BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menuju "Indonesia Sehat 2010" merupakan visi dari Departemen Kesehatan dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan. Dalam upaya menuju Indonesia Sehat tahun
2010, maka pengembangan pelayanan kesehatan di Indonesia mulai beralih dan
berorientasi kepada Paradigma Sehat. Ini berard seluruh kegiatan pelayanan kuratif dan
rehabilitatif harus mempunyai daya ungkit yang tinggi bagi peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit bagi orang sehat.
Empat pilar strategi yang telah ditetapkan untuk mendukung tercapainya visi
Departemen Kesehatan "Indonesia Sehat 2010", yaitu yang pertama Strategi Paradigma
Sehat yang harus dilaksanakan secara serempak dan bertanggung jawab oleh segenap
lapisan, termasuk- partisipasi aktif lintas sektor dan seluruh potensi masyarakat. Yang
kedua Strategi Profesionalisme, yaitu memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu,
merata dan terjangkau. Ketiga Strategi jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM), guna memantapkan kemandirian masyarakat dalam hidup sehat, diperlukan
peran serta masyarakat seluas-luasnya, termasuk peran serta dalam pembiayaan. Dan
Straiegi Desentralisasi, di rnana indnya adalah pendelegasian wewenang yang lebih besar
kepada Pemerintah daerah untuk mengatur sistem pemerintahan dan rumah tangganya
sendiri.
Bekerja rnerupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat
un'uk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Berada dalam rasa harga diri tertentu,
menciptakan dan berkreasi untuk mendapatkan penghasilan. Telah diketahui sejak lama,
bahwa beberapa jenis pekerjaan dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan atau
penyakit.
Adanya krisis rnoneter yang kita alami menyebabkan banyaknya perusahaan yang
terpuruk pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana sehingga pengangguran
meningkat diperkirakan jumlah pengangguran saat ini lebih dari 18 juta orang. Keadaan
ini .akan memaksa perusahaan untuk menghemat pos-pos pengeiuaran yang tidak
memberikan keuntungan seketika. Dalam situasi seperti ini, pencegahan menjadi pilihan
utama agar tidak terjadi keceiakaan ataupun penyakit akibat kerja.
B. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Adapun tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah :
BAB II
Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera sempurna dari fisik, mental
dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja.
Sedangkan menurut UU kesehatan no 23 tahun 1992, sehat berarti suatu keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
Manajemen K3 di rumah sakit merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dari
tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang bertujuan
untuk membudayakan K3 di RS dalam rangka mencegah, mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Kondisi lingkungan kerja di rumah sakit di masa mendatang akan berkembang
serba mekanik, otomatis, kimiawi dengan teknologi canggih yang dapat berpengaruh
langsung terhadap kesehatan.
Pekerja yang ada di rumah sakit sangat bervariasi baik jenis maupun jumlahnya
sesuai dengan tugas dan fungsi rumah sakit. Masyarakat pekerja di rumah sakit dalam
melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai bahaya potensial yang bila
tidak dapat diantisipasi dengan baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap keselamatan dan kesehatannya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas kerjanya.
Ada beberapa bahaya potensial untuk terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit
yaitu antara lain: ketel uap, kebakaran, bahan-bahan radioaktif, cedera pada punggung
karena mengangkat pasien, pekerjaan menyuntik, terpeleset/terjatuh.
Penyakit akibat kerja di rumah sakit umumnya berkaitan dengan faktor biologik
(kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien), faktor kimia (antiseptik pada kulit,
gas anastesi, dll.), faktor ergonomik (cara duduk yang salah, cara mengangkat pasien
salah, dll.), faktor fisik dalam dosis kecil dan terus menerus (panas pada kulit, radiasi
pada sistem reproduksi/pemroduksi darah), faktor psikososial (ketegangan di kamar
bedah, penerimaan pasien gawat darurat, bangsal penyakit jiwa, dll.).
B. Ruang Lingkup Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2. Faktor Kimia.
3. Faktor Biologi
• Penyakit anthrax, sering terdapat di tempat penjagalan, penyamakan kulit,
pengeringan tulang, peternakan dan lain-lain.
• Penyakit jamur, sering diderita oleh tukang cuci.
• Penyakit parasit, sering diderita oleh pekerja di tambang perkebunan dan pertanian.
Dapat menirnbulkan kelelahan fisik bahkan larnbat laun terjadi perubahan fisik tubuh, hal
ini dapat disebabkan oleh kesalahan
C. Gambaran Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja
1. 1,1 juta orang meninggal setiap tahun karena kecelakaan atau karena penyakit akibat
hubungan kerja (PAHK).
1. Lebih dari 50% pekerja Indonesia peserta Jamsostek mengidap penyakit kulit akibat
masuknya zat kimia melalui kulit dan pernafasan
4. Pada industri kecil didapatkan 60-80% gangguan akibat faktor ergonomi seperti sakit
pinggang, kaku leher serta keluhan pada anggota gerak atas dan bawah
5. Para perajin mebel mempunyai resiko penurunan kapasitas paru sebesar 38% (Nairn
dan Kambey, 1992)
6. Beberapa penelitian (Husaini dkk), melaporkan bahwa di kalangan tenaga kerja wanita
menderita anemia 30-40%. Anemia pekerja wanita di Jawa Barat hasil studi di Tangerang
tahun 1999 menunjukan bahwa prevalensi anemia pada pekerja wanita 69% dan pada
pria 32%.
7. Di salah satu pabrik kertas di Banyuwangi dilaporkan kebocoran gas CI2 (chlorine)
terjadi sebanyak 36 kali dalam kurun waktu 1970-1980 dan telah menimbulkan keracunan
terhadap 46 orang dan seorang diantaranya meninggal
8. Pemeriksaan orthopedik pada 205 pekerja pabrik tekstil di Jawa Barat dengan keluhan
pada anggota gerak atas, ditemukan 64% (132 pakerja) di diagnosa positif menderita
penyakit otot rangka akibat kerja (Tresnaningsih, 2000)
9. Hasil penelitian Departemen Kesehatan di 6 provinsi (1989) menunjukan bahwa :
a. Nelayan penyelam tradisional di Pulau Bungin, NTB menderita nyeri persendian
57,5% dan gangguan pendengaran 11,3%
b. Nelayan penyelam tradisional di Kepulauan Seribu menderita barotrauma 41,37%
dan penyakit dekompresi 6,91%
c. 25,5% penyelam tradisional menderita kelainan pernafasan berupa sesak nafas
d. Pandai besi menderita gangguan/ pengurangan tajam pendengaran 30-54%
10. Penelitian Departemen Kesehatan lainnya di pelbagai jenis pekerjaan (tahun 1996-
1997) menunjukkan adanya kelainan atau gangguan kesehatan para pekerja, antara lain
berupa perubahan bentuk tulang punggung para perajin gerabah, myalgia dan nyeri
pinggul pada pekerja perempuan di tempat sortir tembakau dan lain-lainnya
Estimasi WHO (1995) rnenggambarkan bahwa untuk potensi bahaya bagi pekerja
di seluruh dunia :
2. Kecelakaan akibat kerja diperkirakan berjumlah 120 juta/tahun, lebih dari 200.000
kasus berakibat fatal, 68-157 juta terjadi kasus-kasijs baru akibat pemajanan.
4. Pelayanan kesehatan kerja yang memadai diperkirakan baru bisa diberikan pada 20-
30% pekerja di negara maju, sedangkan untuk negara berkembang/hanya 5-10%.
D. Peranan Rumah Sakit dalam Masalah K3
Rumah sakit adalah institusi pelayanan masyarakat yang padat modal, padat
teknologi dan padat karya yang dalam pekerjaan sehari-hari melibatkan sumberdaya
manusia dengan berbagai jenis keahlian. Jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas tenaga. di institusi pelayanan kesehatan.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di institusi pelayanan kesehatan terutama di
rumah sakit, penggunaan peralatan dengan teknologi tinggi dan bahan-bahan serta obat
berbahaya bagi kesehatan untuk tindakan diagnostik, terapi maupun rehabilitasi semakin
meningkat. Terpaparnya tenaga kesehatan dan tenaga kerja di institusi pelayanan
kesehatan oleh bibit penyakit perlu mendapat perhatian khusus.
Rumah sakit diharapkan dapat melayani rujukan pasien akibat kecelakaan kerja
dari institusi pelayanan kesehatan dasar di wilayahnya. Rumah sakit ini diharapkan pula
agar dapat berperan sebagai gate keeper untuk menapis pelayanan medik dasar akibat
kecelakaan kerja dan menyalurkan kepada pelayanan medik spesialis yang dilakukan oleh
dokter spesialis sebagai pelayanan rujukan medik. Pelayanan medik dasar di rumah sakit
akan melindungi kepentingan masyarakat dari pelayanan spesialistik yang sebenarnya
tidak diperlukan sesuai dengan kondisi penyakitnya. Pelayanan medik dasar akan
melindungi dokter spesialis dalam melaksanakan profesinya agar tetap dapat
memperta'hankan dan meningkatkan prof^sionalitasnya karena tidak terjebak pada
pelayanan rriedik dasar. Peningkatan mutu sumberdaya manusia dan profesionalisme
dalam memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau secara
profesional sangatlah diperlukan, demikian pula halnya dalam pemeliharaan kesehatan
dan keselamatan kerja. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran menuntut
agar setiap insan kesehatan dapat meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan
pelayanan kesehatan, agar dapat diseleng-garakannya pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau.
BAB III
1 Syarat-syarat K3-RS
a. Pelaksanaan
- Melakukan pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan khusus dan
pemeriksaan kesehatan berkala
- Pemberian paket penanggulangan anemia
- Pemberian paket pertolongan gizi
- Upaya-upaya yang dilakukan sehubungan dengan kapasitas dan beban kerja,
misalnya pengaturan kerja bergilir, penempatan petugas pada jabatannya, pendi-
dikan dan pelatihan petugas RS tentang K3
- Pelaksanaan upaya penanggulangan bahaya potensial
- Pelaksanaan cara kerja yang baik
- Pengorganisasian dan pembagian tugas yang jelas
b. Pengawasan
- Melalui pengisian form K3-RS dan formulir check list 6 bulanan
- Pemantauan diutamakan pada kasus kecelakaan, proses terlaksananya kegiatan K3
RS dan masukan sumberdaya
c. Pembinaan
Pembinaan diarahkan agar rumah sakit melakukan upaya-upaya sehingga dicapai
nihil kecelakaan dan nihil penyakit akibat ketja yang merupakan salah satu
indikator keberhasilan K3-RS
3. Profesionalisme di bidang K3-RS
Perlu dukungan tenaga, dana, sarana dan fasilitas yang memadai agar
pelaksanaan K3-RS dapat dilakukan secara profesional. RS perlu memiliki tenaga yang
mempunyai pendidikan K3 atau sudah pernah mengikuti pelatihan K3.
4. Sistem informasi K3-RS
Sistem informasi K3-RS perlu dikembangkan oleh RS. RS agar mengisi form identifikasi
K3-RS dan form check list kemudian mengirimkannya ke Departemen Kesehatan.
Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip kesehatan dapat
mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan, sehingga di dalam
pelaksanaan K3-RS diperlukan langkah-langkah mengubah perilaku pekerja
B. Perencanaan
Perencanaan dan fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sudah dikenal luas
sebagai salah satu institusi yang paling kompleks dan banyak bergantung pada teknologi,
seperti prosedur kerja, obat-obatan, dan berbagai fasilitas fisik. Rumah sakit harus
beroperasi 24 jam setiap hari, dan melibatkan para pakar dan teknologi yang amat rumit
sehingga RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelasdan dapat di ukur.
Ini adalah bagian dari system manajemen secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, kegiatan perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja. Guna tercapainya tempat
kerja dan lingkungan kerja yang aman, efisien dan produktif.
3. Mekanisme Kerja.
Ketua organisasi/unit pelaksana K3-RS memimpin dan mengkoordinasikan
kegiatan organisasi/unit pelaksana K3-RS. Sekertaris organisasi/unit pelaksana K3-
RS memimpin dan mengkoordinasikam tugas-tugas kesekretariatan dan
melksanakan keputusan organisasi/unit pelaksana K3-RS Anggota organisasi/unit
pelaksana K3-RS mengikuti rapat organisasi/unit Pelaksana K3-RS dan melakulkan
pembhasan atas persoalan yang diajukan dalam rapat, serta melksanakan tugas-
tugas yang diberikan organisasi/unit pelksana K3-RS. Untuk dapat melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya, organisasi/unit pelaksana K3-RS mengumpulkan data
dan informasi mengenai pelaksanaan K3 di RS. Sumber data antara lain dari bagian
personalia meliputi angka sakit, tidak hadir tanpa keterangan, angka kecelakaan,
catatan lama sakit dan perawatan RS, khususnya yang berkaitan dengan akibat
kecelakaan. Dan sumber yang lain bisa dari tempat pegobatan RS sendiri antara
lain jumlah kunjungan, P3K.
D. Pelaksanaan K3
Pelayanan ini diberikan kepada tenaga kerja yang sehat dengan tujuan untuk
meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi efesiensi dan produktivitas kerja.
Kegiatannya antara lain meliputi:
• Perbaikan gizi, menu seimbang dan pemilihan makanan yang sehat dan aman.
• Olah Raga.
3. Pelayanan kuratif.
4. Pelayanan rehabilitatif
Pelayanan diberikan kepada pekerja yang telah menderita cacat sehingga menyebabkan
ketidak mampuan bekerja secara permanen baik sebagian maupun seluruh. kemampuan
bekerjanya.
a. Evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan suatu nilai atau keberhasilan dalam
usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan.
b. Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur pencapaian suatu tujuan maupun
keadaan tertentu dengan membandingkannya terhadap standard nilai yang sudah
ditentukan sebelumnya.
Tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk menghimpun nilai terhadap standar
yang telah ditetapkan agar hasil penilaian tersebut dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perencanaan selanjutnya.
Sesuai dengan tujuan, dapat dibedakan berbagai jenis evaluasi sebagai berikut:
Dimana munculnya suatu program baru didasarkan pada analisis situasi terhadap wilayah
tertentu yang meliputi sosio-ekonomi, kependudukan, derajat kesehatan, fasilitas
kesehatan yang tersedia, dll. Dari hasil analisis situasi ini akan dirancang suatu program
yang diperkirakan tepat untuk mengatasi masalah yang timbul. i
• Evaluasi terhadap penampilan kerja : merupakan suatu penilaian yang bertujuan untuk
menaksir kesesuaian antara pelaksanaan nyata di lapangan atas suatu program terhadap
perencanaannya, yang difokuskan pada hasil dari segi kualitas dan kuantitas. Hasil
penilaian pada tahap ini dapat digunakan untuk memantau pelaksanaan yang nyata di
lapangan dan untuk membantu menentukan apakah pelaksanaan program yang sedang
berjalan tersebut perlu suatu intervensi ataukah dapat berjalan tanpa intervensi.
Peniiaian ini dilakkan pada saat program sedang berjalan atau program telah
menghasilkan suatu produk.
mengukur keberhasilan.
Adapun cara-cara pemantauan dan evaluasi tersebut dapat dilakukan secara aktif
maupun secara pasif, yang mana masing-masing cara mempunyai kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
1. Secara Aktif
a. Pemantauan/monitoring
b. Evaluasi
Seperti halnya pemantauan, untul, evaluasi ini dapat dilakukan secara aktif,
dilakukan dengan mendatangi responden, dimana dapat dilaksanakan tatap muka melalui
wawancara maupun diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Pada cara ini
aapat dilakukan pengumpulan data, baik terhadap data primer maupun data sekunder.
Yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data secara aktif ini adalah dalam
merencanakan studi design : apakah akan menggunakan studi design experimental atau
non experimental, karena kedua model tersebut mempunyai perbedaan yang amat ,
mendasar.
Untuk stusi design non experimental akan lebih memungkinkan, karena tidak banyak
faktor lapangan yang harus diperhatikan dan dikendalikan/ Keuntungan pemantauan dan
evaluasi secara aktif adalah lebih akuratnya data yang dikumpulkan. Meskipun hal ini
tergantung prakondisi jelasnya ketentuan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi,
kualitas pengumpul data serta pemantau/evaluatornya. Sedangkan kelemahan metode
ini adalah pembiayaan yang cukup mahal dalam melaksanakannya.
2. Secara Pasif
Pemantauan dan evaluasi juga dapat dllakukan secara pasif, dimana metode yang sudah
sering dan rutin dipergunakan dalam kegiatan/program kesehatan. Metode pasif ini
berupa pengiriman laporan dari institusi yang dipantau/evaluasi kepada institusi yang
memantau/mengevaluasi. Laporan dibuat berdasarkan hasil pencatatan yang ada pada
institusi yang dipantau/evaluasi., yang kemudian pada akhir periode dilakukan
rekapitulasi data dari pencatatan sesuai permintaan dari institusi yang
memantau/mengevaluasi. Periode rekapitulasi biasanya adalah akhir setiap akhir tribulan,
atau tengah tahunan..
Keuntungan pemantauan dan evaluasi secara pasif adalah pembiayaan yang relatif
tidak mahal. Sedangkan kelemahan metode ini adalah bila terdapat target yang harus
dicapai, pelapor cenderung mengisi data sesuai atau mendekati indikator/target tersebut
meskipun keadaan di lapangan tidak demikian/berbeda. Hal ini terjadi dengan tujuan
terselubung dimana agar tampak tidak mengecewakan pemantau/evaluator, yang mana
hal ini sering menjebak program menjadi berjalan ditempat, bila format isian terlalu rumit,
pelapor tidak akan mengirimkan aporannya atau mengirimkan dalam keadaan yang tidak
sempurna, bila tidak tersedia tenaga yang mengurus pencatatan dan pelaporan, akan
terjadi tidak tersedia data dan laporan tidak bisa dibuat.
a. Sasaran
Sasaran evaluasi program kesehatan kerja pada dasarnya adalah sama dengan sasaran
pemantauannya, maka untuk evaluasi program kesehatan kerja juga dilakukan terhadap
para pengelola kesehatan kerja baik Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota serta Puskesmas.
b. Tujuan
Apabila dalam kegiatan ' pemantauan kinerja para pengelola kesehatan kerja bertujuan
meningkatkan kinerja pengelola kesehatan kerja, maka untuk evaluasi program
kesehatan kerja bertujuan menilai hasil kinerja (hasjl akhir pada periode tertentu yaitu
pada tengah periode atau akhir periode) para pengelola program kesehatan kerja.
4). Prevalensi Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK), dan
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
F. Pembinaan K3
- Zero accident
- Penegakan hukum
Hal ini perlu dilaksanakan suatu pola pembinaan tenaga kerja di bidang K3, antara
lain dengan :
Peran SIM di rumah sakit dapat pada fungsi medikal maupun pada fungsi bisnis.
Untuk setiap fungsi, SIM dapat berperan baik dalam sistem transaksi, perencanaan
operasional, sistem pengawasan serta perencanaan strategis. Dengan bahasa yang agak
berbeda, J.R.Griffith juga mengemukakan bahwa pengembangan SIM di rumah sakit
mencakup care related system dan management related system.
Rekam medis sebagai salah satu bentuk SIM RS berperan penting dalam
peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dalam berbagai aspek, sebagai berikut: (a)
Aspek administratif, (b) Aspek hukum, (c) Aspek keuangan, (d) Aspek riset dan edukasi,
(e) Aspek dokumentasi.
Dalam hal audit medik, SIM RS amat diperlukan mengingat terjadinya tiga hal
penting di rumah sakit:
1. Teknologi kedokteran kini makin berkembang, makin kompleks, makin kuat,
makin punya risiko bahaya dan main mahal, karena itu memerlukan pengawasan yang
ketat.
2. Teknologi sistem informasi pun kian canggih sehingga memungkinkan
melakukan pengawasan ketat dengan biaya yang wajar.
3. Situasi lingkungan yang mengharuskan pelayanan kesehatan di rumah sakit di
lakukan seefektif dan seefisien mungin.
Di rumah sakit, data-data SIM dapat di peroleh dari berbagai sumber, yaitu:
1. Catatan medik pasien
2. Akuntansi penerimaan
3. Akuntansi pengeluaran uang
4. Lain-lain.
Data-data di atas bisa didapat dengan tiga cara, yaitu studi publikasi, survey
sewaktu-waktu dan proses pencatatan dan pelapotan yang rutin.
Pelayanan sistem informasi di rumah sakit tentu juga harus dinilai secara berkala.
Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah ada tidaknya keterlambatan dalam
pelayanan, bagaimana kepuasan pengguna jasa SIM RS di dalam rumah sakit itu sendiri,
bagaimana pendapat konsultan luar terhadap jalannya SIM RS, berapa besarbiaya yang
dihabiskan dibandingkan dengan penghematan yang didapat serta evaluasi umumnya
terhadap rencana pengembangan yang ada.
BAB IV
PENUTUP
Di Indonesia, masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja sementara ini masih belum
dijadikan prioritas oleh beberapa pengelola fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit
yang memiliki organisasi yang besar dan komplek serta jumlah personil yang banyak dari
berbagai disiplin profesi. Potensial Hazards yang memapari pekerjannya, terdiri dan
hazard fisik, kimiawi, biologica, ergonomic serta psychological. Selain terhadap para
pekerjanya, perlindungan juga harus diberikan kepada komunitas di sekitar fasilitas
tersebut.
Dalam kenyataannya pemahaman tentang lingkungan kerja yang sehat dan aman
sesuai syarat tersebut masih sangat minim dan belum menjadi nilai tambah dan memberi
kontribusi terhadap peningkatan daya saing Rumah Sakit yang sesuai dengan UU No. 1
tahun 1970 dan UU No. 13 tahun 2003 dimana diisyaratkan bahwa lingkungan kerja harus
bersifat sehat dan aman.
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Kesehatan Kerja, Kebijakan Tekhnis
Program Kesehatan Kerja, 2003.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tekhnis Upaya Kesehatan Kerja
diRumah Sakit, 2000.
Adiatama TY, Tri Hastuti, eds. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 2002. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Fridlund Lennart, ed. Training Manual. Safety–Health and Working Contidition. 1987.
Stockholm: Tiba Tryck AB.
Kliesch GR, ed. Major Hazard Control, A Practical Manual. 1990. Genewa: International
Labour Office.
Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja, Sekertariat Jendral Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Pusat Kesehatan Keselamatan Keraja, 2004.
Santoso Gempur, Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Prestasi Pustaka,
Surabaya, 2004.
Djoko Wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Erlangga University Press, 1999.
Entjang Indan, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Notoatmojo. S, Kesehatan Kerja, Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip
Dasar, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1999.
Perundang-undangan Nasional dibidang Kesehatan ; Penerbitan ketiga, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Silalahi Bennet, dkk, Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Jakarta, Sabdodadi,
1995.
Subanegara Permana Hanna, Diamond Head Drill dan Kepemimpinan dalam Manajemen
RS, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005.
Sulatomo, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Suma’mur, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, CV.Haji Masagung, Jakarta,
1975