Anda di halaman 1dari 37

TUGAS

RESUSITASI JANTUNG PARU 2010 DAN 2015

DISUSUN OLEH:

Anggara Aprinata Widyawan

NIM 030.10.030

PEMBIMBING:

Dr. Triseno Dirasutisna, Sp.An

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 11 DESEMBER 2017 – 13 JANUARI 2017

1|Page
DAFTAR ISI

Judul Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ........................................................................................................... 4
2.2 Indikasi ........................................................................................................... 4
2.2.1 Henti Napas ...................................................................................... 4
2.2.2 Henti Jantung ................................................................................... 5
2.3 Sistem Pernapasan dan Sirkulasi .................................................................... 5
2.4 Resusitasi Jantung Paru .................................................................................. 6
2.5 Bantuan Hidup Dasar ...................................................................................... 7
2.5.1 A (Airway) Jalan Napas ................................................................... 9
2.5.2 B (Breathing) Bantuan Napas .......................................................... 10
2.5.3 C (Circulation) Bantuan Sirkulasi .................................................... 11
2.5.4 D (Defibrilation) Terapi Listrik ....................................................... 13
2.6 Panduan RJP 2010 .......................................................................................... 14
2.6.1 Menekankan pada RJP yang berkualitas dan secara terus menerus 14
2.6.2 Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B ............................................ 15
2.6.3 Rata-rata Kompresi .......................................................................... 16
2.6.4 Kedalaman Kompresi....................................................................... 16
2.6.5 Dengan Tangan saja (Only Hands CPR) ......................................... 17
2.6.6 Identifikasi pernapasan agonal pengantar ........................................ 17
2.6.7 Penekanan Krikoid ........................................................................... 18
2.6.8 Aktivasi Emergency Responses System ........................................... 18
2.6.9 Tim Resusitasi.................................................................................. 18

2|Page
2.7 Panduan RJP 2015...........................................................................................19
2.7.1 Bantuan Hidup Dasar……………………………………………....19
2.7.2 Bantuan Hidup Lanjut.......................................................................28
2.7.3 Pasca prosedur...................................................................................33

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 36

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian penyelamatan hidup pada henti jantung. Walaupun
pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung penyelamat, korban, dan keadaan
sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat
dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera
yang harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini.1

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per tahunnya
akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang
diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. 1,2

Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak juga
mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab utama kematian yang
premature, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang
dapat diselamatkan setiap tahun. 1,2

Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam
bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para
medis dan juga orang awam. 1,2

Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan
tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat
besar untuk data hidup kembali . 1

4|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau Cardiopulmonary
Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi akibat
terhentinya fungsi dan atau denyut jntung. Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali,
dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi
kematian biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasn dan
atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi gagal.3

2. 2 Indikasi

2.2.1. Henti nafas

Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban
atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar.
Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti: 7

- Tenggelam atau lemas


- Stroke
- Obstruksi jalan nafas
- Epiglotitis
- Overdosis obat-obatan
- Tesengat listrik
- Infark Miokard
- Tersambar petir

Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan
jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini
diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban.3,5,7

5|Page
2.2.2. Henti Jantung

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini
akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar
tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau
satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan
hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:5

a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.


b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung paru (RJP).

Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap yaitu:


a. Survei primer: dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Survei sekunder: dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan
merupakan lanjutan dari survei primer.5

2.3. Sistem Pernafasan dan Sirkulasi

Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah sistem
pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama dalam
mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat mengakibatkan ancaman
kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan untuk beberapa minggu dan menyimpan air
untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat menyimpan oksigen (O²) untuk beberapa menit saja.

Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan dan juga
mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah yang bertanggungjawab memberikan
suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh.7,8

Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:

1. Jantung
2. Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)
3. Darah dan kompone-komponennya.
6|Page
Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan erat dengan
sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat pula frekuensi
pernafasan dan sebaliknya.7,8

Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:

1. Penyakit jantung
2. Gangguan pernafasan
3. Syok
4. Komplikasi penyakit lain: Stroke
5. Penurunan kesadaran

2.4. Resusitasi Jantung Paru 2010

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari
tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of Survival, yang meliputi :

a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency response
system
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
c. Defibrilasi yang cepat
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan dengan tujuan
untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan penderita dapat
mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen RJP.8,9

Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung. Kompresi dada
merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak,
harus memberikan kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat penting,
kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia.
Penolong yang telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.8

7|Page
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai akibat dari
kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada menjadi sangat penting.
Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak seringkali karena asfiksia, dimana
membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian
nafas buatan pada henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.8

2.5. Bantuan Hidup Dasar

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital
seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung
dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar
supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support)
atau resusitasi ABC atau resusitasi kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A),
membuat napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan
ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat dalam
waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.3

a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C (circulation).
- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru
b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug) dan E
(EKG)
- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk mengetahuis
fibrilasi ventrikel.
c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan ALS, G
(gauge), H (head), I (Intensive care).
- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara
terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya neurologic yang permanen.

8|Page
- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi mengedalikan jika terjadinya
kejang.1,7

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada
pasien/korban, yaitu:

a. Memastikan keamanan lingkungan


Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh atau
menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap, sambil
memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera minta
pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan posisi dimana,
pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang
ada (bel emergency di rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada
pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan pasien/korban
miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan
membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah
cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada ssat
memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak
pergerakan.

9|Page
Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

2.5.1. A (AIRWAY) Jalan Nafas


Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera dimulai.
Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selipkan papan jika pasien
diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan menyumbat faring dan epiglottis akan
menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada
pasien tidak sadar.3 Untuk menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau
parasat misalnya:
1. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)
Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan penolong mendorong
dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati
tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position,
posisi cium, posisi hirup.3
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah,
maka lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.3

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang didorong kedepan, mulut
dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu
sebelum memberikan napas buatan.3

10 | P a g e
(a) (b)

Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver
(b)

2.5.2. B (BREATHING) Bantuan Nafas


Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan tanpa alat dapat
dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouth-to-mouth), mulut ke hidung
(mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. 3
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik nafas
dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung
pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang
berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung. 3

Gambar 4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),


Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan,misalnya
pasien/korban mengalami trismus atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup
mulut pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas. 3

11 | P a g e
Gambar 5. Pernafasan dari mulut ke hidung

c. mulut ke stoma trakheostomi


Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami
laringotomi.3

Gambar 6. Pernafasan mulut ke stoma.

2.5.3. C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara dua atau
tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah
penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong harus

12 | P a g e
memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas
pertahankan airway pasien/korban.7,8

2. Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung
luar dengan cara:

- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga pasien/korban
yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang dada (sternum).
- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat
untuk meletakkan tangan penolong.
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan
diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh didnding dada
pasien/korban.
- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban dengan tenaga
dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan 1,5
– 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi
semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus sama (
50% duty cycle).
- Tangan tidak boleh berubah posisi.
- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong maupun dua
penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.

Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 – 80 mmHg dan
diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan pasien/korban sampai
dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.8

13 | P a g e
Gambar 7. Kompresi dada

2.5.4. D (DEFIBRILATION) terapi listrik

Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang penyebab henti
jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau
ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic External Defibrilation
(AED).3 Tahapan defibrilasi :

- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

PENILAIAN ULANG

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi kembali :

- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan ratio 30 : 2
- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi mantap

14 | P a g e
- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas sebanyak 12 kali
permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.

Gambar 8. Defibrilasi

2.6. Panduan RJP 2010

2.6.1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus


AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas
tinggi, hal ini mencakup:

a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang lebih” 100
x/menit)
b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga
dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi
[4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak
pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for
CPR and ECC
c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai
kompresi
d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu sebanyak
30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines

15 | P a g e
for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik.
Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan
kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per detik).
Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 1,2

2.6.2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B


Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation berubah
menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada
pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas
utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh
penolong yang seorang diri.

Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah
Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen
paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada
rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk
memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan
ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk
segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari protokol
ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga
komponen ini dihilangkan dari panduan.1,2

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera mungkin
dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada
terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar
rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak
alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas
buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong
untuk memulai RJP.

16 | P a g e
2.6.3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi dada yang
dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan
(return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat
untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah
serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas,
memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]). 7,8,9
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya
rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata
kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat
membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang
diberikan per menit.

2.6.4. Kedalaman kompresi


Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch menjadi minimal 2
inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah
dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah
terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung
dan otak.

17 | P a g e
2.6.5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan
tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada
korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih
mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh
penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan
hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 7,8

2.6.6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of Agonal


Gasps)
Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau sulit bernafas.
Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas
atau pernafasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan
sebelum aktivasi emergency response system. 1,2

18 | P a g e
2.6.7. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan pada kartilago
krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra
servikal. Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi
dan aspirasi selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian
menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat
terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. 7

2.6.8. Aktivasi Emergency Response System.


Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian respon
penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan tahun 2005, aktivasi
segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia
pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia. 7

2.6.9 Tim Resusitasi


Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya : satu
penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan
kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu
pernafasan dan penolong ke-empat mempersiapkan dan defibrilator. 8,9

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP pada neonatus).

19 | P a g e
2.7 Prosedur RJP 2015
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen : kompresi dada dan mulut-
ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.9
Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih
dahulu:
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu
korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi
rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP

2.7.1 Bantuan Hidup Dasar

Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain of
survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan hidup.

20 | P a g e
Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah
tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)
atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of survival” pada
kondisi HCA maupun OHCA

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA

Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart Association)


merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara global. Gambar 2 menunjukkan
skema algoritma dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa.

21 | P a g e
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat

22 | P a g e
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas kesehatan
harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak
dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-
engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong
harus memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih
baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring
pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP..

2. Resusitasi Jantung Paru dini


Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk
mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
 Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan maksimal
120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit, kedalaman kompresi akan
berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi dada.
 Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman
maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan
mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi
minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan
untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam
kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas
berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada
di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama
melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:

23 | P a g e
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa

 Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus
kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh dinding dada setelah
setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas
dada pasien setelah setiap kompresi.
 Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya meminimalkan
frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi
yang dilakukan per menit.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas
melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
 Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi
dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan
volume tidal yang masuk adekuat.
 Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal, Combitube, atau
saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10
napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan
kompresi dada berkelanjutan
 Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi
dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut
nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.

24 | P a g e
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas
ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10
detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

3. Alat defibrilasi otomatis


AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba, lakukan
kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock diberikan bila ada indikasi /
instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah
ritme tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut
hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.
4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi
Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti pada pasien
dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum pada

25 | P a g e
tabel2.

Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi

Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong atau dua
(atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi dada

26 | P a g e
dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio
kompresi dada dan ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun
membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau
sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk dua
orang atau lebih penolong.

27 | P a g e
Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong

Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong

28 | P a g e
2.7.2 Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah :
D (Drugs) : Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan :
1. Penting :
a. Adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan
0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat
meningkatkan pemakaian O2 miokard, takiaritmi, dan fibrilasi ventrikel.4
b. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan
dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode
10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif
tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia
dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian
dengan dosis yang sama.4
c. Sulfat Atropin : Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk digunakan rutin dalam
pengelolaan pulseless electrical activity (PEA)/asistol. Mengurangi tonus vagus
memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan
sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi
sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½
mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai
denyut nadi > 60/menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok
atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan
iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang multi fokal dan episode
takikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa
diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg/menit, biasanya tidak
lebih dari 4 mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).4

29 | P a g e
2. Berguna :
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena
complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit
(1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan
denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat
yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.4
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna
untuk kasus-kasus takikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang
dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg
iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.4
c. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB metil
prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexametason fosfat) untuk pengobatan
syok kardiogenik atau syok lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg metil prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka
digunakan dexametason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.4

E (Electrocardiography)
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
F (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada ventrikel fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur baik
amplitudo maupun frekuensinya. Terapi definitifnya adalah syok elektrik (DC-Shock) dan
belum ada satu obat pun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk
mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri puting susu kiri dan di sebelah
kanan sternum atas.

30 | P a g e
Gambar 2. EKG abnormal

DC Shock
Indikasi : Shockable

- Ventricular Tachycardia (VT) tanpa pulsasi carotis (pulseless)


- Ventricular Fibrilation (VF) coarse (kasar)
Kontraindikasi : Un-shockable

- Asystole
- Pulseless Electrical Activity (PEA)
- Electro Mechanical Dissociation (EMD)
Cara :

- Gunakan DC shock unsynchronized, single shock 360 Joule (monophasic), 200 Joule
(biphasic)
- Bila tetap VT (pulseless)/VF coarse, lakukan defibrilasi 360/200 J berulang bergantian
dengan pijat jantung
- Adrenalin 1 mg (1 ampul) dimasukkan setiap 3 – 5 menit
- Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan setelah pemberian 3 shock dan irama tetap
VT/VF
Penyulit : luka bakar bila jelly kurang, shock listrik (shock electric) bila ada kebocoran arus
listrik

31 | P a g e
Cara memakai DC Shock:

- Siapkan DC Shock, nyalakan powernya, pilih unsynchronized, pilih dosis energi


360/200 J.
- Beri jelly secukupnya pada electrode pedal, oles pakai tangan.
- Charge elektrode sampai bunyi “tiiiiiiiiiiiiittttttt…………………….” (pengisian
selesai).
- Semua penolong minggir (tidak menempel tempat tidur pasien), katakan “atas bebas,
bawah bebas, samping bebas, saya bebas”, ingat: BEBASKAN DARI SUMBER
OKSIGEN.
- Kejut di Sternum dan di Apex jantung (ICS 5 sinistra, axilla ant.line) dengan tekanan
± 10 kg (pedal boleh dibolak-balik)

VT (pulseless)/VF coarse
Pijat 100 x/menit
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR
Nafas 8 – 10 x/menit

Adrenalin Adrenalin
Cardiac arrest
VT/VF
2 menit 2 menit
2 menit 2 menit
CPR-1 a single shock a single shock a single shock amiodaron a single shock
30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 a single shock CPR-6
adrenalin CPR-5
Call for
help AMIODARON is the first choice 300 mg, bolus.
Adrenalin : 1mg, Repeated 150 mg for recurrent VT/VF.
Pasang i.v., repeated Followed by 900 mg infusion over 24 hours
monitor every 3-5 LIDOCAINE. Do not exceed a total dose of 3
mg/kg, during the first hour

Evaluasi CPR : tiap 2 menit

32 | P a g e
ASYSTOLE/PEA/EMD Pijat 100 x/menit
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Nafas 8 – 10 x/menit

Evaluasi Evaluasi
Cardiac arrest Evaluasi Adrenalin Evaluasi Adrenalin
ASYST
2 menit 2 menit
CPR-1 2 menit 2 menit
30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-5 CPR-6
Call for adrenalin
help Adrenalin : 1mg,
Pasang i.v., repeated Evaluasi CPR : tiap 2 menit
monitor every 3-5

Gambar 3. Algoritma CPR pada keadaan VT/VF dan Asystole/PEA/EMD

Gambar 4. Algoritma baru advanced cardiovascular life support (ACLS)


33 | P a g e
C. Bantuan Hidup terus-menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus menerus terutama sistem
pernapasan, kardiovaskuler, dan sistem saraf.
H (Head) : Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih
lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologis yang permanen.
H (Hypothermy) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada
suhu antara 30°-32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai
perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : Perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan
dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi


Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria
terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan
pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan
pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha
resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak
ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.4

2.7.3 Pasca prosedur


Komplikasi
Melakukan penekanan dada dapat menyebabkan patahan rusuk atau tulang dada, meskipun
insiden semacam fraktur secara luas dianggap rendah.
Pernapasan buatan menggunakan metode ventilasi yang invasif (misalnya, mulut ke mulut,
bag-valve-mask [BVM]) sering dapat mengakibatkan insuflasi lambung. Hal ini dapat
menyebabkan muntah, yang selanjutnya dapat menyebabkan napas kompromi atau aspirasi.

34 | P a g e
Masalahnya dapat dihilangkan dengan menyisipkan saluran napas invasif, yang mencegah udara
memasuki kerongkongan.

35 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang mengindikasikan
terjadinya henti nafas atau henti jantung. Kompresi dilakukan terlebih dahulu dalam kasus yang
terdapat henti pernafasan atau henti jantung karena setiap detik yang tidak dilakukan kompresi
merugikan sirkulasi darah dan mengurangkan survival rate korban. Prosedur RJP terbaru adalah
kompresi dada 30 kali dengan 2 kali napas buatan. Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup
Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan terus-menerus. Sistem RJP yang dilakukan sekarang
adalah adaptasi dan pembahauan dari pedoman yang telah diperkenalkan oleh Peter Safar dan
kemudiannya diadaptasi oleh American Heart Association.

The 2015 American Health Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC menekankan
perlunya RJP berkualitas tinggi, termasuk :
 Tingkat kompresi minimal 100/menit (perubahan dari "kira-kira" 100/min)
 Sebuah kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) pada orang dewasa dan kedalaman
kompresi minimal sepertiga dari diameter anteriorposterior dari dada pada bayi dan anak-
anak (sekitar 1,5 inci [4 cm] pada bayi dan 2 inci [5 cm] pada anak-anak). Perhatikan bahwa
kisaran 1 sampai 2 inci tidak lagi digunakan untuk orang dewasa, dan kedalaman mutlak
yang ditetapkan untuk anak-anak dan bayi lebih dalam dari pada versi sebelumnya dari
Pedoman AHA untuk CPR dan ECC.
 Meminimalkan gangguan dalam penekanan dada
 Menghindari ventilasi berlebihan

Tidak ada perubahan rekomendasi untuk kompresi-untuk ventilasi rasio dari 30:2 untuk
penyelamat tunggal orang dewasa, anak-anak, dan bayi (termasuk bayi yang baru lahir). The 2015
American Health Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC terus merekomendasikan
bahwa napas penyelamatan diberikan pada sekitar 1 detik. Sekali napas lanjutan di tempat,
penekanan dada dapat dilakukan secara kontinu (pada tingkat minimal 100/menit). Napas
penyelamat kemudian dapat disediakan pada sekitar 1 nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8
sampai 10 napas per menit). Ventilasi berlebihan harus dihindari.

36 | P a g e
Daftar Pustaka

1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation Journal.
2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in Circulation Journal
3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
4. Bantuan Hidup Dasar. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-
dasar.
5. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia Kedokteran. 1992.
6. Resusitasi Jantung dan Paru. Diaskes dari
http://itja.wordpress.com/2010/10/07/resusitasi-jantung-paru/.
7. Bantuan Hidup Dasar. Diaskes dari http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-
dasar.
8. Peter Safar and the ABC of Resuscitation. Diaskes dari
http://en.wikipedia.org/wiki/ABC_(medicine)
9. Peter J. Safar. Diaskes dari http://www.laerdalfoundation.org/dok/Peter_Safar.pdf
10. Sanif E., 2015. Metode Baru Resusitasi Jantung Paru. Disitasi dari
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=206&
Itemid=9
11. Stoppler M.C., 2015. The Importance of CPR. Disitasi dari
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/article_em.htm
12. Dar Ahmed B., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. Assocaiate Prof of Medicine.
Chinkipora Sopore Kashmir, India.
13. Andrey, 2012. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Disitasi dari
http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasijantung-paru-pada-kegawatan-
kardiovaskuler/
14. Wikipedia, 2015. Cardiopulmonary Resuscitation. Disitasi dari
15. http://en.wikipedia.org/wiki/Cardiopulmonary_ resuscitation
16. American Heart Association. 2015. Cardiopulmonary resuscitation. Disitasi tanggal 18
maret 2012 dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479

37 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai