Kombis 1
Kombis 1
PENDAHULUAN
Humaniora yang bersumber dari kearifan lokal semacam itu, kiranya juga dimiliki
oleh setiap kebudayaan di daerah. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mengidentifikasi
nilai-nilai lokal yang humanistik perlu dilakukan, untuk kemudian diinternalisasikan
melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan sekolah. Reaktualisasi kearifan lokal
semacam itu lambat laun juga akan menjadi dasar dalam etika pergaulan sosial. Dan oleh
karena kearifan lokal itu sarat mengandung humanisme maka akan dapat terjadi cross
cutting dalam pergaulan kebudayaan antardaerah dilingkup nasional sebab humanisme
Begitulah, dalam situasi kegalauan dan kegamangan untuk kembali menjadi sebuah
bangsa yang bersatu seperti sekarang ini, lalu ke mana kita harus berpaling? Barangkali,
walaupun kita telah dihantui perasaan dendam sebagai akibat peristiwa dehumanistik,
tetapi kita sebagai bangsa tetap merasa perlu berpaling pada humaniora. Karena itu, yang
perlu diupayakan dalam berbagai aktivitas pendidikan masyarakat adalah ‘tetap
memperhatikan dan mempertahankan humaniora dalam membentuk kearifan berbangsa.
Harapan yang ingin diraih adalah agar kita sebagai bangsa dapat memahami dan
mencapai kemanusiaan sebaik-baiknya sehingga mengerti siapakah manusia, dan
bagaimana memperlakukan manusia lain sebagaimana manusia (Dikutip dari S. Bayu
Wahyono, KOMPAS, Selasa, 15 Mei 2001).
Tulisan Bayu Wahyono ini mengajak kita untuk menerawang ke belakang dan
bertanya, sejauhmana keberadaan pendidikan humaniora dan sejauh mana kita memahami
dan melaksanakan kearifan lokal. Bila pendidikan humaniora kurang diberikan kepada
bangsa maka perlahan-lahan suatu bangsa dan masyarakat menjadi ‘kebal rasa’.
Dampaknya antara lain bila terjadi konflik antarsuku, bangsa, dan agama maka kita tak
dapat menyelesaikannya secara tuntas, apalagi jika kita tidak menjadikan kearifan lokal
sebagai pendukung resolusi konflik. Dalam pandangan kami, Bayu Wahyono mendorong
kita untuk mempelajari komunikasi antarbudaya. Kita perlu meningkatkan lagi kemauan,
kemampuan, kompetensi, kapasitas untuk berkomunikasi antarbudaya, dan
berkomunikasi di bawah bimbingan nilai-nilai dan perilaku kita yang diarahkan oleh
kearifan lokal. Jadi, tak beralasan kalau seseorang tidak mau bergaul antarbudaya, sudah
pasti dia akan melecehkan aspek budaya dalam berkomunikasi.
Kata competence adalah state of being capable atau dapat diartikan sebagai suatu
keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang, sehingga ia dapat
berfungsi dalam cara-cara yang mendesak dan penting. Misalnya kompetensi
komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang komunikator atau
kemampuan tertentu, kemampuan yang cukup dari seorang komunikator dalam
menghindari perangkap atau hambatan komunikasi, seperti meminimalisir
kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan sikap dan persepsi
orang lain.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi lintas budaya adalah kompetensi
yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok organisasi atau dalam
etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan yang berkaitan
dengan kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya.
Kompetensi lintas budaya merupakan suatu perilaku yang sikap, struktur, juga kebijakan
yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi lintas budaya.
Setiap kompetensi lintas budaya dari seorang individu tergantung pada institusi social,
organisasi kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun social)
Semua faktor itu membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi lintas
Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks, demikian kata
Gudykunst. Konteks tersebut itu adalah ;
Pada suatu waktu, seseorang mengundang Anda untuk memberikan ceramah, orang
itu bilang bahwa Anda memiliki kompetensi. Pernyataan itu adalah kesan. Kompetensi
adalah sebuah kesan (Spitzberg & Cupach, 1984, h1m. 115). la mengatakan bahwa
pandangan menyeluruh tentang kompetensi komunikasi tidak boleh tidak harus
disamakan dengan kesan dari seseorang yang menjadi lawan bicara kita.
Misalnya, kadang-kadang saya melihat diri saya sebagai seseorang yang berkompeten
dan mengharapkan supaya orang lain akan mengatakan hal yang sama. Namur, di lain
pihak harus diakui bahwa orang lain ‘di luar’ saya akan mengatakan hal yang mungkin
sekali sangat berbeda tentang saya, atau tentang kompetensi saya. Kalau kita hendak
Ada beberapa implikasi dari pernyataan Spitzberg itu, demikian kata Mc. Fall (1982).
Pertama, kompetensi tidak selalu harus aktual sesuai dengan tampilan seseorang,
kompetensi adalah sebuah’evaluasi atas tampilan yang dilihat oleh orang lain. Kedua,
fakta bahwa’seseorang’ telah mengevaluasi sesuatu yang mungkin saja evaluasi itu
melenceng, bias, atau menarik sebuah kesimpulan yang salah; atau membuat perbedaan
penilaian dengan menggunakan kriteria yang sama, namun menghasilkan kompetensi
yang berbeda. Ketiga, evaluasi itu harus dibentuk dengan merujuk pada sejumlah
kriteria, baik implisit maupun eksplisit. Evaluasi itu sendiri menjadi tidak dapat dipahami
atau tidak valid karena tidak didukung oleh pengetahuan tentang kriteria atau bagaimana
kriteria itu disusun. Sehingga tampilan yang sama, bisa jadi dikatakan berkompeten oleh
suatu standar tertentu, namun tidak kompeten menurut kriteria yang lain.
Carroll (1988) melukiskan perbedaan standar tersebut dalam komunikasi antara orang
Amerika Utara dengan orang Prancis. Orang Prancis cenderung menilai bahwa sebuah
percakapan antarpribadi harus dijiwai dalam situasi sosial. Kalau seorang Prancis
bercakap-cakap, dengan Anda, percakapan itu selalu diikuti oleh gerakan-gerakan yang
cepat dengan frekuensi interupsi, dan itu diperkenankan dalam kebudayaan mereka.
Kadang-kadang pembicara Prancis mengajukan pertanyaan dan tanpa menunggu
jawaban Anda. Bagaimana dengan orang Amerika Utara, mereka tak pernah diajarkan
untuk menjawab dengan serampangan, mereka berusaha untuk mengurangi interupsi.
Brian Spitzberg dan William Cupach (1984) menampilkan tiga komponen kompetensi
komunikasi, yaitu ;
1. Motivasi
Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Jonathan H. Turner (1987) menegaskan bahwa
hanya basic needs tertentu yang mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain.
Turner menegaskan beberapa kebutuhan dasar yang mendorong motivasi, di
antaranya:
a. Kebutuhan manusia akan perasaan aman (saya terdorong berkomunikasi
karena saya tau seseorang membutuhkan perlindungan);
b. Kebutuhan akan rasa percaya terhadap orang lain (saya terdorong untuk
menugaskan Anda karena percaya Anda mampu menjadi pemimpin);
c. Kebutuhan akan keterlibatan kita dalam kelompok (saya terdorong untuk
menjadi anggota suatu kelompok tertentu karena saya percaya kelompok itu
dapat melibatkan saya);
d. Kebutuhan kita untuk menjauhi kecemasan (saya terdorong untuk
berkonsultasi dengan Anda karena saya tahu saya cemas menghadapi ancaman
teror);
e. Kebutuhan kita untuk membagi pengalaman tentang dunia (karena saya
terdorong untuk mengetahui informasi itu dari Anda yang mempunyai
Internet);
f. Kebutuhan kita terhadap faktor pemuas seperti material dan simbolis (saya
terdorong untuk berkomunikasi dengan Anda karena saya tahu Anda dapat
membantu meminjami uang);
g. Kebutuhan kita akan bertahannya konsep diri (saya terdorong bergaul dengan
Anda karena Anda tahu betul saya mempertahankan diri saya).
2. Pengetahuan
Mengapa pengetahuan mempengaruhi kompetensi komunikasi? Pengetahuan
menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa
yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif.
Komponen pengetahuan turut menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini
berkaitan erat dengan tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Bayangkan jika Anda berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal maka
yang Anda butuhkan pertama dan utama adalah pengetahuan, siapakah orang itu?
Dari kelompok manadia berasal. Jadi, yang Anda butuhkan adalah mengurangi
tingkat kecemasan, mencari informasi untuk mengisi pengetahuan Anda tentang
orang asing itu. Dalam pencarian informasi tentang orang lain itulah, seorang ahli
komunikasi Charles Berger (1979) mengajarkan kepada kita tiga tipe umum
strategi yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk mengurangi
tingkat ketidakpastian itu, yakni strategi pasif, strategi aktif, dan strategi interaktif.
a. Strategi Pasif
Anda memakai strategi pasif untuk mengetahui orang lain dengan
menjadikan diri Anda berperan sebagai seorang pengamat. Anda ingin
berkenalan dengan seorang pria Jepang bernama Yoko maka yang perlu
diamati adalah bagaimana cara dia berkomunikasi dengan orang lain, cara
dia menyapa dan bercakap-cakap. Apakah cara Yoko itu akan tetap sama
kalau dia berkomunikasi dengan Anda. Bagaimana cara Yoko berbicara
seandainya dia bertemu dengan orang Indonesia lain yang se-bangsa
dengan Anda? Itulah strategi pasif.
3. Ketrampilan
Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku
tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan
efektif. Tujuan utama dari ketrampilan semata-mata untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian dan kecemasan. Menurut Gudykunst, mengurangi atau
mengendalikan kecemasan juga merupakan sebuah keterampilan yang ditentukan
oleh kesadaran dan bersikap toleran terhadap keadaan yang ambigu atau tak tentu.
Untuk mengurangi ketidakpastian maka Anda sedapat mungkin memiliki tiga
keterampilan, yaitu empati, berperilaku seluwes mungkin, dan kemampuan untuk
mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Dua keterampilan pertama menjadi
syarat cukup untuk membentuk ketrampilan ketiga, yakni mengurangi tingkat
ketidakpastian.
Kita mungkin sekali mempunyai motivasi yang tinggi untuk berkomunikasi, namun
tidak cukup memiliki pengetahuan atau ketrampilan yang mendukung atau menjadi
pelengkap utama berkomunikasi. Kadang-kadang seseorang yang memiliki pengetahuan,
Dalam model Shanon dan Weaver, gangguan dikonstruksi sebagai hambatan fisik
berupa signal (statik, overload, angin, dan badai). Gangguan yang dibicarakan di sini
adalah segala sesuatu yang memungkinkan terhambatnya komunikasi, jadi ada interupsi
komunikasi. Misalnya, hambatan mental karena perhatian orang tidak terarah,
memburuknya relasi antara mereka yang berkomunikasi, perbedaan bahasa, reaksi-reaksi
emosional, serta perbedaan interpretasi karena pengetahuan (Jennifer E. Beer, 2000). Ada
pula yang menambahkan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnik, ras, persepsi,
sikap, dan stereotip.
Ingatlah bahwa ketika komunikasi sedang berlangsung, Anda selalu meletakkan orang
lain dalam kelompok budaya mereka, apakah itu suku bangsa, etnik, atau ras tertentu.
Anda biasa bilang, dia orang Jepang yang kelebihan sopan santun, dia orang berkulit hitam
(Negro) yang selalu bertindak kasar, mereka orang Meksiko yang terlalu parlente, kamu
orang Kanada yang sangat mengutamakan formalitas. Inilih salah satu cara Anda
memberikan stereotip kepada orang lain, dan stereotip itu sangat mempengaruhi
komunikasi Anda dengan mereka. Bagaimanapun juga, stereotip terhadap anggota
kelompok budaya Anda tentu akan lebih baik daripada stereotip Anda terhadap orang-
orang dari latar belakang kebudayaan yang lain. Atau dalam berkomunikasi, Anda dan
saya sering menempatkan orang lain dalam stereotip yang selalu lebih jelek daripada
kelompok kita. Guna mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya, kita perlu
mengubah kesadaran stereotip itu di saat berkomunikasi. Howel (1982) mengemukakan
1 2
Conscious Conscious
Incompetence Competence
Sadar Sadar
Tidak mampu Mampu
3 4
Unconscious Unconscious
Imcompetence Competence
Tidak sadar Tidak sadar
Tidak mampu Mampu
Konflik antara orang-orang yang berbeda etnik dan kelompok budaya yang masih
sering terjadi seperti sekarang ini (Bosnia-Serbia, Israel-Arab, dan Protestan-Katolik)
kerap kali ditimbulkan oleh karena keterlibatan kita dalam empat pola di atas. Meskipun
sumber-sumber konflik itu berbeda-beda dan sangat tergantung pads situasi tertentu,
namun semua konflik antarpribadi, antarkelompok selalu bersumber dari hal yang sama,
yaitu ‘polarisasi komunikasi. Yang dimaksudkan dengan ‘polarisasi komunikasi’ adalah
kemampuan peserta komunikasi untuk saling menaruh kepercayaan, namun dalam
keadaan ini ada pula peluang di mana para peserta komunikasi saling menampilkan
pandangan yang salah atau keliru terhadap ketulusan komunikasi. ‘Polarisasi komunikasi’
1. Pendekatan Perangai
Tatkala berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan lain maka Anda
menampilkan perangai (trait) tertentu. Ingatlah bahwa perangai tidak saja dibentuk
oleh faktor-faktor internal individu, tetapi juga pengaruh faktor-faktor sosial. Itulah
yang disebut Internal Response Trait (IRT). Internal Response Trait adalah derajat
(tinggi atau rendah) kestabilan disposisi dan konsistensi disposisi individu untuk
merespons karakteristik orang lain. Dasar utama dari asumsi IRT adalah perilaku
sosial dari individu untuk merespons suatu objek dalam hal ini orang dari
kebudayaan yang lain disalurkan melalui perangai respons antarpribadi.
Dalam bukunya Individual in Society, David Krech (et al., 1981) menjelaskan
bahwa IRT berawal dari beberapa konsep lain yang berkaitan. Diawal diuraikan
tentang pengaruh kognitif terhadap perilaku komunikasi, jadi yang dibicarakan
adalah bagaimana orang mempelajari dunia sekeliling dia. Manusia mempelajari
2. Pendekatan Perceptual
Anda harus mengidentifikasi jenis-jenis persepsi, seperti, kognisi, pandangan,
dan pemahaman bahwa semua itu berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi
antarbudaya yang memperhitungkan tekanan psikologi, berkomunikasi secara
efektif, dan membangun relasi antarpribadi.
3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya dapat dilakukan
melalui pendekatan perilaku, terutama perilaku sosial (perilaku individu dalam
konteks sosial) karena individu berhubungan dengan seseorang dalam konteks
budaya tertentu.
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi lintas budaya
adalah kompetensi yang dimiliki oleh manusia baik secara pribadi, berkelompok,
organisasi atau dalam etnik dan ras tertentu, dalam meningkatkan keterampilan,
pengetahuan yang menyangkut kebutuhan utama dari orang-orang berbeda budaya.
Jadi Kompetensi komunikasi lintas budaya adalah seperangkat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi, khususnya
komunikasi antar manusia berbeda budaya.Kunci utama untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi antarbudaya adalah memahami kebudayaan, terutama
kebudayaan orang lain, sehingga bermanfaat sebagai perbandingan dengan
kebudayaan kita.
Kemampuan berkomunikasi memang merupakan suatu hal yang sangat
fundamental bagi kehidupan manusia. Dengan mampu berkomunikasi dengan baik
kita bisa membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara
kasih sayang mengembangkan karier. Sebaliknya dengan kemampuan
berkomunikasi yang buruk, kita juga memupuk perpecahan, menanamkan kebencian
dan menghambat kemajuan.Kualitas hidup, hubungan kita dengan orang lain,
bahkan peluang dan usaha serta karier dapat ditingkatkan dengan dengan cara
memperbaiki cara-cara dan kemampuan berkomunikasi terutama jika berhadapan
dengan manusia yang berbeda budaya.
3.2 Saran
1. Kompetensi komunikasi lintas budaya didukung oleh rasa solidaritas yang tinggi
sesama manusia yang berbeda budaya. Rasa saling menghormati budaya sendiri
dan budaya oranglain sangat diperlukan terutama masyarakat Indonesia yang
terdiri dari beberapa pulau dan memiliki banyak budaya daerah.
2. Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat paha mengenai
kompetensi komunikasi lintas budaya, dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari – hari.