Arief Anastesi
Arief Anastesi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF
Anestesi dan Reanimasi, Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Jayapura
OLEH:
Arief Zando, S.Ked
PEMBIMBING:
dr. Diah Widyanti, Sp.An KIC
Pada,
Hari :
Tanggal :
Tempat : Ruangan Pertemuan SMF Anestesi dan
Reanimasi RSU Jayapura
Mengetahui,
Dosen Penguji/Pembimbing
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal
juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi
tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen
bagian bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat
blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.
Bedah sesar atau sectio cesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di
Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik
operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan
sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat
persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress. Indikasi-
indikasi utama seksio sesarea meliputi: bekas seksio sesarea (8%), dystocia (7%),
letak sungsang (4%), fetal distress (2%-3%) dan lain-lain. Kontributor terbesar pada
tingginya angka seksio sesarea terletak pada kategori seksio ulangan. Lebih dari
sepertiga dari semua persalinan dengan seksio sesarea terjadi dari hasil persalinan
seksio sebelumnya.
Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis pembedahan, tentu saja
tindakan ini juga memerlukan anestesi untuk mengurangi rasa sakit pasien. Anestesi
adalah keadaan dimana tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan nyeri. Hal
ini terjadi akibat dari pemberian obat atau intervensi medik lainnya. Keadaan ini,
secara umum, menguntungkan bagi pasien dan dokter saat melakukan pembedahan.
Anestesi obstetrik merupakan hal yang unik karena pertama, dokter menghadapi
dua nyawa yang sama pentingnya. Kedua, selama kehamilan terjadi perubahan
fisiologik yang dinamis. Seorang anestesiologi harus tau benar usia kehamilan
pasien yang dihadapinya oleh karena perubahan fisiologik yang berubah-ubah,
bergantung pada usia kehamilan. Manajemen anesthesia tentu juga harus
disesuaikan dengan perubahan fisiologik yang terjadi.7 Teknik anestesi yang biasa
digunakan pada pasien bedah sesar ada dua macam, yaitu teknik anestesi umum dan
teknik anestesi regional (anestesi spinal atau anestesi epidural).
a. Implikasi Klinisnya :
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan
oksigen sebelum induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau
epidural anestesi menjadi lebih sulit. Karena penambahan berat
badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan
menimbulkan kesulitan intubasi.
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan
terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem
kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada
sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika
cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada
wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima
kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32
kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai
masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu
kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output
dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut
jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana
meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak dari pada pada
wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk
dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam
denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat
penurunan komponen simpatis.
a. Implikasi Klinis
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi
oleh wanita hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis
aorta, stenosis mitral) atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio
jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan, selama
persalinan, dan segera setelah melahirkan.
a. Implikasi Klinis
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting
yaitu untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit
feto-plasenta, mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan
akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi hipercoagulabel selama
proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu setelah
melahirkan.6
a. Implikasi Klinisnya
Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya
penurunan MAC akan menyebabkan paturien lebih sensitive
terhadap anestetika inhalasi daripada wanita yang tidak hamil.6
Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas
membran mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa
endotrakhea yang lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.
a. Implikasi Klinis
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah
dari wanita yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama
seperti wanita yang tidak hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal
yang abnormal.6
a. Implikasi Klinis
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa
melihat lama puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari.
Dianjurkan penggunaan rutin antacid non-partikel. Perubahan
gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu postpartum.6
a. Implikasi Klinisnya
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas
anestesi lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia
terjadi sampai 36 jam postpartum.
a. Implikasi Klinis
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna
vertebralis merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama
kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal atau epidural
analgesi.
b. Prinsip-prinsip teratogenisitas
Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi
teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies,
dosis obat, durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.
Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat
penting. Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi
atau kematian pada embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang
lebih besar mungkin kurang berbahaya pada fetus.
Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian,
abnormalitas struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi
fungsional. Kematian akan menyebabkan abortus, fetal death atau
stillbirth pada manusia, tergantung pada waktu terjadinya, sedangkan
pada binatang akan menyebabkan resorbsi fetus. Abnormalitas
struktural dapat menyebabkan kematian jika sangat berat, akan tetapi
kematian juga dapat terjadi tanpa disertai anomali kongenital. Hambatan
pertumbuhan pada saat ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari
teratogenisitas, selain itu kondisi ini juga berhubungan dengan banyak
faktor lainnya seperti insufisiensi plasenta, faktor genetik dan
lingkungan. Usia kehamilan pada saat terpapar sangat menentukan
organ atau jaringan target, tipe defek, dan berat-ringannya kerusakan.
Sebagian besar abnormalitas struktural disebabkan oleh paparan selama
periode organogenesis, yaitu kira-kira pada hari ke 31 sampai 71 setelah
hari pertama haid terakhir.
Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi
perlu dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil
kehamilan yang buruk yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe
(1975) memperkirakan bahwa sebanyak 80% hasil konsepsi manusia
mengalami keguguran, bahkan keguguran tersebut banyak yang terjadi
sebelum diketahui ada kehamilan. Diperkirakan separuh dari abortus
dini ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Insiden anomali
kongenital diantara manusia adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak
diketahui sebabnya. Dari jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin
sebelumnya hanya sebesar 2% sampai 3%.
a. Keuntungan:
Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian
depresi janin dapat dicegah/dikurangi
Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif
dalam persalinan.
Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap. 9
b. Kerugian
Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural
Punction Headache/ PDPH)
Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih
lambat. 9
c. Kontraindikasi
Pasien menolak
Insufisiensi utero-plasenta
Syok hipovolemik
Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynx, tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
B. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
4. Memberikan analgesia, misal pethidin.
5. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
Obat Anestesi
AAP
approved? Kategori Risiko
Nama Obat * Kehamilan** Risiko Menyusui**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine
(Carbocaine, Polocaine) NR C L3
Procaine HCL
(Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum
Halothane (Fluothane) Approved C L2
Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3
Thiopental (Pentothal) Approved C L3
E. Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
Naiknya konsumsi oksigen
Airway closure
Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
2. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
F. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska
operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar
atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum
pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
G. Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan
2.4.2 Klasifikasi
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu
hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3
kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia
berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata
rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar
hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 – 8 gr% : Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat
2.4.3 Etiologi Anemia
Penyebab spesifik anemia sangat penting untuk mengevaluasi efek dari
anemia terhadap kehamilan. Keadaan-keadaan yang merupakan
predisposisi anemia defisiensi pada ibu hamil di Indonesia adalah
kekurangan gizi dan kekurangan perhatian terhadap ibu hamil. Selain itu
terdapat beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan defisiensi kalori-
besi, misalnya infeksi kronik, penyakit hati, dan thalassemia.
Tabel Penyebab Anemia Dalam Kehamilan
Penyebab Anemia dalam Kehamilan
Di dapat Anemia defesiensi besi
Anemia karena perdarahan akut
Anemia karena inflamasi dan keganasan
Anemia Megaloblastik
Anemia Hemolitik di Dapat
Anemia aplastik hipoplastik
Herediter Thalassemia
Hemoglobinopati sel sabit
Anemia Hemolitik lainnya
Hemoglobinopati lainnya
2.4.4 Patofisiologi
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan
volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan
sekresi aldesteron.
2.4.5 Gejala klinis
Gejala dan tanda anemia pada ibu hamil sangat tidak spesifik. Biasanya ibu
hamil dengan anemia akan datang dengan keluhan lemah, pucat, dan mudah
pingsan. Secara klinis, dapat dilihat tubuh yang malnutrisi dan pucat.
Apabila tekanan darah masih dalam batas normal, perlu dicurigai adanya
anemia defisiensi besi. Selain itu, tanda-tanda seperti demam, memar,
jaundice, hepatomegali, dan splenomegali juga perlu diperhatikan untuk
mengetahui apakah ada penyebab yang serius dari anemia.
2.4.6 Diagnosis
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah,
peningkatan penghancuran atau kehilangan sel darah merah, serta dilusi.
Evaluasi anemia pada kehamilan sama seperti pada seseorang yang tidak
hamil. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk
penegakan diagnosis. Pertanyaan tentang onset, durasi, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, asupan makanan, paparan lingkungan,
dan riwayat pengobatan sangatlah penting
Pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
kadar hemoglobin dan darah tepi. Pemeriksaan hemoglobin dengan
spektrofotometri merupakan standar, kesulitannya adalah alat ini tidak
selalu tersedia di semua layanan masyarakat.15 Pemeriksaan penunjang yang
berlebihan tidak efektif dan tidak ekonomis untuk menguji setiap wanita
hamil dengan anemia, mengingat bahwa sebagian besar anemia dalam
kehamilan yang sifatnya ringan disebabkan oleh defisiensi zat besi. Maka
dari itu, terapi suplementasi besi perlu diberikan apabila ibu hamil yang
mengalami anemia tersebut belum mengkonsumsinya.14
Apabila dicurigai adanya penyebab penyakit kronik seperti malaria dan
tuberkulosis, diperlukan adanya pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan
darah tepi dan pemeriksaan sputum. Selain itu, diperlukan adanya beberapa
pemeriksaan untuk membedakan anemia akibat defisiensi besi, defisiensi
asam folat, dan thalassemia.
Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat
meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada
perdarahan akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa jam
untuk meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan dengan
kristalloid / koloid sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat
menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat (kurang dari 15 menit). 3
Guideline transfusi darah CBO, 20055:
1. Mempertimbangkan transfusi darah kerika Hb < 6.4 g/dl :
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik
2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease
Kesimpulan
1. Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan anemia
adalah :
a. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang
menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi.
b. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat
memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre
atau post operasi.
c. Keadaan klinis pasien.
d. Kadar Hb pasien.
e. Adanya perdarahan
2. Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia :
1. Monitoring kardiovaskular
Pada pasien ini dilakukan monitoring nadi dan tekanan darah secara non
invasive, yaitu hanya melalui monitor elektronik.
2. Monitoring respirasi
Respirasi pada pasien dapat diamati dengan memperhatikan gerakan dada
– perut saat bernafas spontan. Saturasi O2 dapat diketahui dari monitor.
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot
sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal
setelah selesai anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan
anak kecil
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada
bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau
distensi vesica urinaria.
2.5.2 Indikasi
Menurut Kasdu (2003) Indikasi pemberian tindakan Sectio
Caesarea antara lain:
1. Faktor janin
a. Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant
baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya
pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu
menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan
terlalu lama di jalan lahir dapat membahayakan keselamatan
janinnya.
b.Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan
letak lintang. Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan
kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah.
Sedangkan letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu
membentuk sudut tegak lurus dengan sumbu memanjang janin. Oleh
karena seringkali bahu terletak diatas PAP (Pintu Atas Panggul),
malposisi ini disebut juga prensentasi bahu.
c. Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan,
memungkinkan untuk segera dilakukannya operasi. Apabila
ditambah dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Janin
pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui
ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat
ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada
tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai
oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula.
Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini
dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak
jarang meninggal dalam rahim. Apabila proses persalinan sulit
dilakukan melalui vagina maka bedah casarea merupakan jalan
keluar satu-satunya.
d.Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik,
dan hidrosepalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat
menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi.
e. Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan
keadaan gawat darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan
persalinan dengan operasi yaitu Plasenta previa (plasenta menutupi
jalan lahir), Solutio Plasenta (plasenta lepas), Plasenta accrete
(plasenta menempel kuat pada dinding uterus), Vasa
previa (kelainan perkembangan plasenta).
2. Faktor Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35
tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi
perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya
seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre-
eklamsia (kejang). Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat
menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali menyebabkan dokter
memutuskan persalinan dengan operasi caesarea.
b.Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan
dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.
c. Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
d.Faktor hambatan panggul
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit.
bemafas. Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma
atau tumor. Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau
macet, yang biasa disebut distosia.
e. Kelainan kontraksi Rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate
uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak
dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi
tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
Apabila keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan
melakukan operasi Caesarea.
f. Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat
menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan
membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit
atau habis.
g.Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami
akan mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa
sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi
tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan
melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya.
Sehingga untuk menghilangkan perasaan tersebut seorang
perempuan akan berfikir melahirkan melalui Caesarea
Kelebihan:
Kekurangan:
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonealisasi
c. Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri
spontan kurang/lebih kecil
Kekurangan:
a. Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut:
a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
c. Sayatan huruf T (T – incision)
1. Demam tinggi
2. Nyeri perut
3. Nyeri bila buang air kecil
4. Kadang-kadang disertai lokia berbau
5. Luka operasi bernanah
6. Luka operasi terbuka dan sepsis.
Bila mencapai keadaan sepsis, resiko kematian ibu akan tinggi sekali.
Aposisi Garis pemotong yang tipis Sulit untuk aposisi garis yang
membantu aposisi yang tebal. Terbentuk poket yang
baik tanpa meniggalkan mengandung darah, yang
poket akhirnya akan diganti dengan
jaringan fibrosa. Pembentukan
saluran pada bagian dalam
lebih sering terjadi karena
desisua sering tertinggal pada
waktu menjahit.
Keadaan uterus Bagian uterus tidak banyak Bagian uterus berkontraksi
sewaktu bergerak selama proses dan berretraksi sehingga
penyembuhan penyembuhan jahitan terganggu,
menyebabkan luka sembuh
kurang baik
Efek Bekas luka operasi pada Pereganggan terjadi bersudut
perenggangan kehamilan berikutnya dan tegak terhadap bekas operasi
persalinan normal
merenggang mengikuti
garis bekas operasi
Impalantasi Kemungkinan Kemungkinan besar plasenta
plasenta pada melemahnya bekas operasi melekat pada bekas operasi
kehamilan oleh pelekatan plasenta dan melemahnya dengan
berikutnya tidak ada adanya penetrasi trofoblas
atau herniasi kantong amnion
melalui saluran yang terbentuk
Efek keseluruhan a. Bekas operasi baik a. Bekas operasi lemah
b. Ruptur hanya terjadi b. Ruptur dapat terjadi pada
pada waktu partus waktu kehamilan tua dan
persalinan (5-20x lebih
sering)
Lama perawatan 5-7 hari, masa pemulihan selama 6 minggu
2.5.5 Pengelolaan Kehamilan Dan Persalinan Pervaginam Pada Bekas
Sectio Caesarea
Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada
persalinan berikutnya.
Suatu persalinan ditetapkan sebagai persalinan pervaginam pasca
seksio sesarea apabila cara persalinan dinyatakan sebagai persalinan
pervaginam pasca seksio sesarea atau sebagai persalinan pervaginam
seksio sesarea dengan bantuan alat (misalnya persalinan yang dibantu
dengan forsep atau vakum).10
Dalam “ACOG VBAC Guidelines”, dinyatakan bahwa apabila tidak
terdapat kontraindikasi pada wanita dengan riwayat persalinan seksio
sesarea dengan insisi segmen bawah rahim, maka wanita tersebut adalah
kandidat untuk persalinan pervaginam pasca seksio sesarea dan harus
diberi penyuluhan dan dianjurkan untuk menjalani persalinan
percobaan. 10
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90%
kasus. Tipe insisi ini banyak dipilih karena tidak membahayakan
segemen bagian atas uterus dan memberikan kemungkinan pilihan
persalinan percobaan pada kehamilan berikutnya. Apabila insisi
diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat terjadi pada salah satu atau
kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi transversal pada segmen
bawah rahim: (1) menyebabkan lebih sedikit perdarahan, (2) lebih
mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada tempat dengan kemungkinan
ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4) tidak
menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi.
Daerah segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan
pada saat persalinan mengalami peregangan secara perlahan-lahan,
sehingga memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya
ruptur. 10
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk
dengan baik atau apabila janin dalam posisi backdawn transverse. Insisi
vertikal merupakan pilihan yang bijaksana kecuali bila segmen bawah
rahim telah terbentuk dengan baik. Insisi klasik adalah insisi yang
melibatkan segmen uterus bagian atas. Kekurangannya adalah bahwa
insisi klasik memiliki kecenderungan terjadinya perlengketan yang
lebih besar dan memiliki resiko ruptur yang lebih besar pada kehamilan
selanjutnya. Dalam kehamilan berikutnya, ruptur lebih sering terjadi
pada insisi vertikal yang melebar ke miometrium bagian atas daripada
segmen bawah rahim, khususnya pada saat persalinan. Insisi vertikal
atau insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih tebal dan terletak
pad asegmen atas uterus yang lebih kontraktil.
Vermont /New Hampshire VBAC Guidelines membagi pasien-
pasien kandidat TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko: 10
1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan:
a. satu kali persalinan SCTPP
b. saat mulainya persalinan berlangsung spontan
c. tidak memerlukan augmentasi persalinan
d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang
e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea
2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan:
a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin
b. augmentasi persalinan dengan oksitosin
c. ≥ 2 kali persalinan SCTPP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu
persalinan saat ini < 18 bulan.
3 Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan :
a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang tidak
responsif terhadap intervensi pengobatan
b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya solusio
plasenta
c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his
adekuat.
2 Indikasi SCsebelumnya
3 Dilatasi serviks
- > 4cm 2
- < 2,5 cm 0
4 Stasion dibawah -2 2
5 Panjang serviks ≤ 1 cm 1
Jika nilai:
Nilai*
1 Nilai bishop ≥ 4 0 4
3 Indikasi SC sebelumnya
KATEGORI A 0 6
Malpresentasi
Gemeli
KATEGORI B 0 5
Prematuritas
KATEGORI C 0 4
Fetal distress
KATEGORI D 0 3
Makrosomia
Pertumbuhan janin terhambat
(PJT)
2.6 Kontraktur
2.6.1 Definisi
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh
sehingga terjadi keterbatasan rentang gerak (range of motion).
Kontraktur adalah kontraksi yang menetap dari kulit dan atau
jaringan dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan
keterbatasan gerak. Kelainan ini disebabkan karena tarikan parut
abnormal pasca penyembuhan luka, kelainan bawaan maupun
proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah akibat
luka bakar (Perdanakusuma, 2009).
2.6.2 Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1) I : gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan
ruang lingkup gerak maupun fungsi.
2.6.3 Etiologi
Kontraktur diakibatkan karena kombinasi berbagai faktor meliputi:
posisi anggota tubuh, durasi imobilisasi, otot, jaringan lunak, dan
patologis tulang. Individu dengan luka bakar sering diimobilisasi, baik
secara global maupun fokal karena nyerinya, pembidaian, dan
posisinya. Luka bakar dapat meliputi jaringan lunak, otot, dan tulang.
Semua faktor ini berkontribusi terhadap kejadian kontraktur pada luka
bakar (Schneider et al, 2006). Berbagai hal yang dapat menyebabkan
kontraktur adalah sebagai berikut (Adu, 2011):
1. Trauma suhu
2. Trauma zat kimia
3. Trauma elektrik
4. Post-trauma (Volkmann’s)
5. Infeksi ulkus buruli
6. Idiopatik (Dupuytren’s)
7. Kongenital (camptodactyly)
d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah
ekstensi siku.
Gambar 2.8. Kontraktur pada Siku
e. Punggung tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah
hiperekstensi metacarpalphalangeal (MCP), fleksi
interphalangeal (IP), adduksi ibu jari, dan fleksi pergelangan
tangan sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah pada pergelangan tangan diekstensi 30-40 derajat,
fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi sendi IP, dan abduksi ibu
jari.
Gambar 2.10. Kontraktur pada Punggung Tangan
f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan
fleksi jari-jari tangan, telapak tangan ditarik ke dalam
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi pergelangan tangan, fleksi minimal MCP, ekstensi
dan abduksi jari-jari tangan.
Gambar 2.12. Kontraktur pada Telapak Tangan
g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan
adduksi pangkal paha sedangkan posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah berbaring tengkurap dengan
ekstensi tungkai, batasi duduk dan berbaring posisi
menyamping. Jika dengan posisi supine, berbaring dengan
posisi ekstensi tungkai, tanpa bantal di bawah lutut.
Gambar 2.14. Posisi yang Menyebabkan Kontraktur
h. Belakang lutut
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi lutut
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi tungkai pada saat berbaring dan duduk.
i. Kaki
Kaki adalah struktur komplek yang dapat ditarik dengan arah
yang berbeda-beda oleh jaringan yang telah menyembuh. Hal
ini dapat mengakibatkan mobilitas yang tidak normal. Posisi
yang mencegah terjadinya kontraktur adalah pergelangan kaki
diposisikan 90 derajat terhadap telapak kaki dengan
menggunakan bantal untuk mempertahankan posisi. Jika
pasien dalam keadaan duduk maka posisi kakinya datar di
lantai (tanpa edem).
j. Wajah
Kontraktur pada wajah dapat meliputi berbagai hal termasuk
ketiakmampuan untuk membuka maupun menutup mulut
dengan sempurna, ketidakmampuan menutup mata dengan
sempurna, dan lain sebagainya.posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah secara teratur merubah ekspresi
wajah dan peregangan seperlunya. Tabung empuk dapat
dimasukkan ke dalam mulut untuk melawan kontraktur mulut.
6. Terapi tekan
Terapi tekanan adalah modalitas primer dalam
penatalaksanaan parut akibat luka bakar meskipun efektivitas
klinis secara sains masih belum terbukti. Pemberian tekanan pada
area luka bakar diduga dapat mengurangi parut dengan
mempercepat maturasi parut dan mendorong reorientasi
terbentuknya serta kolagen. Pola parallel yang bertentangan
dengan pola luka yang berputar pada parut. Mekanisme yang
diduga adalah, pemberian tekana dapat menciptakan hipoksia
lokal pada jaringan parut sehingga mereduksi aliran darah yang
sebelumnya hipervaskuler pada luka parut. Hal ini
mengakibatkan menurunnya influks kolagen dan penurunan
pembentukan jaringan parut. Sesegera setelah luka menjadi
tertutup dan dapat menerima tekanan, pasien menggunakan
pakaian tekanan.
7. Silicon
Silicon digunakan untuk mengobati parut hipetrofik.
Mekanisme dalam mencegah dan penatalaksanan parut
hipertrofik masih belum jelas namun kemungkinan silicon
mempengaruhi fase penyembuhan remodeling kolagen.Ketika
luka bakar telah sembuh, pasien dan keluarganya harus
membiasakan untuk latihan peregangan, pemijatan, moisturizer,
dan mandi di air yang hangat. Semua hal ini dapat membantu
mencegah kontraktur. Pasien harus didorong untuk menggunakan
tangan sebisa mungkin untuk aktivitas dan kebutuhan sehari-hari.
Jika mungkin digunakan untuk kembali ke pekerjaan mereka
(Pandya, 2001).
Obat-obatan antifibrogenik untuk mengatasi parut hipertrofi
yang dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut:
1. Antagonis TGF-β
2. Interferon α, β, γ
3. Bleomycin
4. 5-fluorouracil
5. kortikosteroid
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 September
2016
a. Keluhan Utama
Pasien datang dari poliklinik dengan hamil aterm riwayat section
caessarea
g. Riwayat Obstetri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
: suara wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 cm medial dari linea
midklavikular sinistra
Perkusi : Batas atas
: ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+),
Sikatriks (+) di epigastrium.
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-),
nyeri tekan hipokondrium kanan (-)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Ekstremitas : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time < 2”,
Edema (+) di ekstremitas inferior, tampak adanya scar bekas luka bakar
dan kontraktur pada kedua extremitas atas.
Kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5
b. Status Obstetri
Gravida 5, Partus 3 dan Abortus 1
Abdomen: tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum
(+), sikatriks (+) di epigastrium.
Fundus uteri : 33 cm
Letak Janin : Memanjang
Presentasi : Kepala
Denyut Jantung Janin : 133 x/m
Inspekulo dan Pemeriksaan dalam tidak dilakukan.
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin, DDR Tanggal 18 September 2016
180.00
160.00
140.00
120.00
100.00 Sistole
80.00 Diastole
Nadi
60.00
40.00
20.00
0.00
9,50
10,00
10,10
10,20
10,30
10,40
10,50
10,55
11,00
11,10
11.15
11,30
11,40
9,30
9,40
10.05
10.15
10.25
10.35
10.45
11.05
11.35
11.45
9.15
9.35
9.45
9.55
Pasien seorang wanita, berumur 38 tahun datang dengan keluhan utama hamil
aterm riwayat section caessarea.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam pasien ini didapati Pasien mengaku
hamil 9 bulan, hari pertama haid terakhir tanggal 20 Januari 2016 dan tafsiran partus
27 Oktober 2016, namun berdasarkan hasil USG di tempat praktek dr. Sp.OG
tanggal 29 September 2016. Pasien kontrol kehamilan lebih dari tiga kali di tempat
praktek dr. Sp.OG dan satu kali di poliklinik RSUD DOK 2 Jayapura. Hasil
pemeriksaan USG menunjukkan bayi tunggal dalam kondisi baik. Imunisasi TT
satu kali. Keluhan mules-mules, keluar air-air dan keluar lendir darah dari jalan
lahir disangkal. Gerakan janin dirasakan aktif. Dari riwayat obstetric pasien saat
ini hamil anak ke 5 dengan riwayat 3 kali di lakukan operasi section cessarea.
Literatur menyebutkan bahwa pembedahan section diindikasikan untuk
pasien dengan bekas section sebelumnya. Untuk menghidari adanya komplikasi
pada saat persalinan normal.
Pada pasien ini dilakukan informed consent hal hal yang dapat terjadi
selama proses operasi, pasien diklasifikasikan dengan anemia ringan, dengan
adanya anemia saat operasi sangat berisiko terjadi perdarahan yang sangat
banyak, sehingga tindakan yang paling buruk dari perdarahan adalah mengangkat
seluruh rahim guna mengendalikan perdarahan, bahkan pasien dapat meninggal
akibat perdarahan yang tidak terkontrol. Keluarga pasien juga di edukasi untuk
menyiapkan 2-3 kantong darah yang sesuai dengan golongan darah pasien,
kemudian persiapan ICU setelah pasca bedah.
Pasien juga diberikan infus dengan cairan ringer laktat 1000CC untuk
menunjang kebutuhan cairan pasien selama puasa sebelum operasi. Dari
perhitungan kebutuhan penggantian cairan selama puasa pasien ini membutuhkan
1071-1332cc RL, pada pasien ini diberikan 1000cc dan kebutuhan cairan sudah
mendekati cukup.
Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi section caesarea atas indikasi
riwayat bekas section sebanyak 3x terakhir pada tahun 2014 dengan menggunakan
spinal anastesi, indikasi selanjutnya adalah pasien dengan anemia. Hal ini sesuai
dengan salah satu indikasi dilakukan tindakan anastesi spinal yaitu bedah
obstetric-ginekologi. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
Selain itu karena bahaya aspirasi lebih kecil karena pasien sadar, hubungan
fisiologis antara ibu dan bayi terjalin, efek obat terhadap janin lebih kecil.
Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja
yang sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf.
Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah
mengubah permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk
potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri. Sifat hambatan
sensoris lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya, ekskresi
melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam bentuk
metabolitnya, konsentrasi 0,25 – 0,75 %. Dosis 1 – 2 mg/Kg BB, dosis maksimal
untuk satu kali pemberian 200 – 500 mg. Untuk operasi abdominal diperlukan
konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi intermediate spinal anestesia) dengan
dosis 5 – 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50 – 150 menit. Larutan
bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan
umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah.
Pada pasien ini setelah bayi dan plasenta dilahirkan terjadi perdarahan
yang sangat aktif sebanyak 2100cc, dilakukan resusitasi cairan koloid 1000cc dan
darah 850cc, jika di jumlahkan 1850cc maka resusitasi cairan pada kasus
mendekati cukup dengan kekurangan ±250cc, Estimasi Blood Loss pada pasien ini
sekitar 45%. Untuk mengendalikan perdarahkan di putuskan untuk mengangkat
seluruh bagian uterus (histerektomi supravaginalis). Tekanan darah pasien turun
hingga 80/41mmHg dengan nadi 138x/ menit hal ini menandakan adanya syok
akibat perdarahan yang terjadi, diberikan efedrin sebanyak 30mg. kemudian
kondisi pasien mulai membaik dengan meningkatnya tekanan darah menjadi
104/60mmHg.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing sistem organ
dapat dilihat pada tabel dibawah ini. :
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: bebas, Pre-operatif
Malampati score II,
gigi goyah (-) - Hipoksia - Preoksigenasi yang adekuat
Durante Operatif
- Aspirasi oleh - 02 sungkup 100%
Breathing : thoraks hipersekresi saliva - Chin Lift
asimetris - Jatuhnya pangkal - Suction bila perlu
dikarenakan lidah.
adanya jaringan - Hipoksia
sikatriks bekas luka - Hiperkarbia
bakar pada dada,
ikut gerak napas,
RR: 20 x/m,
perkusi: sonor,
suara napas
vesikuler +/+,
ronkhi-/-, wheezing Post Operatif
-/-
- Desaturate oksigen - Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan masker post-operasi
- Monitoring tanda-tanda vital
B2 Perfusi: hangat, Pre Operatif
kering, merah,
- Dehidrasi akibat - Pemberian cairan pre operatif
Capilary Refill Time puasa adekuat
< 2 detik, BJ I-II Durante Operatif
murni, regular,
konjungtiva anemis - Perdarahan - Persiapan transfusi darah, paling
(-/-). baik dengan WB untuk perdarahan
akut
- Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk darah
(1 x EBL)
- Resusitasi cairan dengan tepat,
pertahankan keadaan normovolemia
- Monitoring vital sign,
- Hindari penggunaan cairan yang
- Syok hipovolemik mengandung glukosa
- Bradikardia - Pemberian efedrin
- Takikardia,
- Hipotensi
Post Operatif
- Perdarahan pada - Periksa Hb post operasi jika hb
luka operasi rendah tranfusi
Durante Operatif
- penurunan - Monitoring tanda-tanda vital
kesadaran
- Iskemia otak - Menjaga MAP dalam rentang 50 –
150 mmHg
- Hindari hiperventilasi berlebihan
- Peningkatan TIK - Hiperventilasi sampai kadar PaCO2
akibat obat sebesar 30 mmHg (hiperventilasi
anastesi dapat dengan cepat dan efektif
menurunkan TIK)
- Terapi diuretik dengan pemberian
mannitol 0,25 – 1 g/kgBB dalam 10
menit.
- Head up 10-30o
B4 Produksi urine Oliguria Rehidrasi, observasi produksi urin
dipantau melalui
kateter , produksi
(+), warna kuning
pekat
B5 Perut cembung Pre Operatif - Pemberian Ranitidin dan
sesuai usia Ondansentron
kehamilan, Mual, muntah
peristaltik usus (+), Durante operatif
hepar/lien sukar
dievaluasi , BAB (+), - Risiko refluks
mual (-), muntah (-). gastroesofageal
saat operasi
B6 Akral hangat (+), - Posisikan pasien dengan tepat
Edema (-) fraktur (-)
4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesa, peeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosa dengan G5P3A1 + Hamil 38-39 minggu, janin presentasi
kepala tunggal hidup, dengan Anemia dan BSC 3x. dari hasil pemeriksaan
penunjang darah rutin Hb 8,9 g/dl pasien diklasifikasikan dalam anemia
ringan, berdasarkan diagnose tersebut persiapan pre anastesi keluarga
pasien di informed concent dengan kemungkinan akan terjadinya
perdarahan, syok hipovolemi, diangkatnya uterus guna mengkontrol
perdarahan, hingga risiko terburuk terjadinya kematian, keluarga juga
diedukasi untuk menyediakan darah 2-3 bag guna persiapan operasi.
2. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2 berdasarkan: anemia dengan Hb
8,9 g/dl.
3. Saat durante operasi pasien mengalami perdarahan 2100cc dengan estimasi
blood loss sekitar 45%, dan dilakukan resisutasi cairan sebanyak 1850cc
koloid.
4. Untuk mencegah perdarahan yang lebih lanjut dilakukan tindakan
histerektomi supravaginalis.
4.2 Saran
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan RA SAB yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi, pada pasien terjadi
kehilangan darah sebanyak 45% dari EBV.
DAFTAR PUSTAKA