Anda di halaman 1dari 15

IMPLEMENTASI IBADAH DALAM MASYARAKAT

Mata Kuliah Ibadah Akhlak

Dosen: Endang Listiowaty, M.Pd

Disusun oleh :

ALIF PUTRI CAHYARANI 1601025279

MUHAMMAD RIFKI AMRI 1601025011

MAKBULLAH MAWARDI 1601025328

TAUFIQURRAHMAN 1601025276

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2017
PENDAHULUAN
Era kehidupan yang terus berkembang sangat dinamis, membutuhkan tuntunan yang
mengarahkan dan menyadarkan perilaku manusia untuk lebih dekat dengan kehendak Sang
Maha Kuasa. Kehendak itu dalam bentuk ibadah mengabdi kepada-Nya dalam seluruh
aktivitas kehidupan. Jika tidak, dikhawatirkan semakin berat beban kehidupan yang harus
dipikul karena kemaksiatan dan ketidakpatuhan yang semakin menggejala.

Kehidupan serbabebas, liar, dan tanpa kendali merupakan fakta nyata semakin jauhnya
kehidupan manusia dari rel yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta. Akibatnya,
kehidupan ini kerap dihantui dengan bencana, musibah, dan malapetaka yang datang silih
berganti, sebagai buah dari pengingkaran dan keengganan manusia mengikuti petunjuk dan
kehendak Allah SWT.
Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar
menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa.
Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid
terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid
tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat
dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.”
(Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah
yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan
maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di
antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan
(maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut,.
1. Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-
khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah
tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.[1]

Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah
kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun.
‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya
sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk
memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di
tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau
menghamba kepada-Nya:

‫نس ْال ِجن َخلَ ْقت َو َما‬ ِ ْ ‫ون إِّل َو‬


َ ‫اْل‬ ِ ‫ِليَ ْعبد‬
“Dan Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(al-Zariyat/51:56)

2. Jenis-jenis ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk
dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1. Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara
hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-
Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika
keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang,
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang
populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum
Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah
Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran
logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi
memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran,
dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak,
melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini,
maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d). Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang
termasuk mahdhah, adalah:
1. Wudhu 7. Membaca al-Quran
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah

2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah)


yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan
hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya . Prinsip-prinsip dalam
ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan
Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk
ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak
dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam
ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat
atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

3. Hikmah Ibadah Mahdhah


Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) ,
dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah
itu,
sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah
ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula
memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah
pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
“Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.” (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama,
terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya
ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang
diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah
(diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu
yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu
bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah
bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
3. Ruang Lingkup Ibadah
Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah
apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta
dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang
lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan
amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari
pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa yang
dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah
menurut Islam asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum
syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang
haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2. Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara
kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan
bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3. Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu
membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4. Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan
ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak
menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam
melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas.
Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk
melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.
4. Dasar-dasar Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah saw.
Bersabda,
“Ada tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; bahwa
ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan bahwa ia membenci
kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia membenci
untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik)
Seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya
dengan puncak kesempurnaan cinta.
2. Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan
hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci
Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3. Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci
segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke
dalam neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain
kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau
sekadar menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam
kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk
di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga
ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1) Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2) Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang
durhaka kepada-Nya.
3) Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah
bisa bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan
lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali
kepada Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan
kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang senantiasa memenuhi
ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah
merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan
harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak
boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah diterima oleh
Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam
mengharap rahmat dari Allah.[2]
Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah,
sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya, rahmat-Nya
jauh lebih luas daripada segala sesuatu.
Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1) Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba-hamba
Nya.
2) Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3) Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari
ketiga hal tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa
ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa
cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan
rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah hanya
dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada
Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.

5. Hakikat dan Tujuan Ibadah


Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral
yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan
maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup
semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita
di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil
apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.[3]
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan
melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)

Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi
Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti
ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa
sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan
shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak
menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa
ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan
puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari
dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa
lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari
benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah.
haji dan shadaqah. Akan tetapi lebih dari itu, ibadah itu mencakup seluruh perbuatan yang
disebutma’ruf. Rasulullah bersabda,
“Setiap perbuatan baik itu adalah shadaqah.”
`Di antara perbuatan ma’ruf adalah berbuat baik di dalam masyarakat, menyelesaikan
pekerjaan mubah dengan sempurna dan berusaha mencari karunia Allah di muka bumi.
Bahkan area ibadah itu lebih banyak lagi daripada itu, seperti dengan cara mengubah amalan
yang mubah menjadi bernilai ibadah dengan menyertakan niat yang baik di dalam amalnya.
Sebagiamana Rasulullah bersabda,
“Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalannya.”
Setiap amal untuk dunia dan akhirat yang kita kerjakan, pada hakikatnya semua
adalah untuk kepentingan akhirat.

6. Jalan agar Ibadah dapat diterima oleh Allah


Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai dengan syarat-syarat
yang ditentukan oleh agama. Seseorang akan belum sempurna ibadahnya, kalau hanya
dilakukan lewat perbuatan saja, sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum
bangkit dari hati. Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain
misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia telah
mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh Allah. Agar ibadah
kita dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan karena mengharap
pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena
mengharapkan surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka
tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya
dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu ada disamping kita
sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat
mungkin dikerjakan di awal waktu.[5]
8. Pentingnya Ibadah di Dalam Islam
Ibadah di dalam agamal Islam memiliki kedudukan yang amat penting, karena Allah ta’ala dan
Rasulul-Nya shalallahu’alaihiwasallam telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk
melaksanakan setiap apa yang diperintahkan kepada mereka dan menjauhi setiap segala sesuatu
yang dilarang untuk mereka kerjakan, dan itu adalah salah satu point penting di dalam makna
ibadah

1. Ibadah merupakan tujuan utama kehidupan seorang Insan


Setiap manusia yang terlahir dengan keadaan normal pasti memiliki tujuan kehidupannya masing-
masing. tujuan utama diciptakan manusia (bukan hanya seorang muslim saja tapi seluruh manusia)
adalah agar mereka beribadah kepada Allah ta’ala, hal tersebut sebagaimana termaktub di dalam
Al Qur’an Al Karim, di dalam surat Ad Dzariyat ayat ke-56 .

2. Ibadah adalah jalan kebahagiaan bagi seorang Insan


Selain ibadah merupakan alasan utama diciptakan jin dan manusia di muka bumi ini, ibadah juga
merupakan salah satu jalan utama untuk meraih kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, hal
tersebut berdasarkan firman Allah ta’ala di dalam surat An Nahl ayat ke 97:

ْ‫ل َمن‬
َْ ِ‫عم‬ َ ْ‫ط ِِّي َب ْةً َح َياْة ً فَلَنُح ِي َينَّ ْهُ ُمؤمِ نْ َوه َُْو أُنثَى أَوْ ذَكَرْ مِ ن‬
َ ‫صا ِل ًحا‬ َ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl
(16): 97)
3. Meninggalkan Ibadah adalah gerbang kesengsaraan
Jika melaksanakan ibadah adalah jalan kebahagiaan maka meninggalkannya merupakan gerbang
kesengsaraan, hal tersebut sesuai dengan firman Allah ta’ala di dalam surat Tahaa ayat ke 124:

ْ‫ضنكاْ َونَحشرهْْيَو َْمْال ِقيَا َم ِْةْأَع َمى‬ َْ ‫َو َمنْْأَع َر‬


َ ْْ‫ضْعَنْذِك ِريْفَ ِإنْْلَهْْ َم ِعيشَة‬
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang
sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Tahaa (20):
124)
Dari tiga point di atas dapatlah tergambarkan bahwa ibadah memiliki kedudukan yang amat penting
di dalam Islam, karena ibadah adalah satu-satunya tujuan serta hikmah dari diciptakannya jin dan
manusia. Sehingga tidaklah selayaknya bagi seorang muslim untuk meremehkan perkara ibadah,
sekecil apapun ibadah tersebut.

9. pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dikerjakan seorang


Muslim dalam kehidupannya.
1. Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat
Allah Azza wa Jalla berfirman:
َ ‫ط ِيبَةً َحيَاة ً فَلَنحْ ِييَنه مؤْ ِمن َوه َو أ ْنثَى أَ ْو ذَكَر ِم ْن‬
‫صا ِل ًحا َع ِم َل َم ْن‬ َ ۖ ‫س ِن أَجْ َره ْم َولَنَجْ ِزيَنه ْم‬
َ ْ‫يَ ْع َملونَ كَانوا َما ِبأَح‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
(di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [an-Nahl/16:97]
Para Ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas
dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan
lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki.[8]
2. Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang
dihadapi
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ِ ‫يَحْ تَسِب َّل َحيْث ِم ْن َو َي ْرز ْقه َم ْخ َر ًجا لَه يَجْ عَ ْل ّللاَ يَت‬
‫ق َو َم ْن‬
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar
(dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya. [ath-Thalâq/65:2-3]
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah Azza wa Jalla tidak mungkin dicapai kecuali
dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi
semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Azza wa Jalla .[10]
3. Penjagaan dan taufik dari Allah Azza wa Jalla
Dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada
`Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu :
ْ َ‫ظكَ ّللاَ احْ ف‬
‫ظ‬ ْ َ‫ظ يَحْ ف‬
ْ َ‫ت َجاهَكَ ت َِجدْه ّللاَ احْ ف‬
Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah Azza wa Jalla maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/syariat) Allah Azza wa Jalla , maka kamu akan mendapati-Nya di
hadapanmu.”[12]
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah Azza wa Jalla ” adalah menunaikan hak-
hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.[13] Dan makna “kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu”: Dia
akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.[14]
4. Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ط ْع َم ذَاق‬ ِ ‫ي َم ْن اْ ِْلي َم‬
َ ‫ان‬ ِ ‫َرس ْوّلً َو ِبم َحمد دِينًا َو ِب‬
ِ ‫اْل ْسالَ ِم َربًّا ِباّللِ َر‬
َ ‫ض‬
Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Azza wa Jalla
sebagai Rabb–nya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad n sebagai
rasulnya.”[16]
Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas, berkata: “Orang yang tidak
menghendaki selain (ridha) Allah Azza wa Jalla , dan tidak menempuh selain jalan agama
Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa
yang memiliki sifat-sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya
sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata).”[17]
5. Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah Azza wa Jalla
.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
‫ت ِب ْالقَ ْو ِل آ َمنوا الذِينَ ّللا يثَ ِبت‬
ِ ‫ض ُّل ۖ ْاْل ِخ َرةِ َوفِي الدُّ ْنيَا ْال َحيَاةِ فِي الثا ِب‬
ِ ‫َيشَاء َما ّللا َويَ ْف َعل ۚ الظا ِل ِمينَ ّللا َوي‬
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan
memperbuat apa yang Dia kehendaki. [Ibrâhîm/14:27]
Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatâdah rahimahullah[18] berkata: “Adapun dalam
kehidupan dunia, Allah Azza wa Jalla meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik
(ibadah) dan amal shalih.”[19]
Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang Muslim yang
merasakan kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla , maka setelah itu – dengan taufik dari Allah
Azza wa Jalla – dia tidak akan mau meninggalkan keimanannya meskipun dia harus
menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua
cobaan tersebut menjadi ringan baginya.
Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :


Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas
pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara
langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang
terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh
tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh
tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.

Secara garis besar iadah dibagi menjadi dua:


· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rangkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah
Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau
tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang
mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan
Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan
kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu
maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat
syarat tertentu.

Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa
pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah
maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa,
diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu
mencapai taqwa.
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun
menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih
banyak ditemui kesalahan, itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat kami harapkan dari pembaca semua.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2.

Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.

Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1

Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.

Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.

Anda mungkin juga menyukai