Anda di halaman 1dari 4

Nama : Vania Dyta Pramita

NIM : 141710101007
Fak/Jur : FTP/THP
PKR.01

TUGAS INDIVIDU KERUKUNAN


1. Pluralisme agama kini semakin populer tanpa ada perbedaan baik di
kalangan orang-orang yang beragama maupun tidak beragama,
berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog maupun kaum awam.
Faktor-faktor pendorong pluralisme adalah :
- Pertama, iklim demokrasi. Kata “toleransi” memegang peranan
penting dalam iklim demokrasi. Bahkan sejak kecil kita sudah
diajarkan untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa, dan
agama tentunya dengan keterkaitan semboyan bangsa Indonesia adalah
Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu jua). Semboyan ini
yang mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan
yang ada pada dasarnya bersifat baik. Dari sini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kita dapat memeluk agama apapun yang kita yakini
karena pada hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan sehingga
tidak ada permasalahan bagi kita untuk memiliki kebebasan memilih
agama. Istilah populernya adalah “banyak jalan menuju Roma.”
- Kedua, pragmatisme. Dalam konteks, di Indonesia maupun dunia
penuh dengan konflik horizontal antar pemeluk agama, ini merupakan
konflik yang timbul karena adanya aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk
agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai
kemanusiaan yang membuat banyak orang menjadi muak. Hal inilah
yang lalu mendorong pragmatisme bertumbuh subur. Akibatnya
dengan munculnya hal seperti ini banyak orang mulai berlari untuk
tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis)
akan menjadi lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu
yang ”fanatik” dan mereka meyakini bahwa keharmonisan dan
kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme
agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar
karena pemikiran yang terakhir tersebut dianggap berbahaya bagi
keharmonisan masyarakat.
- Ketiga, relativisme. Pandangan ini populer mulai dari kalangan
intelektual sampai rakyat jelata. Relativisme menganggap kebenaran
itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya dan percaya bahwa
agama-agama yang ada juga bersifat relatif sehingga kita tidak berhak
menghakimi iman orang lain. Kita hanya dapat berkata ”agamamu
benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar.”
- Keempat, perenialisme. Sederhananya, Allah itu satu, tetapi dengan
perkembangan jaman banyak agama-agama baru yang muncul karena
banyak mereka masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda
sehingga itulah yang menyebabkan munculnya banyak agama.
Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang
berbeda.

2. Pertama, eksklusivisme. Pandangan ini meyakini hanya agamanya yang


benar dan yang baik. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam
agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan di luar agama
Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Pandangan ini berpedoman
dalam Kisah Para Rasul 4:12 dan Yohanes 14:6.

Kedua, inklusivisme. Pandangan ini memahami dan menghargai agama


lain dengan eksistensinya, tetapi tetap memandang agamanya sebagai satu-
satunya jalan menuju keselamatan. Sehingga dalam pandangan ini diakui
ada tempat bagi kehadiran ilahi di dalam agama-agama di luar Kristen.
Namun tetap saja ada pendapat lain. Di pihak lain, agama-agama selain
Kristen ditolak karena dianggap tidak mencukupi bagi keselamatan karena
hanya di dalam Kristus saja ada keselamatan (Luk. 4:21, 24:27, Kis.
10:34-35, Yoh. 1:1-4).

Ketiga, pluralisme. Pandangan ini menerima, menghargai, dan


memandang agama lain sebagai agama yang baik serta memiliki jalan
keselamatan. Pluralisme memandang perlu adanya penerimaan dan
penghargaan kepada agama-agama lain (moral dan teologis) karena Allah
yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang
menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan semua
agama/komunitas pada dasarnya bersama-sama menuju pada satu tujuan
akhir, yaitu Allah sendiri. Sehingga banyak orang berpendapat untuk
menjaga kerukunan dan keharmonisan antar agama, bentuk ketiga ini
dianggap sebagai solusi yang tepat.

3. -Merupakan pendangkalan iman. Jika kita benar-benar jujur membaca


kitab suci agama, maka kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang
memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan.
Pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama
masing-masing.
-Memiliki dasar yang lemah. Pluralisme agama didasari pragmatisme
yang penganutnya tampaknya sering tidak bisa membedakan antara
relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini
dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran.
Sehingga penganut pluralisme agama seringkali tidak konsisten. Hal ini
terlihat ketika mereka sering menuduh golongan yang percaya bahwa
hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau
partikularisme dalam teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan
memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum
pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh
meyakini agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang pluralis
anti terhadap kaum eksklusivis maka ia bukanlah pluralis yang konsisten.

-Menghasilkan toleransi yang semu. Jika kita membangun toleransi atas


dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah
toleransi yang semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana
dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak meyakini iman-
kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya
sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada,
saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan
Anda.”

Dengan demikian, jelaslah apabila kita hendak mendasarkan hidup kita di


atas kebenaran Alkitab. Sebagai orang percaya kita perlu berani mengakui
perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh.
14:6). Sikap demikian bukanlah fanatik melainkan sikap yang konsisten.
Oleh sebab itu seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi
terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah
orang yang fanatik terhadap pluralism agama.

4. Saya tidak setuju. Karena dari berbagai teori telah dijabarkan setiap sisinya
dan jelas bahwa pluralisme justru bukanlah pilihan terbaik. Pluralisme
tidak dapat membedakan relativisme, tidak konsisten, mereka tidak
memiliki dasar yang kuat dan justru menjurus pada pendangkalan iman
dan masih banyak lagi. Dan dari semua hal itu tidak menunjukkan dengan
kita mengikuti model pluralisme kita tidak jauh menjadi lebih baik.

5. Sebagai orang percaya yang sudah memiliki iman teguh, bolehlah kita
menghargai apa yang menjadi argumen mereka tentang anutan tersebut
tetapi kita tidak boleh diam begitu saja hanya menghargai dan
menghormati mereka tetapi kita juga harus sedikit demi sedikit memberi
penjelasan tentang kebenaran yang sudah kita terima, tentang jalan lurus
yang lebih benar dibanding pemikiran yang mereka miliki.

Anda mungkin juga menyukai