Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis
2.1.1. Infeksi dan Inflamasi
Infeksi adalah keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh
manusia yang berkembang biak dan menyebabkan kerusakan sekitar jaringan
infeksi. Pada penyakit infeksi juga menyebabkan reaksi inflamasi. Meskipun proses
inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas infeksi
dan respon tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada lokasi infeksi saja atau dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur, 2007; Butterworth,
2013).
Inflamasi timbul sebagai reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk
infeksi. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi dari pembuluh darah, saraf,
cairan, dan sel tubuh ditempat infeksi. Inflamasi akut merupakan respon langsung
yang dini terhadap agen penyebab infeksi dan kejadian yang berhubungan dengan
inflamasi akut sebagian besar diakibatkan oleh produksi dan pelepasan berbagai
macam mediator inflamasi. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi
berbeda, mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi
sistemik disebut systemic inflammation response syndrome (Guntur,2007;
Butterworth, 2013).

2.1.2. Definisi Sepsis


Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi yang disertai dengan manifestasi
sistemik. Hipotensi dapat disebabkan oleh sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan
penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi
dibawah normal. Hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh sepsis bermanifestasi
hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau oligouria (Dellinger,
2012).
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana
terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat dijabarkan
bahwa disfungsi organ dapat terlihat dari peningkatan skor sequential organ failure
assessment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer, 2016).

2.1.3. Definisi Syok Sepsis


Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi hipotensi yang persisten dan
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan rerata arterial 65 mmHg
atau lebih dan kadar serum laktat lebih besar dari 4 mmol/L (18mg/dL) dengan
syarat sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (Dellinger et al., 2013).

2.1.4. Kriteria Sepsis


Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang
dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of
Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat
pada tabel 2.1.

2.1.5. Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di UPI dan
merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan.
Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada
tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000, menunjukkan
peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ menimbulkan
efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas pasien sepsis
tanpa disfungsi organ sebesar 15%, pasien dengan kegagalan fungsi organ sebesar
70%, dan syok septik sebesar 45-60% (Martin et al., 2003; Hommes et al., 2012).
Hampir 10% pasien yang masuk ke UPI merupakan pasien dengan syok
septik dengan mortalitas mencapai 40-60% (Daley et al., 2013). Kadar laktat darah
sering digunakan sebagai pertanda diagnosis, respon terapeutik dan prognosis untuk
syok sepsis, kadar laktat yang tinggi menunjukkan adanya kondisi hipoksia pada
jaringan. Peningkatan kadar laktat mempunyai hubungan yang signifikan dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas pada pasien syok septik. Peningkatan kadar laktat
yang persisten > 24 jam berhubungan dengan tingkat mortalitas sebanyak 89%. Jika
persisten > 48 jam maka tingkat mortalitas lebih tinggi (Nguyen, 2004).

Tabel 2.1. Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer, 2016)
Lama Baru
SIRS Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur(<36°c
>38°c). -
Peningkatan leukosit >11.000
µL-1 atau < 4.000 µL-1
Sepsis SIRS + Fokal infeksi Suspek atau dengan infeksi
+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah sistol

100 mmHg)
Penurunan kesadaran
(GCS≤13)
Takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor qSOFA ≥ 2
Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL -
Trombosit <100.000 µL
Koagulopati (INR > 1.5)
Syok Sepsis Sepsis Sepsis
+ +
Hipotensi Vasopresor untuk mencapai
setelah mendapatkan cairan MAP > 65 mmHg
resusitasi adekuat +
Laktat >4 mmol/L
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

2.1.6. Patofisiologi Sepsis


Inflamasi merupakan suatu mekanisme fisiologis yang terjadi sebagai
respon terhadap organisme yang merusak integritas sel, seperti yang terjadi pada
infeksi dan trauma. Pada keadaan Inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan
beberapa mediator, yang mempunyai kontribusi terhadap penghancuran bakteri dan
perbaikan pada jaringan. Dapat dibedakan antara sitokin seperti interleukin-1 (IL-
1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF), dan sitokin antiinflamasi
seperti interleukin-10 (IL-10) dan interleukin-4 (IL-4). Mekanisme regulasi lokal
akibat inflamasi merupakan gambaran penting terhadap proses menghilangkan
sumber dari kerusakan dan mempertahankan homeostasis. Mediator humoral
maupun neuronal memberikan kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator
antiinflamasi humoral seperti IL-10 dan glukokortikoid menghambat efek
pelepasan sitokin proinflamasi seperti dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi
terhadap perbaikan jaringan. Mediator humoral mencapai sel target pada beberapa
organ dengan berdifusi melalui pembuluh darah. Aktivasi substansi yang
dilepaskan oleh syaraf seperti norepinefrin. Asetilkolin akan mencapai target organ
secara cepat (Ballina & Tracey, 2009).
Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik terhadap infeksi
yang umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal, terjadi disregulasi dan
ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi yang mengakibatkan kerusakan
jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin proinflamasi yang berlebihan
memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines maupun aktivasi sistem
komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen spesies (ROS). Mediator-
mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas
vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut, dilepasnya mediator seperti
High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang memungkinkan reaksi inflamasi
tersebut berlanjut (Ballina & Tracey, 2009).
Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi oleh
status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat dipengaruhi
oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas diperifer pada sepsis
dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah-otak dan mencetuskan
reaksi inflamasi. Mediator dari sirkulasi perifer dan sistem saraf otonom memegang
peranan penting terhadap patogenesis neuroimun pada sepsis (Weismuller et al.,
2012).
Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dengan sistem imunitas
dalam meningkatkan efektifitas pada kedua sistem tersebut, dalam konteks
perbedaan inflamasi yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. Dua jalur
yang menghubungkan antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah
sistem saraf otonom dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi
kedua jalur tersebut mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis
(Weismuller et al., 2012).

1. Sistem saraf simpatis


Serabut aferen preganglionik yang meninggalkan susunan saraf pusat
didalam saraf spinal torakal dan lumbal dinamakan sistem saraf simpatis atau sistem
torakolumbal. Serabut post ganglionik memiliki inervasi ke organ melalui ganglia.
Sistem saraf simpatis menginervasi semua organ limfoid dan memiliki transmiter
epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi sistem imun. Sitokin proinflamasi
mampu mengaktifkan aksis HPA maupun sistem saraf simpatis (Weismuller et al.,
2012).
Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor α
atau β-adrenergik. Biasanya, reseptor α tidak dapat ditemukan pada permukaan
leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis.
Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor α yang akan mestimulasi makrofag untuk
melepaskan TNF-α dan seterusnya akan berkontribusi dalam mempertahankan
keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor β akan menurunkan
pelepasan IL-1 dan TNF-α dan meningkatkan sekresi IL-10 dari makrofag yang
memiliki efek antiinflamasi (Weismuller et al., 2012; Preiser, 2014).

2. Aksis hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)


Pelepasan sitokin sebagai akibat dari infeksi dan jejas memicu aferen vagal.
Hubungan sinaps dari medulla rostroventral dan lokus coeruleus maupun nukleus
hipotalamik mengaktifkan sistem saraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin
proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel
perivaskular akan melepaskan eikosanoid yang memberikan efek pada hipotalamus.
Sitokin yang berada di sirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ
sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak.
Sitokin menyebakan ekspresi Corticotropin Releasing Hormones (CRH) atau
Arginin Vasopressin (AVP) di hipotalamus serta Adrenocorticotropic Hormones
(ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH dapat meningkatkan pelepasan
kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek antiinflamasi dalam mengurangi
aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) dan meningkatkan sintesa sitokin
antiinflamasi. Pro-opiomelanocortin (POMC) adalah prekursor peptida tidak hanya
ACTH tetapi juga α-melanocyte stimulating hormones (α-MSH). α-MSH
menurunkan NF-κB dan meningkatkan pelepasan IL-10 dan menghambat aktivitas.
Pada keadaan syok septik sangat relevan bahwa terhambatnya pelepasan α-MSH
setelah stimulasi CRH berdampak kepada kematian. Reaksi anti inflamasi sistemik
penting terhadap respon imunitas yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi
klinis menunjukkan sitokin proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA
dan mengakibatkan pelepasan kortisol (Weismuller et al., 2012).
Peran vasopresin arginin dalam menyekresikan hormon
adrenokortikotropin telah diteliti, khususnya mengenai keterlibatannya dalam
berbagai paradigma respon stres yang mungkin berhubungan dengan patofisiologi
terjadinya depresi. Vasopresin arginin disekresikan melalui 2 area pada
hipotalamus, yaitu regio parviseluler pada nukleus paraventrikuler yang merupakan
tempat terbentuknya hormon pelepas kortikotropin serta melalui neuron-neuron
magnoseluler pada nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikuler. Paradigma
stres kronik, yang berhubungan dengan respon berlebihan dari HPA dan pelepasan
ACTH yang menunjukkan hubungan komparatif terhadap stres, telah dikatakan
memiliki konsistensi relatif untuk memengaruhi rasio kortikotropin: arginin
vasopresin. Hal ini dapat dihubungkan pada sensitivitas umpan balik arginin
vasopresin terhadap keterbatasan umpan balik glukokortikoid dan respon yang
lebih besar pada arginin vasopresin dibandingkan dengan kortikotropin pada
keadaan stres kronik yang terstimulasi. Peran vasopresin dalam aktivitas aksis HPA
mungkin memiliki implikasi untuk meningkatkan pemahaman tentang kondisi
kejiwaan seperti depresi.
Penelitian pada hewan, terbukti bahwa stresor psikologis kronis
meningkatkan rasio produksi arginin vasopresin terhadap kortikotropin. Stresor
psikososial secara intrinsik berkaitan dengan kondisi depresif. Adanya peningkatan
arginin vasopresin pada studi tingkat depresi postmortem dan menurunnya kadar
arginin vasopresin dalam CSF akibat penggunaan antidepresan, memunculkan
pertanyaan tentang peran arginin vasopresin yang tepat dalam aktivitas yang
berlebihan dari HPA pada keadaan depresi (Weismuller et al., 2012).

3. Kontrol kolinergik inflamasi


Beberapa tahun terakhir, jalur anti inflamasi kolinergik telah digambarkan
sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui saraf aferen. Secara in vitro,
asetilkolin menghambat pelepasan sitokin melalui makrofag. Secara in vivo,
stimulasi elektrik saraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1 dan meningkatkan
angka kelangsungan hidup. Selanjutnya, asetilkolin menghambat pelepasan TNF-α
dengan berikatan dengan reseptor α7-subunit asetilkolin. Sebagai tambahan,
splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis menurunkan pelepasan
HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup. Sistem imun mendapat
informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ sensorik yang
menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1 pada syaraf
aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller et al., 2012).

4. Aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen akan menghasilkan suatu pembentukan protein yang
akan melisis sel patogen. Aktivasi kaskade oleh inflamasi akan menghasilkan
produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi protein koagulasi,
platelet, sel mast, dan secara tidak langsung memproduksi bradikinin. Dengan
demikian terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi
inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran, dan
pembentukan edema di jaringan (Weismuller et al., 2012).
Patogenesis sepsis sangat kompleks. Meskipun kemajuan ilmu kedokteran
semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,
sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon host akibat
dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon host
adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari
kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan
respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian,
selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon
proinflamasi tidak terkontrol dan juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi,
koagulasi, dan jalur penyembuhan luka (Annane, 2005).

2.1.7. Patofisiologi Syok Sepsis


Patofisiologi dari syok sepsis masih belum diketahui secara jelas tetapi
melibatkan interaksi yang kompleks antara patogen dan sistem imun host. Respon
fisiologis yang normal untuk infeksi lokal melibatkan aktivasi dari mekanisme
pertahanan host yang berupa aktivasi dari neutrofil dan monosit, pelepasan
mediator inflamasi, vasodilatasi lokal, peningkatkan permeabilitas endotel, dan
aktivasi dari jalur koagulasi. Respon mekanisme ini muncul pada syok sepsis, tetapi
pada kala sistemik, mengarah pada kerusakan endotel, permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, dan trombosis dari kapiler organ. Kerusakan endotel sendiri akan
berakhir mengaktivasi inflamasi dan kaskade koagulasi yang semakin merusak
endotel dan kerusakan organ (Hommes, 2009).
Bakteri gram-positif dan gram-negatif akan menginduksi mediator-
mediator inflamasi, termasuk sitokin seperti TNF dan interleukin (ILs), berperan
penting dalam menginisiasi sepsis dan syok. Bakteri-bakteri ini akan menghasilkan
sitokin, termasuk lipopolisakarida, peptidoglikan, dan asam lipoteichoic. Sitokin-
sitokin dari bakteri akan berikatan langsung dengan molekul major
histocompatibility complex (MHC) dan reseptor sel-T, yang menyebabkan
produksi sitokin yang banyak. Sistem komplemen akan teraktivasi dan
berkontribusi untuk membunuh mikroorganisme tetapi disamping itu dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Hood, 1998; Hommes, 2009).
Oksida nitrat (NO) menghasilkan sitokin-sitokin yang mempengaruhi
dinding pembuluh darah. NO berperan penting pada perubahan hemodinamik dari
syok sepsis dengan cara menyebabkan terjadinya vasodilatasi, yang merupakan
permulaan dari terjadinya syok. Selain itu, sitokin-sitokin itu juga akan
mempengaruhi kapiler sel endotel yang menyebabkan marginasi neutrofil,
perlengketan trombosit, ketidakseimbangan dari mekanisme homeostasis yang
mengarah pada koagulopati dan trombosis mikrovaskular, dan deplesi dari volume
intravaskular. Kedua proses ini akan menyebabkan hipoksia sel dan menurunkan
resistensi sistemik vaskular yang akan menyebabkan asidosis laktat yang
menyebabkan kematian. Selain itu juga, sitokin-sitokin yang dikeluarkan ini akan
mempengaruhi hipotalamus yang akan menyebabkan demam, takikardi, dan
takipnea (Marino, 2007).

2.1.8. Manifestasi Klinis


Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali dengan proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS) (Heyland, 2001; Annane,
2005).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respon inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota
gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini (Larosa, 2010).
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih
sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardi yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker
atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang
berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien
dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-kurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis (Cohen,
2002).
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama di rawat di instalasi
gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama
disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan
laboratorium, dan mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien
dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urin (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain
yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan
digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis (Marino, 2007).
2.1.9. Diagnosis
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apusan gram dari
buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah,
urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses, dan lesi kulit yang
terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apusan untuk menentukan
organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil
ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Tanda-tanda klinis sebagai gejala
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi,
takipnea, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang
tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik menunjukkan pada syok septik
curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang
rendah.Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor
pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis
(Shapiro,2010).

2.1.10. Laboratorium
Hasil laboratorium yang sering ditemukan adalah asidosis metabolik,
trombositopenia, peningkatan laktat, pemanjangan waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk
fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan
morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit
imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik cenderung menandakan infeksi bakteri.
Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Larossa, 2010; Higgins, 2011).
2.2. Terapi Adjuvan, Support Hemodinamik dan Terapi Cairan pada
Pasien Sepsis
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik, dan pemberian
antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui bahwa waktu
memegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang
bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu
tertentu (Rivers et al., 2001).
Rivers et al. (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang EGDT,
yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis berat dan syok septik di unit
gawat darurat. Pasien tersebut mendapat resusitasi cairan kristaloid dan koloid
untuk mempertahankan tekanan vena sentral ≥ 8 mmHg, pemberian vasodilator dan
vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) antara 65-90
mmHg, transfusi PRC untuk mempertahankan hematokrit ≥ 30% pada pasien
dengan saturasi oksigen vena sentral ≤ 70%, serta pemberian inotropik. Resusitasi
dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi mortalitas selain juga
berhasil mencegah terjadinya kegagalan multiorgan. Keberhasilan pendekatan
tatalaksana pasien sepsis berat dan syok septik dengan pendekatan EGDT yang
dilaporkan oleh Rivers et al. berupa menurunnya angka mortalitas hingga 16,5%
dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar tanpa pendekatan
EGDT dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (Rivers et al., 2001).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2012 yaitu resusitasi cairan
untuk sepsis berat direkomendasikan penggunaan kristaloid sebagai pilihan cairan
inisial untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B). Selain
itu, juga tidak direkomendasikan penggunaan hydroxyethyl starches (HES) untuk
resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B) (Rekomendasi ini
berdasarkan hasil dari percobaan VISEP, CRYSTMAS, dan CHEST) dan juga
direkomendasikan penggunaan albumin untuk resusitasi cairan pada sepsis berat
dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial
(grade 2C) (Dellinger et al., 2012).
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal
merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas
miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat
gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk
memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke
jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin
untuk mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan segera
setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif direkomendasikan
bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai dengan 30 mL/kgBB. Jenis
obat yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi dopamin,
dobutamin, epinefrin, norepinefrin (Dellinger et al., 2012).

Tabel 2.2. Surviving Sepsis Campaign (Dellinger et al., 2012)

Tabel 2.3. Rekomendasi: support hemodinamik dan terapi adjuvan (Dellinger


et al., 2012)
Terapi cairan pada sepsis berat
1. Kristaloid sebagai pilihan cairan insial untuk resusitasi cairan pada sepsis
berat dan syok septik (grade 1B).
2. Menentang penggunaan dari HES untuk resusitasi cairan pada sepsis berat
dan syok septik (grade 1B).
3. Albumin dalam resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik ketika
pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial (grade 2C).
4. Tantangan cairan inisial pada pasien dengan sepsis yang mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia untuk mencapai
minimum 30 mL/kg dari kristaloid (porsi ini mungkin sama dengan albumin).
Administrasi yang cepat dan jumlah cairan yang besar mungkin dibutuhkan
pada beberapa pasien (grade 1C).
5. Teknik tantangan cairan dapat diaplikasikan pada saat administrasi cairan
dilanjutkan sepanjang perbaikan hemodinamik apakah berdasarkan pada
dinamik (contoh : perubahan pada tekanan nadi, variasi stroke volume) atau
variabel statik (contoh : tekanan arterial, denyut jantung).
Vasopresor
1. Terapi vasopresor digunakan untuk mencapai target tekanan rerata arterial
atau mean arterial pressure lebih dari 65 mmHg (grade 1C).
2. Norepinefrin sebagai pilihan pertama vasopresor (grade 1B).
3. Epinefrin (ditambahkan atau berpotensi menggantikan norepinefrin) ketika
agen tambahan dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat (grade 2B).
4. Vasopresin 0.03 unit/menit dapat ditambahkan ke norepinefrin (NE) dengan
tujuan untuk meningkatkan MAP atau menurunkan dosis NE.
5. Vasopresin dosis rendah tidak direkomendasikan sebagai vasopresor inisial
untuk penatalaksanaan sepsis yang menyebabkan hipotensi dan dosis
vasopresin lebih tinggi dari 0.03-0.04 unit/menit harus disediakan untuk terapi
pilihan terakhir (jika terdapat kegagalan untuk mencapai MAP yang adekuat
dengan agen vasopresor yang lain).
6. Dopamin sebagai agen vasopresor alternatif dari norepinefrin hanya
digunakan pada pasien yang dipilih (contoh : pasien dengan resiko rendah
takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif).
7. Penileprine tidak direkomendasikan pada penatalaksanaan dari syok septik
kecuali pada kondisi dimana (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia
yang berat, (b) curah jantung biasanya tinggi dan tekanan darah rendah secara
persisten atau (c) sebagai terapi pilihan terapi ketika dikombinasikan dengan
obat-obatan inotrop/vasopresor dan vasopresin dosis rendah gagal untuk
mencapai target MAP (grade 1C).
8. Dopamin dosis rendah tidak boleh digunakan untuk proteksi ginjal (grade
1A).
9. Semua pasien yang membutuhkan vasopresor harus dipasang kateter arterial
setelah diberikan jika sumber tersedia.
Terapi Inotrop
1. Infus dobutamin sampai 20 mikrogram/kg/menit dapat diberikan atau dengan
ke vasopresor (jika digunakan) jika terdapat (a) disfungsi miokardial yang
ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung
yang rendah, atau (b) adanya tanda-tanda hipoperfusi, tanpa mencapai volume
intravaskular yang adekuat dan MAP yang adekuat (grade 1C).
2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan indeks jantung untuk
menentukan level supranormal (grade 1B).
Kortikosteroid
1. Tidak dapat digunakan untuk mengobati pasien dewasa dengan syok septik
jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopresor dapat mengembalikan
kestabilan hemodinamik. Jika tidak tercapai, kita merekomendasikan
penggunaan hidrokortison intravena sendiri dengan dosis 200 mg per hari
(grade 2C).
2. Tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi pasien
dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison (grade 2B).
3. Pada pasien yang mendapat hidrokortison dosis harus diturunkan perlahan
jika vasopresor tidak dibutuhkan lagi (grade 2D).
4. Kortikosteroid tidak boleh diadministrasikan untuk penanganan sepsis jika
tidak terdapat syok (grade 1D).
5. Ketika hidrokortison diberikan, harus menggunakan aliran yang
berkelanjutan (grade 2D).

2.3.1. Norepinefrin
Norepinefrin atau sering disebut sebagai noradrenalin merupakan senyawa
kimia dari golongan katekolamin yang berfungsi sebagai hormon dan
neurotransmiter. Di dalam otak, norepinefrin diproduksi oleh sel dalam neuron atau
nukleus yang terletak di pons. Di luar otak, norepinefrin digunakan sebagai
neurotransmiter oleh ganglia simpatetis yang terletak di dekat korda spinalis dan
dilepaskan ke dalam aliran darah oleh kelenjar adrenal (Marino, 2007).
Norepinefrin bekerja pada kedua reseptor adrenergik alfa dan beta
menghasilkan vakonstriksi kuat dan kurang mempengaruhi peningkatan cardiac
output (CO). Efek vasokonstriksi poten bekerja dengan meningkatkan aliran balik
vena dan memperbaiki preload jantung. Efek vasokontriksi norepinefrin terlihat
pada peningkatan tekanan darah sistolik yang tidak sesuai dibandingkan dengan
tekanan diastolik yang menyebabkan suatu refleks bradikardi. Respon bradikardi
ini sering berlawanan dengan efek kronotropik ringan norepinefrin, menyebabkan
denyut jantung tidak berubah. Pada dosis rendah (2 µg/menit), norepinefrin
menstimulasi reseptor beta adrenergik. Dosis yang biasanya digunakan dalam klinis
(>3 µg/menit). Norepinefrin merangsang reseptor alfa untuk menghasilkan
vasokonstriksi (Dellinger et al, 2012).
Di dalam otak, norepinefrin berfungsi sebagai neurotransmiter yang
dikontrol oleh beberapa mekanisme. Setelah disintesis, norepinefrin dari sitosol
dimasukkan ke dalam vesikel sinaps oleh vesicular monoamine transporter
(VMAT). Norepinefrin disimpan dalam bentuk vesikel dan akan dikeluarkan ke
celah sinaps, setelah adanya potensial aksi yang menyebabkan vesikel itu pecah dan
keluar langsung menuju celah sinaps dimana proses ini disebut eksositosis. Setelah
berada di sinaps, norepinefrin akan berikatan dengan reseptornya. Potensial aksi
dari molekul norepinefrin akan melepaskan ikatannya dengan reseptor.
Norepinefrin akan diabsorbsi kembali ke dalam sel presinaps melalui NET. Setelah
berada di dalam sitosol, norepinefrin dipecah oleh monoamin oksidase atau
dimasukkan kembali ke dalam vesikel oleh VMAT (Marino, 2007).
Norepinefrin sangat cepat di eliminasi dalam darah (waktu paruh 2-2.5
menit). Norepinefrin dimetabolisme didalam saraf adrenergik oleh enzim MAO dan
COMT dan membentuk metabolit inaktif. NE akan diekresikan di urine (84-96%)
(Dellinger et al., 2012).
Teori sebelumnya mengemukakan norepinefrin berpengaruh negatif pada
lumen pembuluh darah paru yang menyebabkan vasokonstriksi dan berpotensi pada
hipertensi pulmonal, meskipun hal ini telah disangkal oleh studi terbaru pada hewan
percobaan. Seperti agen lainnya yang meningkatkan inotropik dan afterload,
norepinefrin meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Hal ini diimbangi oleh
keseimbangan perfusi relatif yang dihasilkan oleh aktivitas gabungan reseptor alfa
dan beta, tetapi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan koroner.
Seperti vasokonstriktor lainnya, norepinefrin dapat menyebabkan iskemia. Hal ini
lebih terfokus pada ginjal dan lumen pembuluh darah splanikus, dimana
vasokonstriksi tersebut dapat menyebabkan kerusakan organ yang tidak diinginkan.
Efek negatif norepinefrin pada perfusi hepatosplanikus masih menjadi kontroversi
(Dellinger et al, 2012).
Surviving Sepsis Campaign, norepinefrin digunakan sebagai lini pertama
dalam support hemodinamik pada syok sepsis. Dalam kondisi emergensi,
norepinefrin digunakan sebagai agen pilihan untuk menangani hipotensi yang
berkaitan dengan sepsis. Norepinefrin juga dapat digunakan sebagai tambahan
dalam kondisi vasodilatasi lainya, seperti syok anafilaksis dan neurogenik, dan
mungkin berguna pada keadaan dengan disfungsi ventrikel (Ellender, 2008).

2.3.2. Vasopresin
Vasopresin dikenal sebagai hormon antidiuretik (ADH). Merupakan non-
peptida yang disintesis di dalam hipotalamus, hormon ini mengandung arginin yang
secara spesifik disebut sebagai arginine vasopressin (AVP). Vasopresin
menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma, penurunan tekanan arterial, dan
reduksi volume jantung. Vasopresin dibutuhkan untuk proses osmoregulasi, kontrol
kardiovaskular, dan homeostatis (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin disintesis dan dilepaskan ke sirkulasi sistemik dari kelenjar
hipofisis posterior. Vasopresin seperti hormon lainya, disintesis sebagai prohormon
dan kemudian dipecah untuk membentuk hormon aktif yang matur. Kadar serum
vasopresin-nonpeptida merepresentasikan interaksi dari sintesis, pelepasan dan
metabolisme vasopresin. Sintesis dari preprovasopresin terjadi pada neuron
neurohipofiseal (juga dikenali sebagai neuron magnoselular) dari nukleus
paraventrikular dan supraoptik dari hipotalamus. Provasopresin terdapat dalam
granul neurosekretori dan ditransportasi sepanjang traktus suprahipofisis menuju
hipofisis posterior. Kemudian, provasopresin diubah oleh proprotein seperti
subtilisin konvertase (SPC3) menjadi vasopresin (Russell, 2011).
Vasopresin dimetabolisme oleh beberapa vasopresinase secara acak seperti
LNPEP dan IRAP. LNPEP memetabolisme vasopresin dan juga membersihkan
oksitosin (vasodilator), GLUT4 (dimana memodulasi uptake selular dari glukosa)
dan enzim pengubah angiotensin 4 (merubah angiotensin menjadi angiotensin
vasokonstriktor yang poten), menunjukkan variasi dalam kadar dan fungsi LNPEP
dapat menyebabkan efek kompleks dalam hemodinamik dan tekanan darah pada
sepsis (Russell, 2011).
Vasopresin secara cepat didistribusikan dari plasma ke dalam volume cairan
extraseluler. Vasopresin dimetabolisme di dalam hati dan ginjal, dan dalam jumlah
kecil dibuang ke dalam urine. Waktu paruh dalam plasma adalah 4 – 20 menit, oleh
karena itu infus kontinu dibutuhkan untuk mempertahankan efeknya. Vasopresin
eksogen harus diberikan secara parenteral, karena peptida dihidrolisis cepat oleh
tripsin (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin menstimulasi sekelompok reseptor: AVPR1a (dikenal sebagai
reseptor V1, terutama vaskular), AVPR1b (reseptor V3, terutama sentral), AVPR2
(reseptor V2, terutama renal), reseptor oksitosin dan reseptor purinergik. AVPR1a,
reseptor G protein berpasangan, bertanggung jawab untuk vasokontriksi yang
berhubungan dengan vasopressin dan diekspresikan pada otot polos vaskular,
hepatosit dan platelet. Protein G menstimulasi jalur signal fosfatidil-inositol-
kalsium yang menyebabkan kontraksi otot polos. Stimulasi dari reseptor AVPR1a
juga menyebabkan produksi dari vasodilator nitrat oksida yang poten pada
pembuluh darah koroner dan pembuluh darah pulmonal. Sepsis menyebabkan
down-regulation pada reseptor yang memengaruhi AVPR1a, sehingga sensitif
terhadap vasopresin yang meningkatkan hemodinamik (Russell, 2011).
AVPR1b (reseptor V3) yang diekspresikan pada kelenjar hipofisis dan
hipokampus. Stimulasi AVPR1b oleh vasopresin melepaskan hormon
adenokortikotropik (ACTH) karena vaspresin berdistribusi dari hipofisis posterior
melalui kapiler portal hipofisis untuk mengikat AVPR1b pada sel kortikotropik
hipofisis anterior. Sehingga vasopresin berinteraksi dengan aksis kortikosteroid
dalam menanggapi stres seperti hipotensi. Vasopressin dan corticotropin releasing
hormone menstimulasi sistem signaling yang berbeda dan efek sinergis pada
pelepasan ACTH. Pada tikus, AVPR1b mengalami gangguan respons stres yang
disebabkan respon ACTH yang menurun. Sebaliknya, ekspresi berlebih pada
AVPR1b berhubungan dengan adenoma hipofisis dan sindroma ACTH ektopik
(Russell, 2011).
AVPR2 (reseptor V2) diekspresikan pada duktus kolektivus ginjal.
Vasopresin adalah faktor trophic dari loop of Henle distal sehingga memberi efek
antidiuretik vasopresin. Stimulasi AVPR2 meningkarkan retensi air (aktivitas
antidiuretik) dengan meningkatkan AMP siklik, yang menyebabkan pergerakan
kanal aquaporin-2 dari sitoplasma pada membran apikal dari sel duktus kolektivus.
Apabila ada defisiensi vasopresin, saluran aquaporin-2 menginternalisasi dari
membran apikal ke vesikel subapikal sehingga tidak ada reabsorpsi air yang aktif.
Reseptor V2 juga menyebabkan vasodilatasi dengan stimulasi jalur nitrit oksida
(Russell, 2011).
Sepsis awalnya meningkatkan kadar vasopresin dengan 20 sampai 200 kali
lipat hingga kadar berlebih dengan berbagai mekanisme. Peningkatan kadar
vasopresin terjadi ketika curah jantung menurun tetapi sebelum hipotensi,
menunjukkan bahwa stimulus selain hipotensi, seperti peningkatan kadar mediator
inflamasi dan penurunan curah jantung yang menstimulasi peningkatan kadar
vasopressin. Hipotensi dan hipernateremia menstimulasi pelepasan vasopresin yang
telah ada dan menstimulasi pembentukan vasopresin. Oleh karena itu penyimpanan
vasopresin banyak dan tersedia untuk pengeluaran secara cepat dari hipofisis
posterior terhadap respons hipotensi pada sepsis maupun syok sepsis (Russell,
2011).
Syok septik dikarakterisasi dengan vasodilatasi dan hipotensi walaupun
terdapat peningkatan konsentrasi katekolamin dan aktifasi dari sistem renin-
angiotensin. sementara oksida nitrat diketahui mempunyai efek vasodilatasi,
kegagalan dari otot polos sistem vaskular untuk berkontraksi yang disebabkan
rendahnya kadar vasopresin dalam plasma. Pada pasien dengan syok septik,
konsentrasi vasopresin dalam plasma secara signifikan lebih rendah dibandingkan
dengan pasien syok kardiogenik walaupun keadaan sama-sama mengalami
hipotensi (Treschan dan Peters, 2006).
Pada beberapa penelitian vasopresin eksogen telah digunakan pada pasien
syok sepsis. Pemberian infus AVP (0,01 U/menit) pada pasien syok meningkatkan
konsentrasi plasma vasopresin sekitar 30 pg/ml, ini menunjukkan bahwa
peningkatan degradasi vasopressin tidak dapat diukur saat konsentrasi plasma AVP
rendah sepsis. Selanjutnya, infus AVP (0,01-0,04 U/menit) meningkatan resistensi
dan tekanan darah arteri perifer beberapa menit. Dilaporkan adanya peningkatan
resistensi pembuluh darah paru atau arteri pulmonalis tekanan pada pasien yang
diobati dengan vasopresin dosis rendah (0,04 U/menit), atau komplikasi jantung
atau perubahan elektrolit, darah dan osmolalitas urin, atau variabel metabolik.
Bahkan, produksi urin dan kreatinin meningkat secara signifikan pada pasien
dengan perubahan vasopresin, jika diberikan sebelum timbul anuria (Treschan,
2006).
Gambar 2.1. Algoritma Resusitasi Syok Sepsis

Anda mungkin juga menyukai