Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mengembangkan kemampuan berkomunikasi sangatlah penting, karena dalam dua


dasawarsa belakangan perkembangan teknologi begitu hebatnya. Sehingga telah memberi
dampak yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.Salah satu hal yang
berkembang sangat pesat dan menjadi pemicu dari perkembangan yang ada adalah
komunikasi. Karena itu, tidak aneh kalau akhir-akhir ini banyak orang yang tertarik untuk
mempelajari dan mengembangkan kemampuan (kompetensi) berkomunikasi.

Kimberly A Maynard, dalam bukunya yang berjudul Heal-ing Communities in


Conflict (1999), mengingatkan bahwa sejak pasca-Perang Dingin, karakter konflik di
berbagai belahan dunia mengalami pergeseran dari konflik ideologis ke konflik identitas,
yang antara lain juga berlatar belakang etnis dan agama. Gejala ini juga sudah mulai
tampak di negara kita, konflik dan kekerasan terus terjadi secara bergelombang.

Proses dehumanisasi yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia sebagai akibat


benturan antarnilai, penyembuhannya bisa dilakukan dengan humanisme yang digali dari
kearifan lokal itu sendiri. Banyak yang sepakat bahwa sesungguhnya tradisi-tradisi lokal
dan kebudayaan lokal sarat dengan nilai-nilai humanistik, yang jika tidak terkontaminasi
dengan nilai-nilai luar masih efektif sebagai solusi konflik. Dalam kebudayaan Jawa,
misalnya prinsip harmoni, hingga saat ini diduga menjadi salah satu kekuatan yang bisa
meredam konflik yang eksplosif. Inilah sebabnya, mengapa di wilayah subkultur
Mataraman kadar konflik social relatif rendah, meskipun secara politik dan ekonomi
sangat berpotensial untuk konflik.

Humaniora yang bersumber dari kearifan lokal semacam itu, kiranya juga dimiliki
oleh setiap kebudayaan di daerah. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mengidentifikasi
nilai-nilai lokal yang humanistik perlu dilakukan, untuk kemudian diinternalisasikan
melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan sekolah. Reaktualisasi kearifan lokal
semacam itu lambat laun juga akan menjadi dasar dalam etika pergaulan sosial. Dan oleh
karena kearifan lokal itu sarat mengandung humanisme maka akan dapat terjadi cross
cutting dalam pergaulan kebudayaan antardaerah dilingkup nasional sebab humanisme

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 1


bersifat universal. Proses ini nantinya akan menimbulkan perimpitan antarnilai dari
berbagai daerah sehingga berpotensial menjadi identitas kebudayaan nasional.

Begitulah, dalam situasi kegalauan dan kegamangan untuk kembali menjadi sebuah
bangsa yang bersatu seperti sekarang ini, lalu ke mana kita harus berpaling? Barangkali,
walaupun kita telah dihantui perasaan dendam sebagai akibat peristiwa dehumanistik,
tetapi kita sebagai bangsa tetap merasa perlu berpaling pada humaniora. Karena itu, yang
perlu diupayakan dalam berbagai aktivitas pendidikan masyarakat adalah ‘tetap
memperhatikan dan mempertahankan humaniora dalam membentuk kearifan berbangsa.
Harapan yang ingin diraih adalah agar kita sebagai bangsa dapat memahami dan
mencapai kemanusiaan sebaik-baiknya sehingga mengerti siapakah manusia, dan
bagaimana memperlakukan manusia lain sebagaimana manusia (Dikutip dari S. Bayu
Wahyono, KOMPAS, Selasa, 15 Mei 2001).

Tulisan Bayu Wahyono ini mengajak kita untuk menerawang ke belakang dan
bertanya, sejauhmana keberadaan pendidikan humaniora dan sejauh mana kita memahami
dan melaksanakan kearifan lokal. Bila pendidikan humaniora kurang diberikan kepada
bangsa maka perlahan-lahan suatu bangsa dan masyarakat menjadi ‘kebal rasa’.
Dampaknya antara lain bila terjadi konflik antarsuku, bangsa, dan agama maka kita tak
dapat menyelesaikannya secara tuntas, apalagi jika kita tidak menjadikan kearifan lokal
sebagai pendukung resolusi konflik. Dalam pandangan kami, Bayu Wahyono mendorong
kita untuk mempelajari komunikasi antarbudaya. Kita perlu meningkatkan lagi kemauan,
kemampuan, kompetensi, kapasitas untuk berkomunikasi antarbudaya, dan
berkomunikasi di bawah bimbingan nilai-nilai dan perilaku kita yang diarahkan oleh
kearifan lokal. Jadi, tak beralasan kalau seseorang tidak mau bergaul antarbudaya, sudah
pasti dia akan melecehkan aspek budaya dalam berkomunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


A. Apa pengertian Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya ?
B. Apa Unsur-unsur dalam Kompetensi ?
C. Bagaimana cara tahu diri dan sadar dalam komunikasi ?
D. Apa Pendekatan kompetensi Komunikasi Lintas Budaya ?

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 2


1.3 Tujuan
A. Untuk mengetahui pengertian Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya.
B. Untuk mengetahui Unsur-unsur dalam Kompetensi.
C. Untuk mengetahui tahu diri dan sadar dalam komunikasi.
D. Untuk mengetahui Pendekatan kompetensi Komunikasi Lintas Budaya.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 3


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan)
untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Kompetensi dalam Bahasa Inggris
adalah competency atau competence merupakan kata benda, Menurut William D. Powell
dalam aplikasi linguist Version 1.0 (1997) diartikan : 1). Kecakapan, kemampuan ,
kompetensi ; 2). Wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent yang berarti
cakap, mampu dan tangkas.

Kata competence adalah state of being capable atau dapat diartikan sebagai suatu
keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang, sehingga ia dapat
berfungsi dalam cara-cara yang mendesak dan penting. Misalnya kompetensi
komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang komunikator atau
kemampuan tertentu, kemampuan yang cukup dari seorang komunikator dalam
menghindari perangkap atau hambatan komunikasi, seperti meminimalisir
kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan sikap dan persepsi
orang lain.

Dari defenisi diatas kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk


melaksanakan tugas dan peran, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan,
keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi dan kemampuan untuk
membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan
pembelajaran yang dilakukan.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi lintas budaya adalah kompetensi
yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok organisasi atau dalam
etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan yang berkaitan
dengan kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya.
Kompetensi lintas budaya merupakan suatu perilaku yang sikap, struktur, juga kebijakan
yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi lintas budaya.

Setiap kompetensi lintas budaya dari seorang individu tergantung pada institusi social,
organisasi kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun social)
Semua faktor itu membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi lintas

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 4


budaya individu yang efektif. Jadi secara makro dapat dikatakan bahwa kompetensi
lintas budaya merupakan tanggungjawab atas total sistem sebuah kebudayaan.
Kompetensi lintas budaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu
sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.

Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya,


yaitu:

1. Adanya perbedaan nilai antarbudaya,


2. Tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri,
3. Kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan,
4. Pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
5. Mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam kera-gaman budaya demi
melayani orang lain.

Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks, demikian kata
Gudykunst. Konteks tersebut itu adalah ;

1. konteks verbal, misalnya berkaitan dengan pembentukan kata-kata, dalam sebuah


pernyataan dan topik;
2. konteks relasi, yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gagasan pesan dalam
berkomunikasi dengan orang lain;
3. konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat yang menggambarkan
bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun pesan dalam
komunikasi.

2.2 Unsur-unsur Kompetensi

Pada suatu waktu, seseorang mengundang Anda untuk memberikan ceramah, orang
itu bilang bahwa Anda memiliki kompetensi. Pernyataan itu adalah kesan. Kompetensi
adalah sebuah kesan (Spitzberg & Cupach, 1984, h1m. 115). la mengatakan bahwa
pandangan menyeluruh tentang kompetensi komunikasi tidak boleh tidak harus
disamakan dengan kesan dari seseorang yang menjadi lawan bicara kita.

Misalnya, kadang-kadang saya melihat diri saya sebagai seseorang yang berkompeten
dan mengharapkan supaya orang lain akan mengatakan hal yang sama. Namur, di lain
pihak harus diakui bahwa orang lain ‘di luar’ saya akan mengatakan hal yang mungkin
sekali sangat berbeda tentang saya, atau tentang kompetensi saya. Kalau kita hendak

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 5


memahami kompetensi komunikasi maka pemahaman itu harus diletakkan dalam dua
aspek, yaitu bagaimana saya melihat diri saya dan bagaimana orang lain mempersepsi
saya. Itulah yang membuat orang selalu menyebutkan bahwa kompetensi merupakan
sebuah kesan, kalau tak mau dibilang kompetensi berkaitan erat dengan citra.

Ada beberapa implikasi dari pernyataan Spitzberg itu, demikian kata Mc. Fall (1982).
Pertama, kompetensi tidak selalu harus aktual sesuai dengan tampilan seseorang,
kompetensi ada­lah sebuah’evaluasi atas tampilan yang dilihat oleh orang lain. Kedua,
fakta bahwa’seseorang’ telah mengevaluasi sesuatu yang mungkin saja evaluasi itu
melenceng, bias, atau menarik sebuah kesimpulan yang salah; atau membuat perbedaan
penilaian dengan menggunakan kriteria yang sama, namun menghasilkan kompetensi
yang berbeda. Ketiga, evaluasi itu harus dibentuk dengan merujuk pada sejumlah
kriteria, baik implisit maupun eksplisit. Evaluasi itu sendiri menjadi tidak dapat dipahami
atau tidak valid karena tidak didukung oleh pengetahuan tentang kriteria atau bagaimana
kriteria itu disusun. Sehingga tampilan yang sama, bisa jadi dikatakan berkompeten oleh
suatu standar tertentu, namun tidak kompeten menurut kriteria yang lain.

Meskipun begitu, umumnya pembicaraan tentang kompetensi jelas menghendaki


adanya suatu ketrampilan atau kecakapan yang dimiliki, di saat berkomunikasi dengan
orang lain, dan ketepatan itu ditentukan pula oleh lawan bicara kita. Dalam contoh, jika
orang Jepang mengawali perkenalan dengan Anda, dan bertanya: ‘Berapa usia Anda?’
maka ungkapan itu sama dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang di Amerika
Utara. Orang Jepang yang lain mengamati percakapan demikian sebagai evaluasi yang
tepat terhadap lawan bicara, atau mungkin sekadar basa-basi semata-mata. Mungkin
sekali, orang Amerika Utara akan melihat pertanyaan itu sebagai sesuatu yang kurang
tepat diawal perkenalan antarpribadi. Dengan demikian maka banyak orang
menggunakan standar yang berbeda atau bervariasi berdasarkan budaya masing-masing.

Carroll (1988) melukiskan perbedaan standar tersebut dalam komunikasi antara orang
Amerika Utara dengan orang Prancis. Orang Prancis cenderung menilai bahwa sebuah
percakapan antarpribadi harus dijiwai dalam situasi sosial. Kalau seorang Prancis
bercakap-cakap, dengan Anda, percakapan itu selalu diikuti oleh gerakan-gerakan yang
cepat dengan frekuensi interupsi, dan itu diperkenankan dalam kebudayaan mereka.
Kadang-kadang pembicara Prancis mengajukan pertanyaan dan tanpa menunggu
jawaban Anda. Bagaimana dengan orang Amerika Utara, mereka tak pernah diajarkan
untuk menjawab dengan serampangan, mereka berusaha untuk mengurangi interupsi.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 6


Jika ada seorang Prancis berbicara dengan seseorang dari Amerika Utara, orang Prancis
bisa menginterpretasi perilaku dan percakapan orang Amerika Utara sebagai kurang
memperhatikan situasi sosial. Dan sudah tentu, orang Prancis bilang bahwa orang
Amerika Utara itu tidak berkompeten. Sebaliknya, orang Amerika Utara akan bilang
bahwa tuan Prancis itu kurang berkompeten karena tak menjiwai percakapan antarpribadi
itu.

Brian Spitzberg dan William Cupach (1984) menampilkan tiga komponen kompetensi
komunikasi, yaitu ;

1. Motivasi
Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Jonathan H. Turner (1987) menegaskan bahwa
hanya basic needs tertentu yang mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain.
Turner menegaskan beberapa kebutuhan dasar yang mendorong motivasi, di
antaranya:
a. Kebutuhan manusia akan perasaan aman (saya terdorong berkomunikasi
karena saya tau seseorang membutuhkan perlindungan);
b. Kebutuhan akan rasa percaya terhadap orang lain (saya terdorong untuk
menugaskan Anda karena percaya Anda mampu menjadi pemimpin);
c. Kebutuhan akan keterlibatan kita dalam kelompok (saya terdorong untuk
menjadi anggota suatu kelompok tertentu karena saya percaya kelompok itu
dapat melibatkan saya);
d. Kebutuhan kita untuk menjauhi kecemasan (saya terdorong untuk
berkonsultasi dengan Anda karena saya tahu saya cemas menghadapi ancaman
teror);
e. Kebutuhan kita untuk membagi pengalaman tentang dunia (karena saya
terdorong untuk mengetahui informasi itu dari Anda yang mempunyai
Internet);
f. Kebutuhan kita terhadap faktor pemuas seperti material dan simbolis (saya
terdorong untuk berkomunikasi dengan Anda karena saya tahu Anda dapat
membantu meminjami uang);
g. Kebutuhan kita akan bertahannya konsep diri (saya terdorong bergaul dengan
Anda karena Anda tahu betul saya mempertahankan diri saya).

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 7


Patut diingat bahwa umumnya tingkat kebutuhan manusia itu bervariasi,
mungkin sekah kebutuhan Anda terhadap tiga jenis kebutuhan pertama sangat kuat,
lalu kebutuhan Anda atas menjauhi kecemasan berada pada taraf rata-rata, dan
barang kali paling tinggi pada tiga kebutuhan terakhir, yakni membagi
pengalaman, mencari kepuasan, dan mempertahankan konsep diri. Jadi, setiap
orang memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi
orang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2. Pengetahuan
Mengapa pengetahuan mempengaruhi kompetensi komunikasi? Pengetahuan
menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa
yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif.
Komponen pengetahuan turut menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini
berkaitan erat dengan tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Bayangkan jika Anda berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal maka
yang Anda butuhkan pertama dan utama adalah pengetahuan, siapakah orang itu?
Dari kelompok manadia berasal. Jadi, yang Anda butuhkan adalah mengurangi
tingkat kecemasan, mencari informasi untuk mengisi pengetahuan Anda tentang
orang asing itu. Dalam pencarian informasi tentang orang lain itulah, seorang ahli
komunikasi Charles Berger (1979) mengajarkan kepada kita tiga tipe umum
strategi yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk mengurangi
tingkat ketidakpastian itu, yakni strategi pasif, strategi aktif, dan strategi interaktif.
a. Strategi Pasif
Anda memakai strategi pasif untuk mengetahui orang lain dengan
menjadikan diri Anda berperan sebagai seorang pengamat. Anda ingin
berkenalan dengan seorang pria Jepang bernama Yoko maka yang perlu
diamati adalah bagaimana cara dia berkomunikasi dengan orang lain, cara
dia menyapa dan bercakap-cakap. Apakah cara Yoko itu akan tetap sama
kalau dia berkomunikasi dengan Anda. Bagaimana cara Yoko berbicara
seandainya dia bertemu dengan orang Indonesia lain yang se-bangsa
dengan Anda? Itulah strategi pasif.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 8


b. Strategi Akfif
Strategi aktif dilakukan untuk mencari tahu pribadi Yoko melalui orang
yang mengenal dekat Yoko. Kalau Anda bertanya tentang Yoko maka
informasi tentang dia dapat diperoleh dari teman-teman dia di masa kecil,
teman-teman kuliah, dan teman-teman bisnis. Strategi ini dapat digunakan,
namun perlu berhati-hati karena jika ada seseorang yang berteman baik
dengan Yoko maka orang itu akan bercerita hal-hal yang baik-baik saja
tentang Yoko, sebaliknya jika orang itu kurang bersahabat dengan Yoko
maka dia akan bercerita tentang hal-hal yang buruk tentang Yoko.
Langkah untuk mereduksinya adalah membaca literatur tentang bagaimana
orang Jepang bergaul dengan sesama. Inilah strategi aktif.
c. Strategi Interaktif
Strategi terakhir adalah strategi interaktif, artinya Anda berhubungan
langsung dengan Yoko. Strategi ini sangat menguntungkan karena Anda
dapat menekan bias informasi yang salah mengenai pribadi Yoko. Siapkan
beberapa pertanyaan secukupnya tentang apa yang Anda ingin ketahui dari
Yoko. Inilah strategi interaktif.

3. Ketrampilan
Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku
tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan
efektif. Tujuan utama dari ketrampilan semata-mata untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian dan kecemasan. Menurut Gudykunst, mengurangi atau
mengendalikan kecemasan juga merupakan sebuah keterampilan yang ditentukan
oleh kesadaran dan bersikap toleran terhadap keadaan yang ambigu atau tak tentu.
Untuk mengurangi ketidakpastian maka Anda sedapat mungkin memiliki tiga
keterampilan, yaitu empati, berperilaku seluwes mungkin, dan kemampuan untuk
mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Dua keterampilan pertama menjadi
syarat cukup untuk membentuk ketrampilan ketiga, yakni mengurangi tingkat
ketidakpastian.

Kita mungkin sekali mempunyai motivasi yang tinggi untuk berkomunikasi, namun
tidak cukup memiliki pengetahuan atau ketrampilan yang mendukung atau menjadi
pelengkap utama berkomunikasi. Kadang-kadang seseorang yang memiliki pengetahuan,

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 9


tidak mempunyai keterampilan berkomunikasi, namun karena didorong oleh motivasi
yang kuat maka orang itu tampil sebagai pribadi yang berkompeten untuk
berkomunikasi. Seseorang dikatakan memiliki kompetensi komunikasi jika dia
mempunyai motivasi yang kuat, pengetahuan yang memadai, dan keterampilan yang
cukup bagi tercapainya komunikasi yang efektif.

2.3 Tahu Diri dan Sadar Dalam Komunikasi

Ada pertanyaan pokok tatkala kita bicara tentang cara-cara mengembangkan


kompetensi komunikasi antarbudaya. Pertanyaan itu adalah apa yang menyebabkan
terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya? Dalam komunikasi,
kesalahpahaman ini terjadi karena ada gangguan. Konsep gangguan merupakan salah satu
bagian penting yang sangat menentukan keberhasilan komunikasi.

Dalam model Shanon dan Weaver, gangguan dikonstruksi sebagai hambatan fisik
berupa signal (statik, overload, angin, dan badai). Gangguan yang dibicarakan di sini
adalah segala sesuatu yang memungkinkan terhambatnya komunikasi, jadi ada interupsi
komunikasi. Misalnya, hambatan mental karena perhatian orang tidak terarah,
memburuknya relasi antara mereka yang berkomunikasi, perbedaan bahasa, reaksi-reaksi
emosional, serta perbedaan interpretasi karena pengetahuan (Jennifer E. Beer, 2000). Ada
pula yang menambahkan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnik, ras, persepsi,
sikap, dan stereotip.

Ingatlah bahwa ketika komunikasi sedang berlangsung, Anda selalu meletakkan orang
lain dalam kelompok budaya mereka, apakah itu suku bangsa, etnik, atau ras tertentu.
Anda biasa bilang, dia orang Jepang yang kelebihan sopan santun, dia orang berkulit hitam
(Negro) yang selalu bertindak kasar, mereka orang Meksiko yang terlalu parlente, kamu
orang Kanada yang sangat mengutamakan formalitas. Inilih salah satu cara Anda
memberikan stereotip kepada orang lain, dan stereotip itu sangat mempengaruhi
komunikasi Anda dengan mereka. Bagaimanapun juga, stereotip terhadap anggota
kelompok budaya Anda tentu akan lebih baik daripada stereotip Anda terhadap orang-
orang dari latar belakang kebudayaan yang lain. Atau dalam berkomunikasi, Anda dan
saya sering menempatkan orang lain dalam stereotip yang selalu lebih jelek daripada
kelompok kita. Guna mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya, kita perlu
mengubah kesadaran stereotip itu di saat berkomunikasi. Howel (1982) mengemukakan

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 10


bahwa kesa-daran dan kemampuan seseorang di saat berkomunikasi dapat membentuk 4
(empat) pola atau proses pildr. Lihat tabel berikut ini :

1 2
Conscious Conscious
Incompetence Competence
Sadar Sadar
Tidak mampu Mampu
3 4
Unconscious Unconscious
Imcompetence Competence
Tidak sadar Tidak sadar
Tidak mampu Mampu

Sumber: Gudykunst (1991)

Kita berhadapan dengan empat keadaan sebagai berikut:


1. Conscious Incompetence (sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa
kita salah dan tidak mampu menginterpre-tasi perilaku orang lain;
2. Conscious Competence (sadar-mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa kita
mampu menginterpretasi perilaku orang lain;
3. Inconscious Incompetence (tidak sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita tidak
sadar bahwa kita tidak mampu mengin-terpretasi perilaku orang lain;
4. Unconscious Competence (tidak sadar – mampu) terjadi mana-kala kita tidak
sadar bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain.

Konflik antara orang-orang yang berbeda etnik dan kelompok budaya yang masih
sering terjadi seperti sekarang ini (Bosnia-Serbia, Israel-Arab, dan Protestan-Katolik)
kerap kali ditimbulkan oleh karena keterlibatan kita dalam empat pola di atas. Meskipun
sumber-sumber konflik itu berbeda-beda dan sangat tergantung pads situasi tertentu,
namun semua konflik antarpribadi, antarkelompok selalu bersumber dari hal yang sama,
yaitu ‘polarisasi komunikasi. Yang dimaksudkan dengan ‘polarisasi komunikasi’ adalah
kemampuan peserta komunikasi untuk saling menaruh kepercayaan, namun dalam
keadaan ini ada pula peluang di mana para peserta komunikasi saling menampilkan
pandangan yang salah atau keliru terhadap ketulusan komunikasi. ‘Polarisasi komunikasi’

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 11


terjadi ketika seseorang atau suatu kelompok mencari kepentingan sendiri dan hanya
memiliki sedikit kepedulian terhadap minat orang lain. Hal ini membentuk pengucilan
moral dimana kelompok-kelompok tertentu menerima kenyataan bahwa dirinya
merupakan pihak luar dari suatu nilai moral, aturan hanya demi pertimbangan penerapan
rasa adil.

Gudykunst yakin bahwa manusia mempunyai tanggung. jawab untuk mencoba


menghargai perbedaan-perbedaan budaya atau etnik dalam sebuah konstruksi tampilan,
dan tidak membentuk polarisasi komunikasi. Untuk menunaikan tanggung jawab itu maka
berkomunikasi efektif harus dicoba dengan cara membentuk pesan sedemikian rupa
sehingga orang lain bisa mengerti apa yang kita maksudkan, apa yang kita butuhkan, atau
menanyakan pesan orang lain pada kita dengan cara sebagaimana yang mereka
maksudkan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui cara memperbaharui komunikasi
dengan orang lain. Dengan demikian, kita harus mengerti kecenderungan yang normal
tatkala kita berkomunikasi dengan mereka.

2.4 Pendekatan Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya

Ada empat macam pendekatan teoritik terhadap kemampuan berkomunikasi


antarbudaya, yakni (1) pendekatan perangai, (2) pendekatan perseptual, (3) pendekatan
perilaku, dan (4) pendekatan terhadap kebudayaan tertentu.

1. Pendekatan Perangai
Tatkala berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan lain maka Anda
menampilkan perangai (trait) tertentu. Ingatlah bahwa perangai tidak saja dibentuk
oleh faktor-faktor internal individu, tetapi juga pengaruh faktor-faktor sosial. Itulah
yang disebut Internal Response Trait (IRT). Internal Response Trait adalah derajat
(tinggi atau rendah) kestabilan disposisi dan konsistensi disposisi individu untuk
merespons karakteristik orang lain. Dasar utama dari asumsi IRT adalah perilaku
sosial dari individu untuk merespons suatu objek dalam hal ini orang dari
kebudayaan yang lain disalurkan melalui perangai respons antarpribadi.
Dalam bukunya Individual in Society, David Krech (et al., 1981) menjelaskan
bahwa IRT berawal dari beberapa konsep lain yang berkaitan. Diawal diuraikan
tentang pengaruh kognitif terhadap perilaku komunikasi, jadi yang dibicarakan
adalah bagaimana orang mempelajari dunia sekeliling dia. Manusia mempelajari

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 12


serba sedikit tentang apa yang dia butuhkan, namun itu saja tidak cukup. Manusia
juga perlu memperhatikan bagaimana kognisi dan keinginan mereka sehingga
mampu menolong dan menentukan bagaimana perangai yang merespons relasi
antarpribadi. Jadi, sebenamya IRT merupakan saluran, media tempat di mana
perilaku sosial dari individu harus diaktualisasikan. Pertanyaan kita adalah apakah
IRT seorang individu relatif konsisten dan stabil? Jawabannya sangat ditentukan
oleh disposisi atau respon terhadap objek.
Studi-studi psikologi sosial menggolongkan beberapa karakteristik IRT, yaitu
(1) stabilitas, (2) keterembesan, (3) konsis-tensi, dan (4) pemolaan.
a. Stabilitas
Stabilitas adalah kestabilan perilaku atau disposisi individu sebagai anggota
suatu masyarakat terhadap suatu objek, artinya apakah perilaku dia tetap stabil
meskipun situasi berubah, situasi’ yang menghubungkan manusia dengan objek
itu mengalami perubahan? Jenis-jenis relasi antarmanusia berbeda-beda
menurut derajat relasi itu sendiri, dan untuk memperta-hankan derajat relasi
itulah diperlukan kestabilan.
Perkawinan, misalnya, merupakan derajat relasi yang paling tinggi dan
paling dekat di antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, jenis relasi ini
membutuhkan tingkat kesta-bilan yang tinggi. Artinya, dalam keadaan yang
seburuk apa pun, seperti mass krisis ekonomi, PHK, hingga ke gangguan pihak
ketiga sekahpun, relasi antara suami dengan istri tak boleh berubah
stabilitasnya. Kalau dikaitkan dengan komunikasi an-tarbudaya maka
pertanyaan yang menarik adalah apakah sepe-rangkat perilaku komunikasi itu
harus diubah meskipun situasi telah berubah?
b. Keterembesan
Keterembesan adalah derajat di mana suatu perangai dima-nifestasikan
melalui perilaku incliviclu. Perangai dengan tingkat pervasif yang tinggi
dimanifestasikan ke dalam sebuah variasi situasi yang lugs. Sebaliknya, tingkat
pervasif yang rendah akan dimanifestasikan dalam situasi tertentu atau bahkan
sangat terbatas. Konsekuensi dari derajat pervasif ini adalah kalau relasi Anda
dengan orang lain itu makin dekat maka derajat pervasifnya akan makin besar
sehingga disposisi Anda kepada orang itu makin kuat. Sebaliknya, derajat
pervasif Anda akan lebih rendah yang mengakibatkan disposisi Anda makin

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 13


lemah, maka disposisi Anda kepada orang lain pun makin lemah, jadi terhadap
mereka Anda dapat berperilaku seperlunya saja.
c. Konsistensi
Konsistensi adalah derajat kesamaan sebuah perangai individu terhadap
objek tertentu dalam suatu situasi yang berbeda. Konsistensi perangai diukur
dengan rata-rata interkorelasi antara skor perangai terhadap objek dalam
beberapa situasi berbeda. Jika rata-rata interkorelasi itu tinggi maka perangai
Anda relatif konsisten. Sebaliknya, jika interkorelasi itu rendah maka perangai
Anda tidak konsisten. Bandingkan kemauan Anda untuk menolong pacar Anda
tatkala waktu masih pacaran dengan setelah menikah? Apakah perilaku Anda
untuk menolong itu tetap konsisten? Anda disebut berperilaku menolong tidak
konsisten kalau setelah menikah dengan pacar Anda maka kebiasaan Anda
menolong tidak dilakukan lagi, namun bila hasrat clan perilaku Anda tetap
menolong maka Anda tetap konsisten.
d. Pemolaan
Pemolaan adalah profil dari skor pola-pola individu untuk menentukan
indikator khusus dari suatu perangai. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
kalau pola-pola perilaku seseorang terhadap objek, atau relasi antarpribadi atau
antarbudaya itu sangat teratur maka pola-pola perilaku menjadi patterning
regularities. Jadi, merupakan perilaku yang tidak hanya stabil dan konsisten,
tetapi sebagai pola yang seharusnya (ideal pattern) yang dilakukan individu atau
sekelompok masyarakat.

2. Pendekatan Perceptual
Anda harus mengidentifikasi jenis-jenis persepsi, seperti, kognisi, pandangan,
dan pemahaman bahwa semua itu berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi
antarbudaya yang memperhitungkan tekanan psikologi, berkomunikasi secara
efektif, dan membangun relasi antarpribadi.

3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya dapat dilakukan
melalui pendekatan perilaku, terutama perilaku sosial (perilaku individu dalam
konteks sosial) karena individu berhubungan dengan seseorang dalam konteks
budaya tertentu.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 14


4. Pendekatan Kebudayaan Khusus
Anda dapat mengidentifikasi persepsi khusus kebudayaan dan perilaku yang
unik yang dimiliki oleh peserta komunikasi. Oleh karena itu, sebagai peserta
komunikasi Anda harus memahami beberapa komponen kemampuan komunikasi
antarbudaya, seperti, konteks, ketepatan akan efektivitas, pengetahuan, motivasi, dan
aksi, yang semuanya itu berbeda-beda berdasarkan kebudayaan. Jika kita ingin
meningkatkan komunikasi dengan orang dari kebudayaan lain maka yang dilakukan
adalah mempelajari kebudayaan, belajar tentang nilai, norma, kepercayaan, bahasa
(verbal dan nonverbal), struktur pengetahuan, sistem sosial dan budaya, sistem
ekonomi, mata pencaharian, dan adat istiadat.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 15


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi lintas budaya
adalah kompetensi yang dimiliki oleh manusia baik secara pribadi, berkelompok,
organisasi atau dalam etnik dan ras tertentu, dalam meningkatkan keterampilan,
pengetahuan yang menyangkut kebutuhan utama dari orang-orang berbeda budaya.
Jadi Kompetensi komunikasi lintas budaya adalah seperangkat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi, khususnya
komunikasi antar manusia berbeda budaya.Kunci utama untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi antarbudaya adalah memahami kebudayaan, terutama
kebudayaan orang lain, sehingga bermanfaat sebagai perbandingan dengan
kebudayaan kita.
Kemampuan berkomunikasi memang merupakan suatu hal yang sangat
fundamental bagi kehidupan manusia. Dengan mampu berkomunikasi dengan baik
kita bisa membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara
kasih sayang mengembangkan karier. Sebaliknya dengan kemampuan
berkomunikasi yang buruk, kita juga memupuk perpecahan, menanamkan kebencian
dan menghambat kemajuan.Kualitas hidup, hubungan kita dengan orang lain,
bahkan peluang dan usaha serta karier dapat ditingkatkan dengan dengan cara
memperbaiki cara-cara dan kemampuan berkomunikasi terutama jika berhadapan
dengan manusia yang berbeda budaya.

3.2 Saran
1. Kompetensi komunikasi lintas budaya didukung oleh rasa solidaritas yang tinggi
sesama manusia yang berbeda budaya. Rasa saling menghormati budaya sendiri
dan budaya oranglain sangat diperlukan terutama masyarakat Indonesia yang
terdiri dari beberapa pulau dan memiliki banyak budaya daerah.
2. Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat paha mengenai
kompetensi komunikasi lintas budaya, dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari – hari.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 16


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai


Pustaka) 2005
Liliweri MS, Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (LKiS:
Yogyakarta) 2003
Mulyana, Dedi & Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya : Panduan
Berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, (PT. Remaja Rosda
Karya : Bandung) 1996.

Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya 17

Anda mungkin juga menyukai