Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1

B. Tujuan Pedoman 2

C. Ruang Lingkup Pelayananan 2

D. Batasan Operasional 3

E. Landasan Hukum 3

BAB II. STANDAR KETENAGAAN 4


A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia 4
B. Distribusi Ketenagaan 4
C. Pengaturan Jaga 4
BAB III. STANDAR FASILITAS 5
A. Denah Ruang 5
B. Standar Fasilitas 5
BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN 7
BAB V. LOGISTIK 12
BAB VI. KESELAMATAN PASIEN 13
BAB VII. KESELAMATAN KERJA 15
BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU 18
BAB IX. PENUTUP 20
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kajian eksternal pengendalian HIV-AIDS sektor kesehatan yang dilaksanakan pada tahun
2011 menunjukkan kemajuan program dengan bertambahnya jumlah layanan tes HIV dan
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS, yang telah terdapat di lebih dari
300 kabupaten/ kota di seluruh provinsi dan secara aktif melaporkan kegiatannya. Namun
dari hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa tes HIV masih terlambat dilakukan, sehingga
kebanyakan ODHA yang diketahui statusnya dan masuk dalam perawatan sudah dalam
stadium AIDS.
Diperkirakan terdapat sebanyak 591.823 orang dengan HIV-AIDS (ODHA) pada tahun 2012,
sementara itu sampai dengan bulan Maret 2014 yang ditemukan dan dilaporkan baru
sebanyak 134.053 orang. Namun demikian, jumlah orang yang dites HIV dan penemuan
kasus HIV dan AIDS menunjukkan kecenderungan terjadi peningkatan. Pada tahun 2010
sebanyak 300.000 orang dites HIV dan tahun 2013 sebanyak 1.080.000 orang. Kementerian
Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah layanan Konseling dan Tes HIV (TKHIV)
untuk meningkatkan cakupan tes HIV, sehingga semakin banyak orang yang mengetahui
status HIV nya dan dapat segera mendapatkan akses layanan lebih lanjut yang dibutuhkan.
Tes HIV sebagai satu-satunya “pintu masuk” untuk akses layanan pencegahan, pengobatan,
perawatan dan dukungan harus terus ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Perluasan
jangkauan layanan TKHIV akan menimbulkan normalisasi HIV di masyarakat. Tes HIV akan
menjadi seperti tes untuk penyakit lainnya. Peningkatan cakupan tes HIV dilakukan dengan
menawarkan tes HIV kepada ibu hamil, pasien IMS, pasien TB dan Hepatitis B atau C dan
pasangan ODHA, serta melakukan tes ulang HIV 6 bulan sekali pada populasi kunci
(pengguna napza suntik, pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta
pasangan seksualnya dan waria).
Peningkatan cakupan tes dilanjutkan dengan penyediaan akses pada layanan selanjutnya yang
dibutuhkan, dimana salah satunya adalah terapi ARV. Terapi ARV selain berfungsi sebagai
pengobatan, juga berfungsi sebagai pencegahan (treatment as prevention). Setiap RS Rujukan
ARV di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dapat menjamin akses layanan bagi
ODHA yang membutuhkan termasuk pengobatan ARV, sementara fasilitas pelayanan
kesehatan primer dapat melakukan deteksi dini HIV dan secara bertahap juga bisa memulai
inisiasi terapi ARV. Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak
tahun 2004, yaitu dengan pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiatif klien atau yang
dikenal dengan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS). Hingga saat ini pendekatan tersebut
masih dilakukan bagi klien yang ingin mengetahui status HIV nya. Sejak tahun 2010 mulai
dikembangankan Konseling dan Tes HIV dengan pendekatan Konseling dan Tes HIV atas
Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan (TIPK). Kedua pendekatan konseling dan tes HIV ini
bertujuan untuk mencapai universal akses, dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi,
serta mengurangi missed opportunities pencegahan penularan infeksi HIV.

B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan Umum
Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelayanan Konseling dan Tes HIV
dalam rangka penegakkan diagnosis HIV-AIDS untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV dan pengobatan lebih dini.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV-AIDS
b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumberdaya dan manajemen yang sesuai.
c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing
HIV-AIDS

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh
layanan kesehatan HIV-AIDS berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan hanya
membuat orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif dalam pencegahan
terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan
memberikan informasi tentang pencegahan HIV-AIDS. Untuk mengurangi stigma dan
diskriminassi dari petugas kesehatan, RSU Wiradadi Husada mengadakan sosialisasi dan
training tentang pelayanan HIV-AIDS kepada petugas kesehatan di rumah sakit.
2. Care, Support and Treatment (CST)
Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes HIV untuk tujuan skrining dan
diagnostik. Terapi antiretroviral (ARV) merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan
terapi adalah hal yang paling penting dalam menekan replikasi HIV dan menghindari
terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk melakukan konseling ARV. Konseling ini yang
terpenting adalah faktor adheren atau kepatuhan untuk minum obat. Isi dari konseling ini
tentang minum obat tepat waktu, tepat dosis dan tepat penggunaan obat. Pasien diajarkan
membuat pengingat untuk minum obat misalnya alarm di telepon seluler. Pasien yang terbuka
kepada keluarga tentang statusnya, maka keluarga yang menjadi Pendamping Minum Obat
(PMO) untuk mendukung kepatuhan minum obat.
3. Infeksi Oportunistik (IO) & Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan IO dan IMS dilakukan oleh spesialis ataupun dokter umum. Pasien yang
membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan RI untuk pelayanan ARV. Pasien selain mendapatkan pengobatan
juga akan mendapatkan dukungan gizi, pelayanan laboratorium dan radiologi.
Pemilihan obat untuk IMS harus sesuai dengan pedoman penatalaksanaan IMS yang
diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan
obat untuk IMS yaitu angka kesembuhan yang tinggi, harga murah, toksisitas dan toleransi
yang masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal, cara pemberian peroral dan tidak
merupakan kontra indikasi pada ibu hamil atau ibu menyusui.
4. Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia untuk klien yang berusia
produktif, mempunyai istri atau suami. Pelayanan PMTCT menjadi fokus dari Klinik
Kebidanan dan Kandungan dan Klinik Anak.
5. Pelayanan pada ODHA dengan Faktor Risiko Injection Drug Use (IDU)
RSU Wiradadi Husada bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten
Banyumas dalam menangani kasus penyalahgunaan NAPZA. Pasien dengan NAPZA yang
menjalani program konseling dengan dokter umum yang telah menjalani pelatihan dari BNN
akan diperiksa status HIV-nya. Pasien ODHA dengan faktor risiko IDU akan dilaporkan
kepada BNN untuk ditangani sesuai dengan regulasi BNN.

D. BATASAN OPERASIONAL
1. Pelayanan VCT
Pelayanan VCT meliputi:
a. Penerimaan klien
b. Konseling pra testing HIV-AIDS
c. Konseling pra testing HIV-AIDS dalam keadaan khusus
2. Informed consent
3. Testing HIV dalam VCT

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang Pedoman
Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual.
3. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Konseling dan Tes HIV
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen yang paling penting untuk
mendukung dan memberikan pelayanan HIV-AIDS yang berkesinambungan. Pengetahuan
dan sikap SDM dalam hal ini adalah petugas kesehatan akan mempengaruhi keefektifan
penyediaan pelayanan HIV-AIDS. Pelayanan HIV-AIDS membutuhkan tenaga kesehatan
yang berdedikasi dan mempunyai ketrampilan yang memadai.
Adapun petugas pelayanan HIV-AIDS terdiri dari:
1. Kepala Klinik VCT
2. Konselor
3. Dokter Spesialis
4. Dokter Umum
5. Perawat
6. Petugas Laboratorium
7. Farmasis
8. Petugas Administrasi
9. Tenaga lain: Humas dan petugas Kamar Jenazah

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi ketenagaan pelayanan HIV-AIDS di RSU Wiradadi Husada adalah sebagai berikut:
1. Kepala klinik VCT: 1 orang
2. Konselor: 2 orang
3. Dokter spesialis: 4 orang
4. Dokter umum: 2 orang
5. Perawat: 1 orang
6. Bidan: 1 orang
7. Petugas laboratorium: 1 orang
8. Farmasi: 1 orang
9. Petugas Administrasi: 1 orang
10. Instalasi Bedah Sentral: 1 Orang
11. Humas: 1 Orang
12. Kamar Jenazah: 1 Orang

C. PENGATURAN JAGA
Pelayanan Klinik VCT RSU Wiradadi Husada dilakukan pada hari Jum’at pukul 08.00 s.d.
11.00 dengan petugas sesuai dengan jadwal. Petugas laboratorium berada di Instalasi
Laboratorium dan akan dihubungi oleh petugas jaga di Klinik VCT, apabila ada klien yang
melakukan pemeriksaan HIV.

BAB III

STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
Denah ruang pelayanan VCT terlampir pada Pedoman Pelayanan HIV-AIDS ini.

B. STANDAR FASILITAS
1. Sarana
a. Papan petunjuk
Papan petunjuk dipasang yang jelas untuk memudahkan akses klien ke klinik VCT. Juga di
depan ruang klinik VCT bertuliskan Pelayanan VCT/ Klinik VCT
b. Ruang Tunggu
Ruang tunggu berada di depan ruang konseling. Di ruang tunggu tersedia:
1) Materi KIE: poster, leaflet, brosur yang berisi tentang HIV-AIDS, IMS, KB, ANC,
TB, Hepatitis, Penyalah gunaan Napza, Perilaku sehat, Nutrisi dan seks yang aman
2) Informasi konseling dan testing
3) Kotak saran
4) Tempat sampah, tissue, air minum
5) Televisi
6) Komputer
7) Meja dan kursi
8) Kalender
2. Jam pelayanan HIV-AIDS
Jam pelayanan konseling dan testing terintregasi dalam jam pelayanan kesehatan lainnya,
bisa dilakukan pada pagi hari atau sore hari sehingga dapat mempermudah akses klien yang
bekerja atau sekolah. Karena keterbatasan sumber daya maka konseling dan testing tidak
dapat dilaksanakan setiap hari. Klinik VCT membuka pelayanan setiap hari Jum’at pukul
08.00 s.d. 11.00 dan pukul 13.00 s.d. 15.00 WIB.
3. Ruang Konseling
Ruang konseling disediakan senyaman mungkin dan terjaga kerahasiaannya serta terpisah
dari ruang tunggu dan ruang pengambilan sampel darah. Ruang konseling terdapat dua pintu
yaitu pintu masuk dan pintu keluar klien sehingga klien yang selesai konseling dan klien
berikutnya yang akan konseling tidaksaling bertemu. Ruang Konseling dilengkapi:
a. 1 meja dan 3 kursi (tempat duduk bagi klien maupun konselor)
b. Buku catatan perjanjian klien dan catatan harian, forrmulir informed consent, catatan
medis klien, formulir pre dan pasca testing, buku rujukan, formulir rujukan, kalender
dan ATK
c. Kondom dan alat peraga penis, alat peraga reproduksi wanita
d. Buku resep gizi seimbang
e. Tisu
f. Air minum
g. Lemari arsip/ lemari dokumen yang dapat dikunci
4. Ruang Pengambilan Sampel Darah
Pelayanan laboratorium pasien HIV-AIDS dilakukan di ruang terpisah dengan ruang tunggu
dan konseling. Pengambilan darah dilakukan langsung di laboratorium.
5. Ruang Petugas Nonkesehatan

Berisi:

a. Meja dan kursi


b. Tempat pemeriksaan fisik
c. Stetoskop dan tensimeter
d. Blangko resep
e. Alat timbangan badan
f. KIE HIV-AIDS
6. Prasarana
a. Aliran Listrik
Diperlukan untuk penerangan yang cukup baik, untuk membaca, menulis serta untuk
pendingin ruangan
b. Air
Diperlukan air mengalir untuk menjaga kebersihan ruangan dan mencuci tangan serta
membersihkan alat-alat
c. Sambungan Telepon
Diperlukan terutama untuk komunikasi dengan layanan lain yang terkait
d. Pembuangan Limbah Padat dan Limbah Cair
Mengacu kepada pedoman kewaspadaan transmisi di pelayanan kesehatan tentang
pengolahan limbah.
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

A. KONSELING PRETESTING
1. Penerimaan Klien
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama, sehingga nama
tidak ditanyakan
b. Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu
c. Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien mempunyai kodenya
sendiri
d. Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode dan ditulis oleh
konselor. Tanggung jawab klien dalam konselor:
1) Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait tentang HIV AIDS, perilaku
beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau
positif
2) Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan dapat melindungi diri dan
keluarganya dari penyebaran infeksi
3) Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu pasangan atau keluarganya akan
status dirinya dan rencana kehidupan lebih lanjut
2. Konseling Pre-Testing
a. Periksa ulang nomor kode dalam formulir
b. Perkenalan dan arahan
c. Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga terjalin hubungan baik dan
terbina saling memahami
d. Alasan kunjungan
e. Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan menyiapkan diri untuk pretest
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi
g. Konselor membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko dan
merespon kebutuhan emosi klien
h. Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i. Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV dilakukan.
B. INFORMED CONSENT
1. Semua Klien sebelum menjalani tes HIV harus Memberikan Persetujuan
Tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah:
a. Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai akibat tindakan dan klien
menyetujuinya
b. Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan menyatakan persetujuannya
c. Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya
d. Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan karena keterbatasan dalam
memahami, maka konselor berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi

2. Informed Consent pada Anak


Bahwa anak memiliki keterbatasan kemampuan berfikir dan menimbang ketika dihadapkan
dengan HIV-AIDS. Jika mungkin anak didorong untuk menyertakan orang tua atau wali,
namun apabila anak tidak menghendaki, maka layanan VCT disesuaikan dengan kemampuan
anak untuk menerima dan memproses serta memahami informasi hasil testing HIV AIDS.
Dalam melakukan testing HIV pada anak dibutuhkan persetujuan orang tua/ wali.
3. Batasan Umur untuk Persetujuan

Anak berumur dibawah 17 tahun dana tau belum menikah orang tua/ wali yang
menandatangani informed consent, jika tidak mempunyai orang tua/ wali maka kepala
institusi, kepala puskesmas, kepala rumah sakit, kepala klinik atau siapa yang
bertanggungjawab atas diri anak harus menandatangani informed consent. Jika anak dibawah
umur 17 tahun memerlukan testing HIV maka orangtua atau wali harus mendampingi secara
penuh.

4. Persetujuan Orang Tua untuk Anak


Orang tua dapat memberikan persetujuan konseling dan testing HIV-AIDS untuk anaknya.
Namun sebelum meminta persetujuan, konselor melakukan penilaian akan situasi anak,
apakah melakukan tes HIV lebih baik atau tidak. Jika orang tua bersikeras ingin mengetahui
status anak, maka konselor melakukan konseling dahulu dan apakan orang tua akan
menempatkan pengetahuan atan status HIV anak untuk kebaikan atau merugikan anak. Jika
konselor ragu maka bimbinglah anak untuk didampingi tenaga ahli. Anak senantiasa
diberitahu betapa penting hadir nya seseorang yang bermakna dalam kehidupannua untuk
mengetahui kesehatan dirinya.

C. TESTING HIV DALAM VCT


Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis. Penggunaan testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil
testing pada hari yang sama. Tujuan testing adalah:
1. Menegakkan diagnosis
2. Pengamanan darah donor (skrining)
3. Surveilans
4. Penelitian

Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas, menghindari terjadinya


kesalahan baik teknis (technical error), manusia (human error) dan administratif
(administrative error).

Bagi pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling dan informed consent
2. Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinik
3. Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4. Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5. Jangan member tanda menyolok terhadap hasil positif atau negatif
6. Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap dipastikan telah
7. Mendapat konseling dan menandatangani informed consent

D. KONSELING PASCA TESTING


Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medis. Lakukan sebelum bertemu klien
2. Sampaikan kepada klien secara tatap muka
3. Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4. Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes dengan cara verbal
5. maupun nonverbal di ruang tunggu
6. Hasil test harus tertulis
Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing

1. Penerimaan klien
a. Memanggil klien dengan kode register
b. Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil testing
2. Pedoman penyampaian hasil negatif
a. Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
b. Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
c. Kembali periksa reaksi emosi yang ada
d. Buat rencana tindak lanjut
3. Pedoman penyampaian hasil positif
a. Perhatikan komunikasi nonverbal saat klien memasuki ruang konseling
b. Pastikan klien siap menerima hasil
c. Tekankan kerahasiaan
d. Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
e. Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil
f. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
g. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
h. Ventilasikan emosi klien
4. Konfidensialitas

Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan persetujuan dituliskan dan
dicantumkan dalam catatan medic. Berbagi konfidensialitas adalah rahasia diperluas kepada
orang lain, terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lain yang dimaksud adalah
anggota keluarga, orang yang dicintai, orang yang merawat, teman yang dipercaya atau
rujukan pelayanan lainnya ke pelayanan medic dan keselamatan klien. Selain itu juga
disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentingan hukum.

5. VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan


Dalam konteks HIV-AIDS, WHO mendorong pengungkapan status HIV AIDS.
Pengungkapan bersifat sukarela, menghargai otonomi dan martabat individu yang terinfeksi,
pertahankan kerahasiaan sejauh mungkin menuju kepada hasil yang lebih menguntungkan
individu, pasangan seksual dan keluarga, membawa keterbukaan lebih besar kepada
masyarakat tentang HIV-AIDS dan memenuhi etik sehingga memaksimalkan hubungan baik
antara mereka yang terinfeksi dan tidak.
6. Isu-isu gender

Gender adalah sama pentingnya dengan memusatkan perhatian terhadap penggunaan


kondom, dengan konsistensi tetap bertahan menggunakan kondom merupakan bentuk
perubahan perilaku.

E. PELAYANAN DUKUNGAN BERKELANJUTAN


1. Konseling Lanjutan
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah konseling lanjutan sebagai bagian
layanan VCT apapun hasil testing yang diterima klien. Namun karena persepsi klien berbeda-
beda terhadap hasil testing maka konseling lanjutan ini sebagai pilihan jika dibutuhkan klien
untuk menyesuaikan diri dengan status HIV.
2. Kelompok Dukungan VCT
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di masyarakat. Konselor atau kelompok
ODHA akan membantu klien baik dengan hasil positif maupun negatif untuk bergabung
dalam kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti oleh pasangan dan keluarga.
3. Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi, penilaian kebutuhan pengembangan
rencana tidak individu, rujukan sesuai kebutuhan dan tepat serta koordinasi tindak lanjut.
4. Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka klien dirujuk dengan pertimbangan
akan kebutuhan rawatan dan dukungan. Kesempatan ini digunakan klien dan klinisi untuk
menyusun rencana dan jadwal pertemuan konseling selanjutnya dimana membutuhkan
tindakan medic lebih lanjut, seperti terapi profilaksis dan akses ke ART.
5. Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna zat psikoaktif saat menerima hasil positif testing HIV, meskipun sudah
dipersiapkan terlebih dahulu, klien dapat mengalami goncangan yang berat, seperti depresi,
panik, kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh diri. Bila terjadi hal demikian maka perlu
dirujuk ke fasilitas layanan psikiatrik.
6. Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan persiapan guna meningkatkan kepatuha
sebelum dimulai terapi ARV. Sekali dimulai harus dilakukan monitoring terus menerus yang
dinilai oleh dokter, jumlah obat dan divalidasi dengan daftar pertanyaan kepada pasien.
Konseling ini membantu klien mencari jalan keluar dari kesulitan yang mungkin timbul dari
pemberian terapi dan mempengaruhi kepatuhan.
7. Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan antara masyarakat dan rujukan yang
sesuai dengan kebutuhannya serta memastikan rujukan dari masyarakat ke pusat VCT. Sistem
rujukan dan alur:
a. Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka dokter merekomendasikan klien
dirujuk ke konselor yang ada di rumah sakit.
b. Rujukan antar sarana kesehatan
c. Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan lainnya
Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang sesuai dengan kebutuhan klien.
d. Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana kesehatan rujukan.
Dari sarana kesehatan lainnya kesarana kesehatan dapat berupa rujukan medis klien, rujukan
spesimen, rujukan tindakan medis lanjut atau spesialistik.
BAB V

LOGISTIK

1. Kebutuhan anggaran kegiatan pengendalian HIV-AIDS dari anggaran RSU Wiradadi


Husada
2. Pasien dengan pengobatan ARV akan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk
oleh Kementerian Kesehatan untuk pelayanan ARV
3. Kebutuhan obat-obatan & peralatan didukung sesuai dengan kemampuan
4. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk program pengendalian HIV-AIDS dapat
didukung dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

Kewaspadaan merupakan upaya pencegahan infeksi yang mengalami perjalanan panjang.


Mulai dari infeksi nosokomial yang menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan pasien.
Seperangkat prosedur dan pedoman yang dirancang untuk mencegah terjadinya infeksi pada
tenaga kesehatan dan juga memutus rantai penularan ke pasien. Terutama untuk mencegah
penularan melalui darah dan cairan tubuh, seperti: HIV, HBV, dan pathogen lainnya.

Prinsip Kewaspadaan Umum dijabarkan dalam 5 kegiatan pokok yaitu:

1. Cuci Tangan untuk Mencegah Infeksi Silang

Cuci tangan dilakukan:

a. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan terkontaminasi lain.
b. Segera setelah melepas sarung tangan.
c. Di antara kontak dengan pasien
d. Tidak direkomendasikan mencuci tangan saat masih memakai sarung tangan
e. Cuci tangan 6 langkah.
f. Prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi
g. Antiseptik dan air mengalir atau handrub
2. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)/ Perorangan (APP)
a. Sarung Tangan
b. Pelindung Muka
c. Masker
d. Kaca Mata/ goggle
e. Gaun/ Jubah/ Apron
f. Pelindung Kaki
3. Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai (Dekontaminasi,
Sterilisasi, Disinfeksi)
a. Dekontaminasi: suatu proses menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran
dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan alkes bekas pakai
b. Pencucian: proses secara fisik untuk menghilangkan kotoran terutama bekas darah,
cairan tubuh dan benda asing lainnya seperti debu, kotoran yang menempel di kulit
atau alat kesehatan
c. Disinfeksi: suatu proses untuk menghilangan sebagian mikroorganisme
d. Disinfeksi Tingkat Tinggi = DTT
1) Suatu proses untuk menghilangan mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali
beberapa endospora bakteri
2) Alternatif penanganan alkes apabila tdk tersedia sterilisator atau tidak mungkin
dilaksanakan.
3) Dapat membunuh Mikroorganisme (HBV, HIV), namun tdk membunuh endospora
dengan sempurna seperti tetanus.

e. Sterilisasi.

Suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk endospora bakteri dari
alat kesehatan. Cara yang paling aman utk pengolaan alkes yang berhubungan langsung dgn
darah.

4. Pengelolaan Jarum & Alat Tajam


Pengelolaan jarum dan alat tajam ditempatkan pada wadah yang terpisah dengan limbah lain
untuk mempermudah pengelolaan.
5. Pengelolaan Limbah & Sanitasi Ruangan
Pemilihan cara pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan:
a. Limbah Cair
b. Sampah Medis
c. Sampah Rumah Tangga
d. Insinerasi
e. Penguburan
f. Disinfeksi permukaan
6. Penanganan Linen
a. Kereta dorong bersih & kotor dipisahkan
b. Tidak boleh keluar dan masuk pada jalan yang sama
c. Tidak boleh ada perendaman di ruang perawatan
d. Pisahkan dalam kantong berwarna kuning untuk linen yang terkontaminasi dengan
darah atau kontaminan lain.
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

1. Perlindungan Diri-Profilaksis Pasca Pajanan HIV (PPP)


Profilaksis Pasca Pajanan HIV merupakan adalah tindakan pencegahan terhadap petugas
kesehatan yang tertular HIV akibat tertusuk jarum, tercemar darah dari penderita atau mayat
penderita HIV. Paparan cairan infeksius tidak saja membawa virus HIV tetapi juga virus
hepatitis (HBV atau HCV). Perlukaan perkutaneus merupakan kecelakaan kerja tersering dan
biasanya disebabkan oleh jarum yang berlubang (hollow-bore-needle).
2. Faktor Yang Mempengaruhi
a. Jumlah dan jenis cairan yang mengenai.
b. Kedalaman tusukan/ luka.
c. Tempat perlukaan/ paparan.
3. Indikasi Pemberian PPP
a. Tertusuk/ luka superfisial yang merusak kulit oleh jarum solid yang telah
terpapar sumber dengan HIV (+) asimptomatik. Membran mukosa terpapar
oleh darah terinfeksi HIV dalam jumlah banyak, dari sumber HIV (+)
asimptomatik (tergantung dari banyak tidaknya volume dan tetesan).
b. Membran mukosa terpapar darah yang terinfeksi HIV (+) dalam jumlah
sedikit, dari sumber dengan HIV (+) simptomatik.
c. Terpapar dengan orang HIV (+) asimptomatik lewat tusukan yang dalam
jarum berlubang yang berukuran besar.
d. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat di permukaan jarum.
e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah arteri atau
vena pasien.
f. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah digunakan pada sumber dengan
HIV (+) yang simptomatik.
g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi HIV dalam jumlah
yang banyak dari sumber HIV (+) yang simptomatik.
h. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari
sumber dengan status HIV tidak diketahui tetapi memiliki faktor resiko HIV.
i. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari
sumber yang tidak diketahui status HIV dan tidak diketahui faktor resikonya,
namun dianggap sebagai sumber HIV (+).
j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber
yang tidak diketahui status HIV tetapi memiliki faktor risiko HIV.
k. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber
yang tidak diketahui status HIV-nya, namun sumber tersebut dianggap sebagai
sumber HIV (+).
4. Klasifikasi Katagori Paparan (Exposure Category).
Berdasarkan paparan, kadar RNA HIVdan bahan paparan. Terdapat 4 kategori:
a. EC 1:
1. Tempat paparan adalah kulit atau mukosa yang mengalami luka.
2. Bahan paparan jumlahnya sedikit (tetesan darah atau cairan tubuh yang berdarah.
3. Waktu paparan cepat (tidak lama).
b. EC 2: seperti EC-1, tetapi jumlah bahan paparan lebih banyak dan waktu
paparan lebih lama.
c. EC2: paparan perkutaneus, luka superficial dengan jarum kecil.
d. EC3: seperti EC2, tetapi lewat jarum besar, tertusuk dalam, keluar darah.
5. Penatalaksanaan Pasca Pajanan.
a. Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV diberikan < 4 jam setelah
paparan.
b. Penanganan luka.
c. Beri informed consent.
d. Lakukan test HIV.
e. Pemberian ARV profilaksis.
f. Penanganan tempat paparan/ luka harus segera
g. Luka tusuk dibilas menggunakan air mengalir dan sabun/ antiseptic.
h. Pajanan mukosa mulut: ludahkan dan berkumur.
i. Pajanan mukosa mata: irigasi dg air atau cairan fisiolofis
j. Pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air
k. Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
6. Disinfeksi
Disinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu:
a. Betadine (povidone iodine 2.5%) selama 5mnt
b. Alkohol 70% selama 3 menit.

Catatan:

a. Chlorhexidine cetrimide bekerja melawan HIV tetapi bukan HBV.


b. Pelaporan terjadinya paparan berupa rincian waktu, tempat, paparan dan konseling
serta manajemen pasca paparan.
c. Evaluasi dan risiko transmisi.
d. Konseling berupa risiko transmisi, penceganan transmisi sekunder, tidak boleh hamil
dsb.
e. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan.
f. Pemantauan (follow up).
7. Pemantauan.
Tes Antibodi dilakukan pada minggu ke-6, minggu ke -12 dan bulan ke 6. Dapat
diperpanjang sampai bulan ke-12.
8. Aspek Manajemen.
a. Merupakan bagian medico legal.
b. Perlu dilakukan pencatatan dan evaluasi.
c. Evaluasi meliputi:
1) Kesalahan sistem.
2) Tidak ada pelatihan.
3) Tidak ada SOP tidak tersedia APD.
4) Ratio pekerja dan pasien yg tidak seimbang.
5) Kesalahan manusia.
6) Kesalahan dalam penggunaan dan pemilihan alat kerja.
7) Rekomendasi kepada manajemen rumah sakit perlu diberikan setelah evaluasi
dilakukan.
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi layanan VCT adalah layanan
berkualitas, guna memastikan klien mendapatkan layanan tepat dan menarik orang untuk
menggunakan layanan. Tujuan pengukuran dari jaminan kualitas adalah menilai kinerja
petugas, kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai ketepatan protocol konseling dan testing
yang kesemuanya bertujuan tersedianya layanan yang terjamin kualitas dan mutu.

1. Konseling dalam VCT


Pelayanan konseling dimulai dengan suasana bersahabat yang dilayani oleh konselor terlatih.
Perangkat untuk menilai kualitas layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh staff VCT,
penilaian kualitas konseling dengan menghadirkan supervisor yang menyamar sebagai klien,
melakukan pertemuan berkala dengan para konselor, mengikuti perkembangan konseling dan
HIV AIDS, kotak saran, penilaian oleh petugas jasa, mengukur seberapa jauh konselor
mengikuti aturan protocol dan supervise suportif yang regular.
Perangkat jaminan mutu konseling dalam VCT:
a. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samara atau klien sungguhan yang
telah memberikan persetujuan untuk direkam.
Kegiatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengamatan, melakukan ikhtisar sesudah sesi
berlangsung (sesi rekam) atau pengamatan ketrampilan konselor melalui klien samara (tak
diketahui konselor) untuk mendapatkan ketepatan pengamatan.
b. Formulir kepuasan pelanggan.
Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan ke kotak yang aman dan terkunci.
Semua komentar dikumpulkan dan dinilai pada pertemuan dengan seluruh petugas. Klien
yang tidak dapat menulis/ mambaca dapat dibantu relawan. Petugas yang bekerja pada
institusi tidak diperkenankan membantu pengisian. Baca terlebih dahulu petunjuk dan isi dari
formulir, kemudian baru diisi. Klien sama sekali tidak boleh dipengaruhi pendapatnya,
administrasi memastikan apakah jawaban klien sudah lengkap dan benar sesuai petunjuk.
c. Syarat minimal layanan VCT.
Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar sederhana apakah pelayanan VCT
memenuhi persyaratan standar minimal yang ditentukan Kementerian Kesehatan dan WHO.
2. Testing pada VCT
Perangkat jaminan testing mutu dalam VCT:
a. Supervisi laboratorium
Untuk melakukan supervisi atas proses pemeriksaan laboratorium, harus dilakukan oleh
teknisi laboratorium senior yang mahir dan telah dilatih penanganan pemeriksaan
laboratorium HIV:
1) Pengamatan akan proses kerja sampel, sesuaikan dengan SPO yang telah ditetapkan.
2) Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel.
3) Periksa pencatatan dan pelaporan hasil testing HIV
4) Periksa cara penyimpanan semua peralatan dan reagen
5) Pastikan jaminan kualitas pada pusat jaminan kualitas.
6) Lakukan penilaian akan peralatan kerja dalam menjalankan fungsi pemeriksaan cukup
baik, perlu perbaikan atau rusak dan perlu penggantian.
7) Gunakan ceklis pemeriksaan
8) Nilailah kemampuan para personil dan sampaikan rekomendasi pada para manajer
9) Pastikan adanya rujukan pasca pajanan.
BAB IX

PENUTUP

Klinik VCT merupakan pelayanan baru di RSU Wiradadi Husada sehingga masih
memerlukan dukungan dari semua pihak. Tim HIV-AIDS sudah terbentuk, namun dalam
melaksanakan kegiatannya masih mengalami banyak kendala dikarenakan saat terbentuk Tim
HIV-AIDS belum ada anggota tim yang telah mendapatkan pelatihan penanganan kasus HIV-
AIDS. Sosialisasi kegiatan Tim HIV-AIDS masih perlu digalakkan baik internal maupun
eksternal rumah sakit. Tim HIV-AIDS RSU Wiradadi Husada belum memberikan pelayanan
terapi HIV-AIDS menggunakan ARV dikarenakan RSU Wiradadi Husada bukan rumah sakit
yang ditunjuk Kementerian Kesehatan RI untuk memberikan pelayanan ARV. Pasien yang
membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan RSU
Wiradadi Husada.

Anda mungkin juga menyukai