terapi tekanan adalah modalitas primer dalam
penatalaksanaan parut akibat luka bakar meskipun efektivitas
klinis secara sains masih belum terbukti. Pemberian tekanan pada
area luka bakar diduga dapat mengurangi parut dengan
mempercepat maturasi parut dan mendorong reorientasi
terbentuknya serta kolagen. Pola parallel yang bertentangan
dengan pola luka yang berputar pada parut. Mekanisme yang
diduga adalah, pemberian tekana dapat menciptakan hipoksia
lokal pada jaringan parut sehingga mereduksi aliran darah yang
sebelumnya hipervaskuler pada luka parut. Hal ini
mengakibatkan menurunnya influks kolagen dan penurunan
pembentukan jaringan parut. Sesegera setelah luka menjadi
tertutup dan dapat menerima tekanan, pasien menggunakan
pakaian tekanan.

7. Silicon
Silicon digunakan untuk mengobati parut hipetrofik.
Mekanisme dalam mencegah dan penatalaksanan parut
hipertrofik masih belum jelas namun kemungkinan silicon
mempengaruhi fase penyembuhan remodeling kolagen.Ketika
luka bakar telah sembuh, pasien dan keluarganya harus
membiasakan untuk latihan peregangan, pemijatan, moisturizer,
dan mandi di air yang hangat. Semua hal ini dapat membantu
mencegah kontraktur. Pasien harus didorong untuk menggunakan
tangan sebisa mungkin untuk aktivitas dan kebutuhan sehari-hari.
Jika mungkin digunakan untuk kembali ke pekerjaan mereka
(Pandya, 2001).
Obat-obatan antifibrogenik untuk mengatasi parut hipertrofi
yang dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut:
1. Antagonis TGF-β
2. Interferon α, β, γ
3. Bleomycin
4. 5-fluorouracil
5. kortikosteroid

Interaksi yang rumit antara berbagai faktor berpengaruh


terhadap penyembuhan dan menentukan hasil fibrotic atau
regeneratif pada luka. Terapi tunggal dalam melawan parut bekas
luka banyak yang tidak berhasil karena rumitnya interaksi antara
sel luka dengan lingkungannya (Wong & Gurtner, 2010).

2.6.7 Penatalaksanaan Kontraktur


Seperti yang telah dijelaskan pada klasifikasi kontraktur,
terutama kontraktur derajat III dan IV memerlukan tindakan operasi
sedangkan untuk derajat I dan II tidak memerlukan tindakan operasi.
(Adu, 2011). Untuk menentukan terapi dari parut kontraktur maka
klasifikasi tempat terjadinya kontraktur harus dinilai. Bentuk dan
kedalaman luka sebelum atau dalam operasi. Penilaian setelah
operasi juga penting untuk mengevaluasi metode penatalaksanaan
(Ogawa & Pribaz, 2010).
Prosedur operasi tidak boleh dilakukan selama fase aktif
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. Selama luka
tersebut immature dan banyak baskularisasinya tidak dilakukan
operasi. Biasanya dibutuhkan waktu satu tahun atau lebih. Luka
harus menjadi matur, supel, dan avaskuler sebelum dilakukan
operasi (Goel & Shrivastava, 2010).
1. Pembebasan kontraktur
Pembebasan kontraktur yang tuntas harus dilakukan dengan
mencegah kerusakan berbagai struktur penting seperti arteri,
saraf, tendon, dan lain-lain. Insisi dimulai di pada lintasan
ketegangan yang maksimal yaitu daerah yang paling kencang.
Titik ini biasanya berlawanan dengan garis persendian. Insisi
diperdalam sampai jaringan yang tidak ada parutnya.
2. Penutupan kulit
Penutupan dengan menggunakan skin grafts atau skin flap.
Umumnya area dibuangnya setelah dibuangnya jaringan
kontraktur akan ditutup dengan menggunakan skin grafts.
Penutupan menggunakan flap digunakan pada situasi yang
khusus. Lapisan grafts diusahakan dibuat luas dengan
menggunakan tautan. Teknik yang dapat digunakan adalah Full
Thickness Skin Graft (FTSG) merupakan skin graft yang
menyertakan seluruh bagian dari dermis. Karakteristik kulit
normal dapt terjada setelah proses graft selesai karena komponen
dermis dipertahankan selama proses graft. Teknik lain yang dapat
digunakan adalah Split Thickness Skin Graft (STSG).
Skin flap digunakan jika pembebasan kontraktur
kemungkinan membuka persendian terutama tangan dan kaki.
Teknik yang dapat digunakan adalah Z plasty. Z plasty adalah
tindakan operasi yang bertujuan memperpanjang garis luka
sehingga dapat mencegah kontraktur terutama pada persendian.
Tindakan ini dilakukan dengan cara transposisi flap sehingga
didapatkan garis luka yang lebih panjang. Teknik lain yang dapat
digunakan adalah V-Y plasty, V-M plasty, split skin fraft (SSG)
dan lain sebagainya.
3. Perawatan post operatif
Pemeliharaan dan posisi yang terlepas diharuskan sampai
kurang lebih 3 minggu atau sampai garis tepi flap sembuh.
Perawatan postoperatif menggunakan bidai statis atau dinamis
dan juga terapi latihan fisik diperlukan untuk menjaga ruang
lingkup gerak persendian.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. N. T
Umur : 38 tahun (16 – 11 - 1978)
Alamat : APO Kali
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 71,5 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku Bangsa : Manado
Status Maritas : Sudah Menikah
Ruangan : Ginekologi
Tanggal MRS : 18 September 2016
Tanggal Operasi : 19 September 2016
No. RM : 32 72 25

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 September
2016
a. Keluhan Utama
Pasien datang dari poliklinik dengan hamil aterm riwayat section
caessarea

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dari poliklinik RSUD DOK 2 dengan G5P3A1 hamil
38-39 minggu dengan bekas section caessarea 3x. Pasien mengaku hamil
9 bulan, hari pertama haid terakhir tanggal 20 Januari 2016 dan tafsiran
partus 27 Oktober 2016, namun berdasarkan hasil USG di tempat praktek
dr. Sp.OG tanggal 29 September 2016. Pasien kontrol kehamilan lebih
dari tiga kali di tempat praktek dr. Sp.OG dan satu kali di poliklinik RSUD
DOK 2 Jayapura. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan bayi tunggal
dalam kondisi baik. Imunisasi TT satu kali. Keluhan mules-mules, keluar
air-air dan keluar lendir darah dari jalan lahir disangkal. Gerakan janin
dirasakan aktif.
Pasien juga mengeluhkan adanya keluhan bengkak di kaki (+), tapi
tidak bengkak pada daerah tangan dan muka, nyeri ulu hati dan nyeri di
perut kanan atas disangkal, mual-muntah dan demam juga disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diabetes mellitus, asma dan penyakit jantung juga disangkal oleh
pasien. Pasien memiliki riwayat luka bakar dan terjadi kontrakur pada
kedua lengan, perut, wajah dan dada yang mengakibatkan gerak
extremitas atas terbatas, Riwayat melahirkan dengan section caesarea tiga
kali.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan asma dalam
keluarga pasien disangkal.

e. Riwayat Pengobatan dan Alergi


Selama hamil, pasien mengaku tidak minum obat-obatan atau jamu.
Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan.

f. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya


Pasien memiliki riwayat Sectio Caesarea 3x dan yang terakhir tahun 2014
dengan dibius di tulang belakang

g. Riwayat Obstetri

Kehamilan Jenis Anak


Persalinan
No. Umur Penyulit Penolong JK BB Hidup Mati
1 Aterm Let-Li Dokter SC L 3000 15th
2 7 bulan IUFD Dokter Spontan L - +
3 Aterm BSC 1x Dokter SC L 3200 7th
4 Aterm BSC Dokter SC P 4000 2 th +
2x+IUFD
5 Hamil Ini

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 71,5 Kg
Tinggi badan : 150 cm
BBIH : 70,65 Kg/m2
Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh
- Respirasi : 18 x/menit
- Suhu Badan : 36,7 0C

Kepala Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),


Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
: Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Mulut : Deformitas (+), Scar akibat luka bakar (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)
Thoraks Paru : Inspeksi : Gerak dinding dada asimetris,
retraksi dinding dada (-), jejas (-), scar (+)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
: suara wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 cm medial dari linea
midklavikular sinistra
Perkusi : Batas atas
: ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+),
Sikatriks (+) di epigastrium.
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-),
nyeri tekan hipokondrium kanan (-)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Ekstremitas : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time < 2”,
Edema (+) di ekstremitas inferior, tampak adanya scar bekas luka bakar
dan kontraktur pada kedua extremitas atas.
Kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

b. Status Obstetri
Gravida 5, Partus 3 dan Abortus 1
Abdomen: tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum
(+), sikatriks (+) di epigastrium.
Fundus uteri : 33 cm
Letak Janin : Memanjang
Presentasi : Kepala
Denyut Jantung Janin : 133 x/m
Inspekulo dan Pemeriksaan dalam tidak dilakukan.
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin, DDR Tanggal 18 September 2016

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hb 8,9 g/dl 12,0 - 16,0 g/dl
Leukosit 10,08/mm3 5.000 - 10.000/mm3
Trombosit 285.000/mm3 400.000/mm3
Hematokrit 26,9 % 4,0 - 5,0 x 106/uL
MCV 66,1 fl 36,0 - 48,0%
MCH 21,9 pg 80,0 - 100,0 fl
MCHC 33,1 g/dl 25,0 - 32,0 pg
DDR Negatif 1,1-31,0
AST 20 U/L 0,0-41,0
ALT 10 U/L 17-43
UREA 0,75 mg/dL 0,5-1,2
CREA 0,71 mg/dL

Hasil Pemeriksaan CT-BT, 18 september 2016


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
CT 11’00” Ivy: 1-6
BT 3’30” Lee & White: 5-11

3.5 KONSULTASI TERKAIT


Konsultasi Bagian Anestesi
18 September 2016
Advice : Pasien dengan PS ASA II dengan anemia
Inform consent
Pasien mulai puasa jam 24.00 WIT
Pasang IV line
Siap Whole Blood 2 – 3 kantong
3.6 PENENTUAN PS ASA / STATUS ANESTESI
PS. ASA : PS ASA 2 (Pasien dengan gangguan sistemik ringan atau sedang
karena penyakit bedah ataupun penyakit lain). Pada kasus ini pasien
mengalami Anemia

3.7 PERSIAPAN ANESTESI


Hari/Tanggal : 19 September 2016
Persiapan Operasi : Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Makan/Minum
: 9 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 71,5 Kg/150 cm
TTV di Ruang
Operasi Tekanan darah: 140/80 mmHg; nadi: 100 x/m, reguler, kuat angkat,
:
(19-09-2016, 09.00 terisi penuh; respirasi: 24x / menit; suhu badan: 36,7oC
WIT)
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra G5P3A1 gravida aterm Sectio Caessarea atas indikasi bekas caessar
:
Bedah tiga kali dan anemia
Indikasi Pra Bedah : Bekas Sectio Caesarea
Airway:
Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3 lpm,
Look :
Mallampati Score: 2.
Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.
Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
B1 :
Breathing:
Gerak dinding dada asimetris, retraksi sela iga (-),
Inspeksi : frekuensi napas: 24 kali/menit dengan adanya scar
pada dada
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda,
Perfusi
: Capillary Refill Time < 2”, TD: 140/80 mmHg,
Nadi: 100 x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Ictus cordis teraba 2 cm medial dari linea
B2 : Palpasi :
midklavikular sinistra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop (-)
Compos Mentis, GCS: E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
B3 : Kesadaran : Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang DC, produksi urin pre operasi 200 cc, warna kuning
Perut tampak cembung, striae gravidarum (+),
Inspeksi :
sikatriks (+) di epigastrium
Supel, nyeri tekan epigastrium (-),
B5 : Palpasi :
nyeri tekan hipokondrium kanan (-)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+) 2-4 kali/menit
Edema (+) di ekstremitas inferior, Fraktur (-), tampak adanya
B6 : kontraktur dan scar pada kedua extremitas superior.
kekuatan otot ekstremitas superior et inferior: 5
Medikasi Pra
: (- )
Bedah
3.7 OBSERVASI SELAMA OPERASI

180.00

160.00

140.00

120.00

100.00 Sistole

80.00 Diastole
Nadi
60.00

40.00

20.00

0.00
9,50

10,00

10,10

10,20

10,30

10,40

10,50
10,55
11,00

11,10
11.15
11,30

11,40
9,30

9,40

10.05

10.15

10.25

10.35

10.45

11.05

11.35

11.45
9.15

9.35

9.45

9.55

3.8 LAPORAN DURANTE OPERASI


a. Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr. D. S., Sp.An KIC
Ahli Bedah : dr. J., Sp.OG
Jenis Pembedahan : Sectio Caesarea
Jenis Anestesi : Anestesi Regional - Anestesi Blok Subarachnoid
Anestesi dengan : Bupivakain HCL 0,5% 10 mg
Pasien duduk tegak di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan desinfeksi di daerah lumbal dengan betadine lalu
alkohol, identifikasi vertebra lumbal 3-4, kemudian jarum
Teknik Anestesi : spinocain No. 27 ditusukkan diantara L3-L4, cairan
serebrospinal (+), darah (-), kemudian dilakukan blok
subarachnoid (injeksi Bupivakain HCL 0,5% 10 mg), kemudian
pasien dibaringkan.
Pernafasan : Spontan respirasi dengan O2 nasal 2-3 liter per menit
Posisi : Tidur terlentang (supine)
Pada tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G dengan
Infus :
cairan Ringer Laktat 500 cc
Setelah plasenta lahir lengkap timbul perdarahan aktif ± 2100cc
Penyulit Pembedahan :
sehingga dilakukan histerektomi supravaginal
Obat yang digunakan :
Premedikasi : (-)
Induksi dan Bupivakain HCL 0,5% (10 mg),
:
Maintenance dilakukan blok pada jam: 09.15 WIT
Pengakhiran
: (-)
Anestesi
Efedrin 30 mg (09.20 WIT & 10:30 WIT)
Ketamine 30mg (09.40 WIT , 10.10 dan 10.20)
Oxytocin 10 IU (09:45 WIT)
Medikasi Durante
: Metergin 0,2 mg (09:45 WIT)
Operasi
Ranitidin 50 mg (09:50 WIT)
Ondansentron 4 mg (09:50 WIT)
Petidine 30 mg (10:10 WIT)
Tanda-tanda vital
TD: 133/90 mmHg, Nadi :111 x/m, reguler, kuat angkat,
pada akhir :
Suhu badan: 36,70C , Frekuensi napas: 22 x/m, SpO2: 99%
pembedahan

3.9 TERAPI CAIRAN


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 71,5 Kg Input:
Operasi - Kebutuhan cairan harian: 40-50 cc / KgBB / hari RL: 1000 cc
= 40 cc x 71,5 Kg = 2860 cc / hari -
50 cc x 71,5 Kg = 3575 cc / hari Output:
- Kebutuhan cairan per jam: - Urine : ±
= 2860 cc : 24 jam = 119 cc / jam - 200 cc
3575 cc : 24 jam = 148 cc / jam
- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 9 jam:
= 9 jam x (119-148 cc/jam) = 1071-1332 cc / 9 jam
Sebelum operasi pasien diberikan resusitasi Cairan RL 1000cc
Durante 1. Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc / KgBB x BB = Input:
Operasi 65 cc/KgBB x 71,5 Kg = 4647 cc - NaCL:
Estimate Blood Loss (EBL): 10 % =464,7 cc 1000 cc
20% = 929,4 cc - Gelofusal:
30% =1394,1cc 1000 cc
40%= 1858,8 cc - Darah :
50% =2323 cc 850cc

2. Pengantian kehilangan cairan karena penguapan selama Output:


operasi : - Urin: ± 150
Operasi kecil : 4-6 ml x BB cc
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB - Perdarahan:
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB ± 2100 cc
Operasi sedang
6x 71,5 = 429cc hingga 8x 71,5 = 572cc

3. Selama 2 jam 10 menit operasi cairan yang hilang


429x2,1 jam – 572x2,1 jam
900-1200cc/ 2jam 10 menit
4. Perdarahan 2100ccc > 40% termasuk dalam perdarahan
kelas IV, dapat diganti dengan :
Kristaloid 2-4x EBL :
(2x2100cc) s/d (4x2100cc) = 4100cc s/d 8200cc
Koloid 1x EBL
(1x2100cc) = 2100cc

Real : Kristaloid 1000cc Pengantian perdarahan pada pasien:


Koloid 1000 1850 (koloid) – 2100 (perdarahan) = -
250cc
Darah 850cc
Post Maintenance RL: 2000
Operasi 71,5 kg x 40-50cc/ 24 jam = 2860cc s/d 3575cc / 24 jam cc/24 jam
Kebutuhan cairan per jam 119cc s/d 148cc/ jam

3.10 INSTRUKSI POST OPERATIF


a. Cek Hb post operasi
b. Mobilisasi bertahap, pasien boleh miring kanan dan kiri tapi belum
diperbolehkan duduk ataupun berjalan selama 24 jam post operasi
c. Bila keadaan umum stabil, 6 jam post operasi: mual (-), muntah (-), BU
(+) → boleh minum sedikit-sedikit kemudian diet cair;
d. Ganti perban pada hari kedua post operasi
e. Monitoring:
- Tanda-tanda vital: pernapasan, perfusi, nadi, tekanan darah, suhu,
kontraksi tiap 30 menit selama 2 jam
- Tanda-tanda distress napas
- Perdarahan

f. Terapi Post Operasi:


- IVFD RL 500 cc + 1 ampul Neurobion / 6 jam
- Injeksi Ceftriaxone 1 gr / 8 jam (IV)
- Injeksi Metronidazole 500 mg / 8 jam (IV)
- Injeksi ketorolac 1 ampul / 8 jam (IV)
- Injeksi ranitidin 1 ampul / 8 jam (IV)

3.11 Follow up post operatif


Tanggal Pemeriksaan Planning
20-09-2016 S : nyeri pada luka operasi - IVFD RL 500 cc + 1 ampul
O: Neurobion / 6 jam
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR - Oksitosin 10U dalam RL
20 x/mnt, suara nafas vesikuler, 12tpm
rhonki -/-, wheezing -/-. - Injeksi Ceftriaxone 1 gr / 8 jam
(IV)
B2 : perfusi hangat, kering, merah, - Injeksi Metronidazole 500 mg / 8
CRT <2’, TD 110/70mmHg, nadi 80 jam (IV)
x/mnt, kuat angkat, regular. - Injeksi ketorolac 1 ampul / 8 jam
B3 : kesadaran compos mentis, GCS (IV)
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter - Injeksi ranitidin 1 ampul / 8 jam
ODS 3 mm. (IV)
B4 : terpasang DC, produksi urin (+), - Injeksi ondancentron 3x1amp
warna kuning jernih. - Cek HB post op jika <8 tranfusi
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, - Observasi KU dan TTV
nyeri tekan (+) nyeri tekan luka - Mobilisasi
operasi (+)

A :P4A1 post Sc a/I BSC 3x +


Histerektomi supra vaginalis
21-09-2016 S : nyeri pada luka operasi, - IVFD RL 500 cc + 1 ampul
perdarahan (-) Neurobion / 6 jam
O: - Oksitosin 10U dalam RL
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 12tpm
20 x/mnt, suara nafas vesikuler, - Injeksi Ceftriaxone 1 gr / 8 jam
rhonki -/-, wheezing -/-. (IV)
B2 : perfusi hangat, kering, merah, - Injeksi Metronidazole 500 mg / 8
CRT <2’, TD 110/70mmHg, nadi 80 jam (IV)
x/mnt, kuat angkat, regular. - Injeksi ketorolac 1 ampul / 8 jam
B3 : kesadaran compos mentis, GCS (IV)
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter - Injeksi ranitidin 1 ampul / 8 jam
ODS 3 mm. (IV)
B4 : terpasang DC, produksi urin (+), - Injeksi ondancentron 3x1amp
warna kuning jernih. - Observasi KU dan TTV
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, - Mobilisasi
nyeri tekan (+) nyeri tekan luka Hasil Lab 21/10/2017
operasi (+) HB 9,3gr/dl
Leukosit 20,5 x 10^3/uL
A :P4A1 post Sc a/I BSC 3x +
Histerektomi supra vaginalis
22/09/2016 S : nyeri pada luka operasi, - IVFD RL 500 cc + 1 ampul
perdarahan (-) Neurobion / 6 jam
O: - Oksitosin 10U dalam RL
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 12tpm
20 x/mnt, suara nafas vesikuler, - Injeksi Ceftriaxone 1 gr / 8 jam
rhonki -/-, wheezing -/-. (IV)
B2 : perfusi hangat, kering, merah, - Injeksi Metronidazole 500 mg / 8
CRT <2’, TD 120/70mmHg, nadi 84 jam (IV)
x/mnt, kuat angkat, regular. - Injeksi ketorolac 1 ampul / 8 jam
B3 : kesadaran compos mentis, GCS (IV)
E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter - Injeksi ranitidin 1 ampul / 8 jam
ODS 3 mm. (IV)
B4 : terpasang DC, produksi urin (+), - Injeksi ondancentron 3x1amp
warna kuning jernih. - DC tetap terpasang
B5 : abdomen datar, BU (+), supel, - Observasi KU TTV
nyeri tekan (+) nyeri tekan luka - Mobilisasi
operasi (+)

A :P4A1 post Sc a/I BSC 3x +


Histerektomi supra vaginalis
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang wanita, berumur 38 tahun datang dengan keluhan utama hamil
aterm riwayat section caessarea.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam pasien ini didapati Pasien mengaku
hamil 9 bulan, hari pertama haid terakhir tanggal 20 Januari 2016 dan tafsiran partus
27 Oktober 2016, namun berdasarkan hasil USG di tempat praktek dr. Sp.OG
tanggal 29 September 2016. Pasien kontrol kehamilan lebih dari tiga kali di tempat
praktek dr. Sp.OG dan satu kali di poliklinik RSUD DOK 2 Jayapura. Hasil
pemeriksaan USG menunjukkan bayi tunggal dalam kondisi baik. Imunisasi TT
satu kali. Keluhan mules-mules, keluar air-air dan keluar lendir darah dari jalan
lahir disangkal. Gerakan janin dirasakan aktif. Dari riwayat obstetric pasien saat
ini hamil anak ke 5 dengan riwayat 3 kali di lakukan operasi section cessarea.
Literatur menyebutkan bahwa pembedahan section diindikasikan untuk
pasien dengan bekas section sebelumnya. Untuk menghidari adanya komplikasi
pada saat persalinan normal.

Sebelum dilakukan section cessarea, maka perlu dilakukan suatu kunjungan


pra-anestesi. Pada pasien ini dilakukan kunjungan pra-anestesi satu hari sebelum
pembedahan dan beberapa jam sebelum pembedahan. Pada pasien dilakukan
pengecekan kelengkapan identitas, kemudian dari anamnesa tidak didapatkan
riwayat penyakit jantung, diabetes melitus dan hipertensi. Namun pasien mengakui
mempunyai riwayat melahirkan dengan section cessarea sebanyak 3 kali dengan
jarak section yang terakhir adalah 2 tahun, pasien saat itu dibius hanya setengah
badan saja. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai hemoglobin yang
menurun 8,9g/dl ini mengindikasikan adanya anemia pada ibu dan dengan
pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal yang normal.

Berdasarkan pemeriksaan preoperatif, pasien digolongkan pada PS ASA II


sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of
Anesthesiologist karena pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Pasien digolongkan kedalam PS ASA
II karena pasien mengalami anemia
Pre operatif juga termasuk didalamnya melakukan informed consent berupa
penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang akan dilakukan
kepada pasien serta juga penjelasan kepada orang tua atau keluarganya yang
kemudian akan ditandatangani oleh pasien dan keluarga pasien dalam bentuk surat
izin operasi (SIO).

Pada pasien ini dilakukan informed consent hal hal yang dapat terjadi
selama proses operasi, pasien diklasifikasikan dengan anemia ringan, dengan
adanya anemia saat operasi sangat berisiko terjadi perdarahan yang sangat
banyak, sehingga tindakan yang paling buruk dari perdarahan adalah mengangkat
seluruh rahim guna mengendalikan perdarahan, bahkan pasien dapat meninggal
akibat perdarahan yang tidak terkontrol. Keluarga pasien juga di edukasi untuk
menyiapkan 2-3 kantong darah yang sesuai dengan golongan darah pasien,
kemudian persiapan ICU setelah pasca bedah.

Pasien dipuasakan dari makanan padat 9 jam sebelum operasi. Berdasarkan


literatur pasien harus dipuasakan karena selama anestesi refleks laring mengalami
penurunan, sehingga regurgitasi isi lambung yang terdapat dalam jalan napas
merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan resiko tersebut maka semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesi harus dipuasakan.

Pasien juga diberikan infus dengan cairan ringer laktat 1000CC untuk
menunjang kebutuhan cairan pasien selama puasa sebelum operasi. Dari
perhitungan kebutuhan penggantian cairan selama puasa pasien ini membutuhkan
1071-1332cc RL, pada pasien ini diberikan 1000cc dan kebutuhan cairan sudah
mendekati cukup.

Perencanaan anestesi dilakukan dengan Anestesi spinal (blok subarachnoid)


merupakan salah satu teknik anestesi regional yang sering dipilih pada tindakan
Sectio Caesarea. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan kondisi
membahayakan pada anestesi regional. Obat anestetik regional seperti bupivakain
tidak terlalu toksik untuk janin. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat,
relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang
baik), mula kerja dan masa pulih yang cepat. Pada anestesi spinal ibu tetap sadar
sehingga bisa melihat bayinya tepat setelah lahir.

Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi section caesarea atas indikasi
riwayat bekas section sebanyak 3x terakhir pada tahun 2014 dengan menggunakan
spinal anastesi, indikasi selanjutnya adalah pasien dengan anemia. Hal ini sesuai
dengan salah satu indikasi dilakukan tindakan anastesi spinal yaitu bedah
obstetric-ginekologi. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
Selain itu karena bahaya aspirasi lebih kecil karena pasien sadar, hubungan
fisiologis antara ibu dan bayi terjalin, efek obat terhadap janin lebih kecil.

Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja
yang sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf.
Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah
mengubah permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk
potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri. Sifat hambatan
sensoris lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya, ekskresi
melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam bentuk
metabolitnya, konsentrasi 0,25 – 0,75 %. Dosis 1 – 2 mg/Kg BB, dosis maksimal
untuk satu kali pemberian 200 – 500 mg. Untuk operasi abdominal diperlukan
konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi intermediate spinal anestesia) dengan
dosis 5 – 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50 – 150 menit. Larutan
bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan
umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah.

Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain.


Berdasarkan teori Lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama dibanding
lidokain atau mepivakain, Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain, ikatan
dengan HCl mudah larut dalam air, pada konsentrasi rendah blok motorik kurang
adekuat. Pada pasien digunakan Bupivakain 0,5% dengan dosis 10 mg dengan
durasi pembedahan ±2 jam 10 menit.
Pasien juga diberikan oksitosin, ranitidin, ondansentron dan metamizole.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme
kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel
sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume
dan kadar ion hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah. Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah. Namun mual selama
anestesi biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau terhalanginya stimulus
vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis
mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal. Pemberian metamizole pada pasien yakni sebagai analgetik post
operasi, matamizole merupakan derivat aminofenazon yang merupakan analgetika
non-opioid yang bekerja perifer, pada pasien telah dilakukan insisi kulit yang dapat
menyebabkan rasa nyeri pada luka post operasi sehingga diputuskan untuk
diberikan obat injeksi metamizole. Dosis metamizole sendiri yakni 0,5-4 gr / hari
dibagi 3-4 dosis. Pada pasien diberikan metamizole 1 gr, sehingga dosis yang
diberikan sesuai dengan dosis pemeliharaannya.

Pada saat durante mungkin sekali terjadi komplikasi seperti hipotensi.


mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok simpatis
yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan
tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik. Dilatasi vena dapat menyebabkan
hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung.
Kondisi ini diperburuk oleh penekanan dari aorta dan vena kava inferior oleh uterus
yang hamil ketika pasien dalam posisi terlentang. Tetapi sebetulnya hal ini tidak
boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ dan perfusi darah ke
plasenta menjadi tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Dikatakan
hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 mmHg atau 100
mmHg, atau penurunan lebih dari 30 mmHg dari tekanan darah sebelum anestesi,
atau penurunan persentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan
bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat anestesi
spinal, yaitu dengan pemberian cairan prahidrasi 500-1000 cc atau Ringer Laktat
(RL) 1000-1500 cc. Selain cairan prahidrasi sebagai pencegahan, selama operasi
bila tekanan sistolik mulai turun 10 mmHg, infus cairan kristaloid dipercepat dan
juga diberi obat efedrin. Efedrin merupakan vasopressor pilihan yang digunakan
pada anestesi obstetrik untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin (simpatomimetik) yang mempunyai aksi
langsung dengan menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung
dengan melepaskan norepinefrin endogen. Hal ini meningkatkan tekanan darah
dengan cara meningkatkan frekuensi detak jantung dan curah jantung dan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer.

Efedrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung, denyut jantung dan


tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan
ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin dapat
secara subkutan, intramuskular, bolus intravena, dan infus kontinu. Pada praktek
sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus intravena 5-10 mg atau 10-20 mg
intravena bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. Pemberian dapat diulang tiap
3-5 menit hingga tekanan darah kembali normal atau mencapai tekanan darah yang
diinginkan.

Pada pasien ini setelah bayi dan plasenta dilahirkan terjadi perdarahan
yang sangat aktif sebanyak 2100cc, dilakukan resusitasi cairan koloid 1000cc dan
darah 850cc, jika di jumlahkan 1850cc maka resusitasi cairan pada kasus
mendekati cukup dengan kekurangan ±250cc, Estimasi Blood Loss pada pasien ini
sekitar 45%. Untuk mengendalikan perdarahkan di putuskan untuk mengangkat
seluruh bagian uterus (histerektomi supravaginalis). Tekanan darah pasien turun
hingga 80/41mmHg dengan nadi 138x/ menit hal ini menandakan adanya syok
akibat perdarahan yang terjadi, diberikan efedrin sebanyak 30mg. kemudian
kondisi pasien mulai membaik dengan meningkatnya tekanan darah menjadi
104/60mmHg.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing sistem organ
dapat dilihat pada tabel dibawah ini. :
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: bebas, Pre-operatif
Malampati score II,
gigi goyah (-) - Hipoksia - Preoksigenasi yang adekuat
Durante Operatif
- Aspirasi oleh - 02 sungkup 100%
Breathing : thoraks hipersekresi saliva - Chin Lift
asimetris - Jatuhnya pangkal - Suction bila perlu
dikarenakan lidah.
adanya jaringan - Hipoksia
sikatriks bekas luka - Hiperkarbia
bakar pada dada,
ikut gerak napas,
RR: 20 x/m,
perkusi: sonor,
suara napas
vesikuler +/+,
ronkhi-/-, wheezing Post Operatif
-/-
- Desaturate oksigen - Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan masker post-operasi
- Monitoring tanda-tanda vital
B2 Perfusi: hangat, Pre Operatif
kering, merah,
- Dehidrasi akibat - Pemberian cairan pre operatif
Capilary Refill Time puasa adekuat
< 2 detik, BJ I-II Durante Operatif
murni, regular,
konjungtiva anemis - Perdarahan - Persiapan transfusi darah, paling
(-/-). baik dengan WB untuk perdarahan
akut
- Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk darah
(1 x EBL)
- Resusitasi cairan dengan tepat,
pertahankan keadaan normovolemia
- Monitoring vital sign,
- Hindari penggunaan cairan yang
- Syok hipovolemik mengandung glukosa
- Bradikardia - Pemberian efedrin
- Takikardia,
- Hipotensi
Post Operatif
- Perdarahan pada - Periksa Hb post operasi jika hb
luka operasi rendah tranfusi

B3 Kesadaran Compos Pre Operatif


Mentis, Riwayat
kejang (-), riwayat -Peningkatan TIK
pingsan (-)

Durante Operatif
- penurunan - Monitoring tanda-tanda vital
kesadaran
- Iskemia otak - Menjaga MAP dalam rentang 50 –
150 mmHg
- Hindari hiperventilasi berlebihan
- Peningkatan TIK - Hiperventilasi sampai kadar PaCO2
akibat obat sebesar 30 mmHg (hiperventilasi
anastesi dapat dengan cepat dan efektif
menurunkan TIK)
- Terapi diuretik dengan pemberian
mannitol 0,25 – 1 g/kgBB dalam 10
menit.
- Head up 10-30o
B4 Produksi urine Oliguria Rehidrasi, observasi produksi urin
dipantau melalui
kateter , produksi
(+), warna kuning
pekat
B5 Perut cembung Pre Operatif - Pemberian Ranitidin dan
sesuai usia Ondansentron
kehamilan, Mual, muntah
peristaltik usus (+), Durante operatif
hepar/lien sukar
dievaluasi , BAB (+), - Risiko refluks
mual (-), muntah (-). gastroesofageal
saat operasi
B6 Akral hangat (+), - Posisikan pasien dengan tepat
Edema (-) fraktur (-)

Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat


kehamilan, persalinan dan nifas. Prevalensi anemia yang tinggi berakibat
negatif seperti, Gangguan dan hambatan pada pertumbuhan,baik sel tubuh
maupun sel otak, ,Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya
oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Sehingga dapat
memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkan
(Manuaba, 2001).
Pada saat hamil, bila terjadi anemia dan tidak tertangani hingga akhir
kehamilan maka akan berpengaruh pada saat postpartum. Pada ibu dengan
anemia, saat postpartum akan mengalami atonia uteri. Hal ini disebabkan
karena oksigen yang dikirim ke uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah
yang kurang menyebabkan otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat
sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak. Salah
satu penyebab perdarahan post partum adalah multiparitas. Paritas menunjukan
jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan telah
dilahirkan.
Uterus yang telah melahirkan banyak anak, cenderung bekerja tidak efisien
dalam semua saat persalinan.Berdasarkan 2 faktor predisposisi, maka risiko
terjadinya atonia uteri pada pasien diatas cukup tinggi. Maka pada kasus telah
dilakukan tindakan pencegahan mengatasi risiko terjadinya atonia uteri guna tidak
terjadi komplikasi lebih lanjut yaitu perdarahan post partum, dapat dilakukan
pencegahan dengan dengan melakukan masase pada fundus uteri dan pemberian
uterotonika (oxytocin 10 IU) secara IM. Selain itu juga dapat dilakukan persiapan
transfusi darah dan pada saat sebelum dilakukan operasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesa, peeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosa dengan G5P3A1 + Hamil 38-39 minggu, janin presentasi
kepala tunggal hidup, dengan Anemia dan BSC 3x. dari hasil pemeriksaan
penunjang darah rutin Hb 8,9 g/dl pasien diklasifikasikan dalam anemia
ringan, berdasarkan diagnose tersebut persiapan pre anastesi keluarga
pasien di informed concent dengan kemungkinan akan terjadinya
perdarahan, syok hipovolemi, diangkatnya uterus guna mengkontrol
perdarahan, hingga risiko terburuk terjadinya kematian, keluarga juga
diedukasi untuk menyediakan darah 2-3 bag guna persiapan operasi.
2. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2 berdasarkan: anemia dengan Hb
8,9 g/dl.
3. Saat durante operasi pasien mengalami perdarahan 2100cc dengan estimasi
blood loss sekitar 45%, dan dilakukan resisutasi cairan sebanyak 1850cc
koloid.
4. Untuk mencegah perdarahan yang lebih lanjut dilakukan tindakan
histerektomi supravaginalis.

4.2 Saran
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan RA SAB yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi, pada pasien terjadi
kehilangan darah sebanyak 45% dari EBV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Suryadi dan Dachlan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi


Kedua. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif.
2. Arimuqti Z. Analgesia Spinal. [serial online] 2012 [Diunduh 09 Agustus 2017].
Tersedia dari: URL: http://www.scribd.com/doc/115811356/Referat-
Anestesi-Spinal
3. Kamariah BM. Komplikasi Anestesi Spinal. [serial online] 2010 [Diunduh 08
Agustus 2017]. Tersedia dari: URL:
http://www.scribd.com/doc/52073795/Anestesi-spinal
4. Murhadi. Pilihan cara anesthesia. Dalam: Murhadi, penyunting. Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002. h 63-64
5. Rainy A. Anestesi Lokal dan Regional. [serial online] 2011 [Diunduh 08
Agustus 2017]. Tersedia dari: URL:
http://www.scribd.com/doc/52041655/REFERAT-ANESTESI
6. Cunningham, Gant, Leveno, Gilstrap III, Hauth & Wenstrom. 2006. Obstetri
Williams, Edisi 21 Volume 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Haryadie WR. Anestesi spinal. [serial online] 2008 [Diunduh 08 Agustus 2017].
Tersedia dari: http://kampusdokter.com/2012/05/anestesi-spinal.html
8. Felya S.P. Bupivacaine. [serial online] 2011 [Diunduh 08 Agustus 2017].
Tersedia dari: http://www.scribd.com/doc/62578263/BUPIVACAINE
9. Marcell. Hipotensi Akibat Anestesi Spinal. [serial online] 2009 [Diunduh 08
Agustus 2017]. Tersedia dari: http://sikkahoder.com/2012/07/hipotensi-
akibat-anastesi-spinal-dan.html
10. Anonim. Raivas. [serial online] 2009 [Diunduh 08 Agustus 2017]. Tersedia
dari: http://www.dexa-
medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?id=169&idc=7
11. Syarif A, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
12. Derek Llewellyn-Jones. 2002. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi, Edisi 6.
Jakarta: Hipokrates.
13. Sclunidtt and Auler. 2010. Evidence-Based Obstetric Anesthesia: An Update on
Anesthesia for Cesarean Delivery. Sao Paulo: Department of Anesthesia
Instituto Centra Hospital das Clinicas, Universidade de Sao Paulo.
14. Mebazaa et al. 2010. Reduction of Bupivacaine Dose in Spinal Anaesthesia for
Caesarean Section May Improve Maternal Satisfaction by Reducing Incidence
of Low Blood Pressure Episodes. Department of Anaesthesiology, ICU and
Emergency Medicine, Mongi Slim Hospital, La Marsa, Tunisia.

15. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS POGI Cab.Makassar, Sistem


penilaian Modifikasi Flamm-Geiger dalam memprediksi keberhasilan
persalinan percobaan pasca seksio sesarea, Makassar 2005
16. Cunningham, Mac Donald P, Grant. Seksio Sesarea dan Histerektomi Sesarea,
Obstetri. Williams, edisi 21, cetakan pertama, EGC 2006 : 592-618.
17. Cunningham, Mac Donald P, Grant, Induksi dan Augmentasi Persalinan,
Obstetri, Williams, edisi 21, cetakan pertama, EGC 2006, : 516-525
18. Prawirohardjo, Sarwono. Seksio Sesarea, dalam Ilmu Kebidanan Edisi I,
cetakan kelima, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000 : 863-870
19. Prawirohardjo Sarwono, Seksio Sesarea dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi I,
cetakan kelima, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000 : 133-140
20. Vaginal Birth after Previous Cesarean Delivery. ACOG Practice Bulletin. 5,
1999.
21. Flamm BL, Geiger AM. Vaginal Birth After Cesarean Delivery : An Admission
Scoring System. Obstet Gynecol 1997 ; 90 : 907 – 10.
22.Martel, Marie Jocelyne. Guidelines for Vaginal Birth After
Cesarean Birth. SOGC Clinical Practice Guidelines No. 155,
February 2005.
23. Lancet, Nisand I. Ultrasonographic measurement of lower uterine
segment to assess risk of defects of scarred uterus. Departement
of Obstetrics and Gynaecology, Center Hospilatier
Intercommunal; France. 1996.
24. Adu EJK. (2011). Management of contractures: a five-year experience at komfo
anokye teaching hospital in kumasi. Ghana Medical Journal 45(2):66-72.
25. Goel A & Shrivastava P. (2010). Post-burn scars and scar contractures. Indian
Journal of Plastic Surgery 43(3):63-71.
26. Ogawa R & Pribaz JJ. (2010). Diagnosis, assessment, and classification of scar
contractures. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.
27. Pandya AN. (2001). Burn injury. Repair & Recontruction 2(2):1-16.
28. Perdanakusuma, DS. (2009). Surgical management of contracture in head and
neck. Annual Meeting of Indonesian Symposium on Pediatric Anesthesia &
Critical care, JW Marriot Hotel Surabaya.
29. Procter F. (2010). Rehabilitation of the burn patient. Indian Journal of Plastic
Surgery 43(Suppl):S101-S113.
30. Schneider JC, Holavanahalli R, Helm, P, Goldstein R, & Kowalske K. (2006).
Contractures in burn injury: defining the problem. Journal of Burn Care
Research 27(4):508-514.
31. Schwarz RJ. (2007). Management of postburn contractures of the upper
extremity. Journal of Burn Care Research 28:212-219.
32.Wong VW & Gurtner GC. (2010). Strategies for skin regeneration in burn
patients. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Kasus Ensefalopati Ec. Ensefalitis
    Laporan Kasus Ensefalopati Ec. Ensefalitis
    Dokumen35 halaman
    Laporan Kasus Ensefalopati Ec. Ensefalitis
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Rehabilitasi Medik
    Laporan Kasus Rehabilitasi Medik
    Dokumen34 halaman
    Laporan Kasus Rehabilitasi Medik
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    100% (1)
  • SP Oot Kosong
    SP Oot Kosong
    Dokumen1 halaman
    SP Oot Kosong
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Vulnus Laceratum
    Vulnus Laceratum
    Dokumen12 halaman
    Vulnus Laceratum
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Rekap Jaga Iship 2018 2
    Rekap Jaga Iship 2018 2
    Dokumen4 halaman
    Rekap Jaga Iship 2018 2
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Borang Online
    Borang Online
    Dokumen1 halaman
    Borang Online
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Ipd
    Jurnal Ipd
    Dokumen17 halaman
    Jurnal Ipd
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading Sarcoma Ewing
    Jurnal Reading Sarcoma Ewing
    Dokumen22 halaman
    Jurnal Reading Sarcoma Ewing
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • Komponen Darah
    Komponen Darah
    Dokumen16 halaman
    Komponen Darah
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KASUS Kanker Paru
    LAPORAN KASUS Kanker Paru
    Dokumen42 halaman
    LAPORAN KASUS Kanker Paru
    DiajengMaria'benedictaOctavianiOsokPrasetyo
    100% (1)