TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sepsis
2.1.1. Infeksi dan Inflamasi
Infeksi adalah keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh
manusia yang berkembang biak dan menyebabkan kerusakan sekitar jaringan
infeksi. Pada penyakit infeksi juga menyebabkan reaksi inflamasi. Meskipun proses
inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas infeksi
dan respon tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada lokasi infeksi saja atau dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur, 2007; Butterworth,
2013).
Inflamasi timbul sebagai reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk
infeksi. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi dari pembuluh darah, saraf,
cairan, dan sel tubuh ditempat infeksi. Inflamasi akut merupakan respon langsung
yang dini terhadap agen penyebab infeksi dan kejadian yang berhubungan dengan
inflamasi akut sebagian besar diakibatkan oleh produksi dan pelepasan berbagai
macam mediator inflamasi. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi
berbeda, mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi
sistemik disebut systemic inflammation response syndrome (Guntur,2007;
Butterworth, 2013).
2.1.5. Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di UPI dan
merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan.
Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada
tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000, menunjukkan
peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ menimbulkan
efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas pasien sepsis
tanpa disfungsi organ sebesar 15%, pasien dengan kegagalan fungsi organ sebesar
70%, dan syok septik sebesar 45-60% (Martin et al., 2003; Hommes et al., 2012).
Hampir 10% pasien yang masuk ke UPI merupakan pasien dengan syok
septik dengan mortalitas mencapai 40-60% (Daley et al., 2013). Kadar laktat darah
sering digunakan sebagai pertanda diagnosis, respon terapeutik dan prognosis untuk
syok sepsis, kadar laktat yang tinggi menunjukkan adanya kondisi hipoksia pada
jaringan. Peningkatan kadar laktat mempunyai hubungan yang signifikan dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas pada pasien syok septik. Peningkatan kadar laktat
yang persisten > 24 jam berhubungan dengan tingkat mortalitas sebanyak 89%. Jika
persisten > 48 jam maka tingkat mortalitas lebih tinggi (Nguyen, 2004).
Tabel 2.1. Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer, 2016)
Lama Baru
SIRS Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur(<36°c
>38°c). -
Peningkatan leukosit >11.000
µL-1 atau < 4.000 µL-1
Sepsis SIRS + Fokal infeksi Suspek atau dengan infeksi
+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah sistol
≤
100 mmHg)
Penurunan kesadaran
(GCS≤13)
Takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor qSOFA ≥ 2
Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL -
Trombosit <100.000 µL
Koagulopati (INR > 1.5)
Syok Sepsis Sepsis Sepsis
+ +
Hipotensi Vasopresor untuk mencapai
setelah mendapatkan cairan MAP > 65 mmHg
resusitasi adekuat +
Laktat >4 mmol/L
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat
4. Aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen akan menghasilkan suatu pembentukan protein yang
akan melisis sel patogen. Aktivasi kaskade oleh inflamasi akan menghasilkan
produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi protein koagulasi,
platelet, sel mast, dan secara tidak langsung memproduksi bradikinin. Dengan
demikian terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi
inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran, dan
pembentukan edema di jaringan (Weismuller et al., 2012).
Patogenesis sepsis sangat kompleks. Meskipun kemajuan ilmu kedokteran
semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,
sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon host akibat
dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon host
adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari
kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan
respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian,
selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon
proinflamasi tidak terkontrol dan juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi,
koagulasi, dan jalur penyembuhan luka (Annane, 2005).
2.1.10. Laboratorium
Hasil laboratorium yang sering ditemukan adalah asidosis metabolik,
trombositopenia, peningkatan laktat, pemanjangan waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk
fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan
morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit
imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik cenderung menandakan infeksi bakteri.
Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Larossa, 2010; Higgins, 2011).
2.2. Terapi Adjuvan, Support Hemodinamik dan Terapi Cairan pada
Pasien Sepsis
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik, dan pemberian
antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui bahwa waktu
memegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang
bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu
tertentu (Rivers et al., 2001).
Rivers et al. (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang EGDT,
yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis berat dan syok septik di unit
gawat darurat. Pasien tersebut mendapat resusitasi cairan kristaloid dan koloid
untuk mempertahankan tekanan vena sentral ≥ 8 mmHg, pemberian vasodilator dan
vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) antara 65-90
mmHg, transfusi PRC untuk mempertahankan hematokrit ≥ 30% pada pasien
dengan saturasi oksigen vena sentral ≤ 70%, serta pemberian inotropik. Resusitasi
dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi mortalitas selain juga
berhasil mencegah terjadinya kegagalan multiorgan. Keberhasilan pendekatan
tatalaksana pasien sepsis berat dan syok septik dengan pendekatan EGDT yang
dilaporkan oleh Rivers et al. berupa menurunnya angka mortalitas hingga 16,5%
dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar tanpa pendekatan
EGDT dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (Rivers et al., 2001).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2012 yaitu resusitasi cairan
untuk sepsis berat direkomendasikan penggunaan kristaloid sebagai pilihan cairan
inisial untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B). Selain
itu, juga tidak direkomendasikan penggunaan hydroxyethyl starches (HES) untuk
resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B) (Rekomendasi ini
berdasarkan hasil dari percobaan VISEP, CRYSTMAS, dan CHEST) dan juga
direkomendasikan penggunaan albumin untuk resusitasi cairan pada sepsis berat
dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial
(grade 2C) (Dellinger et al., 2012).
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal
merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas
miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat
gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk
memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke
jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin
untuk mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan segera
setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif direkomendasikan
bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai dengan 30 mL/kgBB. Jenis
obat yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi dopamin,
dobutamin, epinefrin, norepinefrin (Dellinger et al., 2012).
2.3.1. Norepinefrin
Norepinefrin atau sering disebut sebagai noradrenalin merupakan senyawa
kimia dari golongan katekolamin yang berfungsi sebagai hormon dan
neurotransmiter. Di dalam otak, norepinefrin diproduksi oleh sel dalam neuron atau
nukleus yang terletak di pons. Di luar otak, norepinefrin digunakan sebagai
neurotransmiter oleh ganglia simpatetis yang terletak di dekat korda spinalis dan
dilepaskan ke dalam aliran darah oleh kelenjar adrenal (Marino, 2007).
Norepinefrin bekerja pada kedua reseptor adrenergik alfa dan beta
menghasilkan vakonstriksi kuat dan kurang mempengaruhi peningkatan cardiac
output (CO). Efek vasokonstriksi poten bekerja dengan meningkatkan aliran balik
vena dan memperbaiki preload jantung. Efek vasokontriksi norepinefrin terlihat
pada peningkatan tekanan darah sistolik yang tidak sesuai dibandingkan dengan
tekanan diastolik yang menyebabkan suatu refleks bradikardi. Respon bradikardi
ini sering berlawanan dengan efek kronotropik ringan norepinefrin, menyebabkan
denyut jantung tidak berubah. Pada dosis rendah (2 µg/menit), norepinefrin
menstimulasi reseptor beta adrenergik. Dosis yang biasanya digunakan dalam klinis
(>3 µg/menit). Norepinefrin merangsang reseptor alfa untuk menghasilkan
vasokonstriksi (Dellinger et al, 2012).
Di dalam otak, norepinefrin berfungsi sebagai neurotransmiter yang
dikontrol oleh beberapa mekanisme. Setelah disintesis, norepinefrin dari sitosol
dimasukkan ke dalam vesikel sinaps oleh vesicular monoamine transporter
(VMAT). Norepinefrin disimpan dalam bentuk vesikel dan akan dikeluarkan ke
celah sinaps, setelah adanya potensial aksi yang menyebabkan vesikel itu pecah dan
keluar langsung menuju celah sinaps dimana proses ini disebut eksositosis. Setelah
berada di sinaps, norepinefrin akan berikatan dengan reseptornya. Potensial aksi
dari molekul norepinefrin akan melepaskan ikatannya dengan reseptor.
Norepinefrin akan diabsorbsi kembali ke dalam sel presinaps melalui NET. Setelah
berada di dalam sitosol, norepinefrin dipecah oleh monoamin oksidase atau
dimasukkan kembali ke dalam vesikel oleh VMAT (Marino, 2007).
Norepinefrin sangat cepat di eliminasi dalam darah (waktu paruh 2-2.5
menit). Norepinefrin dimetabolisme didalam saraf adrenergik oleh enzim MAO dan
COMT dan membentuk metabolit inaktif. NE akan diekresikan di urine (84-96%)
(Dellinger et al., 2012).
Teori sebelumnya mengemukakan norepinefrin berpengaruh negatif pada
lumen pembuluh darah paru yang menyebabkan vasokonstriksi dan berpotensi pada
hipertensi pulmonal, meskipun hal ini telah disangkal oleh studi terbaru pada hewan
percobaan. Seperti agen lainnya yang meningkatkan inotropik dan afterload,
norepinefrin meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Hal ini diimbangi oleh
keseimbangan perfusi relatif yang dihasilkan oleh aktivitas gabungan reseptor alfa
dan beta, tetapi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan koroner.
Seperti vasokonstriktor lainnya, norepinefrin dapat menyebabkan iskemia. Hal ini
lebih terfokus pada ginjal dan lumen pembuluh darah splanikus, dimana
vasokonstriksi tersebut dapat menyebabkan kerusakan organ yang tidak diinginkan.
Efek negatif norepinefrin pada perfusi hepatosplanikus masih menjadi kontroversi
(Dellinger et al, 2012).
Surviving Sepsis Campaign, norepinefrin digunakan sebagai lini pertama
dalam support hemodinamik pada syok sepsis. Dalam kondisi emergensi,
norepinefrin digunakan sebagai agen pilihan untuk menangani hipotensi yang
berkaitan dengan sepsis. Norepinefrin juga dapat digunakan sebagai tambahan
dalam kondisi vasodilatasi lainya, seperti syok anafilaksis dan neurogenik, dan
mungkin berguna pada keadaan dengan disfungsi ventrikel (Ellender, 2008).
2.3.2. Vasopresin
Vasopresin dikenal sebagai hormon antidiuretik (ADH). Merupakan non-
peptida yang disintesis di dalam hipotalamus, hormon ini mengandung arginin yang
secara spesifik disebut sebagai arginine vasopressin (AVP). Vasopresin
menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma, penurunan tekanan arterial, dan
reduksi volume jantung. Vasopresin dibutuhkan untuk proses osmoregulasi, kontrol
kardiovaskular, dan homeostatis (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin disintesis dan dilepaskan ke sirkulasi sistemik dari kelenjar
hipofisis posterior. Vasopresin seperti hormon lainya, disintesis sebagai prohormon
dan kemudian dipecah untuk membentuk hormon aktif yang matur. Kadar serum
vasopresin-nonpeptida merepresentasikan interaksi dari sintesis, pelepasan dan
metabolisme vasopresin. Sintesis dari preprovasopresin terjadi pada neuron
neurohipofiseal (juga dikenali sebagai neuron magnoselular) dari nukleus
paraventrikular dan supraoptik dari hipotalamus. Provasopresin terdapat dalam
granul neurosekretori dan ditransportasi sepanjang traktus suprahipofisis menuju
hipofisis posterior. Kemudian, provasopresin diubah oleh proprotein seperti
subtilisin konvertase (SPC3) menjadi vasopresin (Russell, 2011).
Vasopresin dimetabolisme oleh beberapa vasopresinase secara acak seperti
LNPEP dan IRAP. LNPEP memetabolisme vasopresin dan juga membersihkan
oksitosin (vasodilator), GLUT4 (dimana memodulasi uptake selular dari glukosa)
dan enzim pengubah angiotensin 4 (merubah angiotensin menjadi angiotensin
vasokonstriktor yang poten), menunjukkan variasi dalam kadar dan fungsi LNPEP
dapat menyebabkan efek kompleks dalam hemodinamik dan tekanan darah pada
sepsis (Russell, 2011).
Vasopresin secara cepat didistribusikan dari plasma ke dalam volume cairan
extraseluler. Vasopresin dimetabolisme di dalam hati dan ginjal, dan dalam jumlah
kecil dibuang ke dalam urine. Waktu paruh dalam plasma adalah 4 – 20 menit, oleh
karena itu infus kontinu dibutuhkan untuk mempertahankan efeknya. Vasopresin
eksogen harus diberikan secara parenteral, karena peptida dihidrolisis cepat oleh
tripsin (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin menstimulasi sekelompok reseptor: AVPR1a (dikenal sebagai
reseptor V1, terutama vaskular), AVPR1b (reseptor V3, terutama sentral), AVPR2
(reseptor V2, terutama renal), reseptor oksitosin dan reseptor purinergik. AVPR1a,
reseptor G protein berpasangan, bertanggung jawab untuk vasokontriksi yang
berhubungan dengan vasopressin dan diekspresikan pada otot polos vaskular,
hepatosit dan platelet. Protein G menstimulasi jalur signal fosfatidil-inositol-
kalsium yang menyebabkan kontraksi otot polos. Stimulasi dari reseptor AVPR1a
juga menyebabkan produksi dari vasodilator nitrat oksida yang poten pada
pembuluh darah koroner dan pembuluh darah pulmonal. Sepsis menyebabkan
down-regulation pada reseptor yang memengaruhi AVPR1a, sehingga sensitif
terhadap vasopresin yang meningkatkan hemodinamik (Russell, 2011).
AVPR1b (reseptor V3) yang diekspresikan pada kelenjar hipofisis dan
hipokampus. Stimulasi AVPR1b oleh vasopresin melepaskan hormon
adenokortikotropik (ACTH) karena vaspresin berdistribusi dari hipofisis posterior
melalui kapiler portal hipofisis untuk mengikat AVPR1b pada sel kortikotropik
hipofisis anterior. Sehingga vasopresin berinteraksi dengan aksis kortikosteroid
dalam menanggapi stres seperti hipotensi. Vasopressin dan corticotropin releasing
hormone menstimulasi sistem signaling yang berbeda dan efek sinergis pada
pelepasan ACTH. Pada tikus, AVPR1b mengalami gangguan respons stres yang
disebabkan respon ACTH yang menurun. Sebaliknya, ekspresi berlebih pada
AVPR1b berhubungan dengan adenoma hipofisis dan sindroma ACTH ektopik
(Russell, 2011).
AVPR2 (reseptor V2) diekspresikan pada duktus kolektivus ginjal.
Vasopresin adalah faktor trophic dari loop of Henle distal sehingga memberi efek
antidiuretik vasopresin. Stimulasi AVPR2 meningkarkan retensi air (aktivitas
antidiuretik) dengan meningkatkan AMP siklik, yang menyebabkan pergerakan
kanal aquaporin-2 dari sitoplasma pada membran apikal dari sel duktus kolektivus.
Apabila ada defisiensi vasopresin, saluran aquaporin-2 menginternalisasi dari
membran apikal ke vesikel subapikal sehingga tidak ada reabsorpsi air yang aktif.
Reseptor V2 juga menyebabkan vasodilatasi dengan stimulasi jalur nitrit oksida
(Russell, 2011).
Sepsis awalnya meningkatkan kadar vasopresin dengan 20 sampai 200 kali
lipat hingga kadar berlebih dengan berbagai mekanisme. Peningkatan kadar
vasopresin terjadi ketika curah jantung menurun tetapi sebelum hipotensi,
menunjukkan bahwa stimulus selain hipotensi, seperti peningkatan kadar mediator
inflamasi dan penurunan curah jantung yang menstimulasi peningkatan kadar
vasopressin. Hipotensi dan hipernateremia menstimulasi pelepasan vasopresin yang
telah ada dan menstimulasi pembentukan vasopresin. Oleh karena itu penyimpanan
vasopresin banyak dan tersedia untuk pengeluaran secara cepat dari hipofisis
posterior terhadap respons hipotensi pada sepsis maupun syok sepsis (Russell,
2011).
Syok septik dikarakterisasi dengan vasodilatasi dan hipotensi walaupun
terdapat peningkatan konsentrasi katekolamin dan aktifasi dari sistem renin-
angiotensin. sementara oksida nitrat diketahui mempunyai efek vasodilatasi,
kegagalan dari otot polos sistem vaskular untuk berkontraksi yang disebabkan
rendahnya kadar vasopresin dalam plasma. Pada pasien dengan syok septik,
konsentrasi vasopresin dalam plasma secara signifikan lebih rendah dibandingkan
dengan pasien syok kardiogenik walaupun keadaan sama-sama mengalami
hipotensi (Treschan dan Peters, 2006).
Pada beberapa penelitian vasopresin eksogen telah digunakan pada pasien
syok sepsis. Pemberian infus AVP (0,01 U/menit) pada pasien syok meningkatkan
konsentrasi plasma vasopresin sekitar 30 pg/ml, ini menunjukkan bahwa
peningkatan degradasi vasopressin tidak dapat diukur saat konsentrasi plasma AVP
rendah sepsis. Selanjutnya, infus AVP (0,01-0,04 U/menit) meningkatan resistensi
dan tekanan darah arteri perifer beberapa menit. Dilaporkan adanya peningkatan
resistensi pembuluh darah paru atau arteri pulmonalis tekanan pada pasien yang
diobati dengan vasopresin dosis rendah (0,04 U/menit), atau komplikasi jantung
atau perubahan elektrolit, darah dan osmolalitas urin, atau variabel metabolik.
Bahkan, produksi urin dan kreatinin meningkat secara signifikan pada pasien
dengan perubahan vasopresin, jika diberikan sebelum timbul anuria (Treschan,
2006).
Gambar 2.1. Algoritma Resusitasi Syok Sepsis