Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi karena jamur disebut sebagai mikosis, umumnya bersifat kronis, dapat
ringan pada permukaan kulit (mikosis kutan), dapat juga menembus kulit
menimbulkan mikosis subkutan. Mikosis yang sulit diobati adalah mikosis sistemik
yang sering menimbulkan kematian. Insiden infeksi jamur dapat meningkat pada
sejumlah penderita dengan penekanan system imun (misalnya, pada penderita kanker
dan transplatasi) dan pada penderita AIDS. Penderita-penderita ini sering kali
menderita jamur opurtunistik, seperti meningitis kriptokokus, atau aspergillus.
Mikosis sistemik; seperti blastomikosis, koksidioidomikosis, dan histoplasmosis
hampir selalu menjadi masalah dibeberapa daerah. Penggunaan antineoplastic dan
imunosopresan memberi kesempatan infeksi jamur sistemik berkembang dengan
cepat. Dinding sel jamur mengandung kitin, polodakarida dan ergosterol pada
membrane selnya; kandungan sel jamur ini berbeda dengan sel bakteri. Oleh karena
itu, infeksi jamur resisten terhadap antibiotika yang digunakan untuk infeksi bakteri,
dan sebaliknya bakteri juga resisten terhadap obat-obat anti jamur. Itraconazole
merupakan salah satu obat yang termasuk dalam obat jamur pada mikosis sistemik.
Zat aktif inilah yang akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.
Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa kejang.
Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron korteks dan
ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan electro
ensephalography (EEG) (Rogers dan Cavazos, 2009). Lazimnya pelepasan muatan
listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang
memberikan ritme normal pada electroencephalograms (EEGs). Serangan ini kadang

1
kala bergejala ringan dan hampir tidak kentara, tetapi ada kalanya bersifat demikian
hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit.
Antikonvulsi (anti kejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati bangkitan
epilepsi (epileticseizure) dan bangkitan non-epilepsi. Kebanyakan obat antikonvulsi
bersifat sedatif (meredakan). Semua obat antikonvulsi memiliki waktu paruh panjang,
dieliminasi dengan lambat, dan berkumulasi dalam tubuh pada penggunaan kronis.
Phenobarbital merupakan salah satu obat yang termasuk dalam obat antikonvulsi. Zat
aktif inilah yang akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yang


dapat dijadikan bahan pembahasan dalam makalah ini. Berikut adalah rumusan
masalahnya:
1. Bagaimana farmakodinamik Itraconazole?
2. Bagaimana farmakokinetik Itraconazole?
3. Bagaimana farmakodinamik Phenobarbital?
4. Bagaimana farmakokinetik Phenobarbital?

C. Tujuan Pembelajaran

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Mengetahui farmakodinamik Itraconazole.
2. Mengetahui farmakokinetik Itraconazole.
3. Mengetahui farmakodinamik Phenobarbital.
4. Mengetahui farmakokinetik Phenobarbital.

2
BAB II
ISI

A. Itraconazole
Itraconazole diperkenalkan pada tahun 1992 yang merupakan sintesis derivate
triazol. Itraconazole merupakan satu diantaranya obat antimikota yang bekerja
fungistasis atau fungisid yang dapat membunuh pertumbuhan jamur pada
manusia.

1. Indikasi
Dindikasikan pada pengobatan histoplasmosis dan blastomikosis.

2. Farmakodinamik
Mekanisme kerja Itraconazole dengan cara menghambat 14-α-
demhetylase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung
jawab untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.
Sprektum: aktif melawan Histoplasma capsulatum, Blastomyces, dermatidis,
Cryptococcus neoformans, Aspergillus fumigatus, dan Candida sp. Efek
teraupetiknya: Efek fungistatik terhadap organisme yang rentan.

3. Farmakokinetik
Absorpsi Itraconazole tidak begitu sempurna pada saluran
gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika
dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg
konsentrasi puncak puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu
2-4 jam.
Itraconazole mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum
melebihi 99% sehingga sehingga konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti
CSF jumlahnya sedikit. Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti

3
paru-paru, hati dan tulang dapat mecapai 2 atau 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada serum. Konsentrasi Itraconazole yang tinggi juga
ditemukan pada startum korneum akibat adanya sekresi obat pada sebum.
Itraconazole tetap dapat ditemukan pada kulit selama 2-4 minggu setelah
pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 4 minggu sedangkan pada
jari kaki Itraconazole masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah
pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 3 bulan.
Kurang dari 0,03% dosis Itraconazole akan di sekresi di urin tanpa
mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feses tanpa
mengalami perubahan. Itraconazole dimetabolisme di hati oleh system enzim
hepatic sitokrom P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekresi
oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang
merupakan suatu bioaktif.
Waktu Paruh: 21 jam

4. Kontraindikasi dan Perhatian


Di kontraindikasikan pada hipersentivitas. Dapat terjadi sensitivitas
silang dengan anti jamur azol lainnya seperti mikrokonazol, dan ketokanazol.
Serta dikontraindikasikan pada laktasi.
Gunakan secara berhati-hati pada Pasien dengan kerusakan hati (dapat
memerlukan pengurangan dosis).

5. Efek Samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal, dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala, pruritus, dan ruam alergi.
Efek samping lainnya yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5%
pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti,
dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi, impotensi

4
dan penurunan libido pernah dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi
Itraconazole dosis tinggi 400 mg/hari atau lebih.

6. Interaksi
Obat-obat: fenotinin, phenobarbital, isoniasid, rifampin dan
karbamazepin meningkatkan metabolism itrakonazole. Dapat diperlukan
peningkatan dosis. Itrakonazol menurunkan metabolism dan dapat
meningkatkan efek fenitonin, siklosporin, agens hipoglikemik oral, warfarin,
dan digoksin. Dapat meningkatkan esiko aritmia bila digunakan bersama
aztemizol, atau terfanidin. Jika terjadi hypokalemia, resiko toksisitas glikosida
jantung akan meningkat.

7. Rute dan Dosis


Pada orang dewasa: 200 mg tiga kali sehari selama 3 hari pertama,
kemudian 200-400 mg/hari sebagai dosis harian tunggal. Dosis harian lebih
dari 200 mg harus dibagikan dalam 2 dosis terbagi.

B. Phenobarbital
Phenobarbital merupakan jenis OAE (Obat Anti Epilepsi). Mekanisme kerja
obat antiepilepsi dibagi menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada
membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan neurotransmitter.
Phenobarbital merupakan obat anti epilepsy berdasarkan pada mekanisme efek
melalui perubahan neurotransmitter yang berfokus pada blockade aksi glutamate.
(Wibowo dan Gofir, 2006).

1. Indikasi
a) Antikonvulsan pada kejang tonik klonik (grand mal), parsia, dan kejang
demam pada anak-anak.
b) Sedative praoperasi dan pada situasi lain ketika sedasi diperlukan.

5
c) Hipnotik

2. Farmakodinamik
Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat
ikatan barbiturate sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl,
mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan
eksitabilitas glutamat. Merupakan obat antiepilepsi dengan spektrum luas,
digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder. Obat ini
digunakan sebagai obat lini kedua karena memberikan efek buruk seperti
sedasi dan penurunan daya kognitif. Namun, pada status epileptikus, obat ini
masih digunakan sebagai obat lini pertama (Wibowo dan Gofir, 2006).
Phenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat penguraian
kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rakhitis pada anak
kecil. Penggunaan bersama valproat harus hati-hati, karena kadar fenobarbital
dalam darah dapat meningkat. Di lain pihak kadar fenitoin dan karbamazepin
dalam darah efeknya dapat diturunkan oleh phenobarbital (Tjay dan Rahardja,
2010).

3. Farmakokinetik
Phenobarbital diabsorbsi secara lengkap tetapi agak lambat; kosentrasi
puncak dalam plasma terjadi beberapa jam setelah pemberian suatu dosis
tunggal. Sebanyak 40% sampai 60% phenobarbital terikat pada protein
plasma dan terikat dalam jumlah yang sama diberbagai jaringan, termasuk
otak. Sampai 25 % dari suatu dosis dieliminasi melalui eksresi ginjal yang
tergantung pH dalam bentuk tidak berubah; sisanya di inaktivasi oleh enzim
mikrososm hati. Sitokrom P450 yang paling bertanggung jawab adalah
CYP2C9, dengan sedikit metabolism oleh CYP2C19 dan 2El. Phenobarbital
menginduksi enzim uridin difosfa glukuronosil transferase (UGT) dan
sitokrom P450 subfamili CYP2C dan 3 A. Obat-obat yang dimetabolisme

6
oleh enzim-enzim ini dapat terurai lebih cepat jika diberikan bersama
phenobarbital yang penting, kontrasepsi oral dimetabolisme oleh CYP3A4.
Absorpsi, setelah pemberian obat secara oral, obat diserap dengan baik
dari lambung dan usus halus, dengan kadar puncak terjadi 2 sampai 20 jam
kemudian. Kadar terapeutik untuk orang dewasa adalah sekitar 20 sampai 40
mikro gram per ml. Sedangkan pada anak, kadar yang sedikit lebih rendah
masih efektif. Phenobarbital diserap dalam berbagai derajat setelah pemberian
oral, rektal atau parenteral. Tingkat penyerapan meningkat jika diminum pada
saat perut kosong.
Distribusi, phenobarbital adalah asam lemah yang diserap dan dengan
cepat didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan dengan konsentrasi tinggi
di otak, hati, dan ginjal. Semakin ia larut lemak, semakin cepat pula ia
menembus semua jaringan tubuh. Durasi kerja, yang berkaitan dengan tingkat
dimana phenobarbital didistribusikan ke seluruh tubuh bervariasi antara
orang-orang dan pada orang yang sama dari waktu ke waktu. Long-
acting phenobarbital memiliki onset kerja 1 jam atau lebih dan durasi tindakan
dari 10 sampai 12 jam.
Metabolisme, phenobarbital terjadi di hati berupa hidroksilasi dan
konjugasi ke sulfat atau asam glukuronat, diikuti oleh ekskresi
melalui ginjal. Waktu paruh phenobarbital adalah dari 50 sampai 100
jam. Phenobarbital dimetabolisme terutama oleh sistem enzim mikrosomal
hati, dan produk-produk metabolisme diekskresikan dalam urin, dan
dalam tinja.
Ekskresi, sekitar 25% sampai 50% dari dosis phenobarbital dihilangkan
tidak berubah dalam urin. Ekskresi barbiturat yang tidak di
metabolisme adalah salah satu fitur yang membedakan kategori long-
acting dari mereka yang termasuk kategori lain golongan barbiturat yang
hampir seluruhnya di metabolisme. Metabolit aktif dari barbiturat
diekskresikan sebagai konjugat dari asam glukuronat.

7
4. Kontraindikasi dan Perhatian
Dikontraindikasikan pada hipersentivitas, pasien koma atau yang
sudah mengalami depresi SSP, nyeri berat tidak terkendali, laktasi, dan
diketahui intoleran terhadap alcohol (hanya eliksir saja).
Gunakan secara hati-hati pada kehamilan (penggunaan kronik dapat
menyebabkan ketergantungan obat pada bayi; dapat menyebabkan defek
koagulasi dan malformasi janin, penggunaan akut pada kehamilan cukup
bulan dapat menyebabkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir), disfungsi
hepatic, kerusakan ginjal berat, pasien dengan kecenderungan bunuh diri atau
yang pernah kecanduan obat sebelumnya, pasien lansia (dianjurkan untuk
mengurangi dosis), hipnotik hanya boleh digunakan untuk jangka pendek, dan
penggunaan kronik dapat menyebabkan ketergantungan.

5. Efek Samping
Penggunaan obat secara kronis sering memberikan efek samping yang
merugikan bagi pasien. Obat antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk
mengontrol kejang, oleh karena itu banyak efek samping yang dialami oleh
pasien dengan penggunaan kronis tersebut. Kemudian efek samping tersebut
bisa memiliki beberapa kemungkinan, yaitu menjadi masalah yang sangat
serius, masalah sedang, masalah ringan atau bukan masalah. Efek samping
dapat berupa mengantuk, letargi, vertigo, depresi, hangover, eksitasi, ruam,
muntah, hipotensi, depresi pernapasan dan lainnya.

6. Interaksi
Obat-obat: depresi SSP bertambah bila digunakan depressan SSP lain,
termasuk alcohol, antihistamin, anelgesik opioid, dan sedative atau hipnotik,
lain. dapat menginduksi enzim hati yang metabolism obat, sehingga
menurunkan efektivitas obat lain, termasuk kontrasepsi oral, antikoagulan

8
oral, kloramfenikol, siklosporin, dakarbazin, glukokortikoid, antidepresan
trisiklik, dan quinidine. Dapat meningkatkan resiko toksisitas hati akibat
asetaminofen. Inhibitor MAO, asam valproate, atau dival proeks dapat
menurunkan metabolism phenobarbital, sehingga meningkatkan sedasinya.
Dapat meningkatkan toksisitas hematologic bila digunakan bersama
siklofosfamid.

7. Rute dan Dosis


a) Antikonvulsan
PO (Dewasa): 60-250 mg/hari, dosis tunggal atau dosis terabagi 2-3 kali.
PO (Anak-anak): 1-6 mg/kg/hari, dosis tunggal atau dosis terbagi.
IV (Dewasa): 100-320 mg sesuai kebutuhan di awal (total 600 mg/periode
24 jam). 10-20 mg/kg sering digunakan status epileptikus.
IV (Anak-anak): 10-20 mg di awal, diikuti dengan 1-6 mg/kg/hari dalam
2-3 dosis terbagi.

b) Sedasi
PO (Dewasa): 30-120 mg dalam 2-3 hari dosis terbagi.
PO (Anak-anak): 2 mg/kg 3 kali sehari.
IM (Dewasa): 30-120 mg/hari dalam 2-3 dosis terbagi.

c) Sedasi Praoperatif
IM (Dewasa): 30-120 mg 60-90 menit praoperatif.
PO, IM, IV (Anak-anak): 30-120 mg dalam 2-3 hari dosis terbagi.

d) Hipnotik
PO (Dewasa): 1-3 mg/kg.
IV, IM (Dewasa): 100-325 mg menjelang tidur.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Itraconazole merupakan obat antimikota yang bekerja fungistasis atau
fungisid yang dapat membunuh pertumbuhan jamur pada manusia. Obat ini di
indikasikan pada pengobatan histoplasmosis dan blastomikosis dan serta termasuk
obat lini kedua. Itraconazole mampu memberantasi jamur opurtunistik, seperti
meningitis kriptokokus, atau aspergillus. Mikosis sistemik; seperti blastomikosis,
koksidioidomikosis, dan histoplasmosis.
Phenobarbital merupakan obat anti epilepsy berdasarkan pada mekanisme
efek melalui perubahan neurotransmitter yang berfokus pada blockade aksi
glutamate. Obat ini diindikasikan pada antikonvulsan untuk kejang tonik klonik
(grand mal), parsia, dan kejang demam pada anak-anak, sedative praoperas, pada
situasi lain ketika sedasi diperlukan dan hipnotik

B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, kritik dan
saran dari pembaca saya butuhkan untuk perbaikan makalah berikutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Deglin, J. P., & Vallerand, A. H. (2004). Pedoman obat untuk perawat. Jakarta: EGC.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting khasiat, penggunaan dan efek-
efek sampingnya. (cet. ke-6). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Wibowo, S., & Gofir, A. (2006). Buku obat antiepilepsi. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Cendekia Press.

11

Anda mungkin juga menyukai