Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. RP
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Batak
Agama : Kristen
Pekerjaan : IRT
Alamat : Bumi Sarana Indah
Jaminan Kesehatan : BPJS
No. RM : 07.03.11
Tgl Masuk : 23 Januari 2018

II. Anamnesis
Keluar darah dari hidung sejak 1 jam SMRS

III.Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke UGD dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak 1 jam
SMRS, keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang duduk nonton TV. Darah yang
keluar berwarna merah segar. Darah keluar dari kedua hidung dan saat pasien
meludah kadang-kadang juga terdapat darah. Pasien merasa pusing. Pasien tidak
merasakan pusing berputar. Keluhan nyeri kepala, mual, muntah disangkal. Keluhan
hidung berdarah tanpa penurunan kesadaran.

Pasien menyangkal keluhan nyeri kepala disertai pandangan kabur, penglihatan


ganda, nyeri dan gatal pada mata. Tidak terdapat adanya kelemahan anggota gerak,
tidak terdapat rasa kesemutan, tidak terdapat lidah pelo, Buang air kecil dan buang
air besar lancar tanpa keluhan. Pasien tidak ada riwayat trauma pada hidung. riwayat
benda asing di hidung disangkal.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien sebelumnya mengalami pilek dan sering kambuh. Pasien mengaku
mempunyai riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak rutin kontrol.
Riwayat penyakit serupa disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat batuk lama
disangkal. Pasien menyangkal riwayat penyakit jantung, penyakit kencing manis,
dan penyakit asma.
Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan dalam jangka waktu lama
dan dekat dan mengaku tidak mempunyai riwayat alergi. Pasien mengaku tidak ada
alergi obat.

Riwayat penyakit keluarga :

1
Pasien mengaku terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.
Ibu kandung pasien menderita hipertensi.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 220/130
Nadi : 100x/menit
RR : 22x/ menit
SpO2 : 36.50C
BB : 87 kg
Mata : Anemis (-/-) Ikterik (-/-)
Refleks Cahaya (+/+) Pupil Isokor Kanan=kiri
Thoraks : Pulmo : Wh(-/-) Rh (-/-)
Jantung: S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : BU (+) Soepel, NT (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema ekstremitas -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (23/01/2018)

LAB RESULT NORMAL


Hb 15,5 13-16 gr%
Leukosit 11.700 4.000-10.000
Eritrosit 4,7 4-6 juta/mm3
Trombosit 265.000 150.000-450.000
Hematokrit 44 37-43%
GDS 126 80-120 mg/dl
Ureum 18 10-50
Creatinin 1,0 0,5-1,5 mg/dl
SGOT 32 < 31 U/L
SGPT 33 < 32 U/L

Rontgen Thoraks

2
Kesan : C/P Normal

EKG

Kesan : Gambaran EKG Normal

V. Diagnosis
Epistaksis ec Hipertensi Urgensi
VI. Penatalaksanaan
Konsul Spesialis Penyakit Dalam

3
 Infus Asering 10 tpm
 Ranitidin 2 x 1 amp
 Furosemid tab 1 x 40 mg
 Vertikaf 2 x 1
 Flunarizine tab 1 x 1
 Dimenhydrinat tab 2 x 1
Menurunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 1-12 jam, setelah tidak ada tanda
hipoferfusi organ penurunan dapat di lanjutkan hingga 24-72 jam sampai mendekati
normal.
Pasang tampon hidung (tampon anterior), ini dilakukan untuk menekan dan menutup
Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior agar perdarahan dapat berhenti.
Selain itu dapat juga dengan cara menekan pangkal hidung untuk menghentikan
perdarahan tersebut.

VII. Follow up
Tgl 24/01/2018
KU: Tampak sakit sedang
Kes: Compos Mentis
TD: 170/120
HR: 80 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.5oC
S/ -
O/ Mata: KA: (-/-) KI (-/-)
Thorak: Vesikular, RH (-/-) WH (-/-)
BJ I & II Reg
Abdomen : Soepel, BU (-/-) NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT< 2 detik, oedem (-)
P/ IVFD RL 1 kolf / 12 jam
Inj Ceftriaxone 2x1 gr IV
Inj. Asam Tranexamat 1 Amp IV
Amlodipine 10 mg tab 1-0-0
Candesartan 8mg tab 0-1-0
Bisoprolol 5mg tab ½-0-0

Tgl 25/01/2018
KU: Tampak sakit sedang
Kes: Compos Mentis
TD: 150/110
HR: 82 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.5oC
S/ -

4
O/ Mata: KA: (-/-) KI (-/-)
Thorak: Vesikular, RH (-/-) WH (-/-)
BJ I & II Reg
Abdomen : Soepel, BU (-/-) NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT< 2 detik, oedem (-)
P/ IVFD RL 1 kolf / 12 jam
Aff Tampon hidung
Inj. Asam Tranexamat dan Ketorolac stop

Tgl 26/01/2018
KU: Tampak sakit sedang
Kes: Compos Mentis
TD: 120/90
HR: 80 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.6oC
S/ Saki Kepala, muntah 2x
O/ Mata: KA: (-/-) KI (-/-)
Thorak: Vesikular, RH (-/-) WH (-/-)
BJ I & II Reg
Abdomen : Soepel, BU (-/-) NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT< 2 detik, oedem (-)
P/ IVFD RL 1 kolf / 12 jam
Terapi lanjut

PEMBAHASAN

5
Pasien didiagnosis dengan epistaksis anterior. Berdasarkan sumber perdarahannya,
epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis
anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior dikarenakan
berbagai sebab seperti trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor jinak hidung,
ataupun sebab sistemik seperti adanya riwayat hipertensi. Pada pasien ini berdasarkan
anamnesis, terjadinya epistaksis dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi.
Pleksus kiesselbach merupakan daerah dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah
ini mempunyai pembuluh darah yang kecil dan rapuh. Hipertensi dapat menyebabkan
pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior menjadi pecah karena tingginya
tekanan darah di daerah tersebut.

Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon hidung (tampon anterior), ini
dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis
anterior agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan
pangkal hidung untuk menghentikan perdarahan tersebut. Pemberian antibiotik
ceftriaxone injeksi bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon
dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam traneksamat bertujuan untuk menghentikan
perdarahan. Pemberian ketorolac digunakan untuk menghilangkan rasa sakit.

Pemberian anti hipertensi pada pasien didasarkan pada diagnosis kerja hipertensi
urgensi karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ target.
Pemberian obat antihipertensi secara oral merupakan pilihan yang dapat diberikan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pemilihan obat berdasarkan mekanisme kerja dan
ketersediaan obat. Amlodipine dipilih sebagai alternatif nicardipine yang merupakan
pilihan pertama pada pasien hipertensi urgensi yang berasal dari golongan calcium-
channel blocker. Candesartan dari golongan Angiotensin Receptor Blocker diberikan
sebagai kombinasi dengan golongan Calcium channel blocker agar penurunan tekanan
darah dapat berlangsung lebih cepat. Kombinasi obat ketiga adalah golongan antagonis
adrenoseptor, yang dipakai adalah bisoprolol karena bekerja pada reseptor beta-1 yang
dimetabolisme terutama di hepar dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa
dimanfaatkan efeknya untuk menurunkan tekanan darah dalam waktu yang lebih lama.

TINJAUAN PUSTAKA
KRISIS HIPERTENSI

6
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan
peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang
merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi
yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera
untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa (1).

EPIDEMIOLOGI

20% pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data
di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada
penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas 60 tahun.
Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2%
akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis.
Pada JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi
hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai
keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif (1).

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII (2)

TD diastolik
Kategori TD sistolik (mmHg) (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Pre-hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stadium 2 > 160 Atau > 100

DEFINISI

Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut.
Definisi yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)

Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi
intravena.

7
2. Hipertensi urgensi (mendesak)

Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam
24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.

2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi.
Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan
kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan
yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapatkan pengobatan.
Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah
normal.

4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang
hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah
tersebut diturunkan.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya
peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan
nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet,
fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi (1,4,8).
FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI
Hipertensi esensial

Penyakit Parenkim Ginjal

8
Pielonefritis Kronik
Glomerulonefritis
Nefritis tubulointerstisial

Penyakit Vaskular pada Ginjal


Stenosis Arteri Renalis
Makroskopis poliarteritis nodusa

Obat-obatan
Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang bekerja sentral seperti
clonidine dan metildopa
Intoksikasi obat simpatomimetik (kokain, dll)
Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline)

Kehamilan
Eklampsia/pre-eklampsi berat

Endokrin
Feokromositoma
Aldosteronisme primer
Kelebihan hormone glukokortikoid
Tumor yang mensekresikan rennin

Kelainan Sistem Saraf Pusat


Stroke hemoragik
Cedera Kepala

MEKANISME AUTOREGULASI

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan


pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan
terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,pingsan dan
sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat
gambar 2)
(1).

9
Gambar 1. Patofisiologi hiperte nsi emergensi (1).

Gambar 2. Kurva Autoregulasi Pada Tekanan Darah (1)


Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipe rtensi dengan
yang normotensi. Didapatkan pend erita hipertensi dengan pengobatan mempu nyai
nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan
hipertensi terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal(1).

10
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi m aupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas te rendah dari autoregulasi otak adalah kira-k ira 25% di
bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penuru nan
MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah
emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut
ataupun edem a paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan
bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark
serebri akut ataupun perd arahan intrakranial, penurunan tekanan darah dil akukan lebih
lambat (6-12 jam) dan harus d ijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-
180/100 mmHg (1,2,4,6,8).

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target


yang ada. Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ

Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai
keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa
hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan
penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien
bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi
maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa

11
saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung
kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).

Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur (1).

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat


dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana
yang mengalami gangguan.

12
Anamnesis

Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang


rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat
menaikkan tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid
Diethylamide (LSD), amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala
sistem saraf (nyeri kepala, perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK
berwarna merah, jumlah urin berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak
napas, payah jantung, kongestif dan oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis)
penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk dievaluasi adalah riwayat kehamilan
untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis hipertensi(1,2,3).

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat
ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk
mencari murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan
neurologis serta funduskopi. Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina,
perdarahan retina, eksudat pada retina atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler
dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta,
defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai tanda perubahan neurologis yang
segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi ensefalopati seperti disorientasi,
gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang fokal.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :

a. Pemeriksaan segera seperti :


Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit
EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi
Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung,
tanda edema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut.

b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan


pertama) Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin,
Venumandelic Acid (VMA)
Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari
gangguan fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.

13
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (1,2,5) :

14
Pasien dengan Hipertensi

TD > 180/120 mmHg

Tidak Ya

Kerusakan Organ Target


Neurologi
Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
Nyeri kepala
Krisis Hipertensi Muntah
Pre-hipertensi Penurunan kesadaran
TDS 120-139 Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
TDD 80-89 Bicara pelo
Hipertensi stadium 1 Mulut mencong
TDS 140-159 Flapping Tremor
TDD 90-99 Jantung & Paru
Hipertensi stadium 2 Nyeri dada
TDS > 160 Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg
TDD > 100 (diseksi aorta)
Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
Peninggian JVP
Ronkhi basah/sesak napas
Ginjal
Edema perifer
Oliguria/anuria
Hematuria/proteinuria
Peningkatan ureum kreatinin
Mata
Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV

Tidak Ya

Hipertensi Urgensi Hipertensi Emergensi

Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi(1)

15
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi

A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean
Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal
standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko
dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi
dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat
pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan
terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi


Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis
awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek
yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal
ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan
pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53
pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine
atau placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan
placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan
dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek
samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki
waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range
yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara
random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100
mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah
sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai
dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek
samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan
puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan
0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis
maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut
kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja
antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi

16
hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak
dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan
Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan
tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh
darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari hal tersebut maka pemberian
anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih dianjurkan dibanding
terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD bukanlah untuk
mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan darah
yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg.
Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120
mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting
aortiic aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang
didapat. Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah
awal dapat diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam
kemudian tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke
iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah
> 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus
dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah
akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130
mmHg.

Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut
pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi
yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin.
Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan
aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan
β blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian
dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan
(TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.

17
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun
nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat
menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral
dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam
terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-


obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien
dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau
amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat
mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom
withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma,
tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat
diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi
yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali
klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang
telah dijelaskan di atas.

PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal
jantung (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan
segera(1,6).
Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi

18
Referensi

1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus
Vol. 27, No.3, Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh
report of the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and
treatment of high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human
Services, National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood
Institute, NIH Publication. 2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M.
Current Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill
Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report
From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee
(JNC 8). JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital.
University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22:
209-219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-
tenggorok-leher. FKUI. 2001

19

Anda mungkin juga menyukai