Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SMF ILMU OBSTETRI


DAN GINEKOLOGI

“INDUKSI OVULASI”

Pembimbing:
dr. Nanang Rudianto Widodo, Sp.OG

Oleh :
W. Roy Darminto, S.Ked
NPM: 17710106

SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO
TAHUN 2018
DAFTAR ISI

Judul. i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iii
Bab I
A. Latar Belakang 1
Bab II

A.Fisiologi Menstruasi dan Ovulasi 3

B. Regulasi Hormon Reproduksi 8

C Gangguan Ovulasi. 10

D. Sindroma Ovarium Polikistik 11

E. Tatalaksana Induksi Ovulasi 13


Bab III
Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 25

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan skematis dari “Two Cell Two Gonadotrophin Principle” 4

Gambar 2.2 Diagram skematik dari Ambang FSH (FSH Threshold) 5

Gambar 2.3 Umpan balik positif dan negatif dalam pengaturan sekresi hormonal 8

Gambar 2.4 Sumbu pituitari-ovarium pada fase folikular, dimana estradiol dihasilkan oleh sel-sel
granulosa dan mengeluarkan efek negatif feedback pada menurunnya sekresi FSH
17

Gambar 2.5 Efek aromatase inhibitor yang menginhibisi proses aromatisasi androgen menjadi
estrogen, mencegah efek negative feedback sehingga sekresi FSH meningkat, dan
androgen yang terakumulasi di dalam ovarium akan meningkatkan sensitivitasnya
terhadap FSH. 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan ovulasi merupakan masalah utama pada sekitar 40% infertilitas wanita
(Anantasika, 2012). Dengan berkembangnya pemakaian Transvaginal Ultrasonografi maka
kejadian kegagalan ovulasi menjadi semakin sering ditemukan pada praktek sehari-hari. Dengan
demikian menjadi semakin penting bagi kita adalah bagaimana menangani kasus anovulasi
khususnya dikaitkan dengan keinginan untuk hamil. Siklus ovulatoir panjangnya bervariasi
antara 25-35 hari. Sedang siklus anovulatoir bisa lebih pendek atau lebih panjang. Sering kali
wanita dengan anovulasi mengalami kurang dari 6 kali menstruasi setahunnya atau oligomenore
(Fadhilah, 2016)

Induksi ovulasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi infertilitas yang terjadi
karena gangguan ovulasi. Induksi ovulasi bertujuan untuk menghasilkan satu buah sel telur,
diharapkan dengan pemberian obat-obatan pemicu ovulasi dapat memperbaiki proses fisiologis
dalam seleksi dan pematangan folikel dominan yang kemudian akan melepaskan satu buah sel
telur. Penanganan yang dilakukan harus berdasarkan penyebab anovulasi yang terjadi serta
menyingkirkan kemungkinan penyebab infertilitas lainnya. Oleh karena itu, penting untuk
meyakinkan patensi tuba dan analisis semen yang normal sebelum melakukan induksi ovulasi.
Saat ini telah dikembangkan dan diproduksi secara komersial berbagai macam regimen untuk
memicu terjadinya ovulasi (Permadi, 2013).
Klomifen sitrat telah lama dipakai sebagai obat untuk anovulasi. Pada kasus-kasus yang
resisten terhadap klomifen sitrat, berbagai preparat dikombinasikan untuk mendapatkan
perkembangan folikel yang diharapkan seperti Insulin sensitizer -metformin, injeksi hCG, serta
aromatase inhibitor dan gonadotropin antagonis yang akan dibahas dalam makalah ini.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Menstruasi dan Ovulasi

Lapisan endometrium pada fase awal relatif tipis tetapi dipadati oleh jaringan. Terdiri
dari komponen-komponen lapisan basal yang belum sepenuhnya bekerja, di atas lapisan
basalis ini terdapat sedikit sisa lapisan spongiosum, yang ketika menstruasi, terjadi proses
proses-proses penghancuran kelenjar, pemutusan pembuluh-pembuluh darah dan jaringan
stroma dengan didapatkannya bukti terjadinya proses nekrosis, infiltrasi sel darah putih dan
diapedesis sel-sel darah merah. Meskipun terjadi proses penghancuran, dapat juga
ditemukan proses perbaikan komponen-komponen jaringan yang terjadi secara bersamaan,
sehingga hal ini merupakan jembatan yang menghubungkan proses transisi ke arah proses
pertumbuhan dan perkembangan siklus menstruasi. Sintesis DNA pada lapisan basalis sudah
mulai bekerja sejak hari ke 2-3 dari siklus menstruasi dengan terlihatnya pertumbuhan
permukaan epitel baru yang cepat dan dimulai pada sisa-sisa tonjolan kelenjar di lapisan
basalis tertinggal pada saat menstruasi. Pertumbuhan dan perbaikan lapisan epitel baru
terjadi karena dibantu dengan adanya lapisan fibrolas yang dibawahnya yang merupakan
lapisan massa padat yang membantu mengfasilitasi migrasi sel-sel epitel baru, selain juga
diduga mengeluarkan faktor-faktor bersifat autokrin dan parakrin yang juga merangsang
terjadinya pertumbuhan dan migrasi. Lapisan basalis kaya reseptor estrogen. Perbaikan ini
berlangsung cepat, dimana pada hari ke 4 siklus menstruasi, lebih dari dua pertiga rongga
uterus sudah tertutupi oleh lapisan baru, dan pada hari ke 5-6, seluruh rongga uterus sudah
memiliki lapisan sel epitel baru dan kini jaringan stromalah yang akan tumbuh (Messinis,
2005).
Di bawah pengaruhi rangsangan akibat pertumbuhan folikel dan meningkatnya sekresi
estrogen, dimana didapatkan pertumbuhan kelenjar yang tadinya kurus, tubular dan dilapisi
oleh sel-sel epitel kolumnar rendah. Dengan berjalannya proses mitosis,terjadi peningkatan
sintesis DNA inti dan RNA sitoplasma,maka kelenjar, sel-sel endotel pembuluh darah dan
jaringan stroma tumbuh ke arah perifer dan mengadakan kontak dengan kelenjar-kelenjar
disebelahnya. Proses ini mencapai puncaknya pada hari ke 8-10 siklus menstruasi seiring

2
3

dengan tercapainya puncak kadar estrogen darah dan reseptornya pada endometrium.
Endometrium yang pada awalnya 0,5 mm akan tumbuh menjadi ketebalan 3,5-5,5 m
(Mitwally, 2005).
Proses ovulasi dimulai dari proses folikulogenesis yang berawal dari folikel
primordial, dengan bermultiplikasinya sel-sel kuboid lapisan granulosa hingga menjadi
berjumlah sekitar 15 buah sel, maka folikel primer akan terbentuk dan berlanjut dengan
lapisan sel granulosa yang berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi lapisan konsentris yang
disebut lapisan theca interna yang paling dekat ke lamina basalis dan lapisan theca externa di
sebelah luarnya. Pembentukan folikel pre-antral / folikel sekunder, selanjutnya akan
terbentuk dan ketika lapisan folikel pre-antral berkembang menjadi 6-7 lapis maka tahap
folikel antral / folikel tersier dimulai, bila dalam hal ini tidak ada stimulasi hormon
gonadotropik yang cukup maka folikel akan berhenti berkembang dan berakhir sebagai
folikel atretik, sebaliknya bila stimulasi hormone gonadotropiknya cukup maka akan
berdiferensiasi menjadi folikel pre-ovulatory / Folikel Graafian[7] dan dengan adanya LH
surge, folikel Graafian akan pecah dan sel telur beserta kumulusnya akan dikeluarkan,
meninggalkan sel folikel untuk menjadi korpus luteum (Permadi,2013).
Folikulogenesis yang dimulai dari proses perekrutan yang mana folikel yang
didestinasikan untuk ber-ovulasi direkrut dari kumpulan folikel-folikel primordial dan
jumlah folikel yang direkrut akan berkurang dengan bertambahnya usia. Ovarium
menghasilkan faktor pertumbuhan lokal seperti faktor diferensiasi pertumbuhan
“Transforming Growth Factor” 9 dan 10 yang yang bersifat parakrin dan berfungsi mengatur
proliferasi dan diferensiasi sel-sel granulosa dalam pertumbuhan folikel primer dan
merangsang proses pembelahan sel-sel granulosa pada tahap folikel pre-antral. Hingga tahap
folikel antral awal, perkembangannya secara relatif tidak tergantung pada hormon
gonadotropin yang dihasilkan kelenjar pituitari. (Permadi, 2013).
Setelah melalui proses perekrutan, folikel-folikel tersebut akan mengalami proses
seleksi, perkembangan dan diferensiasi, dimana jumlah sel-sel granulosa akan bertambah
dan sel telur akan bertambah besar. Zona pellucida akan terbentuk dan sel-sel theca akan
terbentuk mengelilingi folikel di bagian luar dan memiliki pembuluh darah yang mandiri
(Permadi, 2013).
4

Dalam perkembangan selanjutnya, sel-sel granulosa akan memiliki reseptor FSH dan
sel-sel theca akan memiliki reseptor LH. Pengikatan yang terjadi antara hormon LH dan
reseptornya akan merangsang pembentukan androgen dengan mengaktifasikan adenylyl
cyclase dan cAMP dengan produksi utamanya androstenedione dan testosterone. Pada tahap
awal dari folikulogenesis, androgen ikut mempromosikan pertumbuhan folikel; sedangkan
pengikatan yang terjadi antara FSH dan reseptornya pada sel-sel granulosa akan merangsang
system enzim aromatase, yang mampu mengkonversikan androgen menjadi hormone
estrogen, sehingga menjadikan lingkungan intra folikel kaya akan konsentrasi hormone
estrogen. Ini disebut “two cell, two gonadotrophins theory”. Proses ini tergantung kepada
sensitifitas terhadap FSH (Permadi, 2013).

sumber : Permadi, 2013


(Gambar 2.1) Bagan skematis dari “Two Cell Two Gonadotrophin Principle”

Pada folikel preantral dan folikel antral manusia, reseptor LH hanya terdapat pada sel-
sel theca dan reseptor FSH hanya ada pada sel-sel granulosa. Meningkatnya kadar FSH yang
mendahului perkembangan folikel ini memiliki jendela seleksi (selection window) dan
hanya folikel yang mampu mencapai tahap inilah yang akan berkembang dan memproduksi
estrogen. Peningkatan konsentrasi FSH sebesar 30 % - 50 % pada fase folikular awal
mengakibatkan perkembangan folikular, sedangkan ambang konsentrasi FSH yang
diperlukan untuk memulai pertumbuhan folikel adalah peningkatan sebesar 10 % - 30 %.
5

Berdasarkan temuan ini maka dikenal konsep Ambang FSH (FSH Threshold) untuk
menetapkan konsentrasi minimum dari konsentrasi FSH yang harus dicapai sebelum proses
perkembangan folikel dapat dimulai (Messinis, 2005).

sumber : Messines, 2005.


(Gambar 2.2) Diagram skematik dari Ambang FSH (FSH Threshold)

Dalam fase luteal, kadar FSH yang dibawah ambang akan mengakibatkan folikel tidak
berkembang lebih dari folikel pre-antral dan atresia. Pada akhir fase luteal dimana masa aktif
korpus luteum berakhir, FSH meningkat sehingga terdapat satu folikel pre-antral yang
berkembang. Seiring dengan proses aromatisasi androgen menjadi estrogen, terjadi
peningkatan estrogen yang mensupresi FSH kembali sehingga folikel-folikel yang kurang
matang akan mengalami proses atresia. Dengan rangsangan FSH terhadap pembentukan
reseptor LH menjadikan folikel dominant mampu tumbuh meskipun konsentrasi FSH yang
di bawah ambang (Messinis, 2005).
Interaksi antara lapisan granulosa dan theca, menghasilkan percepatan produksi
estrogen.
Folikel yang paling cepat memiliki kemampuan aktifitas enzim aromatase dan reseptor
LH diduga yang paling memiliki potensi menjadi folikel dominan.
6

Meningkatnya kadar sekresi FSH pada masa peri menstruasi terjadi seiring mengikuti
regresi korpus luteum dari menstruasi sebelumnya dan kadar estradiol tetap rendah. Kurang
lebih 5 hari sebelum kadar puncak hormon gonadotropin mid-cycle tercapai, konsentrasi
serum estrogen mulai meningkat. Sehubungan dengan pertambahan kadar estradiol yang
bertahap ini, terjadi penurunan progresif dari kadar konsentrasi FSH akibat mekanisme
negative feedback dari estrogen dan juga mungkin oleh pengaruh inhibin terhadap sekresi
gonadotropin. Mekanisme negative feedback antara estradiol dan FSH inilah yang
merupakan komponen utama dalam proses penyeleksian folikel. Diantara folikel-folikel
muda yang direkrut, akan selalu ada kelompok folikel-folikel yang berbeda kematangannya
yang lebih siap untuk berkembang ke tahap pre-ovulasi dibawah pengaruh FSH, dan
produksi estrogen akan meng-supresi sekresi FSH hingga di bawah kadar minimum yang
diperlukan untuk mempertahankan perkembangan folikel-folikel tersebut, sehingga folikel-
folikel yang kurang berkembang atau tidak mencapai tahap yang cukup akan mengalami
kemunduran dan berakhir dengan proses atresia sedangkan ketergantungan folikel dominan
akan FSH menjadi berkurang, hal ini diduga karena, akibat rangsangan FSH pada sel-sel
granulosa, sel-sel tersebut kini juga memiliki reseptor terhadap hormon LH, sehingga sel-sel
granulosa akan ber-respon baik pada FSH maupun LH, diduga dengan adanya kedua macam
receptor inilah yang menyebabkan folikel dominan mampu bertahan disaat turunnya
konsentrasi FSH dengan menggantikannya dengan LH (Messinis, 2005).
Pada saat folikel dominan telah mencapai kematangan yang cukup, sekresi estrogen
yang dihasilkannya cukup untuk menciptakan “Positive Feedback” yang berakibat
disekresikannya konsentrasi hormon LH dalam doses tinggi dari kelenjar pituitari (LH
surge), beraksi melalui hormon prostaglandin, yang menginduksi perubahan pada struktur
dan biokimia dari dinding folikel yang mengakibatkan pecahnya dan ekstrusi (pengeluaran)
sel telur dari dalam folikel yang dikelilingi oleh massa cumulus (cumulus oophorus)
(Messinis, 2005).
Perkiraan waktu ovulasi berkisar antara 10-12 jam setelah tercapainya puncak kadar
LH dan 24-36 jam setelah puncak kadar estradiol tercapai. Indikator yang menandai akan
terjadinya ovulasi yang paling dipercaya adalah permulaan naiknya kadar LH secara
mendadak (LH surge) yang terjadi 34-36 jam sebelum pecahnya folikel. Biasanya
peningkatan mendadak LH atau LH surge ini berlangsung selama 48-50 jam.Pada umumnya
7

LH surge terjadi sekitar jam 3 dini hari dengan tenggang waktu antara tengah malam hingga
jam 8 pagi pada dua pertiga wanita (Messinis, 2005).
Proses LH surge akan melanjutkan proses meiosis pada sel telur, mulainya proses
luteinisasi sel-sel granulosa, penebalan kumulus, dan sintesis prostaglandin dan senyawa
eikosanoid lainnya yang penting dalam proses pematangan akhir, disertai dekomposisi
lapisan kolagen dan pecahnya stigma dinding folikel yang diikuti dengan keluarnya sel telur
dan massa kumulus sel-sel granulosanya / ovulasi.
Setelah proses ovulasi terjadi, Membrana basalis yang memisahkan lapisan granulosa-
lutein dan lapisan theca-lutein menjadi kabur, dan pada hari ke dua setelah ovulasi,
pembuluh darah dan kapiler yang baru terbentuk hasil stimulasi faktor angiogenik (vascular
endothelial growth factor) menginvasi lapisan sel granulosa. Hormon LH berikatan dengan
reseptor LH sel-sel granulosa yang terbentuk akibat stimulasi FSH sebelumnya, merangsang
pembentukan dan sekresi progesteron yang akan merubah morfologi dan fungsi folikel
menjadi korpus luteum melalui proses luteinisasi.

B. Regulasi Hormon Reproduksi


Hipothamalus mengeluarkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dengan
proses sekresinya melalui aliran portal hipothalamohipofisial. Setelah sampai di hipofisis
anterior, GnRH akan mengikat sel gonadotrop dan merangsang pengeluaran FSH (Follicle
Stimulating Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone) (Permadi, 2013).
Pada wanita selama masa ovulasi GnRH akan merangsang LH untuk menstimulus
produksi estrogen dan progesteron. Peranan LH pada siklus pertengahan (midcycle) adalah
ovulasi dan merangsang korpus luteum untuk menghasilkan progesteron. FSH berperan akan
merangsang perbesaran folikel ovarium dan bersama-sama LH akan merangsang sekresi
estrogen dan ovarium. Selama siklus menstruasi yang normal, konsentrasi FSH dan LH akan
mulai meningkat pada hari-hari pertama. Kadar FSH akan lebih cepat meningkat
dibandingkan LH dan akan mencapai puncak pada fase folikular tetapi akan menurun
sampai kadar yang yang terendah pada fase preovulasi karena pengaruh peningkatan kadar
estrogen lalu akan meningkat kembali pada fase ovulasi. Regulasi LH selama siklus
menstruasi, kadarnya akan meninggi di fase folikular dengan puncaknya pada siklus
pertengahan, bertahan selama 1-3 hari, dan menurun pada fase luteal (Permadi, 2013).
8

Sekresi LH dan FSH dikontrol oleh GnRH yang merupakan pusat kontrol untuk
basal gonadotropin, masa ovulasi dan onset pubertas pada masing-masing individu. Proses
sekresi basal gonadotropin ini dipengaruhi oleh beberapa macam proses, yaitu:
a. Episode sekresi (Episodic secretadon)
Pada pria dan wanita, proses sekresi LH dan FSH bersifat periodik, dimana
terjadinya secara bertahap dan pengeluarannya dikontrol oleh GnRH.

b. Umpan balik positif (Positive feedback)


Pada wanita selama siklus menstruasi estrogen memberikan umpan balik positif pada
kadar GnRH untuk mensekresi LH dan FSH dan peningkatan kadar estrogen selama fase
folikular merupakan stimulus dari LH dan FSH setelah pertengahan siklus, sehingga ovum
menjadi matang dan terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi hari ke 10-12 pada siklus ovulasi setelah
puncak kadar LH dan 24-36 jam setelah puncak estradiol. Setelah hari ke-14 korpus luteurn
akan mengalami involusi karena disebabkan oleh penurunan estradiol dan progesteron
sehingga terjadi proses menstruasi.

sumber : Costello, 2003


9

(Gambar 2.3) Umpan balik positif dan negatif dalam pengaturan sekresi hormonal

c. Umpan balik negatif (Negative Feedback)


Proses umpanbalik ini memberi dampak pada sekresi gonadotropin. Pada wanita
terjadinya kegagalan pernbentukan gonad primer dan proses menopause disebabkan karena
peningkatan kadar LH dan FSH yang dapat ditekan oleh terapi estrogen dalam jangka waktu
yang lama. Tujuan pemeriksaan FSH dan LH adalah untuk melihat fungsi sekresi hormon
yang dikeluarkan oleh hipotalamus dan mekanisme fisiologis umpan balik dari organ target
yaitu testis dan ovarium.
C. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi sudah barang tentu menimbulkan keadaan infertilitas. Ovulasi
yang terjadi sebelumnya, bahkan kehamilan-kehamilan yang terjadi sebelumnya bukan
merupakan jaminan bahwa siklus haid yang ada sekarang adalah ovulatorik. Siklus haid
yang anovulatorik biasanya memang merupakan siklus yang tidak teratur dan sering
menyebabkan timbulnya perdarahan uterus disfungsional yang berupa menoragia,
metroragia, perdarahan bercak yang berkepanjangan sampai amenorea.
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan
sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi,
atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder adalah
ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya.
Anovulasi dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor berikut ini:
1. Kelainan interaksi susunan saraf pusat (SSP) – hipotalamus
Keadaan anovulasi yang terjadi bisa karena faktor fisiologis, dan pengaruh obat-
obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi hipotalamus. Hal tersebut dapat
menyebakan suatu keadaan anovulasi atau meningkatkan kadar prolaktin. Selain itu
peningkatan kadar progesteron dan estrogen pada sindroma korpus lutein persisten,
penyusutan berat badan yang mencolok pada anoreksia nervosa dan faktor psikologik-
psikiatrik juga akan mempengaruhi fungsi hipotalamus yang pada akhirnya menyebabkan
keadaan anovulasi.
10

2. Kelainan perangkat hipotalamus – hipofisis


Yang termasuk kelainan kelompok ini adalah amenorea, galaktorea dan gangguan
vaskularisasi. Sekitar 10 – 30 % wanita dengan gangguan siklus haid didapatkan kadar
prolaktin yang tinggi. Siklus anovulatorik baru timbul bila kadar prolaktin darah mencapai
50 ng/ml, sedangkan insufisiensi korpus luteum dan amenorea akan terjadi bila kadar
prolaktin pada seorang wanita diatas 50 ng/ml. Tidak semua wanita dengan
hiperprolaktinemia akan mengalami amenorea. Sampai sejauh mana kadar prolaktin yang
tinggi mampu mengganggu mekanisme poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga kini
belum dapat dijelaskan secara pasti. Sementara itu, gangguan vaskularisasi yang sering
timbul di hipofisis dapat menimbulkan gejala klinis berupa amenorea hipofisis. Gejala klinis
dan perjalanan penyakitnya sangat tergantung pada luasnya daerah yang terkena.
3. Kelainan pada mekanisme umpan balik
Baik umpan balik positi-negatif dari hormon steroid terhadap hipotalamus dan
hipofisis (long feedback loop), umpan balik negatif hormon gonadotropin terhadap sekresi
hipofisis (short feedback loop), maupun inhibisi releasing factor terhadap sintesanya sendiri
(ultrashort feedback loop).
4. Kelainan pada ovarium
a. Sindroma ovarium resisten gonadotropin
Etiologinya belum diketahui dengan pasti. Salah satu penyebabnya yang saat ini
banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium
akibat proses autoimun.
b. Penyakit ovarium polikistik
Penyakit ini ditandai dengan adanya gejala klinis berupa haid yang tidak teratur
sampai amenorea, infertilitas, hirsutisme dan obesitas, serta secara laboratorik
endokrinologik menunjukkan kelainan yang khas yaitu berupa LH dan testosteron yang
tinggi.
c. Sindroma luteinized unruptured follicle (LUF)
Sindroma ini merupakan kegagalan ovulasi akibat terperangkapnya ovum yang sudah
matang dibawah simpai ovarium. Laboratorik endokrinologik menunjukkan kadar hormon
steroid dan gonadotropin serta prolaktin yang normal. Etiologi pada kasus ini belum jelas.
Gangguan sekresi FSH dan LH diduga merupakan dasar terjadinya sindroma ini.
11

d. Keadaan lain yang bisa menimbulkan anovulasi tingkat ovarium antara lain:
kelainan anatomis (akibat infeksi, endometritis, perlengketan, tumor) dan penyebab-
penyebab ekstra gonad (gangguan fungsi tiroid, diabetes mellitus, dan kegemukan).

D. Sindroma ovarium polikistik


Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan serangkaian gejala yang
dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan
kelainan endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar
hipofisis atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi
gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan
amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan
peningkatan rasio LH atau FSH serta androgen (Pannil, 2002).
Patofisiologi

Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan


infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik
antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi
yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat. Selain
itu dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik berupa
hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya SOPK (Pannil,
2002).
Pada sindrom ovarium polikistik terjadi peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17
(enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga
peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone
(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium
bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi
gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan
folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan LH yang
memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya resistensi insulin menyebabkan keadaan
hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang
12

sekresi androgen dan menghambat sekresi Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) hati
sehingga androgen bebas meningkat (Pannil, 2002).

Gambaran Klinis
Gambaran Klinis SPOK Menurut Pannil (2002) :
1. Gangguan menstruasi dan infertilitas
Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat berupa
oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya anovulasi kronik
dan hiperandrogenemia.
2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit wanita seperti
pola pertumbuhan pada laki-laki, diatas bibir, dagu, dada dan abdomen. Keadaan ini terjadi
akibat pembentukkan androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3
betahidroksisteroid dehidrogenase.
3. Obesitas
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi gangguan
fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar suprarenal yang
berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion serta peningkatan rasio
estron dan estradion. Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk
menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi
estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk mengaromatisasi
androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan lemak.
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak, dan
tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak. Pengurangan berat
badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan kadar androgen dan estrogen
terutama estron serum. Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah dua hal yang
berhubungan dengan kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium polikistik.
13

4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris, dan pengecilan payudara. Keadaan ini


terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan.

E. Tatalaksana Induksi Ovulasi


Prinsip penanganan infertilitas pada gangguan ovulasi:
a) Mengoreksi kelainan dasar
b) Mengoptimalkan kesehatan sebelum terapi selanjutnya
c) Melakukan induksi ovulasi

Klomifen sitrat.

Merupakan preparat yang paling sering digunakan untuk stimulasi ovulasi.


Strukturnya memungkinkan berikatan dengan reseptor estrogen, dan mempengaruhi
reseptor berminggu-minggu. Ikatan yang lama ini mempengaruhi “replenishment” reseptor
estrogen di hipothalamus. Dengan ikatan klomifen sitrat, hipothalamus tidak dapat
mengetahui kadar estrogen endogen dan menganggapnya rendah. Sebagai respon ,
hipothalamus merubah pulsatilitas GnRH sehingga sekresi gonadotropin hipofise
meningkat. Mekanisme kerja utama klomifen sitrat adalah pada hipothalamus, ada juga
bukti yang menunjukkan klomifen sitrat berikatan dengan reseptor estrogen di hipofise,
secara langsung merangsang pelepasan gonadotropin (Anantasika, 2012).

Kedua mekanisme ini bekerja sinergis, meningkatkan pelepasan FSH dan memungkinkan
perkembangan folikel di ovarium. Klomifen sitrat tidak dapat menginduksi ovulasi pada
wanita yang hipoestrogen (Anantasika, 2012).

Pada lingkungan yang estrogenic, ovulasi dapat terjadi lebih dari 80%. Klomifen sitrat
dimulai secara empiris pada hari ke lima siklus, baik pada menstruasi spontan maupun
setelah pemberian progestin. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian
Klomifen sitrat adalah (Anantasika, 2012):

- memulai Klomifen sitrat lebih awal ( hari ke 2-4) tidak merubah angka ovulasi,
kehamilan, dan abortus.
14

- Pada kegemukan (>100 kg) , 20% ovulasi terjadi pada dosis awal 50mg, jadi diperlukan
dosis awal lebih tinggi.

- Dosis Klomifen sitrat dinaikkan 50 mg sampai maksimum 200-250 mg/hr selama 5 hari.

- Pada awalnya ditetapkan dosis Klomifen sitrat dapat dipakai sampai 100 mg, dan hanya
untuk 3 kali pemberian ulangan. Dalam praktek klinik rekomendasi ini sering di abaikan,
khususnya pada keadaan keadaan dimana pemberian Klomifen sitrat lebih menguntungkan.
Oleh karena itu dosis melebihi 100 mg/hari sering dipakai

- 75 % keberhasilan kehamilan terjadi pda tiga siklus ovulatoir yang pertama.


- Adanya ovulasi dapat dideteksi (berdasarkan urutan sensitivitas) dengan USG, urinary
LH surge, dan temperatur basal badan.

Monitoring siklus.

USG dilakukan 5 hari setelah dosis Klomifen sitrat terakhir. Dilakukan penilaian
terhadap jumlah dan ukuran folikel preovulatory, serta grading dan ketebalan
endometrium. Jumlah folikel lebi dari satu dapat terjadi pada sepertiga siklus Klomifen
sitrat dengan dosis terrendah. Sekali dosis ovulatory Klomifen sitrat dapat ditentukan,
siklus berikut dengan dosis yang sama tetap mmerlukan monitoring untuk meyakinkan
berlanjutnya respon ovulasi. 15% wanita yang pada awalnya berrespon terhadap dosis
tertentu, selanjutnya menjadi refrakter, dan memerlukan peningkatan dosis . Respon
terhadap dosis dapat berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu dosis terrendah yang dapat
menimbulkan ovulasi harus ditentukan, dan selanjutnya dimonitor dengan USG, dosis
dinaikkan bila tidak terjadi ovulasi. Hampir semua kehamilan terjadi pada 6 siklus
ovulatoir yang pertama., dan meneruskan therapi Klomifen sitrat melebihi 6 siklus tidak
memiliki keuntungan klinis (Anantasika, 2012).

Efek samping.

Terdapat kemungkinan 30% perkembangan multifolikel, tetapi kehamilan pada


siklus Klomifen sitrat biasanya tunggal, dengan angka kehamilan ganda 8%. Pada uji klinis
yang melibatkan 7000 wanita dengan ovulasi dan anovulasi, terjadi 2600 kehamilan,
insiden kehamilan ganda didapatkan 8%, dengan 7% kembar dua, 0,5% triplet, 0,5%
15

quadruplet, dan 0,1% quintuplet. Gangguan penglihatan berupa blurring, spot, flashes
dapat terjadi serte bertambah sering dengan meningkatnya dosis. Keluhan membaik
seminggu setelah dosis terakhir, sehingga bila mengkonsumsi Klomifen sitrat disarankan
brhati-hati dalam aktifitas berkendara. Keluhan lain dapat berupa hot flushes, bloating,
nausea dan vomiting, breast tenderness, sakit kepala, spotting intermenstrual, dan
menorrhagia. Muncul perasaan penuh/nyeri abdomen karena perkembangan folikel, yang
dapat ditangani dengan acetaminofen, pelvic rest, serta memodifikasi aktifitas fisik. Setelah
satu siklus multifolikel, non konsepsi, mungkin terdapat persistensi satu/lebih area
hipoechoic di ovarium. Kista ovarium sebagai akibat klomifen sitrat bersifat asimptomatik.
Penelitian menunjukkan bahwa kista ovarium yang lebih besar dari 10mm menurunkan
kemungkinan kehamilan pada siklus yang memakai gonadotropin sebagai induksi ovulasi.
Tidak ada penelitian tentang efek residual ovarian cyst pada siklus klomifen sitrat. Tapi
tampaknya kista yang lebih besar dari 20 mm akan mempengaruhi siklus klomifen sitrat
berikutnya. Sebelum memulai suatu siklus , USG basal dilakukan untuk menentukan
apakah terdapat sisa-sisa aktifitas ovarium.Tindakan stimulasi pada ovarium dengan kista
ovarium akan mengakibatkan kista tersebut tidak mengalami resolusi. Masa satu bulan
bebas klomifen sitrat akan memungkinkan terjadinya resolusi spontan. Tidak ada manfaat
kontrasepsi oral kombinasi dalam menekan kista ovarium. Kista ovarium yang bertahan
lebih dari 9 minggu kmungkinan bersifat neoplastik, tidak fungsional, yang memerlukan
aspirasi/pengangkatan sebelum induksi ovulasi dilanjutkan. Hubungan antara Ca Ovarium
dengan klomifen sitrat tetap controversial. Pasien yang mendapatkan klomifen sitrat harus
di KIE akan adanya kemungkinan resiko Ca Ovarium bila tetap tidak terjadi kehamilan.
Hampir semua kehamilan terjadi dalam 3-4 siklus ovultoir, jarang terjadi setelah 6 siklus.
Pemakaian klomifen sitrat melebihi 12 siklus harus dilakukan dengan hati-hati, khususnya
pada nullipara. Pemakai klomifen sitrat yang tidak hamil disarankan memakai ontrasepsi
hormonal untuk mencegah Ca Ovarium (Anantasika, 2012).
16

Therapi tambahan pada klomifen sitrat.

1. Insulin Sensitizers. Sekalipun 85-90% therapi klomifen sitrat pada anovulasi yang
estrogenic akan menghasilkan ovulasi, hanya 40-50% mencapai kehamilan. Karenanya
sejumlah wanita yang refrakter thd klomifen sitrat (disebut CC resistant) akan memerlukan
pengobatan tambahan untuk berhasil hamil. Kelainan endokrin tersering di bidang
anovulasi estrogenic adalah Sindroma Ovarii Polikistik. Resistensi insulin dengan
kompensasi hiperinsulinemia dapat merupakan gambaran sindroma ini dan mungkin
sebagai penyebab hiperandrogen dan anovulasi kronis. Rasio glukosa-insulin puasa telah
dievaluasi sebagai marker resistensi insulin. Setelah puasa semalam, ditentukan kadar
insulin dan glukosa. Ratio Glukosa:Insulin kurang atau sama dengan 4,5 menunjukkan
resistensi insulin. Cara lain adalah dengan euglycemic clamp tehnique yang lebih rumit ,
atau dengan kadar insulin puasa saja (Costello, 2003).

Pada penelitian random , Metformin menurunkan respon insulin serum terhadap


pemberian glukosa oral, dan meningkatkan ovulasi (spontan – kombinasi dengan klomifen
sitrat) dibandingkan plasebo. Pada kasus anovulasi, kelompok metformin menginduksi
90% ovulasi (spontan/+ klomifen sitrat) dibandingkan 12% pada kelompok plasebo +
klomifen sitrat. Pada penelitian ini kadar insulin puasa rata rata adalah 20 mIU/ml, Glukosa
puasa rata rata 75mg/dl. Efek samping metformin yang paling sering adalah keluhan
gastrointestinal dan diare. Untuk mengurangi leluhan ini dianjurkan peningkatan dosis
bertahap. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemi (Costello, 2003).

2. Human Chorionic Gonadotropin (hCG).

Pada wanita yang tidak menunjukkan LH surge sekalipun gambaran USG


menunjukkan perkembangan folikel yang baik, mungkin memerlukan suplementasi hCG.
HCG diberikan pda hari dimana diperkirakan diameter folikel mencapai 25mm/lebih
(Completed Ovarian Stimulation), dan ovulasi terjadi 36-42 jam setelah hCG. Sebagai
tambahan , kecepatan perkembangan folikel 2-3mm/hr pada sekitar 5 hari sebelum ovulasi
(Anantasika, 2012).
17

Aromatase inhibitor
Anastrazole dan letrozole merupakan aromatase inhibitor generasi ketiga yang
telah banyak digunakan untuk mengatasi gangguan ovulasi. Hingga saat ini, letrozole telah
lebih banyak diteliti dibandingkan anastrazole. Data-data yang tersedia sejauh ini
menandakan letrozole dapat menggantikan fungsi klomifen sitrat sebagai terapi garis
pertama untuk wanita dengan gangguan ovulasi. Dibandingkan dengan klomifen sitrat,
penggunaannya akan menghasilkan endometrium yang lebih tebal. Untuk superovulasi,
didapatkan pola keberhasilan kehamilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan klomifen
sitrat. Ketika letrozole ditambahkan pada regimen gonadotropin, hal ini akan mengurangi
kebutuhan akan gonadotropin dan mendapatkan angka kehamilan yang sama tinggi dengan
terapi gonadotropin saja. Meskipun demikian peranan aromatase inhibitor dalam teknik
reproduksi buatan masih harus dibuktikan (Mitwally, 2005).
Secara teoritis terdapat 2 dugaan mekanisme kerja aromatase inhibitor, yaitu :
1. Hipotesis pusat (Central Hypothesis)

Estrogen memberikan efek balik negatif pada jalur hipotalamik-pituitari dan


menurunkan sekresi FSH dari kelenjar pituitari, Sebagai hasilnya, estrogen tidak
diproduksi, obat ini sebaliknya akan membebaskan sumbu hipotalamik-pituitari dari efek
balik negatif dari estrogen (estrogenic negative feedback), yang mana akan meningkatkan
sekresi gonadotropin (FSH) dan merangsang perkembangan folikel ovarium. Non-steroid
aromatase inhibitor selektif ini memiliki waktu paruh yang relatif pendek (sekitar 45 jam)
dibandingkan dengan klomifen sitrat (2 minggu), dan akan menguntungkan karena
dieksreksikan secara cepat dari dalam tubuh. Ditambah pula, tidak didapatkannya efek
samping pada jaringan target yang dipengaruhi estrogen, karena tidak terjadinya down-
regulation estrogen reseptor dan tidak ada efek negatif pada endometrium sebagaimana
yang terjadi pada siklus terapi klomifen sitrat (Permadi, 2013).
18

sumber : Permadi, 2013


(Gambar 2.4) Sumbu pituitari-ovarium pada fase folikular, dimana estradiol
dihasilkan oleh sel-sel granulosa dan mengeluarkan efek negatif feediback pada
menurunnya sekresi FSH

sumber : Permadi, 2013


(Gambar 2.5) Efek aromatase inhibitor yang menginhibisi proses aromatisasi
androgen menjadi estrogen, mencegah efek negative feedback sehingga sekresi FSH
meningkat, dan androgen yang terakumulasi di dalam ovarium akan meningkatkan
sensitivitasnya terhadap FSH.
19

2. Hipotesis Periferal (Peripheral Hypothesis)

Mekanisme kerja lain dari aromatase inhibitor pada stimulasi ovarium, diduga
bekerja secara lokal pada jaringan ovarium yang meningkatkan sensitivitas folikel terhadap
rangsangan FSH. Hal ini akan berakibat penumpukan androgen di dalam ovarium, karena
aromatase inhibitor menghalangi konversi senyawa androgen menjadi estrogen secara
reversibel (Permadi, 2013).
Data-data penelitian hewan primata percobaan menunjukkan bahwa androgen
memiliki peranan dalam pertumbuhan folikel awal, dimana testosteron diketahui
meningkatkan ekspresi reseptor FSH di folikel hewan primata, hal ini menunjukkan
androgen kemungkinan ikut mempromosikan pertumbuhan folikel dan biosintesis estrogen
secara tidak langsung dengan meningkatkan efek FSH. Sebagai tambahan, penumpukan
androgen dalam folikel dapat merangsang keluarnya insulin-like growth factor (IGF-1),
yang bersama-sama dengan faktor parakrin dan endokrin lainnya, bekerja sama dengan
FSH untuk mempromosikan folikulogenesis. Hal ini akan lebih terlihat pada pasien-pasien
dengan PCOS. Seperti yang terlihat dari penelitian yang dilakukan Karaer et al (2005),
yang menyelidiki efek embrionik dan endometrium anatrozole terhadap fase pre-implantasi
dan implantasi setelah diinduksi dengan FSH pada hewan tikus. Disimpulkan bahwa,
anastrozole selain meningkatkan penerimaan tingkat implantasi, tetapi juga mendukung
perkembangan embrio, sehingga disimpulkan bahwa anastrozole, pada siklus induksi FSH,
memiliki efek positif terhadap kualitas embrio dan implantasi. Hanya efek ini baru teruji
pada tikus dan percobaan pada manusia masih perlu dibuktikan lagi.

Tata cara pemberian Aromatase Inhibitor


Dari penelitian awal terlihat penggunaan letrozole dengan dosis 2,5 hingga 7,5 mg
untuk 5 hari pemberian atau menggunakan dosis tunggal 20 mg per oral. Alasan
digunakannya dosis 2,5 mg diambil dari penggunaan dosis letrozole yang sama per hari
sebagai terapi adjuvan pada pengobatan hormonal tumor ganas payudara, dan durasi
penggunaan selama 5 hari dilatar-belakangi penggunaan klomifen sitrat yang dipakai
selama 5 hari. Penggunaan letrozole selama 5 hari dari hari ke 3 hingga ke 7 ini secara
teoritis tidak merugikan karena masih memberikan waktu yang cukup untuk dibersihkan
20

dari sistem sirkulasi tubuh dan hanya akan meninggalkan kadar obat yang tidak bermakna
pada saat dekat waktu ovulasi (Mitwally, 2005).
Kemungkinan yang terlihat, adalah bila dibandingkan dengan dosis 2,5 mg per
hari, penggunaan dosis 5 mg menghasilkan folikel yang lebih banyak. Baru-baru ini, telah
dilakukan penelitian untuk membandingkan kedua dosis di atas dan disimpulkan bahwa
penggunaan letrozole dengan dosis 5 mg per hari memberikan hasil jumlah folikel yang
lebih banyak dan tingkat keberhasilan kehamilan yang lebih tinggi. Pada percobaan acak
lain terhadap 238 wanita dengan stimulasi superovulasi, dibandingkan penggunaan
letrozole dengan dosis 7,5 mg dengan 100 mg klomifen sitrat selama 5 hari, dan
disimpulkan bahwa angka keberhasilan kehamilan pada kedua kelompok sama, tetapi
angka keguguran lebih tinggi pada kelompok yang diterapi dengan klomifen sitrat
(Mitwally, 2005).

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)


merupakan hormon peptida yang terdiri dari 10 asam amino, memiliki waktu
paruh singkat, ikatan reseptor dan sangat mudah digancurkan oleh enzim peptidase (Al-
inany,2011).
Indikasi pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
a) Kasus anovulasi akibat gangguan pada tingkat hipotalamus atau hipofisis sehingga
menyebabkan rendahnya sekresi dan sintesis Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH).
Pada akhirnya terjadi penurunan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
(Lutheinizing Hormone) dan ovarium gagal mengeluarkan telur yang disebut anovulasi
hipotalamik.
Syarat Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
a) Hipofisis harus cukup menyediakan gonadotropin
b) Gangguan Hipotalamus dapat diketahui dengan uji fungsional dinamik dengan klomifen
sitrat atau GnRH.

A. Regimen Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Agonis


Pemberian GnRH agonis ini tidak langsung menekan sekresi gonadotropin. Pada
awalnya pemberian GnRH agonis ini akan memberikan rangsangan (flare up) setelah
21

beberapa waktu baru memberikan penekanan (down regulation). Terdapat beberapa


macam protokol pemberian GnRH agonis ini, tetapi saat ini metode yang dipakai adalah
protokol jangka pendek dan protokol jangka panjang. Pada protokol jangka pendek
pemberian GnRH agonis pada umumnya dimulai pada hari ke-2 siklus haid dan diakhiri
pada saat penentuan bahwa folikel sudah matang, dan dilanjutkan dengan pemberian
Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Protokol jangka panjang, pemberian GnRH
agonis dimulai pada hari ke 21 (pertengahan fase luteal) siklus sebelumnya, dan diakhiri
sama seperti pada protokol jangka pendek (Fadhila, 2016).
B. Regimen Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) Antagonis
GnRH antagonis bekerjanya langsung menekan sekresi gonadotropin, dan tujuan
utama pemberiannya adalah untuk menghindari terjadinya lonjakan LH, maka
pemberiannya langsung pada saat kemungkinan lonjakan LH tersebut akan muncul.
Terdapat dua macam protokol pemberian GnRH antagonis ini, dosis tunggal dan dosis
ganda atau beruntun (Copperman, 2013).
Pada umumnya dosis tunggal GnRH antagonis cukup diberikan sekali pada hari
ke 8 siklus haid, dengan dosis 3 mg. Pada kasus yang stimulasinya gonadotropin
memerlukan waktu yang lama (slow responders), pemberian GnRH antagonis dapat
diulangi setiap 3-4 hari sampai saat pemberian hCG. Pada protokol dosis ganda GnRH
antagonis mulai diberikan pada hari ke-7 siklus haid, dengan dosis 0,25 mg setiap hari
sampai saat pemberian hCG (Copperman, 2013).
Apabila dibandingkan antara pemakaian GnRH antagonis dengan GnRH agonis
protokol panjang. Protokol GnRH antagonis ternyata lebih pendek, lebih sederhana dan
jumlah ampul gonadotropin yang dipakai lebih sedikit. Kemampuan untuk mencegah
lonjakan LH premature, dan kemampuan menekan terjadinya hiperstimulasi, sama antara
kedua protokol ini. Tetapi terdapat perbedaan antara jumlah oosit yang didapat dan angka
kehamilan yang dihasilkannya. GnRH antagonis protokol tetap, menghasilkan jumlah
oosit dan angka kehamilan yang lebih rendah, dibandingkan dengan GnRH agonis protokol
panjang. Apakah kekurangan protokol tetap GnRH antagonis ini bisa diatasi dengan
menyesuaikan protokolnya dengan karakteristik setiap individu, masih perlu diteliti lebih
lanjut.
22

1) Pemantauan estrogen
Pengukuran kadar estrogen sangatlah penting guna mengetahui kapan waktu yang
tepat untuk memberikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) guna mencetuskan
ovulasi dan mencegah keadaan hiperstimulasi. Pada hari ke-7 pemberian terapi, kadar
estradiol serum harus diukur, dari hasil pengukuran ini kita dapat mengambil keputusan
mengenai kadar pemberian Human Menopause Gonadotropin (hMG) berikutnya. Hal ini
diambil sebagai patokan berdasarkan pengalaman dilapangan dan untuk menghindari
pemeriksaan kadar estradial serum setiap hari, walaupun kadang kala hal ini penting untuk
dilakukan (Fadhilah, 2016).
Kadar estradiol yang maksimal untuk terjadinya ovulasi antara 1000 – 1500
pg/mL. Bila kadarnya lebih dari 2000 pg/mL maka ini menandakan telah terjadi keadaan
hiperstimulasi, pada kadar tersebut diatas pemberian GnRH dihentikan dan injeksi hCG
tidak lagi diberikan. Hal ini untuk menghindari terjadinya keadaan ovarium polikistik.
Pada kadar 1000-1500 pg/mL, menandakan pasien mendekati saat ovulasi, ini merupakan
waktu yang tepat untuk memberikan injeksi hormon hCG (Fadhilah, 2016).
2) Pemantauan ultrasonografi
Pemeriksaan USG serial transvaginal dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan pertumbuhan dan perkembangan folikel serta derajat maturitasnya. Pada
perkembangan yang normal pertumbuhan folikel dapat diidentifikasi dengan USG pada
hari ke-5 hingga ke-7. Folikel ini akan menjadi lebih jelas pada hari ke-8 dan ke-10 dari
terapi. Pada siklus yang normal, diameter rata-rata dari folikel matur, sebagai suatu folikel
praovulasi adalah 20 – 24 mm ( range: 14 – 28 mm). Dari hasil pengamatan, kehamilan
biasanya tidak akan terjadi pada ovulasi dengan ukuran folikel kurang dari 17 mm.
Umumnya hanya satu folikel yang dominan, diikuti oleh subordinat folikel dengan
diamater rata-rata 14 mm. Pada 5– 11 % siklus didapati 2 atau lebih folikel dominan yang
berkembang (Fadhilah, 2016).
Lebih kurang 5 hari sebelum terjadinya ovulasi, folikel akan tumbuh secara linier
dengan rata-rata 2–3 mm perharinya, dan pertumbuhan akan meningkat pesat 24 jam
sebelum ovulasi. Dikatakan hal ini berhubungan dengan kejadian mittelschmerz, bukan
terjadi saat pecahnya folikel matang. Ovulasi terjadi bersamaan dengan pengosongan isi
folikel 1 – 45 menit kemudian. Ovulasi akan berhasil bila pemberian hCG dilakukan pada
23

saat folikel berukuran 18 – 20 mm. Lebih kurang 36 jam setelah pemberian hCG biasanya
akan terjadi ovulasi (Fadhilah, 2016).
USG juga digunakan pula untuk mengetahui ketebalan dari endometrium,
terutama saat akan diberikannya hCG sebagai induksi ovulasi. Ini sangat penting untuk
mengetahui pada saat ovulasi dan kemudian terjadi pembuahan, hasil konsepsi dapat
berimplantasi untuk selanjutnya menjadi suatu kehamilan. Tidak akan terjadi kehamilan
bila saat akan terjadi implantasi ketebalan endometrium kurang dari 6 mm. Kemungkinan
untuk terjadi kehamilan menjadi besar apabila saat implantasi hasil konsepsi ketebalan
endometrium 9 – 10 mm atau lebih (Fadhilah, 2016).
3) Saat inseminasi atau hubungan seksual
Inseminasi biasanya dilakukan 36 jam setelah pemberian injeksi hCG atau dengan
melihat kadar LH (LH surge) yang disesuaikan dengan temperatur suhu badan yang
menandakan suatu ovulasi. Bila penderita tidak dalam program inseminasi, pasangan
diperintahkan untuk melakukan hubungan seksual 24 hingga 36 jam setelah pemberian
hCG, setelah sebelumnya absen paling tidak untuk 48 jam (Aleida, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kesimpulan
Terdapat beberapa macam prosedur dalam proses induksi pada wanita dengan gangguan
ovulasi yaitu:
1. klomifen sitrat yang diberikan dengan dosis 50-100 mg/hari yang dapat dinaikan
hingga 200mg/hari selama 5 hari pada hari ke-3 sampai ke-7 siklus menstruasi.
2. Letrozol diberikan dengan dosis 2,5 – 5 mg/hari selama 5 hari pada hari ke-3
sampai ke-7 siklus menstruasi.
3. Pemberian Antagonis Gnrh dibagi dalam 2 protokol, yaitu dosis tunggal dan dosis
ganda, pada dosis tunggal Gnrh antagonis diberikan pada hari ke-8 siklus
menstruasi dengan dosis 3mg yang dapat diulang 3-4 hari, diteruskan sampai
pemberian hCG. Sedangkan pada dosis ganda, GnRH antagonis diberikan pada hari
ke-7 siklus menstruasi dengan dosis 0.25mg/hari yang diberikan setiap hari sampai
pemberian hCG. Pengukuran kadar estrogen sangatlah penting guna mengetahui
kapan waktu yang tepat untuk memberikan Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
guna mencetuskan ovulasi dan mencegah keadaan hiperstimulasi. Kadar estradiol
yang maksimal untuk terjadinya ovulasi antara 1000 – 1500 pg/mL. Bila kadarnya
lebih dari 2000 pg/mL maka ini menandakan telah terjadi keadaan hiperstimulasi,
pada kadar tersebut diatas pemberian GnRH dihentikan dan injeksi hCG tidak lagi
diberikan. Hal ini untuk menghindari terjadinya keadaan ovarium polikistik. Pada
kadar 1000-1500 pg/mL, menandakan pasien mendekati saat ovulasi, ini
merupakan waktu yang tepat untuk memberikan injeksi hormon hCG.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aleida G, Huppelschoten, et al. Do infertile women and their partners have equal
experiences with fertility care. Fertil Steril. 2013;99(3).
Al-Inany HG, Youssef MA, et al. Gonadotrophin-releasing hormone antagonists for assisted
reproductive technology. Cochrane Database Syst Rev. 2011(5):CD001750. Epub
2011/05/13.
Anantasika.2012. Induksi Ovulasi. Sub Bagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi
Bagian/SMF Obstetri & Ginekologi FK Univ.Udayana.
Copperman AB and Benadiva C, 2013. Optimal usage of the GnRH antagonists: a review of
the literature. Reproductive Biology and Endocrinology, No.11 Vol.2 pp 1-13.
Costello MF, Eden JA. A systematic review of the reproductive system effects of metformin
in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2003;79:1-13.
Fadhilah, Anisa. 2016. Induksi Ovulasi dengan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH).
Universitas Yarsi : Banten
Karaer O, Vatansever SH, Oruc S, et al. The aromatase inhibitor anastrozole is associated
with favorable embryo development and implantation marker in mice ovarian
stimulation cycles. Fertility and Sterility. 2005;83(6):1797-806.
Legro, Richard et al. 2014. Letrozole versus Clomiphene for Infertility in the Polycystic
Ovary Syndrome. The New England Journal of Medicine 371:119-29
Messinis IE. Ovulation induction: a mini review. Human Reproduction. 2005;20(10):2688-
97.
Mitwally RFCMFM. Aromatase Inhibitors for Ovulation Induction The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism 2005;91(3):760-71.
Pannil, Mac. Polycystic Ovary Syndrome : An Overview. Topics In Advance Practice
Nursing e-Journal. 2002;2(3).
Permadi, Wiryawan. 2013. Peranan Aromatase Inhibitor dalam induksi ovulasi. Departemen
Obstetri dan Ginekologi Universitas Padjajaran : Bandung.
.

25

Anda mungkin juga menyukai