Anda di halaman 1dari 28

Rabu, 20 Februari 2008

MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menuju "Indonesia Sehat 2010" merupakan visi dari Departemen Kesehatan dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan. Dalam upaya menuju Indonesia Sehat tahun
2010, maka pengembangan pelayanan kesehatan di Indonesia mulai beralih dan
berorientasi kepada Paradigma Sehat. Ini berard seluruh kegiatan pelayanan kuratif dan
rehabilitatif harus mempunyai daya ungkit yang tinggi bagi peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit bagi orang sehat.

Empat pilar strategi yang telah ditetapkan untuk mendukung tercapainya visi
Departemen Kesehatan "Indonesia Sehat 2010", yaitu yang pertama Strategi Paradigma
Sehat yang harus dilaksanakan secara serempak dan bertanggung jawab oleh segenap
lapisan, termasuk- partisipasi aktif lintas sektor dan seluruh potensi masyarakat. Yang
kedua Strategi Profesionalisme, yaitu memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu,
merata dan terjangkau. Ketiga Strategi jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM), guna memantapkan kemandirian masyarakat dalam hidup sehat, diperlukan
peran serta masyarakat seluas-luasnya, termasuk peran serta dalam pembiayaan. Dan
Straiegi Desentralisasi, di rnana indnya adalah pendelegasian wewenang yang lebih besar
kepada Pemerintah daerah untuk mengatur sistem pemerintahan dan rumah tangganya
sendiri.

Dalam rnemasuki abad ke-21, Pemerintah Indonesia menghadapi banyak


tantangan yang tidak dapat dihindari yaitu terjadinya arus globalisasi yang ditandai
dengan perdagangan bebas, meningkatnya teknologi inforrnasi, komunikasi dan
transportasi, sehingga hubungan antarbangsa yang tiada batas yang melanda seluruh
dunia yang pada saat ini sudah dapat dirasakan dampaknya. Kesepakatan-kesepakatan
di bidang perdagangan dan ekonomi seperti AFTA, APEC dan WTO, merupakan kondisi
yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat menghindarkan dari perubahan dan
perkembangan yang melanda dunia.

Bekerja rnerupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat
un'uk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Berada dalam rasa harga diri tertentu,
menciptakan dan berkreasi untuk mendapatkan penghasilan. Telah diketahui sejak lama,
bahwa beberapa jenis pekerjaan dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan atau
penyakit.

Untuk memlihara kesehatan, manusia memeflukan berbagai sarana kesehatan


seperti kebutuhan akan gizi, lingkungan kerja yang baik dan peiayanan kesehatan kerja
yang memadai. Lingkungan kerja merupakan ruang dimana pekerja berada dengan
pekerjaannya dan kemungkinan terpapar dengan faktor fisik, kimia, biologi, psikologi dan
ergonomi. Di samping itu adanya limbah / sisa produksi yang dibuang sembarangan dapat
mempengaruhi lingkungannya yang pada akhirnya akan memberikan dampak kesehatan
yang negatif pada masyarakat disekitarnya.

Adanya krisis rnoneter yang kita alami menyebabkan banyaknya perusahaan yang
terpuruk pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana sehingga pengangguran
meningkat diperkirakan jumlah pengangguran saat ini lebih dari 18 juta orang. Keadaan
ini .akan memaksa perusahaan untuk menghemat pos-pos pengeiuaran yang tidak
memberikan keuntungan seketika. Dalam situasi seperti ini, pencegahan menjadi pilihan
utama agar tidak terjadi keceiakaan ataupun penyakit akibat kerja.
B. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Adapun tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah :

1. Memelihara dan menihgkatkan derajat kesehatan mssyarakat pekerja di semua


lapangan pekerjaan ke tingkat yang setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pekerja karena lingkungan kerjanya.

3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dan kemungkinan bahaya


yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.

4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerja yang sesuai


dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.

BAB II

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI RUMAH SAKIT

A. Pengertian Keselamatan Dan Kesehatan Kerja

Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera sempurna dari fisik, mental
dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja.
Sedangkan menurut UU kesehatan no 23 tahun 1992, sehat berarti suatu keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.

Kesehatan kerja menurut WHO/ILO tahun1995 bertujuan untuk peningkatan dan


pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi
pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja
yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya
dari resiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan
pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan
psikologinya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan
setia manusia kepada pekerjaannya atau jabatan yang dimilikinya.

Manajemen K3 di rumah sakit merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dari
tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang bertujuan
untuk membudayakan K3 di RS dalam rangka mencegah, mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Kondisi lingkungan kerja di rumah sakit di masa mendatang akan berkembang
serba mekanik, otomatis, kimiawi dengan teknologi canggih yang dapat berpengaruh
langsung terhadap kesehatan.

Pekerja yang ada di rumah sakit sangat bervariasi baik jenis maupun jumlahnya
sesuai dengan tugas dan fungsi rumah sakit. Masyarakat pekerja di rumah sakit dalam
melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai bahaya potensial yang bila
tidak dapat diantisipasi dengan baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap keselamatan dan kesehatannya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas kerjanya.

Lingkungan kegiatan rumah sakit dapat mempengaruhi kesehatan dalam 2 bentuk


yaitu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

1. Kecelakaan kerja di rumah sakit

Ada beberapa bahaya potensial untuk terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit
yaitu antara lain: ketel uap, kebakaran, bahan-bahan radioaktif, cedera pada punggung
karena mengangkat pasien, pekerjaan menyuntik, terpeleset/terjatuh.

2. Penyakit akibat kerja di rumah sakit

Penyakit akibat kerja di rumah sakit umumnya berkaitan dengan faktor biologik
(kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien), faktor kimia (antiseptik pada kulit,
gas anastesi, dll.), faktor ergonomik (cara duduk yang salah, cara mengangkat pasien
salah, dll.), faktor fisik dalam dosis kecil dan terus menerus (panas pada kulit, radiasi
pada sistem reproduksi/pemroduksi darah), faktor psikososial (ketegangan di kamar
bedah, penerimaan pasien gawat darurat, bangsal penyakit jiwa, dll.).
B. Ruang Lingkup Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Faktor-faktor kesehatan lingkungan kerja yang mempunyai pengaruh terhadap


pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya ialah:
1. Faktor fisik
a. Suhu
b. Tekanan
c. Pencahayaan
d. Radiasi
e. Getaran.

2. Faktor Kimia.

Debu , Dap logam, gas, larutan

3. Faktor Biologi
• Penyakit anthrax, sering terdapat di tempat penjagalan, penyamakan kulit,
pengeringan tulang, peternakan dan lain-lain.
• Penyakit jamur, sering diderita oleh tukang cuci.
• Penyakit parasit, sering diderita oleh pekerja di tambang perkebunan dan pertanian.

4. Faktor Fisiologis (Ergonorni).

Dapat menirnbulkan kelelahan fisik bahkan larnbat laun terjadi perubahan fisik tubuh, hal
ini dapat disebabkan oleh kesalahan
C. Gambaran Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Gambaran mengenai masalah kesehatan kerja yang mencakup angka kesakitan


dan kematian akibat kerja dan akibat hubungan kerja dari International Labour
Organisation (ILO) yaitu :

1. 1,1 juta orang meninggal setiap tahun karena kecelakaan atau karena penyakit akibat
hubungan kerja (PAHK).

2. Dari 250 juta kecelakaan, 300.000 orang meninggal

3. Diperkirakan ada 160 juta PAHK baru setiap tahunnya


Sedangkan data mengenai Penyakit Akibat Kerja (PAK), PAHK dan Kecelakaan
Akibat Kerja (KAK) di Indonesia belum ada. Namun, dari hasil penelitian diperoleh
gambaran kondisi kesehatan masyarakat pekerja sebagai^berikut:

1. Lebih dari 50% pekerja Indonesia peserta Jamsostek mengidap penyakit kulit akibat
masuknya zat kimia melalui kulit dan pernafasan

2. Ganguan keseimbangan dan fungsi pendengaran akibat kebisingan pada pengemudi


bajaj 72,28% dengan perincian gangguan pendengaran 17,4%, gangguan keseimbangan
27,71% dan hanya 27,72% yang masih sehat.

3. Di kalangan petani, sering terjadi keracunan pestisida; beberapa peneliti melaporkan


angka keracunaan pestisida berkisar antara 20-50% (Achmadi, 1985, 1990, 1992; Eman
dan Sukarno, 1884; serta Depkes, 1983)

4. Pada industri kecil didapatkan 60-80% gangguan akibat faktor ergonomi seperti sakit
pinggang, kaku leher serta keluhan pada anggota gerak atas dan bawah

5. Para perajin mebel mempunyai resiko penurunan kapasitas paru sebesar 38% (Nairn
dan Kambey, 1992)

6. Beberapa penelitian (Husaini dkk), melaporkan bahwa di kalangan tenaga kerja wanita
menderita anemia 30-40%. Anemia pekerja wanita di Jawa Barat hasil studi di Tangerang
tahun 1999 menunjukan bahwa prevalensi anemia pada pekerja wanita 69% dan pada
pria 32%.

7. Di salah satu pabrik kertas di Banyuwangi dilaporkan kebocoran gas CI2 (chlorine)
terjadi sebanyak 36 kali dalam kurun waktu 1970-1980 dan telah menimbulkan keracunan
terhadap 46 orang dan seorang diantaranya meninggal

8. Pemeriksaan orthopedik pada 205 pekerja pabrik tekstil di Jawa Barat dengan keluhan
pada anggota gerak atas, ditemukan 64% (132 pakerja) di diagnosa positif menderita
penyakit otot rangka akibat kerja (Tresnaningsih, 2000)
9. Hasil penelitian Departemen Kesehatan di 6 provinsi (1989) menunjukan bahwa :
a. Nelayan penyelam tradisional di Pulau Bungin, NTB menderita nyeri persendian
57,5% dan gangguan pendengaran 11,3%
b. Nelayan penyelam tradisional di Kepulauan Seribu menderita barotrauma 41,37%
dan penyakit dekompresi 6,91%
c. 25,5% penyelam tradisional menderita kelainan pernafasan berupa sesak nafas
d. Pandai besi menderita gangguan/ pengurangan tajam pendengaran 30-54%

10. Penelitian Departemen Kesehatan lainnya di pelbagai jenis pekerjaan (tahun 1996-
1997) menunjukkan adanya kelainan atau gangguan kesehatan para pekerja, antara lain
berupa perubahan bentuk tulang punggung para perajin gerabah, myalgia dan nyeri
pinggul pada pekerja perempuan di tempat sortir tembakau dan lain-lainnya

Estimasi WHO (1995) rnenggambarkan bahwa untuk potensi bahaya bagi pekerja
di seluruh dunia :

1. 40-50% penduduk dunia mempunyai risiko terhadap penyakit/kecelakaan sehubungan


dengan pekerjaannya.

2. Kecelakaan akibat kerja diperkirakan berjumlah 120 juta/tahun, lebih dari 200.000
kasus berakibat fatal, 68-157 juta terjadi kasus-kasijs baru akibat pemajanan.

3. Diperkirakan sekitar 3.000 pemajanan menimbulkan gangguan kulit dan lain-lain.

4. Pelayanan kesehatan kerja yang memadai diperkirakan baru bisa diberikan pada 20-
30% pekerja di negara maju, sedangkan untuk negara berkembang/hanya 5-10%.
D. Peranan Rumah Sakit dalam Masalah K3

Rumah sakit adalah institusi pelayanan masyarakat yang padat modal, padat
teknologi dan padat karya yang dalam pekerjaan sehari-hari melibatkan sumberdaya
manusia dengan berbagai jenis keahlian. Jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas tenaga. di institusi pelayanan kesehatan.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di institusi pelayanan kesehatan terutama di
rumah sakit, penggunaan peralatan dengan teknologi tinggi dan bahan-bahan serta obat
berbahaya bagi kesehatan untuk tindakan diagnostik, terapi maupun rehabilitasi semakin
meningkat. Terpaparnya tenaga kesehatan dan tenaga kerja di institusi pelayanan
kesehatan oleh bibit penyakit perlu mendapat perhatian khusus.

Penyelenggaraan kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit sangatlah perlu


mendapat perhatian yang serius oleh karena pelayanan kesehatan ini bersifat continuum.
Perhatian pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit tidak hanya untuk
pengguna rumah sakit yang meliputi pasien, pengunjung rumah sakit, dan tenaga
pemberi pelayanan kesehatan; tetapi juga bagi pelaksana dan pengelola rumah sakit.
Bangunan dan lingkungan rumah sakit juga perlu mendapat perhatian agar para
pengelola rumah sakit, penyelenggara pelayanan maupun pengguna rumah sakit dapat
terlindungi keselamatan kerjanya dan terhind^r dari kecelakaan kerja.

Rumah sakit diharapkan dapat melayani rujukan pasien akibat kecelakaan kerja
dari institusi pelayanan kesehatan dasar di wilayahnya. Rumah sakit ini diharapkan pula
agar dapat berperan sebagai gate keeper untuk menapis pelayanan medik dasar akibat
kecelakaan kerja dan menyalurkan kepada pelayanan medik spesialis yang dilakukan oleh
dokter spesialis sebagai pelayanan rujukan medik. Pelayanan medik dasar di rumah sakit
akan melindungi kepentingan masyarakat dari pelayanan spesialistik yang sebenarnya
tidak diperlukan sesuai dengan kondisi penyakitnya. Pelayanan medik dasar akan
melindungi dokter spesialis dalam melaksanakan profesinya agar tetap dapat
memperta'hankan dan meningkatkan prof^sionalitasnya karena tidak terjebak pada
pelayanan rriedik dasar. Peningkatan mutu sumberdaya manusia dan profesionalisme
dalam memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau secara
profesional sangatlah diperlukan, demikian pula halnya dalam pemeliharaan kesehatan
dan keselamatan kerja. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran menuntut
agar setiap insan kesehatan dapat meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan
pelayanan kesehatan, agar dapat diseleng-garakannya pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pendayagunaan kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi kedokteran disertai dengan penerapan nilai-nilai moral dan
etika. Pelayanan kesehatan yang profesional tidak akan terlaksana apabila tidak didukung
oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan mengikuti perkembangan , ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu, penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
bermutu perlu didukung dengan penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi.
Semua tenaga kesehatan dituntut agar selalu menjunjung tinggi sumpah dan kode etik
profesi. Kemitrasertaan (equalpartnership) antara profesi medik dengan manajemen
medik dalam memberikan pelayanan medik sangatlah diperlukan agar dapat
dihasilkannya pelayanan medik yang bermutu (quality), aman (safety), ketepatan
(efficacy), berhasilguna dan berdayaguna (effectiveness and efficiency), merata dan
rasional (equity) dan memberikan kepuasan bagi pengguna jasa kesehatan (client
satisfaction).
E. Dasar Hukum K3

Kebijakan Program kesehatan kerja disusun dengan bertandaskan berbagai


peraturan yang berlaku khususnya UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal
23 menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja sebagai salah satu dari 15 upaya kesehatan
yang diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal sejalan
dengan perlindungan tenaga kerja, wajib dilakukan di setiap tompat kerja, dan mencakup
pelayanan kesehatan kerja. Secara rinci peraturan perundangan yang terkait dapat
dipelajari pada materi perundangan

BAB III

MANAJEMEN K3 DI RUMAH SAKIT


A. Komitmen Pimpinan dan Kebijakan
Pokok-pokok kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja antara lain :

1 Syarat-syarat K3-RS

Rumah Sakit agar memperhatikan syarat-syarat K3-RS dengan memperhatikan


ancaman bahaya potensial di RS yaitu ancaman bahaya biologi, kimia, fisika, ergonomi,
ancaman bahaya psikososial, keselamatan dan kecelakaan kerja di rumah sakit.

2 Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan K3-RS.

a. Pelaksanaan
- Melakukan pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan khusus dan
pemeriksaan kesehatan berkala
- Pemberian paket penanggulangan anemia
- Pemberian paket pertolongan gizi
- Upaya-upaya yang dilakukan sehubungan dengan kapasitas dan beban kerja,
misalnya pengaturan kerja bergilir, penempatan petugas pada jabatannya, pendi-
dikan dan pelatihan petugas RS tentang K3
- Pelaksanaan upaya penanggulangan bahaya potensial
- Pelaksanaan cara kerja yang baik
- Pengorganisasian dan pembagian tugas yang jelas

b. Pengawasan
- Melalui pengisian form K3-RS dan formulir check list 6 bulanan
- Pemantauan diutamakan pada kasus kecelakaan, proses terlaksananya kegiatan K3
RS dan masukan sumberdaya

c. Pembinaan
Pembinaan diarahkan agar rumah sakit melakukan upaya-upaya sehingga dicapai
nihil kecelakaan dan nihil penyakit akibat ketja yang merupakan salah satu
indikator keberhasilan K3-RS
3. Profesionalisme di bidang K3-RS

Perlu dukungan tenaga, dana, sarana dan fasilitas yang memadai agar
pelaksanaan K3-RS dapat dilakukan secara profesional. RS perlu memiliki tenaga yang
mempunyai pendidikan K3 atau sudah pernah mengikuti pelatihan K3.
4. Sistem informasi K3-RS
Sistem informasi K3-RS perlu dikembangkan oleh RS. RS agar mengisi form identifikasi
K3-RS dan form check list kemudian mengirimkannya ke Departemen Kesehatan.

5. Self care masyarakat pekerja RS.

Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip kesehatan dapat
mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan, sehingga di dalam
pelaksanaan K3-RS diperlukan langkah-langkah mengubah perilaku pekerja
B. Perencanaan

Perencanaan dan fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sudah dikenal luas
sebagai salah satu institusi yang paling kompleks dan banyak bergantung pada teknologi,
seperti prosedur kerja, obat-obatan, dan berbagai fasilitas fisik. Rumah sakit harus
beroperasi 24 jam setiap hari, dan melibatkan para pakar dan teknologi yang amat rumit
sehingga RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelasdan dapat di ukur.

Perencanaan dalam manajemen K3 dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Merencanakan identifikasi bahaya serta penilaian dan pengendalian resiko
2. Berkonsultasi dengan wakil pekerja, Safety Commite , Ahli K3
3. Perencanaan yang berkembang dan berkelanjutan

Perencanaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode SMART: Specific


(Spesifik), Measurable (dapat diukur), Achieveable (dapat dicapai), Reasonable
(beralasan), Time Bond (pengarahan waktu).
Sedangkan perencanaan dalam rumah sakit meliputi:
1. Analisa situasi kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit.
Analisa situasi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan, dengan melihat
sumberdaya yang kita miliki, sumber dana yang tersedia dan bahaya potensial apa
yang mengancam rumah sakit.
2. Identifikasi masalah kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit dan bahaya
potensial di rumah sakit.
Identifikasi masalah kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilakukan dengan
mngadakan inspeksi tempat kerja dan mengadakan pengukuran lingkungan kerja.
Dari kegiatan ini kita dapat menemukan masalah-masalah kesehatan dan keselamatan
kerja.
3. Alternatif rencana upaya penanggulangannya.

Dari masalah-masalah yang ditemukan, dicari alternatif upaya penanggulangannya


berdasarkan dana dan sumberdaya yang tersedia.

Output yang diharapkan dari kegiatan perencanaan adalah:


1. Adanya denah lokasi bahaya potensial
2. Rumusan alternatif rencana upaya penanggulangannya.
C. Organisasi K3

Ini adalah bagian dari system manajemen secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, kegiatan perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja. Guna tercapainya tempat
kerja dan lingkungan kerja yang aman, efisien dan produktif.

Pendekatan manajemen secara profesional tidak akan efektif apabila tidak


memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Manajer harus memperhatikan adanya alat pelindung (safety) dan kesehatan (health)
(beberapa problem seperti ini 85% dapat dikontrol oleh pihak manajemen).
2. Manajer berpengaruh terhadap peluang perusahaan untuk mendapatkan keuntungan
(menekan kerugian adalah dapat meningkatkan keuntungan/penjualan).
3. Manajemen control kerugian akan menguntungkan seluruh strategi operasional
manajemen.

Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program, untuk menilai


sejauh mana program yang dilaksanakan telah berhasil. Apabila masih terdapat
kekurangan, maka perlu diidentifikasi penyimpangannya serta dicarai pemecahannya.

1. Tugas dan fungsi organisasi/unit pelaksana k3-RS.


a. Tugas Pokok :
 Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
 Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan
prosedur.
 Membuat program K3-RS.
b. Fungsi.
 Mengumpullkan dan mengelola seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
 Mmebantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi K3,
pelatihan dan peenelitian K3 di RS.
 Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
 Me,berikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.
 Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
 Memberi nasehat tentang manajemen K3 ditempat kerja, control bahaya,
mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencgahan.
 Investigasi dan melaporkan kecelakaan serta merekomendasikan sesuai
kegiatannya.
 Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan
gedung dan proses.

2. Struktur organisasi K3 di RS.


Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur dan bukan merupakan kerja
rangkap.
Model 1:
Merupakan organisasi yang terstruktur dan bertanggung jawab kepada direktur
RS, bentuk organisasi K3 di RS merupakan organisasi structural yang terintegrasi
kedalam komite yang ada di RS dan disesuaikan dengan kondisi/kelas masing-
masing RS, misalya Komite Medis/Nosokomial.
Model 2 :
Merupakan unit organisasi fungsional (Non Struktural), bertangung jawab
langsung ke Direktur RS. Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3-RS, yang
dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS.
Keanggotaan :
 Organisasi/unit pelaksana K3-RS beranggotakan unsure-unsur dari petugas
dan jajaran direksi RS.
 Oganisasi/unit pelaksana K3-RS terdiri dari sekurang-kurangnya, Ketua,
Sekertaris dan anggota. Organisasi/unit pelaksana K3-RS dipimpin oleh
ketua.
 Pelksana tugas ketua dibnatu oleh wakil ketua dan sekertaris serta anggota.
 Ketua Oganisasi/unit pelaksana K3-RS sebaiknya adalah salah satu
manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah
langsung direktur RS.
 Sedang sekertaris organisasi/unit pelaksana K3-RS adalah seorang tenaga
professional K3-RS atau ahli K3.

3. Mekanisme Kerja.
Ketua organisasi/unit pelaksana K3-RS memimpin dan mengkoordinasikan
kegiatan organisasi/unit pelaksana K3-RS. Sekertaris organisasi/unit pelaksana K3-
RS memimpin dan mengkoordinasikam tugas-tugas kesekretariatan dan
melksanakan keputusan organisasi/unit pelaksana K3-RS Anggota organisasi/unit
pelaksana K3-RS mengikuti rapat organisasi/unit Pelaksana K3-RS dan melakulkan
pembhasan atas persoalan yang diajukan dalam rapat, serta melksanakan tugas-
tugas yang diberikan organisasi/unit pelksana K3-RS. Untuk dapat melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya, organisasi/unit pelaksana K3-RS mengumpulkan data
dan informasi mengenai pelaksanaan K3 di RS. Sumber data antara lain dari bagian
personalia meliputi angka sakit, tidak hadir tanpa keterangan, angka kecelakaan,
catatan lama sakit dan perawatan RS, khususnya yang berkaitan dengan akibat
kecelakaan. Dan sumber yang lain bisa dari tempat pegobatan RS sendiri antara
lain jumlah kunjungan, P3K.
D. Pelaksanaan K3

Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara paripurna, terdiri dari


pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan dalam suatu
sistem yang terpadu.

1. Pelayanan preventif kesehatan kerja.


- Pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus
- Imunisasi
- Kesehatan Lingkungan Kerja.
- Pelindung diri terhadap bahaya - bahaya pekerjaan
- Penyerasian manusia dengan mesin alat kerja (ergonomi)
- Pengendalian bahaya lingkungan kerja.

2. Pelayanan promotif kesehatan kerja

Pelayanan ini diberikan kepada tenaga kerja yang sehat dengan tujuan untuk
meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi efesiensi dan produktivitas kerja.
Kegiatannya antara lain meliputi:

• Pendidikan dan penyuluhan tentang Kesehatan Kerja.

• Pemeiiharaan berat badan ideal

• Perbaikan gizi, menu seimbang dan pemilihan makanan yang sehat dan aman.

• Pemeiiharaan lingkungan kerja yang sehat.

• Olah Raga.

3. Pelayanan kuratif.

• Pelayanan diberikan kepada pekerja yang sudah mengalami gangguan kesehatan


karena pekerjaan.

• Pelayanan diberikan meliputi penghobatan terhadap penyakit umum maupun penyakit


akibat kerja.

4. Pelayanan rehabilitatif

Pelayanan diberikan kepada pekerja yang telah menderita cacat sehingga menyebabkan
ketidak mampuan bekerja secara permanen baik sebagian maupun seluruh. kemampuan
bekerjanya.

Kegiatannya antara lain:

• Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuannnya yang


masih ada secara maksimal.

• Penempatan kembali pekerja yang cacat secara selektif sesuai kemampuannya.


E. Evaluasi
Dari banyak pengertian tentang evaluasi, pada makalah ini disajikan dua buah
rumusan evaluasi atau penilaian, yaitu sebagai berikut:

a. Evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan suatu nilai atau keberhasilan dalam
usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan.

b. Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur pencapaian suatu tujuan maupun
keadaan tertentu dengan membandingkannya terhadap standard nilai yang sudah
ditentukan sebelumnya.

c. Evaluasi adalah suatu langkah untuk mengukur seobjektif mungkin hasil-hasil


pelaksanaan dari suatu renca.na kegiatan dengan menggunkan ukuran-ukuran yang
dapat diterima pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut. 'Dalam evaluasi
terdapat upaya untuk mengukur dan memberi nijak secara objektif terhadap pencapaian
hasil yang telah ditetapkan dalam perencanaan dan dilaksanakan pada akhir pelaksanaan
kegiatan.

Tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk menghimpun nilai terhadap standar
yang telah ditetapkan agar hasil penilaian tersebut dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perencanaan selanjutnya.

Sesuai dengan tujuan, dapat dibedakan berbagai jenis evaluasi sebagai berikut:

• Evaluasi terhadap adanya kebutuhan suatu program baru

Dimana munculnya suatu program baru didasarkan pada analisis situasi terhadap wilayah
tertentu yang meliputi sosio-ekonomi, kependudukan, derajat kesehatan, fasilitas
kesehatan yang tersedia, dll. Dari hasil analisis situasi ini akan dirancang suatu program
yang diperkirakan tepat untuk mengatasi masalah yang timbul. i

• Evaluasi terhadap perencanaan program : adalah. merupakan kegiatan penaksiran atau


penilaian tentang kelayakan suatu rencana program atau suatu proposal program untuk
diluncurkan, yang mana penilaian ini membandingkan/melihat kesesuaian proposal
program terhadap kebutuhan masyarakat

• Evaluasi terhadap penampilan kerja : merupakan suatu penilaian yang bertujuan untuk
menaksir kesesuaian antara pelaksanaan nyata di lapangan atas suatu program terhadap
perencanaannya, yang difokuskan pada hasil dari segi kualitas dan kuantitas. Hasil
penilaian pada tahap ini dapat digunakan untuk memantau pelaksanaan yang nyata di
lapangan dan untuk membantu menentukan apakah pelaksanaan program yang sedang
berjalan tersebut perlu suatu intervensi ataukah dapat berjalan tanpa intervensi.
Peniiaian ini dilakkan pada saat program sedang berjalan atau program telah
menghasilkan suatu produk.

• Evaluasi terhadap erek kerja : adalah merupakan suatu penilaian terhadap


pengaruh/efek langsung dan segera dari hasil suatu program, yang dalam hal ini
termasuk pengaruh yang berkaitan dengan perubahan pengetahuan, motivasi, sikap dan
perilaku.

• Evaluasi terhadap dampak : merupakan kebalikan dari penilaian kebutuhan, dirnana


pada penilaian kebutuhan menentukan akan kebutuhan suatu program baru, sedangkan
pada penilaian dampak menentukan tingkat kebutuhan yang nyata setelah diintervensi
suatu program.

Pada dasarnya langkah-langkah umum perlu dilakukan untuk melaksanakan


evaluasi, adalah sebagai berikut:

1) Merumuskan standart nilai atau identifikasi kriteria yang tetap untuk

mengukur keberhasilan.

2) Merumuskan metode pengukuran : dapat dilakukan secara aktif (mengumpulkan daU


langsung ke sasaran peniiaian/data primer ) atau secara pasif (me'nggunakan jalur
pelaporan)
3) Mengukur pclaksanaan dnnqrin inolihnt keadaan nyata : da;lan fase diperlukan aktifitas
kunjungan langsung kc lokasi penilaian, nlnu melihat dari data yang terkirim dari lokasi
sasaran penilaian.

4) Membandingkan hasil pongukuran dengan standart nilai/kriteria yang telah ditetapkan


guna menentukan derjat keberhasilan. Dalam I angkah ini juga dianalisis sehingga jeias
hambatan dan masalah yang dihadapi dalam hal suatu kegiatan tidak atau kurang
mencapai tujuannya serta perumusan rekomendasi tindak lanjut sebagaimana umpan
balik untuk menetapkan kebijakan dimasa mendatang.

5) Menyajikan hasil-hasil penilaian, termasuk rekomendasi, evaluasi bila telah


dilaksanakan harus disajikan dalam bentuk laporan hasil yang kemudian disajikan sebagai
umpan balik yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana kegiatan
kesehatan kerja pada periode berikutnya.

Adapun cara-cara pemantauan dan evaluasi tersebut dapat dilakukan secara aktif
maupun secara pasif, yang mana masing-masing cara mempunyai kekurangan dan
kelebihan masing-masing.

1. Secara Aktif

a. Pemantauan/monitoring

Pemantauan aktif, dapat dilakkan melalui kegiatan supervisi atau pembinaan.


Persiapan yang diperlukan adalah telah diketahuinya tentang topik yang akan dibina atau
yang akan dibahas dilapangan. Seyogyanya dalam melakukan supervisi ini dipergunakan
instrumen yang oiasa dikenal denyan "Check-list supervisi"

b. Evaluasi

Seperti halnya pemantauan, untul, evaluasi ini dapat dilakukan secara aktif,
dilakukan dengan mendatangi responden, dimana dapat dilaksanakan tatap muka melalui
wawancara maupun diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Pada cara ini
aapat dilakukan pengumpulan data, baik terhadap data primer maupun data sekunder.
Yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data secara aktif ini adalah dalam
merencanakan studi design : apakah akan menggunakan studi design experimental atau
non experimental, karena kedua model tersebut mempunyai perbedaan yang amat ,
mendasar.

Apabila dalam rencana evaluasi akan dilakukan terhadap kelompok masyarakat


yang mendapat intervensi dan yang tidak mendapat intervensi khusus dari program
kesehatan kerja, dan dapat dijamin bahwa kelompok yang tidak mendapat intervensi
tersebut merupakan kontrol, maka studi design experimental dapat diterapkan. Namun
sebaliknya, bila intervensi dapat merambat ke kelompok yang seharusnya .tidak
mendapat intervensi maka studi design ini tidak layak untuk diterapkan.

Untuk stusi design non experimental akan lebih memungkinkan, karena tidak banyak
faktor lapangan yang harus diperhatikan dan dikendalikan/ Keuntungan pemantauan dan
evaluasi secara aktif adalah lebih akuratnya data yang dikumpulkan. Meskipun hal ini
tergantung prakondisi jelasnya ketentuan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi,
kualitas pengumpul data serta pemantau/evaluatornya. Sedangkan kelemahan metode
ini adalah pembiayaan yang cukup mahal dalam melaksanakannya.

2. Secara Pasif

Pemantauan dan evaluasi juga dapat dllakukan secara pasif, dimana metode yang sudah
sering dan rutin dipergunakan dalam kegiatan/program kesehatan. Metode pasif ini
berupa pengiriman laporan dari institusi yang dipantau/evaluasi kepada institusi yang
memantau/mengevaluasi. Laporan dibuat berdasarkan hasil pencatatan yang ada pada
institusi yang dipantau/evaluasi., yang kemudian pada akhir periode dilakukan
rekapitulasi data dari pencatatan sesuai permintaan dari institusi yang
memantau/mengevaluasi. Periode rekapitulasi biasanya adalah akhir setiap akhir tribulan,
atau tengah tahunan..
Keuntungan pemantauan dan evaluasi secara pasif adalah pembiayaan yang relatif
tidak mahal. Sedangkan kelemahan metode ini adalah bila terdapat target yang harus
dicapai, pelapor cenderung mengisi data sesuai atau mendekati indikator/target tersebut
meskipun keadaan di lapangan tidak demikian/berbeda. Hal ini terjadi dengan tujuan
terselubung dimana agar tampak tidak mengecewakan pemantau/evaluator, yang mana
hal ini sering menjebak program menjadi berjalan ditempat, bila format isian terlalu rumit,
pelapor tidak akan mengirimkan aporannya atau mengirimkan dalam keadaan yang tidak
sempurna, bila tidak tersedia tenaga yang mengurus pencatatan dan pelaporan, akan
terjadi tidak tersedia data dan laporan tidak bisa dibuat.

Evaluasi Program Kesehatan Kerja ;

a. Sasaran

Sasaran evaluasi program kesehatan kerja pada dasarnya adalah sama dengan sasaran
pemantauannya, maka untuk evaluasi program kesehatan kerja juga dilakukan terhadap
para pengelola kesehatan kerja baik Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota serta Puskesmas.

b. Tujuan

Apabila dalam kegiatan ' pemantauan kinerja para pengelola kesehatan kerja bertujuan
meningkatkan kinerja pengelola kesehatan kerja, maka untuk evaluasi program
kesehatan kerja bertujuan menilai hasil kinerja (hasjl akhir pada periode tertentu yaitu
pada tengah periode atau akhir periode) para pengelola program kesehatan kerja.

c. Evaluasi Kesehatan Kerja

Seperti diuraikan dimuka, langkah pertama dalam melaksanakan evaluasi adalah


merumuskan tujuan dengan menetapkan topik dan objek yang akan dinilai. Dalam hal
pengembangan Program Kesehatan Kerja dapat ditentukan topik penilaiannya antara lain
:

a. Cakupan pelayanan Kesehatan kerja di kabupater./kota


b. Meningkatnya Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan kerja

Pelaksana Evaluasi Kesehatan Kerja seperti uraian sebelumnya bahwa kegiatan


evaluasi kesehatan kerja dapat dilakukan oleh para pengelcla Program Kesehatan Kerja
yang ada di Pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Puskesmas.

Dalam mengevaluasi kegiatan kesehatan kerja secara menyeluruh/ komprehensif,


kuesioner yang akan digunakan untuk pengumpulan data/ informasi harus dirancang
untuk menjawab sejauh mana hasi program kesehatan kerja dengan menggunakan
indicator keberhasilan yang ditetapkan.

Untuk mengetahui keberhasilan dari program kesehatan kerja, maka beberapa


in.dikator keberhasilan program diantaranya:

1). Jumlah Kabupaten/kota yang telah meiaksanakan pelayanan kesehatan kerja

2). Persentase pekerja yang telah memperoleh pelayanan kesehatan kerja

3). Jumlah Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) aktif di Kab/Kota

4). Prevalensi Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK), dan
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
F. Pembinaan K3

Berdasarkan pasal 9 UU No 1 tahun 1970 disebutkan bahwa pengurus diwajibkan


menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta
peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk mewujudkan dilaksanakannya hal
tersebut di atas perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

- Pembinaan dan pelatihan

- Standardisasi kompetensi dan kurikulum


- Akreditasi lembaga pelatihan dan pembinaan

- Sertifikasi profesi di bidang K3

- Kampanye dan gerakan nasional K3

- Zero accident

- Penegakan hukum
Hal ini perlu dilaksanakan suatu pola pembinaan tenaga kerja di bidang K3, antara
lain dengan :

1. Mendorong pengusaha dan pimpinan puncak perusahaan untuk meningkatkan kualitas


SDM khususnya pekerja untuk menumbuhkan rasa peduli/wawasan terhadap pentingnya
K3 dan kelestarian lingkungan khususnya lingkungan kerja di sekitar mereka.

2. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ditujukan kepada pengurus dan pengusaha.


Pengawasan ditaatinya ketentuan normatif di bidang K3 dilaksanakan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan dan ahli K3 serta penegakan hukum.

3. Pengoptimalisasian peranan Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK) yang ada di perusahaan.


Pelayanan kesehatan kerja memiliki fungsi strategi dalam usaha menjaga lingkungan
kerja yang aman, sehat, dan nyaman.

4. Pelaksanaan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) untuk


meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja Depnaker juga telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per. 05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yang diimplementasikan dalam audit SMK3
merupakan praktek dari keberadaan pelaksanaan K3 di perusahaan menjadi bagian yang
tidak terpisah dari fungsi manajemen sehingga pembiayaan K3 dapat dianggap sebagai
investasi.
5. Mendorong terciptanya hubungan industrial yang harmonis yang memberikan iklim yang
baik bagi tumbuhnya peran serta semua stakeholder di industri dalam melaksanakan
program K3 dan lingkungan.
G. Sistem Informasi

Informasi pelayangan dalam rumah sakit merupakan hal yang harus


dikembangkan secara intensif. Informasi memainkan peranan vital dalam pengambilan
keputusan. Sistem informasi dapat digunakan sebagai sarana strategis untuk
memberikan pelayanan yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Dalam hal ini
perlu disadari bahwapelanggan rumah sakit dapat berupa pelanggan internal dan juga
eksternal. Pelanggan internal adalah pemilik, pimpinan dan seluruh karyawan rumah sakit
itu sendiri. Sementara itu, pelanggan eksternal dapat mulai dari pasien, keluarganya,
rekanan pemasok dan juga masyarakat luas. Hario Kusnanto dalam makalahnya yang
disampaikan pada Kongres PERSI VII 1996 menyatakan bahwa sistem informasi rumah
sakit amat berperan dalam memadukan berbagai kepentingan dari berbagai pelanggan
rumah sakit. SIM RS dapat berfungsi memadukan kepentingan pelanggan dalam derap
bersama mencapai visi dan misi rumah sakit. Informasi merupakan sarana potensial
untuk memberdayaan pelanggan internal dan eksternal suatu rumah sakit.

Peran SIM di rumah sakit dapat pada fungsi medikal maupun pada fungsi bisnis.
Untuk setiap fungsi, SIM dapat berperan baik dalam sistem transaksi, perencanaan
operasional, sistem pengawasan serta perencanaan strategis. Dengan bahasa yang agak
berbeda, J.R.Griffith juga mengemukakan bahwa pengembangan SIM di rumah sakit
mencakup care related system dan management related system.

Bambang Hartono menyampaikan bahwa belum banyak dijumpai informasi


tentang mutu pelayanan rumah sakit di negara kita. Hal ini terjadi karena di rumah sakit
ternyata masih kurang diperhatikannya konsep mutu itu sendiri, masih kurang seriusnya
pengelolaan sistem informasi manajemen serta belum banyaknya dibuat standar mutu
pelayanan di rumah sakit. Setidaknya ada tiga pendekatan untuk mendapatkan indikator
mutu pelayanan rumah sakit, yaitu pendekatan struktural, pendekatan prosedural, dan
pendekatan dampak.

Rekam medis sebagai salah satu bentuk SIM RS berperan penting dalam
peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dalam berbagai aspek, sebagai berikut: (a)
Aspek administratif, (b) Aspek hukum, (c) Aspek keuangan, (d) Aspek riset dan edukasi,
(e) Aspek dokumentasi.

Hari Kusnanto menyampaikan beberapa alasan mengapa SIM RS belum


berkembang pesat, antara lain:
- Konsep ekonomi informasi kesehatan belum dirumuskan secara jelas
- Manajer belum betul-betul memahami perlunya SIM RS
- Keasingan terhadap teknologi informasi
- Kesulitan dalam menghadapi perubahan budaya dan perilaku dengan
diterapkannya SIM RS.
- Kurangnya saling pengertian antara klinisi, manajer dan pengelola SIM RS.

J.R. Griffith menyatakan bahwa SIM RS amat berperan dalam akuntansi


manajemen dan juga audit medik. Akuntansi manajemen meliputi: (a) Penagihan
pembayaran pasien, (b) Pembayaran gaji dan insentif sesuai dengan beban kerja, (c)
Pemesana logistic rumah sakit, (d) pengurusan dengan pihak ke tiga dalam asuransi, dan
(e) perencanaan keuangan.

Dalam hal audit medik, SIM RS amat diperlukan mengingat terjadinya tiga hal
penting di rumah sakit:
1. Teknologi kedokteran kini makin berkembang, makin kompleks, makin kuat,
makin punya risiko bahaya dan main mahal, karena itu memerlukan pengawasan yang
ketat.
2. Teknologi sistem informasi pun kian canggih sehingga memungkinkan
melakukan pengawasan ketat dengan biaya yang wajar.
3. Situasi lingkungan yang mengharuskan pelayanan kesehatan di rumah sakit di
lakukan seefektif dan seefisien mungin.

Di rumah sakit, data-data SIM dapat di peroleh dari berbagai sumber, yaitu:
1. Catatan medik pasien
2. Akuntansi penerimaan
3. Akuntansi pengeluaran uang
4. Lain-lain.

Bambang Hartono membagi data di rumah sakit menjadi :


1. Data pelayanan
2. Data sumber daya
3. Data pasien
4. Data status kesehatan masyarakat
5. Data demand masyarakat
6. Data lain-lain.

Data-data di atas bisa didapat dengan tiga cara, yaitu studi publikasi, survey
sewaktu-waktu dan proses pencatatan dan pelapotan yang rutin.

Pelayanan sistem informasi di rumah sakit tentu juga harus dinilai secara berkala.
Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah ada tidaknya keterlambatan dalam
pelayanan, bagaimana kepuasan pengguna jasa SIM RS di dalam rumah sakit itu sendiri,
bagaimana pendapat konsultan luar terhadap jalannya SIM RS, berapa besarbiaya yang
dihabiskan dibandingkan dengan penghematan yang didapat serta evaluasi umumnya
terhadap rencana pengembangan yang ada.

BAB IV

PENUTUP
Di Indonesia, masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja sementara ini masih belum
dijadikan prioritas oleh beberapa pengelola fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit
yang memiliki organisasi yang besar dan komplek serta jumlah personil yang banyak dari
berbagai disiplin profesi. Potensial Hazards yang memapari pekerjannya, terdiri dan
hazard fisik, kimiawi, biologica, ergonomic serta psychological. Selain terhadap para
pekerjanya, perlindungan juga harus diberikan kepada komunitas di sekitar fasilitas
tersebut.

Dalam kenyataannya pemahaman tentang lingkungan kerja yang sehat dan aman
sesuai syarat tersebut masih sangat minim dan belum menjadi nilai tambah dan memberi
kontribusi terhadap peningkatan daya saing Rumah Sakit yang sesuai dengan UU No. 1
tahun 1970 dan UU No. 13 tahun 2003 dimana diisyaratkan bahwa lingkungan kerja harus
bersifat sehat dan aman.

Kinerja (performance) dari pekerja merupakan resultante dari tiga komponen


kesehatan dan kesalamatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja
yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut
serasi maka bisa dicapai suatu kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan
produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidakserasian dapat menimbulkan masalah
kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya
akan menurunkan produktivitas kerja.

Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Kesehatan Kerja, Kebijakan Tekhnis
Program Kesehatan Kerja, 2003.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tekhnis Upaya Kesehatan Kerja
diRumah Sakit, 2000.
Adiatama TY, Tri Hastuti, eds. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 2002. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Fridlund Lennart, ed. Training Manual. Safety–Health and Working Contidition. 1987.
Stockholm: Tiba Tryck AB.
Kliesch GR, ed. Major Hazard Control, A Practical Manual. 1990. Genewa: International
Labour Office.
Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja, Sekertariat Jendral Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Pusat Kesehatan Keselamatan Keraja, 2004.
Santoso Gempur, Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Prestasi Pustaka,
Surabaya, 2004.
Djoko Wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Erlangga University Press, 1999.
Entjang Indan, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Notoatmojo. S, Kesehatan Kerja, Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip
Dasar, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1999.
Perundang-undangan Nasional dibidang Kesehatan ; Penerbitan ketiga, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Silalahi Bennet, dkk, Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Jakarta, Sabdodadi,
1995.
Subanegara Permana Hanna, Diamond Head Drill dan Kepemimpinan dalam Manajemen
RS, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005.
Sulatomo, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Suma’mur, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, CV.Haji Masagung, Jakarta,
1975

Anda mungkin juga menyukai