Anda di halaman 1dari 6

TEORI, PRINSIP DAN KONSEP PEMBELAJARAN

1. TEORI PEMBELAJARAN
Teori ialah prinsip kasar yang menjadi dasar pembentukan sesuatu ilmu pengetahuan. Dasar teori ini
yang akan di kembangkan pada ilmu pengetahuan agar dapat di ciptakan pengetahuan baru yang lebih
lengkap dan detail sehingga dapat memperkuat pengetahuan tersebut.Teori juga merupakan satu
rumusan daripada pengetahuan sedia ada yang memberi panduan untuk menjalankan penyelidikan dan
mendapatkan maklumat baru. Sehingga ada ahli yang mengemukakan asumsinya terhadap kebutuha
adanya sebuah rumusan teori. Menurut Snelbecker(di situs www.teknologi-pembelajaran.com)
menjelaskan sejumlah asumsi dijadikan dasar untuk menentukan gejala yang diamati dan atau teori
yang dirumuskan. Asumsi-asumsi itu adalah:
1. Ilmu dan pengetahuan berkembang dengan pesat dengan implikasi bagi kebanyakan orang
untuk mengikuti perkembangan itu.
2. Pertambahan penduduk akan senantiasa terjadi meskipun dengan derajat perbandingan yang
kian mengecil. Perkembangan penduduk ini membawa implikasi makin banyaknya mereka
yang perlu memperoleh pendidikan.
3. Terjadinya perubaha-perubahan mendasar dan bersifat menetap di bidang sosial, politik,
ekonomi, industri, atau secara luas kebudayaan, yang menghendaki re-edukasi atau pendidikan
terus-menerus bagi semua orang.
4. Penyebaran teknologi ke dalam kehidupan masyarakat yang makin meluas. Masyarakat
mengandung budaya dan teknologi, yang memengaruhi segenap bidang kehidupan, termasuk di
dalamnya bidang pendidikan.
5. Makin terbatasnya sumber-sumber tradisional sehingga harus diciptakan sumber-sumber baru
dan sementara itu memanfaatkan sumber yang makin terbatas itu secara lebih berdaya guna dan
berhasil guna. Termasuk dalam sumber tradisional ini adalah sumber insani untuk keperluan
pendidikan.
Dan untuk asumsi tersebut dapat di buktikan kebenarannya atau tidak itu tidak menjadi masalah dalam
teori Pembelajaran. Yang terpenting adalah hasil Teori -teori yang di kemukakan ahli dapat
memberikan rumusan baru pada pembelajaran. Pada asasnya, teori-teori pembelajaran masa kini dapat
diklasifikasikan kepada teori yang utama yaitu yaitu behavioris, kognitif, sosial, humanis, Piaget,
Vygotsky, Ausubel, dan Konstruktivisme. Untuk lebih jelasnya, disini akan di bahas satu-persatu di
bawah ini.
1. Teori Behavioris
Teori behavioris yang diperkenalkan oleh Ivan Pavlov dan dikembangkan oleh Thorndike dan Skinner,
berpendapat bahwa pembelajaran adalah berkaitan dengan perubahan tingkah laku. Teori pembelajaran
mereka kebanyakannya dihasilkan dengan. Mereka menumpukan ujian kepada perhubungan antara
‘rangsangan’ dan ‘gerakbalas’ yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Ujian ini bisa bersifat
sebagai suatu usaha yang dapat merubah tingkah laku orang agar bisa lebih baik. Maka perubahan
inilah yang di sebut pembelajaran. Secara umumnya memang teori behavioris menyatakan bahwa
pengajaran dan pembelajaran akan mempengaruhi segala perbuatan atau tingkah laku pelajar sama ada
baik atau sebaliknya. Teori ini juga menjelaskan bahwa tingkah laku pelajar dapat diperhatikan dan
diprediksi apakah mengarah ke hal positif atau negative.

2. Teori Kognitif
Teori kognitif pula berpendapat bahwa pembelajaran ialah suatu proses pendalaman yang berlaku
dalam akal pikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara langsung dengan tingkah laku. Ahli-ahli
psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menjelaskan kajian kepada berbagai jenis pembelajaran
dalam proses penyelesaian masalah dan akal berdasarkan berbagai peringkat umur dan kecerdasan
pelajar. Teori-teori pembelajaran mereka adalah bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran
cerdik, urgensi penyelesaian masalah, penemuan dan pengkategorian. Menurut teori ini, manusia
memiliki struktur kognitif, dan semasa proses pembelajaran, otak akan menyusun segala pernyataan di
dalam ingatan.

3. Teori Sosial
Teori sosial pula menyarankan teori pembelajaran dengan menggabungkan teori behavioris bersama
dengan kognitif. Teori ini juga dikenal sebagai Teori Perlakuan Model. Albert Bandura, seorang tokoh
teori sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran akan dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan
dengan menggunakan pendekatan ‘permodelan’. Beliau menjelaskan lagi, bahwa aspek pemerhatian
pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan juga aspek peniruan oleh pelajar
akan dapat memberikan kesan yang menarik kepada kepahaman pelajar. Sehingga dalam pembelajaran
perlu ada obyek belajar sehingga seorang guru dapat mempraktekkan materinya untuk lebih dipahami
siswa dengan obyek tadi.

4. Teori Humanisme
Teori humanis juga berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya.
Seorang ahli teori ini, Carl Rogers menyatakan bahwa setiap individu itu mempunyai cara belajar yang
berbeda dengan individu yang lain. Oleh karena itu, strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran
dan pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi
pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk
mencapai aktualisasi diri. Maka, guru hendaknya menjaga psikologi pelajar dan memberi bimbingan
supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke tahap maksimal.

5. Teori Piaget
Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-tingkat
perkembangan intelektual dalam pembelajaran. Tahap- tahap tersebut berdasarkan umur seorang anak.
Tahap-tahap tersebut sebagai berikut:
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan
gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya.
Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu
saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada
umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki
dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di
sekelilingnya.
2. Tahap Preoporational (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya
belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai
dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas
pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan
bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-
ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru
melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata.
3. Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi
(concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau
volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi
sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih
dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu
menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa
dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-
kata).
4. Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu
mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang
mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal
operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana
yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Sehingga pada yang terakhir inilah merupakan kesempurnaan dari penerimaan pembelajaran yang baik
dan mengembangkan potensi diri yang sempurna.

5. Teori Vygotsky
Vygotsky adalah salah seorang tokoh konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya
interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek ling-kungan
sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).
Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosio budaya dalam pembelajaran.
Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksima (zone of
proximal development). Zona perkembangan proksima adalah tingkat perkembangan sedikit di atas
tingkat perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku.
Astuty (2000) secara terperinci, mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan “zona per-
kembangan proksima” adalah jarak antara tingkat per-kembangan sesungguhnya dengan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri sedangkan tingkat per-kembangan potensial adalah kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan rakan sebaya yang lebih
mampu. Oleh yang demkian, maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model
pembelajaran koperatif. Ide penting lain juga diturunkan Vygotsky ialah konsep pemenaraan
(scaffolding) (Nur 2000), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada siswa pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih
tanggung jawab sekadar yang mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan,
dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh ataupun hal-hal
lain yang memungkinkan siswa tumbuh sendiri.

6. Teori Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar 1996) bahan subyek
yang dipelajari siswa haruslah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu
proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah
disiswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses
pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki
seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai adalah lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan
strategi yang efisien dalam pembelajaran. Kekuatan dan makna proses pemecahan masalah dalam
pembelajaran sejarah terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peranan pada kumpulannya.
Untuk melancarkan proses tersebut maka diperlukan bimbingan secara langsung daripada guru, sama
ada secara lisan maupun dengan tingkah laku, manakala siswa diberi kebebasan untuk membangun
pengetahuannya sendiri.
Selanjutnya Ausubel mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningful
learning) dan belajar menghafal (rote learning). Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna.
Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur
kognitif ialah fakta-fakta, konsep konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
oleh siswa.
Lebih lanjut Ausubel (dalam Kartadinata, 2001) mengemukakan, seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah dipelajari.
Hal ini menjadikan pembelajaran akuntansi tidak hanya sebagai konsep-konsep yang perlu dihapal dan
diingat hanya pada saat siswa mendapat materi itu saja tetapi juga bagaimana siswa mampu
menghubungkan pengetahuan yang baru didapat kemudian dengan konsep yang sudah dimilikinya
sehingga terbentuklah kebermaknaan logis.

7. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme lahir dari idea Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme adalah satu faham bahwa
siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman
sedia ada. Dalam Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan
sedia ada untuk membina pengetahuan baru. Mengikut Briner (1999), pembelajaran secara
konstruktivisme berlaku di mana siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan
berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan
mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud.
Manakala mengikut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivisme adalah satu pendekatan
pembelajaran berasaskan kepada penelitian tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti
berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan
daripada orang lain.
Brooks dan Books (1993) pula menyatakan konstruktivisme berlaku apabila siswa membina makna
tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru pada apa yang mereka telah faham sebelum ini.
Mereka akan membentuk peraturan melalui cerminan tentang tindak balas mereka dengan objek dan
idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, ide atau perkaitan yang tak bermakna pada mereka, maka
mereka akan sama ada menginterpretasikan apa yang mereka lihat supaya sesuai dengan peraturan
yang telah dibentuk atau disesuaikan dengan peraturan agar dapat menerangkan informasi baru. Dalam
teori konstruktivisme, penekanan diberikan pada siswa lebih daripada guru. Ini karena siswalah yang
bertindak balas dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh kepahaman tentang bahan dan peristiwa
tersebut. Justru, siswa membina sendiri konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah (Sushkin
1999). Pada teori menekankan pada siswa untuk mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian
masalah. Sehingga dapat ditemukan cara yang sesuai dengan dirinya.

1. PRINSIP PEMBELAJARAN
Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengetengahkan tentang 7 (tujuh) prinsip praktik
pembelajaran yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan kualitas
pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait
dengan pendidikan.( disalin dari http://arminrasyid.wordpress.com/2009/10/31/7-prinsip-pembelajaran-
yg-baik/). Di bawah ini akan dijelaskan mengenai prinsip pembelajaran tersebut.
1. Encourages Contact Between Students and Faculty
Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas merupakan faktor yang
amat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya
kontak antara guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat
membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga, guru dapat berusaha memelihara
semangat belajar, meningkatkan komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang
nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya.

2. Develops Reciprocity and Cooperation Among Students


Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim dibandingkan melalui perpacuan
individual (solo race). Belajar yang baik tak ubahnya seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif dan
sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan
keterlibatannya dalam belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain dapat
semakin mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu.

3. Encourages Active Learning


Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar
duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru,
atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan
dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian dari
dirinya sendiri.

4. Gives Prompt Feedback


Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas kinerjanya sehingga mereka dapat
mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa
membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu
sering diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada bagian akhir,
siswa perlu diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu
diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri.

5. Emphasizes Time on Task


Ada pernyataan waktu + energi = belajar. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan
sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif
belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi
siswa dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah seyogyanya dapat mendefinisikan ekspektasi
waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi
bagi semuanya

6. Communicates High Expectations


Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang tinggi merupakan hal penting bagi
semua orang. Mengharapkan para siswa berkinerja atau berprestasi baik pada gilirannya akan
mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya
7. Respects Diverse Talents and Ways of Learning
Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan membawa bakat dan gaya belajarnya
masing-masing Ada yang kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam
praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk
menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing. Kemudian mereka
didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk
melakukannya.
Pada bagian lain, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengatakan bahwa guru dan siswa
memegang peran dan tanggung jawab penting untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi mereka
tetap membutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk membentuk sebuah lingkungan
belajar yang kondusif bagi praktik pembelajaran yang baik. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan
tersebut meliputi:
(a) adanya rasa tujuan bersama yang kuat;
(b)dukungan kongkrit dari kepala sekolah dan para administrator pendidikan untuk mencapai tujuan ;
(c) dana yang memadai sesuai dengan tujuan;
(d) kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan tujuan; dan
(e) evaluasi yang berkesinambungan tentang sejauh mana ketercapaian tujuan.
Dari selain prinsip diatas sebenarnya masih banyak prinsip pembelajaran yang dikembangkan sampai
saat ini. Tetapi disini penulis hanya mengambil beberapa saja.

1. KONSEP PEMBELAJARAN
Ada banyak sekali konsep pembelajaran yang diterapkan khususnya di Indonesia. Salah satunya konsep
pembelajaran konstekstual yang dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip
pembelajaran. Konsep pembelajaran yang konstekstual ini merupakan pembelajaran aktif antara guru
dan siswa. Dan di dalam konsep pembelajaran konstekstual ada unsur-unsurnya. Untuk lebih jelasnya
sebagai berikut penjelasannya.
Constructivisme
Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun
manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses
informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki. Belajar berarti
menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan
belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima pengetahuan sehingga
belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan
(konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang
efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuannya itu.
Inquiry
Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan
menarik simpulan. Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan observasi,
analisis data, kemudian mengomunikasikan hasilnya. Inquiri merupakan pembelajaran untuk dapat
berpikir nyata dan kritis dalam menyikapinya. Biasanya untuk inkuiri ini berbentuk kasus untuk
dianalisis berdasarkan teori yang ada.
Questioning
Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali informasi
tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi peserta didik sebagai
salah satu teknik dan strategi belajar. Jika pertanyaan bagus maka akan memberikan rasa ingin tahu
kepada peserta didik.
Learning Community
Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil
sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang.
Modelling
Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali informasi,
demonstrasi, dan lain-lain. Pemodelan ini dapat dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik,
dan tokoh lain.
Reflection
Yaitu tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari. Sehingga ada respon terhadap kejadian,
aktivitas/pengetahuan yang baru. Hasilnya nanti merupakan konstruksi pengetahuan yang baru.
Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya yang dapat memberikan imbal balik.
Autentic Assesment
Yaitu menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal iuni berlangsung selama proses pembelajaran
secara terintegras. Pada unsur ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yaitu test dan non-test.
Alternative bentuk yang dapat dilakukan kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal
Seorang ahli yang bernama Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran laian daripada
konsep pembelajaran konstektual yaitu “Student Centered Learning” yang intinya yaitu :
1. Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2. Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat
memperkuat/menumbuhkan “self”nya.
3. Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan.
4. Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap
peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir.
Dari kedua konsep tersebut memang tidak ada yang salah dalam pembelajaran. Biasanya yang terjadi
kekeliruan adalah pada saat prakteknya. Banyak pengajar yang mempraktekkan sesuka dirinya
sehingga jika dikatakan seorang pengajar itu hanya menggunakan satu konsep, itu merupakan
pernyataan yang salah. Banyak para pengajar yang menggunakan kombinasi berbagai konsep. Hal ini
agar menunjang pembelajaran yang baik dan agar bisa di mengerti oleh siswanya dengan baik. Ketika
seorang pengajar menggunakan konsep terdiri hanya satu itupun sebenarnya tidak salah, karena banyak
sekali pengajar yang mengajar dengan konsep sama tetapi terjadi perbedaan di teknik-teknik
pembelajarannya. Maka haruslah dimengerti untuk konsep ini bebas dilakukan oleh pengajar apakah
mimilih satu atau dua konsep.
1. PENUTUP
Dari berbagai penjelasan mengenai Teori,prinsip dan konsep pembelajaran ternyata merupakan hal
yang beraneka ragam di pembelajaran. Sehingga hal ini perlu dihubungkan dan dikaitkan agar bisa
menjadi sebuah kesatuan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Karena hal itulah yang
menjadi cita-cita setiap pembelajaran agar lebih mutunya daripada yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai