BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Patofisiologi
Patofisiologi dari infark miokard akut diawali dari proses atherosklerosis.
Proses atherosklerosis terdiri dari 3 proses, yaitu dimulai dari terbentuknya fatty
streak, lalu pertumbuhan plak, dan terjadinya ruptur plak (Gambar 2.1.) (Lilly,
2011).
Terbentuknya fatty streak merupakan tahap awal dari atherosklerosis, yang
dimana akan didapati perubahan warna pada dinding arteri sebelah dalam menjadi
kuning, tetapi tidak didapati adanya penonjolan pada bagian dalam dinding arteri
maupun gangguan pada aliran darah. Fatty streak timbul akibat adanya stresor
kimia dan fisika yang akan mempengaruhi homeostastis endotel, sehingga akan
mengganggu fungsi endotel sebagai barier permeabilitas. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya modifikasi dari lipid dan masuknya lipid ke subintima,
yang akan memicu pelepasan dari sitokin inflamasi. Lingkungan yang kaya
sitokin dan lemak ini akan menarik leukosit (khususnya monosit dan T limfosit)
ke subintima, sehingga akan menyebabkan terbentuknya foam cell (Lilly, 2011).
Foam cell, aktivasi platelet dan endotel yang rusak akan mengeluarkan
berbagai substansi, seperti platelet derived growth factor, sitokin, dan growth
factor. Akibat dari lepasnya substansi tersebut, akan terjadi proliferasi dan migrasi
sel otot polos dari arterial media ke intima, sehingga akan mempengaruhi sintesis
2.1.3. Komplikasi
Komplikasi dari infark miokard akut dapat disebabkan oleh inflamasi,
mekanik, atau kelainan elektrik jantung, yang disebabkan oleh area miokard yang
mengalami nekrosis (Gambar 2.2.). Komplikasi awal merupakan hasil dari
nekrosis miokardium sendiri, sedangkan komplikasi yang terjadi setelah beberapa
hari atau minggu merupakan hasil dari inflamasi dan penyembuhan dari jaringan
yang nekrosis.
Komplikasi dari infark miokard akut meliputi (Lilly, 2011) :
1. Iskemik berulang
Kejadian komplikasi angina postinfark didapati sebanyak 20 hingga 30
persen dari pasien infark miokard akut. Menandakan tidak adekuatnya
aliran darah arteri koroner, yang dimana berhubungan dengan peningkatan
risiko dari reinfark.
2. Aritmia
Aritmia sering terjadi pada pasien infark miokard akut dan merupakan
penyebab besar dari mortalitas pasien sebelum sampai di rumah sakit.
Mekanisme terjadinya aritmia pada pasien infark miokard akut disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu pertama akibat gangguan anatomi dari aliran
darah terhadap struktur jalur konduksi (Contoh: Sinoatrial node,
atrioventricular node dan bundle branches). Kemudian, akumulasi dari
2.3. Hiponatremi
2.3.1. Hubungan Hiponatremi dengan IMA
Dalam kondisi normal, konsentrasi natrium plasma dalam tubuh berkisar
antara 135-145 mmol/L. Faktor determinan utama dari konsentrasi sodium plasma
adalah konsentrasi dari cairan dalam plasma itu sendiri, dari insensible water loss
dan dari dilusi urin (Reynolds, Padfield, dan Seckl, 2006).
Hiponatremi merupakan gangguan elektrolit yang didefinisikan sebagai
kadar serum natrium <135mEq/L (Singla et al., 2007). Hiponatremi dijumpai
sebanyak 28% pada pasien infark miokard akut (Aziz et al., 2011). Mekanisme
terjadinya hiponatremi pada pasien infark miokard akut, yaitu akibat dari
peningkatan sekresi dari vasopressin sebagai respon dari stimulus non-osmotik,
yang meliputi diantaranya perkembangan akut dari disfungsi ventrikel kiri, nyeri,
mual, dan akibat pemberian analgetik dan diuretik (Goldberg et al., 2006).
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik endogen yang disekresikan oleh
kelenjar pituitari posterior, yang dimana berfungsi untuk menjaga keseimbangan
air dalam tubuh. Meningkatnya vasopressin pada pasien infark miokard ini
dimediasi melalui baroreseptor arteri dan peningkatan dari angiotensin II (Lilly,
2011). Peningkatan konsentrasi vasopressin akan menyebabkan masuknya
aquaporin-2 water channels ke dalam membran sel di duktus kolektivus di ginjal.
Akibatnya akan terjadi reabsorbsi cairan bebas (Goldberg et al., 2006).
Selain itu, pada pasien infark miokard akut akan terjadi pengaktifan dari
sistem renin angiotensin dan peningkatan dari produksi katekolamin. Hal ini akan
mendorong untuk terjadinya vasokonstriksi pada ginjal, sehingga akan
mengurangi kecepatan filtrasi glomerulus dan pengiriman cairan tubulus ke
bagian pengenceran di nefron. Akibatnya akan mengurangi ekskresi cairan di
ginjal (Goldberg et al., 2006). Berlebihnya cairan di dalam tubuh dibandingkan
dengan total kandungan natrium dalam tubuh akan menimbulkan gangguan
keseimbangan cairan dalam tubuh, yaitu berupa hiponatremi (Spasovski et al.,
2014). Melalui proses inilah maka pasien infark miokard akut dapat mengalami
hiponatremi.
Pada pasien infark miokard akut, akan terjadi penurunan kadar natrium
yang dimana merupakan risiko untuk terjadinya gagal jantung dan kematian
(Bacharibjatoen, 2012). Hal ini disebabkan karena terjadinya aktivasi
neurohormonal yang berhubungan dengan pelepasan dari atrial natriuretic
peptide dan katekolamin dan juga aktivasi sistem renin angiotensin (Singla et al.,
2007).
Lepasnya natriuretic peptide disebabkan karena terjadinya peningkatan
tekanan intrakardiak. Natriuretic peptide terdiri dari atrial natriuretic peptide
(ANP) dan B-type natriuretic peptide. ANP disimpan di dalam sel atrium dan
akan dilepaskan apabila terjadi distensi pada atrium. Pada saat infark miokard,
akan dikeluarkan BNP yang menandakan telah terjadinya stres hemodinamik pada
miokard ventrikel (Lilly, 2011).
Selain lepasnya natriuretic peptide, juga akan terjadi pelepasan
katekolamin. Katekolamin akan mengakibatkan peningkatan usaha jantung untuk
berkontraksi, sehingga akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan dari oksigen.
Peningkatan katekolamin juga akan menimbulkan nyeri kepala yang berat,
keringat yang banyak, palpitasi dan takikardi (Lilly, 2011). Akibatnya, akan
semakin memperberat keadaan pada pasien infark miokard akut.
Sistem renin angiotensin berperan penting dalam keseimbangan air dan
natrium, yang dimediasi oleh renin. Stimulus utama dari pelepasan renin dari sel
juxtaglomerulus di ginjal meliputi (1) penurunan perfusi arteri renalis akibat
penurunan cardiac output, (2) penurunan pengiriman natrium ke makula densa di
ginjal, yang menyebabkan perubahan hemodinamik dalam ginjal, dan (3)
stimulasi langsung dari reseptor β₂ juxtaglomerulus oleh aktivasi sistem saraf
adrenergik. Renin akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I, yang
kemudian oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi
angiotensin II, yang merupakan vasokonstriktor poten. Angiotensin II akan
merangsang rasa haus di hipothalamus, sehingga terjadi peningkatan penyerapan
air dan meningkatkan sekresi aldosteron di korteks adrenal. Kemudian, hormon
tersebut akan memicu reabsorbsi natrium dari tubulus distal ginjal ke sirkulasi,
sehingga akan meningkatkan volume intravaskular. Peningkatan volume
intravaskular akan menyebabkan peningkatan preload (Gambar 2.3.) (Lilly,
2011). Akan tetapi, hiperaktivitas dari sistem renin angiotensin akan
menimbulkan vasokonstriksi berlebihan dan peningkatan afterload, yang akan
berakibat pada menurunnya cardiac output dan glomerular filtration rate
(Kusumoto, 2014). Selain itu, peningkatan angiotensin II dan aldosteron yang
berlebihan akan mengakibatkan produksi dari sitokin, mengaktifkan makrofag,
dan menstimulasi fibroblas, menyebabkan terjadinya fibrosis dan remodeling
jantung (Lilly, 2011). Akibat dari aktivitas neurohormonal dan sitokin, akan
meningkatkan wall stress (Singla et al., 2007). Meningkatnya wall stress akan
menyebabkan peningkatan dari kebutuhan oksigen. Oleh karena itu, akan terjadi
kompensasi untuk menurunkan penggunaan oksigen. Karena wall stress
berbanding terbalik dengan ketebalan dari dinding ventrikel, maka dalam usaha
untuk menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan wall stress akan terjadi
hipertrofi pada miokard. Akan tetapi, akibat meningkatnya kekakuan dinding
miokard yang hipertrofi maka akan menyebabkan peningkatan tekanan diastol
ventrikel, yang dimana akan ditransmisikan ke dinding atrium kanan dan
vaskularisasi paru (Lilly, 2011). Melalui mekanisme renin angiotensin inilah akan
terjadi vasokonstriksi perifer dan hipertrofi miokard pada pasien infark miokard
akut (Singla et al., 2007).
Selain itu, pada infark miokard akut, akan terjadi pelepasan dari
vasopressin nonosmotik, yang merupakan akibat dari adanya disfungsi pada
ventrikel kiri, sebagai respon terhadap nyeri, nausea, stres berat atau respon dari
pemberian analgetik dan diuretik (Bacharibjatoen, 2012). Peningkatan vasopressin
yang merupakan hormon antidiuretik ini akan meningkatkan volume intravaskular
karena akan memicu terjadinya retensi air pada bagian distal nefron.
Meningkatnya volume intravaskular akan berdampak pada peningkatkan preload
ventrikel kiri dan peningkatan cardiac output. Selain itu, vasopressin juga dapat
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sistemik melalui stimulasi langsung pada
reseptor V1 di otot polos pembuluh darah karena vasopressin merupakan
pada akhirnya akan memperberat kerja dari jantung itu sendiri, sehingga akan
menimbulkan dampak buruk pada pasien (Lilly, 2011).