KELOMPOK 8
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa jenis obat yang termasuk dalam obat-obatan emergensi adalah yang
memiliki efek analgesic, antipiretik, antikonvulsan dan masih banyak lainnya. Dalam laporan
ini akan dibahas bebrapa kasus gawat-darurat di antaranya kejang demam, syok anafilaktik,
kolik renal dan asma pada ibu hamil serta obat-obatan yang sekiranya dapat digunakan dalam
kasus tersebut.
B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat Penulisan
Memahami berbagai jenis obat-obatan emergensi yang dapat digunakan dalam kasus
kegawat-daruratan medik serta mekanismenya sesuai kasus yang diberikan.
BAB II
ISI
Kasus 3
Seorang penderita berumur 50 tahun datang ke UGD RSU A Wahab Sjahranie dengan
keluhan sakit perut sejak satu jam yang lalu. Setelah diperiksa oleh dokter UGD diketahui
menderita kolik renal.
Tugas :
1. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat dipergunakan untuk penatalaksanaan kolik renal,
bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya.
2. Tulislah penatalaksanaan kolik renal (dosis dan cara pemberian) untuk penderita
tersebut diatas.
3. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita
Jawab :
1. Jenis obat, bentuk sediaan, dosis pada anak dan dewasa, farmakodinamik,
farmakokinetik.
A. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) :
a. Asetaminofen
Bentuk sediaan
- oral : tablet, kapsul, larutan, elixir
- suntikan
- rektal : supositoria
Dosis
- Dewasa : 1 – 2 tablet 3-4x/ hari
- Anak – anak :
(6-12 tahun) ½ - 1 tablet tiap 4-6 jam
(2-5 tahun) ¼ - ½ tablet tiap 4-6 jam
Farmakodinamik
Efek analgesik paracetamol dan fenasetin dengan
salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan
sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat.Efek anti-inflamasi sangat lemah, oleh karena itu
paracetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai
antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi,erosi dan perdarahan
lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.
Farmakokinetik
Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan
sempirna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dlaam
plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh di
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan
tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin
vterikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%)
dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga
dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini
dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolysis
eritrosit. Kedua obat ini dieskresi melalui ginjal, sebagian
kecil sebagai paracetamol (3%) dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.
b. Ibufrofen :
Bentuk Sediaan
- oral : tablet 200 mg dan 400 mg, tablet kunyah, kapsul,
suspense, obat tetes
Dosis
- Dewasa : 3-4x 200-400 mg/ hari
- Anak-anak : 20-40 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
Farmakodinamik
Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga
dengan demikian efektif dalam meredakan inflamasi dan
nyeri. Obat-obat ini memiliki mula kerja, waktu untuk
mencapai kadar puncak, dan lama kerja yang semuanya
singkat. Obat ini memerlukan waktu beberapa hari agar efek
antiinflamasinya jelas terlihat.
Ada banyak interaksi obat yang berkaitan dengan
ibuprofen. Obat ini dapat menambah efek koumarin,
sulfonamid, banyak dari sefalosporin, dan fenitoin. Jika
dipakai bersama dengan aspirin, efeknya dapat berkurang.
Dapat terjadi hipoglikemia jika ibuprofen dipakai bersama
dengan insulin.
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorbsi dengan baik melalui saluran
Gastrointestinal. Obat-obat ini mempunyai waktu paruh yang
singkat, tetapi tinggi berikatan dengan protein. Jika
ibuprofen dipakai bersama-sama dengan obat lain yang juga
tinggi berikatan dengan protein maka dapat terjadi efek
samping berat. Obat ini dimetabolisme oleh hati menjadi
metabolit dan diekskresikan sebagai metabolit inaktif
didalam urin.
c. Diklofenak
Bentuk sediaan
- oral : tablet, tablet lepas tunda, tablet lepas di perpanjang
Dosis
- Dewasa : 100-500 mg sehari terbagi 2 atau 3 dosis
Farmakodinamik
Kalium diklofenak suatu zat anti inflamasi non steroid
dan mengandung garam kalium dari diklofenak. Pada kalium
diklofenak, ion sodium dari sodium diklofenak diganti
dengan ion kalium. Zat aktifnya sama dengan sodium
diklofenak. Obat ini mempunyai efek analgesic dan anti
inflamasi. Penghambatan biosintesa prostaglandin,
mempunyai hubungan penting dengan mekanisme kerja
kalium diklofenak. Pada percobaan-percobaan klinis,
diklofenak menunjukkan efek analgesic yang nyata pada
nyeri sedang dan berat.
Farmakokinetik
Absorbsi dengan cepat dan lengkap dan jumlah yang
diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan
makanan. Kadar puncak obat dicapai dalam ½ -1 jam. Ikatan
protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis
berulang tidak menyebabkan akumulasi. eliminasi terutama
melalui urin.
d. Ketorolac tromethamine :
Bentuk sediaan
- Tablet salut selaput 10 mg
- Ampul 10 mg dan 30 mg
Dosis
- Injeksi IM :
o Usia <65 th diberikan dosis 60 mg
o Usia >65 th dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau
BB <50 kg, diberikan dosis 30 mg
- Injeksi IV :
o Usia <65 th diberikan dosis 30 mg
o Usia >65 th dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau
BB <50 kg, diberikan dosis 15 mg
- Pemberian maksimal baik secara oral ataupun injeksi :
o Usia <65 th diberikan dosis 120 mg/hari. Bila
diberikan secara IV, maka diberikan setiap 6 jam
sekali.
o Usia >65 th maksimal 60 mg/hari
Farmakodinamik
Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin.
Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase (prostaglandin
sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga
menghambat tromboksan A2. Ketorolac memberikan efek
anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada
pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane
lisosom menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan
makrofag ke tempat peradangan.
Farmakokinetik
Ketorolac Tromethamine 99% diikat oleh protein.
Sebagian besar ketorolac tromethamine dimetabolisme dihati.
Metabolismenya adalah hidroksilate dan yang tidak
dimetabolisme diekresikan melalui urin.
B. Terapi Opioid :
a. Meperidin :
Bentuk sediaan
- Oral : tablet , sirup,
- Parenteral : suntikan
Dosis
- 1 mg/kg berat badan setiap 3-4 jam
Farmakodinamik
Meperidin tidak boleh dipakai bersama-sama alkohol
hipnotik sedatif karena kombinasi obat-obat ini dapat
menyebabkan depresi SSP aditif. Efek samping utama dari
meperidin adalah menurunnya tekanan darah, sehingga
tekanan darah harus dipantau selama klien memakai
meperidin, khususnya jika klien lanjut usia.
Farmakokinetik
Biasanya diberikan intramuskular untuk nyeri pasca
pembedahan karena diabsorbsi lebih cepat dan lebih lengkap
melalui merode ini daripada jika diberikan preparat oral.
Obat ini dianggap mempunyai waktu paruh yang yang
sedang dan karena itu dapat diberikan beberapa sehari
dengan selang waktu tertentu. Demikian pula pengikatan
pada proteinnya tidak diperpanjang. Obat ini dieksresikan
kedalam urin kebanyakan sebagai metabolik.
b. Morfin :
Bentuk sediaan
- Oral : kapsul, larutan, Oral lepas- berkelanjutan, Oral
kapsul lepas- lambat
- Rektal : Supositoria
Dosis
- 0,1 mg/kg berat badan IM/IV setiap 4 jam
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ
yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system
syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi,
perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk
stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif
reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika.
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorbsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus
mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin
kecil. Morfin dapat diabsorpsi usu, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgetik yang ditimbulkan setelah pemberian parenteral
denga dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid
berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di
hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10%
tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri
dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui
ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja
dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam
empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama
cairan lambung.
c. Kodein :
Bentuk sediaan
- Tablet
Dosis
- Dewasa : 30-60 mg, tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan
- Anak-anak : 0,5 mg/kg BB, 4-6 kali sehari
Farmakodinamik
Kodein merupakan analgesik agonis opioid. Efek
kodein terjadi apabila kodein berikatan secara agonis dengan
reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf pusat.
Efek analgesic kodein tergantung afinitas kodein terhadap
reseptor opioid tersebut. Kodein dapat meningkatkan
ambang rasa nyeri dan mengubah reaksi yang timbul di
korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima dari
thalamus.
Farmakokinetik
Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak
efeknya ditemukan 1 atau 2 jam, dan berlangsung selama 4-6
jam. Metabolisme terutama dihepar, dan diekskresi kedalam
urin dalam bentuk yang tidak berubah, diekskresi secara
lengkap setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil juga dapat
ditemukan dalam air susu ibu (ASI).
Kesimpulan
Kasus emergensi yang mungkin akan sering ditemukan adalah kejang demam pada
anak, pemberian obat emergensi pada wanita hamil penderita asam, kasus syok anafilaksis
dan kolik renal, sehingga penting untuk mempelajari obat-obat emergensi yang dapat
diberikan pada kasus tersebut.
Saran
Hendaknya sebelum memulai terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-
obatan yang bersifat ototoksik terlebih dahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari
pasien. Selain itu dilakukan pula uji keseimbangan serta mengingatkan pasien tentang
potensial ototoksisitas dari obat yang digunakannya. Evaluasi juga harus dilakukan selama
penggunaan terapi dengan obat yang bersifat ototoksik ini, sehingga bila terjadi efek
ototoksisitas, hal tersebut dapat ditanggulangi lebih dini.