IMS
IMS
Ketua Pelaksana:
Dr. Fonny J Silfanus, MSc
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Peneliti Utama:
Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia
Pemantau Teknis:
Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K)
Departemen Kulit dan Kelamin,
Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Peneliti:
Dr. Flora Kioen Tanudjaya, MSc
Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM
Dr. Kemmy Ampera Purnamawati
Aang Sutrisna
Siswadi
Dr. Leny Senduk
Hari Purnomo
Vita Ayu
Family Health International, Indonesia
Aksi Stop AIDS (ASA) Program
Nurjannah, SKM
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Puskesmas Lebdosari
1.Dr. Christina Widowati
2.Sri Susanti
Puskesmas Mangkang
1.Dr. Lina Wita
Yayasan Kalandara
1.Muhammad Yusuf
2.Trik Mika
3.Chatarina Rina P
Sedangkan perhatian terhadap IMS pada saat ini seakan terabaikan, karena
lebih tertuju kepada penanggulangan HIV, terbukti dengan kurangnya data
data yang berhubungan dengan IMS tersebut.
Dari beberapa sumber data yang ada, disebutkan bahwa sifilis, ulcus molle
(Canchroid ) dan herpes genitalis meningkatkan resiko penularan HIV 2 9
kali.
I . PENDAHULUAN 1
II . TUJUAN 5
III. METODA 7
III.1. Rancangan penelitian dan populasi yang diteliti 7
III.2. Strategi penghitungan dan pengambilan sampel 7
III.3. Waktu dan tempat 8
III.4. Tim pengumpul data 8
III.5. Alur proses pengambilan data 9
III.6. Diagnosis dan pengobatan 10
III.7. Pemeriksaan laboratorium 11
IV. HASIL 13
IV.1. Rekrutmen 13
IV.2. Karakteristik populasi yang diteliti 14
IV.3. Pemeriksaan fisik 20
IV.4. Prevalensi ISR 21
IV.5. IMS Tanpa Tanda 21
IV.6. Perilaku Berisiko 22
IV.6.1 Pemakaian kondom 22
IV.6.2 Perilaku Pecegahan yang keliru 23
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS 24
IV.7. Cakupan Program 25
v
v
i
DAFTAR TABEL
Tabel 3.
Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran
Prevalensi ISR
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, Indonesia, 11
2005
Tabel 6 .
Perhitungan Perkiraan Prevalensi Gonore dan Klamidia
dengan Genprobe
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, 2005 28
v
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, 2005 26
i
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) mempermudah
penularan HIV sehingga prevalensi IMS dan ISR dapat menunjukkan risiko
penyebaran HIV. Di Indonesia, epidemi HIV sudah terkonsentrasi dengan prevalensi
HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat >5%, bahkan 26,5% di
Merauke (Papua). Di samping itu, prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran
perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan
HIV/AIDS. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui
surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan,
melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu
upaya penanggulangan IMSHIV/AIDS.
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS tahun 2003 melaporkan di 7 kota yang diteliti
terdapat 54% 75% WPS lokalisasi, 48% 77% WPS tempat hiburan, dan 62% 93%
WPS jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang diteliti. Khusus kota Semarang, dilaporkan
terdapat 57% WPS lokalisasi dan 68% WPS jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang
diteliti. Penelitian di kota Semarang kali ini merupakan bagian dari penelitian yang
dilaksanakan di 10 kota/ kabupaten, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang,
Medan, Palembang, Tanjung Pinang, Bitung, Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya.
Tujuan
Tujuan utama adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis,
herpes simpleks tipe 2, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis dan kandidiasis
vaginal pada WPS di kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian juga mendeskripsikan
karakteristik demografis dan perilaku seksual berisiko tinggi WPS.
v
x
i
Metoda
Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara crosssectional. Populasi yang diteliti
adalah WPS langsung dan tidak langsung berumur 15 – 50 tahun, sedang tidak
menstruasi dan tidak hamil. Jumlah yang diperlukan 237; dengan memperhitungkan
ketidakhadiran maka diundang 333 WPS. Penelitian dilaksanakan tanggal 10 17
Juni 2005 oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal.
Sampel WPS tidak langsung (74 orang) diambil dari panti pijat, diskotik, bar, dan
karaoke sedang sampel WPS langsung (176 orang) diambil dari lokalisasi dan
jalanan.
Hasil
Umur WPS di Semarang berkisar antara 17 – 45 tahun (WPS langsung 17 – 45
tahun, median 26 tahun; WPS tidak langsung 17 – 44 tahun, median 29 tahun).
Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun, tidak
langsung 18 tahun; termuda 11 tahun pada WPS langsung dan 13 tahun pada tidak
langsung. Delapan puluh persen WPS langsung berpendidikan SMP atau lebih
rendah, sedangkan >75% WPS tidak langsung berpendidikan sama atau lebih tinggi
dari tingkat SMP.
Tiga puluh dua persen WPS langsung dan 15% yang tidak langsung tidak memakai
alat kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian terbesar
dengan suntik atau pil. Median lama kerja WPS langsung 18 bulan, WPS tidak
langsung 24 bulan. Sekitar 53% WPS langsung dan 30% WPS tidak langsung baru
bekerja di lokasi sekarang sekitar satu tahun atau kurang. Sebagian besar WPS
langsung maupun tidak langsung berasal dari kota / kabupaten di Jawa Tengah.
Median jumlah pelanggan WPS langsung dalam seminggu terakhir 7 orang, WPS
tidak langsung 5 orang. Lima puluh empat persen WPS langsung dan 49% yang
tidak langsung menyatakan tidak tahu apa latar belakang pelanggan tersering
mereka; 19% WPS langsung dan 35% tidak langsung menyatakan pelanggan
tersering adalah pegawai swasta.
Secara keseluruhan, prevalensi gonore dan klamidia ditemukan sebesar 32% dan
56%. Pada WPS langsung prevalensi gonore 40% dan klamidia 62%, pada yang
tidak langsung
x
12% dan 43%. Infeksi ganda gonore dan klamidia 24%, WPS langsung 30%, tidak
langsung 9%. Prevalensi trikomoniasis vaginalis 8%, WPS langsung 11%, tidak
langsung 3%. Prevalensi bakterial vaginosis 57%, WPS langsung 55%, tidak
langsung 62%. Prevalensi vaginal kandidiasis 2%, WPS langsung 2%, tidak
langsung 3%. Prevalensi sifilis laten 6%, WPS langsung 9%, tidak langsung 1%.
Prevalensi serologi positif (IgG) herpes simpleks tipe 2 dijumpai sebesar 97%, WPS
langsung 98%, tidak langsung 96%.
Dalam seminggu terakhir 12% WPS langsung dan 39% tidak langsung selalu
menggunakan kondom; 9% WPS langsung dan 12% tidak langsung tidak
menggunakan kondom sama sekali. Terdapat dua perilaku pencegahan terhadap
IMSHIV yang keliru: minum antibiotik dosis tidak tepat (38% WPS langsung dan 51%
tidak langsung) dan cuci vagina (94% WPS langsung dan 97% tidak langsung).
Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, 61% WPS langsung dan 69%
WPS tidak langsung tidak melakukan pengobatan yang benar (tidak diobati sama
sekali, beli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional).
Kesimpulan
Prevalensi ISR/IMS yang diteliti masih tinggi. Sebagian besar kasus tidak
menunjukkan tanda dan gejala. Konsistensi pemakaian kondom masih rendah,
bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. Proporsi
perilaku pencegahan yang salah yaitu pemakaian antibiotik dan cuci vagina sangat
tinggi. Begitu juga proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah.
Pelanggan WPS bukan hanya kelompok yang diasumsikan berperilaku seksual
risiko tinggi (seperti ABK, nelayan, sopir), tetapi juga TNI/Polri, PNS, pegawai
i
swasta, buruh kasar, pedagang dan pelajar/mahasiswa. Jangkauan program
penanggulangan IMSHIV/AIDS masih terbatas.
x
Saran
Program pencegahan primer IMS di kalangan WPS di Semarang perlu diperkuat dan
diperluas untuk meningkatkan jangkauan (minimal 80%), termasuk kelompok lakilaki
yang berpotensi menjadi pelanggan WPS. Program pencegahan sekunder IMS
berupa tatalaksana klinis IMS perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya. Institusi
penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium, sekurang-
kurangnya laboratorium sederhana, untuk mendiagnosis IMS. Program penguatan
komponen pendukung bagi penanggulangan IMS di Semarang perlu dilaksanakan
untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang
sudah ada. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui
berbagai cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah. Pengukuran prevalensi
ISR di Semarang perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans) agar didapat data
guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan IMS-
HIV/AIDS selanjutnya.
xii
i
I
PENDAHULUAN
I
nfeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahui
mempermudah penularan HIV. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya
perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu
tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi
HIV masih rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan
prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat lebih dari 5%,
bahkan pernah mencapai 26,5% di Merauke (Papua). 1,2
Dengan prevalensi IMS pada
WPS yang tinggi sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, 3,4,5,6,7,8
dikhawatirkan
penyebaran HIV di Indonesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS
perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi
informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi
program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS HIV/AIDS.
1
akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai kecenderungan (trend)
perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, serta menjadi alat manajemen
(perencanaan, pelaksanaan, monitor, evaluasi, memperbaiki perencanaan) program
penanggulangan IMS/HIV/AIDS. 10
Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi
(ISR) pada WPS, yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan
Program ASA pada tahun 2003, melaporkan bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 54%
75% WPS lokalisasi, 48% 77% WPS tempat hiburan, dan 62% 93% WPS jalanan
yang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. 11
Khusus kota Semarang, dilaporkan
terdapat 57% WPS lokalisasi dan 68% WPS jalanan yang terinfeksi satu atau lebih ISR
yang diteliti. 12
Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di Semarang pada tahun 2003,
dijelaskan pada tabel 1.
Laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001
menunjukkan prevalensi gonore dan klamidia yang tinggi, yaitu antara 2035%, 3,4,7,8
dan
prevalensi serologi sifilis positif pada WPS di Jawa Tengah tahun 1994 – 2001 berkisar
antara 0 – 14,4%. 6
Angkaangka prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan
pengukuran yang masih bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi.
3
>
II
TUJUAN
T
ujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur prevalensi infeksi
gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe dua, trikomoniasis
vaginalis, bakterial vaginosis, dan kandidiasis vaginal pada WPS di
kota Semarang, Jawa Tengah.
Di samping itu, penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku
seksual berisiko tinggi para WPS yang diteliti.
WPS tidak langsung, yang selain mempunyai pekerjaan utama lain juga
secara tidak langsung menjajakan seks di tempattempat hiburan
seperti pramupijat, pramuria bar / karaoke
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga
proporsi dalam satu sampel. 13
Ratarata proporsi praduga, yang dihitung dari ratarata
prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (gonore 27,12%, infeksi
klamidiasis 24,71%, trikomoniasis 9,50%, sifilis 4,12%, bakterial vaginosis 27,35%)
adalah 19 %. 11
5
kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%, didapatkan
besar sampel 237.
Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi
ISR yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek
i
n = Jumlah sampel
Z = Nilai uji – t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96
P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti
d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (True Prevalence) yang besarnyadisesuaikan
dengan prevalensi. Secara umum nilai D yang sering dianggap bermakna adalah 5%.
pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan menjadi
250.
Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau tidak memenuhi kriteria,
maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS
langsung dan tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya
populasi.
Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka
sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung,
ditetapkan jumlah masingmasing populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi.
Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama
dilakukan pengambilan sampel kluster secara probability proportional to size (pps).
Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster
terpilih.
Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim
inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti
Kesehatan dan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Staf Dinas
Kesehatan dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Bagian Sosial Pemerintah Kota
Semarang, wakil dari Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Semarang yang
ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Lebdosari dan Puskesmas Mangkang,
dan LSM (Kalandara, dan Griya ASA PKBI Kota Semarang). Kualitas teknis proses
>
pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis dari bagian Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta
menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian
serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan.
Setelah memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian,
ia diminta memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan.
Seorang saksi akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak
dimintai persetujuan secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya
membuat penelitian ini anonymous serta untuk melindungi WPS dari risiko
mendapatkan perlakuan diskriminatif maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari
pihak manapun.
7
pengobatan dapat diberikan pada hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitis
dianggap mencakup gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah
pengobatan untuk kedua penyebab infeksi tersebut sekaligus.
>
III.7 Pemeriksaan Laboratorium
Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan
dasar diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas,
kecuali untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan
laboratorium yang menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera
dalam tabel 2 di bawah.
Sampel
Diagnosis Tes Laboratorium Biologis Tempat Tes
9
Polymerase Chain Cairan Laboratorium Badan
Klamidia
Reaction, Amplicor ® endoserviks Litbangkes
Cairan
Trikomoniasis Kultur, In Pouch ® Klinik Setempat
endoserviks
>
IV
HASIL
IV.1 Rekrutmen
Sampel WPS tidak langsung diambil dari bar, karaoke, diskotik, dan panti pijat yang
tersebar di kota Semarang. Sedangkan sampel WPS langsung diambil dari lokalisasi
Sunan Kuning, Gambilangu dan jalanan (Jl. A. Yani, Jl. Pemuda, Johar – Mberok,
Polder – Tawang, Simpang Lima, Tanggul Indah). Realisasi proses pemilihan dan
pengikutsertaan sampel tertera dalam tabel 4 di bawah.
Tidak Gugur
Besar Ikut
Kelompok Diundang Hadir Menolak penuhi dalam
Populasi Serta
kriteria sampling
WPS
Langsung 1049 326 266 4 25 61 176
Sesuai proporsi besar populasi (67% WPS langsung dan 33% WPS tidak langsung),
undangan seharusnya diberikan kepada 223 WPS langsung dan 100 WPS tidak
langsung. Tetapi karena jumlah WPS langsung dan tidak langsung yang ada di
beberapa kluster terpilih melebihi jumlah yang seharusnya diundang (cluster size), dan
situasi dilapangan tidak memungkinkan untuk mengundang sebagian saja, maka
diputuskan untuk mengundang semua WPS langsung dikluster tersebut.
Dari 326 WPS langsung yang diundang, 266 yang hadir. Di antara mereka, terdapat 4
orang yang menolak ikut serta (4 orang tidak bersedia menjalani pemeriksaan fisik dan
pengambilan cairan endoserviks) dan 25 orang yang tidak memenuhi kriteria (3 orang
sedang hamil, 3 orang mengaku tidak menjajakan seks, 18 orang sedang haid).
Dengan demikian tinggal 176 WPS langsung yang ikut serta.
Dari 427 WPS tidak langsung yang diundang, 119 yang hadir. Tidak ada yang menolak
ikut serta, 11 orang tidak memenuhi kriteria (4 orang sedang haid, 7 orang mengaku
tidak menjajakan seks).
Jumlah sampel yang memenuhi kriteria melebihi target yang ditetapkan, oleh karena itu dilakukan
pemilihan secara acak 250 sampel dari 345 WPS yang hadir dan memenuhi
kriteria.
Secara umum, umur WPS di Semarang berkisar antara 17 45 tahun. Mungkin ada
WPS yang berusia di bawah 15 tahun atau di atas 50 tahun, namun mereka tidak
memenuhi kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.
11
berbeda dengan hasil penelitian tahun 2003 (median umur WPS langsung 26 tahun),
sedangkan WPS tidak langsung tidak dapat dibandingkan karena pada penelitian tahun
2003 tidak ada responden WPS tidak langsung. 12
Distribusi umur WPS penting untuk
diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMSHIV.
>
Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun dan yang tidak
langsung 18 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung
adalah 11 tahun dan yang tidak langsung 13 tahun. Sebagian besar WPS telah
berhubungan seks sebelum usia 20 tahun. Umur termuda saat pertama kali
berhubungan seks WPS langsung pada penelitian ini sama dengan penelitian
sebelumnya yaitu 11
tahun. 12
Tingkat pendidikan WPS langsung lebih rendah dibandingkan dengan WPS tidak
langsung Sebagian besar WPS langsung (90%) berpendidikan SMP ke bawah, bahkan
2% mengaku tidak pernah duduk di bangku sekolah.
Hanya 19% WPS langsung dan 55% WPS tidak langsung yang berstatus menikah,
tetapi ada 47% WPS langsung dan 50% WPS tidak langsung yang mempunyai pacar.
Status menikah dan mempunyai pacar tidak bersifat mutually exclusive (yang berstatus
menikah dapat juga mempunyai pacar). Di antara WPS yang tidak menikah, sebagian
besar berstatus cerai hidup, sebagian kecil cerai mati, dan sebagian lagi memang
belum menikah. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, proporsi WPS langsung
yang menikah sekitar 1,5 kali lebih besar. Sedangkan proporsi WPS langsung yang
mempunyai pacar sedikit lebih tinggi (43%). 12
Lebih dari setengah WPS langsung (67%) maupun tidak langsung (83%) menggunakan
alat kontrasepsi. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metoda
Pendidikan
Tidak Pernah Sekolah 3 (2%) 0 (0%) 3 (1%)
SD 95 (54%) 60 14 (19%) 27 109 (44%)
SMP (34%) (36%) 87 (35%)
SMA Akademi/PT 18 (10%) 30 (41%) 48 (19%)
0 (0%) 3 (4%) 3 (1%)
Pasangan Tetap & Stat us Pernikahan
13
< 6 bulan 40 (23%) 9 (12%) 49 (20%)
6 bulan 1 tahun 1 2 52 (30%) 40 13 (18%) 17 65 (26%) 57
tahun (23%) (23%) (23%)
2 4 tahun 25 (14%) 25 (34%) 50 (20%)
> 4 tahun Ratarata 19 (11%) 23 10 (14%) 30 29 (12%) 25
(Bulan)
>
Median lama kerja WPS langsung 1,5 tahun dengan masa kerja terlama 15 tahun.
Median lama kerja WPS tidak langsung 2 tahun dengan masa kerja terlama 12 tahun.
Secara umum tampaknya masa kerja WPS langsung lebih lama dibandingkan WPS
tidak langsung. Dalam penelitian ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan
lama kerja sebagai WPS khusus di lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu
diketahui bahwa mereka sering berpindahpindah lokasi kerja. Sekitar setengah dari
WPS yang diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun.
Sebagian besar WPS di Semarang berasal dari Jawa Tengah. Namun ada juga yang
berasal dari provinsi lain yang dekat, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta,
dan provinsi yang jauh, seperti dari Lampung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
Median jumlah pelanggan seminggu terakhir bagi WPS langsung sebanyak 7 orang dan
WPS tidak langsung 5 orang. Dibandingkan penelitian sebelumnya (median 3 orang,
4% mendapat <2 orang pelanggan), tampaknya terjadi peningkatan 2 kali untuk jumlah
pelanggan WPS langsung. 12
15
Gambar 2. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu
Terakhir Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di
Semarang, 2005
>
Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam kelompok lakilaki yang
dinyatakan sebagai pelanggan tersering oleh para WPS. Lebih dari seperlima (19%)
WPS langsung dan lebih dari sepertiga (35%) WPS tidak langsung menyatakan
pelanggan tersering mereka adalah karyawan swasta. Pelanggan tersering yang
lainnya terdiri dari kelompok lakilaki yang selama ini dianggap berperilaku seksual risiko
tinggi (orang asing, supir) dan yang selama ini dianggap kurang/tidak berperilaku
seksual risiko tinggi (pedagang, TNI/Polri, PNS, pedagang, buruh, dan pelajar). Hal ini
tidak berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. 12
17
Gambar 4. Pelanggan Tersering WPS tidak langsung
Dalam 1 Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, 2005
Dari pemeriksaan fisik dengan spekulum untuk melihat vagina dan endoserviks, tanda
yang didapatkan adalah cairan tidak jernih dari vagina, yaitu pada 77 WPS tidak
langsung (44%) dan 40 WPS tidak langsung (54%). Cairan tidak jernih dari
endoserviks ditemukan pada 121 WPS langsung (69%) dan 45 WPS tidak langsung
(61%). Ditemukan 1 orang dengan ulkus pada pemeriksaan fisik.
Pada penelitian ini ditemukan prevalensi gonore dan klamidia pada WPS di kota
Semarang secara umum sebesar 32% dan 56%. Pada WPS langsung prevalensi
gonore dan klamidia ditemukan sebesar 40% dan 62%, sedang pada yang tidak
langsung sebesar 12% dan 43%. Infeksi ganda gonore dan klamidia dilaporkan sering
18 > LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA PENJAJA SEKS
Prevalensi sifilis laten secara umum 6%, pada WPS langsung 9%, tidak langsung 1%.
Prevalensi serologi positif (Immunoglobulin G) herpes simpleks tipe 2 secara umum
97%, WPS langsung 98% dan yang tidak langsung 96%.
Dalam penelitian ini ditemukan 43 (27%) kasus yang positif gonore atau klamidia
(pemeriksaan PCR), 11 (52%) kasus trikhomoniasis, 56 (100%) kasus sifilis dan 242
(99%) infeksi herpes simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan tanda pada pemeriksaan
fisik.
19
IV.6 Perilaku Berisiko
20 > LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA PENJAJA SEKS
Terdapat sedikitnya 2 macam perilaku pencegahan terhadap IMSHIV yang keliru yang
dipraktekkan oleh WPS di Semarang. Yang pertama adalah minum antibiotik dengan
dosis tidak tepat (38% WPS langsung, 51% WPS tidak langsung), antibiotik yang
diminum antara lain supertetra, tetrasiklin, ampisilin, amoksilin dan siprofloksasin.
Perilaku pencegahan keliru yang kedua adalah mencuci vagina, yang dilakukan sendiri
oleh 94% WPS langsung dan 97% WPS tidak langsung. Yang dimaksud dengan cuci
vagina ialah membersihkan liang vagina dengan cara memasukkan cairan sampai
mulut rahim. Cuci vagina dilakukan menggunakan bermacam bahan seperti odol/pasta
gigi, sabun, air sirih dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan di media
massa.
21
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS
Pada umumnya, IMS tidak menimbulkan gejala pada wanita. Dalam penelitian ini,
hanya 8,4% (WPS langsung 9%, tidak langsung 7%) yang mempunyai keluhan ketika
diperiksa. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, sebagian besar WPS
(61% WPS langsung, 69% tidak langsung) tidak melakukan pengobatan yang benar
(tidak diobati sama sekali, membeli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional).
Bagi yang berobat, terdapat 3 tempat berobat yang sering didatangi, yaitu klinik swasta
(termasuk klinik LSM), puskesmas dan dokter praktek swasta.
Terdapat sedikit perbedaan pola perilaku pengobatan antara WPS langsung dengan
tidak langsung. Lebih banyak WPS langsung yang berobat ke klinik swasta, dalam hal
ini klinik LSM yang melaksanakan program HIV/AIDS bagi WPS langsung/jalanan,
sedangkan WPS tidak langsung lebih banyak berobat ke dokter praktek swasta.
22 > LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA PENJAJA SEKS
Dalam 3 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik
IMS bagi WPS langsung maupun tidak langsung di Semarang. Ternyata lebih banyak
WPS langsung yang dicakup dalam program penjangkauan maupun program klinik.
23
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang,
2005
V
DISKUSI
P
revalensi IMS dan ISR pada WPS di Semarang tahun 2005 tergolong
tinggi. Pada tahun 2005, prevalensi klamidia lebih tinggi dari prevalensi
gonore. Sedangkan pada tahun 2003, kebalikannya.
24 > LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA PENJAJA SEKS
Untuk membandingkan prevalensi gonore dan klamidia tahun 2003 dengan 2005
dilakukan perhitungan konversi berdasarkan hasil tes GenProbe pada 70 sub sampel
(20% dari total sampel). Diperoleh estimasi prevalensi gonore secara umum tahun
2005 sebesar 16% dan klamidia 27% (lihat Tabel 6). Sedangkan estimasi prevalensi
gonore dan klamidia tahun 2005 khusus untuk WPS langsung adalah 20% dan 30%
(lihat Tabel 7).
Dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2003, prevalensi sifilis pada WPS
langsung tahun 2005 lebih tinggi (9% dibandingkan dengan 7%). Demikian pula
prevalensi bakterial vaginosis pada WPS langsung tahun 2005 jauh lebih tinggi
daripada tahun 2003 (55% dibandingkan dengan 21%).
Gonore Klamidia
# Genprobe positif pada spesimen dengan
Genprobe & PCR
8/70 18/70
# PCR positif pada spesimen dengan Genprobe &
PCR
16/70 38/70
Rasio Genprobe : PCR 8/16 = 0.50 18/38 = 0.47
# spesimen positif pada spesimen tanpa
Genprobe
63/180 103/180
Perkiraan Genprobe positif pada specimen tanpa
63 x 0.50 = 32 103 x 0.47 = 49
Genprobe
Perkiraan total spesimen positif dengan Genprobe 32 + 8 = 40/250 49 + 18 = 67
Perkiraan Prevalensi dengan Genprobe 16% 27%
25
Prevalensi dengan PCR 32% 56%
Kandidiasis 4% 2% 3%
Sifilis 7% 9% 1%
*Prevalensi setelah penyesuaian
Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan
seksual, melainkan merupakan infeksi yang berlokasi di saluran reproduksi. Kedua
infeksi ini mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan
terhadap infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan
flora normal vagina terganggu, yaitu berkurangnya jumlah lactobacillisehingga pH
vagina menjadi basa, suatu keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 16
Prevalensi HSV2 tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi
pada tahun 2005 ini sangat tinggi (97% total, 98% WPS langsung, 96% WPS tidak
langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah
dikutip oleh Ashley dan Wald bahwa prevalensi serologis HSV2 pada WPS di berbagai
negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%, 18
namun lebih tinggi dari yang
pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV2 pada
WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60%. 19
Dalam penelitian ini didapatkan hanya
16% WPS langsung dan 18% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV2 yang
menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun terakhir.
26 > LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA PENJAJA SEKS
Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun
tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari
waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV
(menjadi infeksi oportunistis). Sifat kambuhan ini merupakan beban kesehatan maupun
psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si
penderita menjadi sumber penularan seumur hidupnya, walaupun pada kasus sub-
klinis/ tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan
yang disertai gejala klinis berupa lesi atau ulkus herpetik. Namun justru karena tidak
adanya lesi, aktivitas seksual tetap tinggi sehingga penularan infeksi virus herpes
simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun gejala klinis
infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang
tertular dapat lebih berat. 17,20,21,22
Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan gejala. Karena itu,
dibutuhkan program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan
pemeriksaan penunjang, sekurangkurangnya pemeriksaan laboratorium sederhana.
27
Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Prevalensi IMS
yang tinggi pada WPS di Semarang ini, merupakan pertanda risiko penyebaran HIV
yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual antara WPS dengan pelanggan
dan pelanggan dengan isteri/pasangan seks tetapnya. Tetap tingginya prevalensi IMS
di Semarang menunjukkan bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak
terjadi. Gambar 7 menunjukkan rendahnya pemakaian kondom oleh para WPS ketika
melayani pelanggannya, bahkan masih banyak WPS yang tidak memakai kondom
sama sekali.
Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai
perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri, berobat tradisional, dan
tidak berobat (gambar 8) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun
masalah sosial yang cukup besar di kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik
pada WPS maupun pelanggan serta isteri/anak pelanggan, antara lain: gonore dan
klamidia dapat menyebabkan kelainan pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak
dan dewasa, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan,
infertilitas / kemandulan pada lakilaki maupun wanita, dan striktura uretra /
penyempitan saluran kencing pada laki
laki. 22,24
Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan
pengobatan yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan dan
angka pemakaian kontrasepsi sangat rendah, padahal mereka ada dalam usia
reproduktif dan sangat aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Koinfeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum,
antara lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular,
masa penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun,
dan mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS. 23
Program penanggulangan IMS yang telah ada di Semarang sangat penting dan perlu
ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu
untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi
>
Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi
perilaku seksual berisiko (termasuk promosi dan jaminan ketersediaan serta
keterjangkauan kondom di lokasi transaksi seks), menghindari perilaku pencegahan
yang keliru dan meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 23,24
Cakupan program pencegahan primer secara umum telah cukup baik (gambar 9 dan
10) namun belum terjadi perubahan perilaku sebagaimana diharapkan.
Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa peningkatan pemakaian kondom yang
konsisten, tidak akan dapat optimal menurunkan prevalensi IMS. Hal itu terkait risiko
pekerjaan WPS yang selalu terpapar sumber penularan pada saat melayani
pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satu
di antaranya menularkan IMSHIV kepada WPS.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat
kontrasepsi, sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan
KB/kontrasepsi agar mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan
ganda terhadap kehamilan maupun penularan IMSHIV.
Berbagai kelompok lakilaki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua
berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4) Oleh karena, itu kerja sama
dengan berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para
pelanggan sangat diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan
29
kelompok pasangan seks para WPS yang perlu diperhatikan dalam promosi
penggunaan kondom. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS
cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan
pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami). 26
Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan
perilaku pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina.
Perilaku minum antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak
tepat dosis maupun tidak tepat pilihan) berpotensi menyebabkan resistensi
mikroorganisme terhadap antibiotika. Sedangkan cuci vagina menyebabkan penipisan
epitel vagina sehingga mempermudah terjadinya luka sebagai pintu masuk IMSHIV.
Selain itu, cuci vagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa
ini kondusif untuk pertumbuhan organisme penyebab IMS. 27,28
,29
Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontraproduktif terhadap perilaku
pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk melindungi
diri dari penularan IMSHIV, karena timbul rasa aman yang semu.
Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis
dan terapi yang akurat dan konseling serta rujukan pasangan seks, serta skrining/
penapisan berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan
sekunder dibutuhkan sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan
dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.
Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS 24,26
Kualitas layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen klinis
IMS
>
Di Semarang telah ada klinik LSM yang menyediakan layanan IMS dengan
memperhatikan halhal tersebut di atas. 29
Klinik inilah yang diidentifikasi sebagai klinik
swasta yang dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku
pengobatan yang benar, yang dilakukan oleh sedikit WPS, berobat ke klinik swasta /
LSM ini dipilih oleh lebih banyak WPS langsung.
Dalam tatalaksana IMS, apabila seorang WPS terinfeksi IMS, maka pasangan seks
tetapnya perlu juga diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini
menunjukkan sebagian besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami
maupun pacar. Namun belum diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS.
Di samping ke tiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk
menunjang program penanggulangan IMSHIV, yaitu pengamatan penyakit/surveilans,
dan pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi
bahan untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 23,24
Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur
yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 11 tahun,
sebagian besar sebelum 20 tahun). Hasil ini tidak berbeda dengan laporan DKT
31
(Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota
besar di Indonesia berhubungan seks pertama kali menjelang usia 18 tahun, dan
terdapat 16% yang berhubungan seks pertama kali pada umur antara 13 dan 15 tahun.
31
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja perlu diberikan
sedini mungkin sebagai bekal menghindarkan diri dari tertular IMSHIV.
>
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
1. Prevalensi setiap jenis dari 7 ISR/IMS yang diteliti ternyata masih tinggi.
2. Sebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda dan gejala.
3. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah. Bahkan perilaku sama sekali
tidak menggunakan kondom masih tinggi.
4. Proporsi perilaku pencegahan yang didasarkan pada persepsi yang salah tentang
antibiotik dan cuci vagina masih tinggi.
5. Proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah (tidak diobati, diobati
sendiri, dan obat tradisional) masih tinggi.
6. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok lakilaki yang selama ini
diasumsikan berperilaku seksual risiko tinggi (ABK, nelayan, sopir), melainkan juga
kelompok lain, seperti TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang,
pelajar/mahasiswa.
1. Program pencegahan primer IMS di Semarang perlu diperkuat dan diperluas untuk
meningkatkan jangkauan, minimal 80% dari WPS lokalisasi, jalanan maupun
tempat hiburan, serta menjangkau sebanyak mungkin kelompok lakilaki.
6. Peredaran antibiotika perlu diatur dengan lebih baik untuk mengurangi perilaku
pencegahan dan pengobatan IMS yang salah
33
> Referensi
1
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jakarta; 2004.
2
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual
Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang Untuk Bertindak. Jakarta: KPA Nasional RI; 2001.
3
Surjadi C, Pariani S, Sumampouw J, Arief H. Penilaian Kedua Studi Prevalensi Penyakit Menular
Seksual pada Pekerja Seks Perempuan di Jakarta Utara, Surabaya, Manado/Semarang. Jakarta:
HIV/AIDS Prevention Project (HAPP) FHI IndonesiaUSAID dan Jaringan Epidemiologi Nasional;
2000.
4
Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Scachter J. Prevalence of N. gonorrhoeae and C.
trachomatis Infection among Commercial Sex Workers in Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denver:
PT Freeport Indonesia, Timika, Irian Jaya and University of California San Francisco;
1999.
5
Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S, Daili SF, Judarsono J,
Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yang diisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa
tempat di Jakarta (Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from female com
mercial sex workers in Jakarta). Jurnal Mikrobiologi Indonesia 1999, 4:2, 6063.
6
Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans, Ditjen PPM&PL, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
7
Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in Selected Populations in
Indonesia.Jakarta: Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project – AusAID; 2001.
8
Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S, Harun S. Validasi pemeriksaan
infeksi menular seksual secara pendekatan sindrom pada kelompok wanita berperilaku risiko tinggi.
Buletin Penelitian Kesehatan (2001) 28: 34, 460 472.
9
World Health Organization and UNAIDS. Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV: The
Next Decade. Geneva, World Health Organization (WHO/CDS/EDC/2000.05), 2000.
10
UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance. Guidelines for Effective Use of
Data from HIV Surveillance Systems. Geneva: 2004.
11
Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A,
Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di
Jayapura,Banyuwangi,
Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Semarang, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat
Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
13
Levy P & Lemeshow S. Sampling of populations: Methods and applications. New York, John Wiley &
Sons, 1991.
14
Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indo
nesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
15
Guidelines for the Management of Sexually Transmitted Infections. WHO; 2001.
16
Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis and HIV. Sexually Transmitted
Infection 2003; 76(1):34.
17
Ashley RL, Wald A. Genital Herpes: Review of the Epidemic and Potential Use of TypeSpecific
Serology. Clinical Microbiology Reviews 1999, 12:1, 18.
18
Sulastomo E. Prevalens Serologik Imunoglobulin G Virus Herpes Simpleks1 dan Virus Herpes
Simpleks2 Pada Pekerja Seks Komersial Wanita di Panti Rehabilitasi (Panti Sosial Karya Wanita
“Mulya Jaya” Pasar Rebo, Jakarta Timur). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004.
19
Patrick DM, Money D. Should Every STD Clinic Patient Be Considered for Typespecific Serological
Screening for HSV Herpes 2002; 9: 324.
20
Arya OP, Hart CA. Herpes Simplex Virus Infection. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually
Transmitted
Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
21
Butina M R. Genital Herpes. Acta Dermatologica 2000; 9(1).
22
Donovan B. Sexually Transmissible Infections Other Than HIV. Lancet 2004; 363: 54556.
23
Meheus A. Control of STI, HIV and AIDS. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted
Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
24
Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention and care. World Health Organi
zation/UNAIDS. WHO/UNAIDS/97.6, 1997.
25
Sedyaningsih ER. Perempuanperempuan Kramat Tunggak. Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan,
dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan – The Ford Foundation; 1999.
26
Thuy NTT, et al. HIV infection and risk factors among female sex workers in southern Viet Nam. AIDS
1998, 12:425 432.
27
Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbances of Vaginal Flora:
Association with Increase Acquisition of HIV. AIDS 1998; 12:1699705.
28
Minimum standard for FHIIndonesia sponsored STI Clinic, FHI Indonesia 2002.
29
Subagreement between Family Health International (FHI) and Perkumpulan Keluarga Berencana Indo
nesia Kota Semarang, pursuant to United States Agency for International Development (USAID) Coop
erative Agreement award number 497A0000 0003800.
30
Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di 4 Kota Besar di Indonesia, Jakarta: DKT Indonesia,
KfW, Bill and Melinda Gates Foundation, Synovate, Summer Rosenstock; 2005.
35
>