Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN KEJANG DEMAM

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh
adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri
atau virus. (Price, 2008).
Kejang demam atau febrile convulsion adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38ᵒC) yang disebabkan
oleh proses ekstrakranium (Arif Mansjoer, 2008)
Kejang demam adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan ( Betz & Sowden, 2004 )

B. Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada
laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita
didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME.
Sumijati, 2000;72-73).

C. Etiologi
Penyebab kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan
penyebab utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Menurut Arif
Mansjoer. 2008 demam yang terjadi sering disebabkan oleh :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
2. Gangguan metabolik
3. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media,
bronchitis.
4. Keracunan obat
5. Faktor herediter
6. Idiopatik.

Selain penyebab diatas Ada 5 faktor yang mempengaruhi kejang, faktor –


faktor tersebut adalah :

1. Umur
a. Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
mengalami kejang demam.
b. Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5
tahun.
c. Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah
berumur 4 tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari
ambang kejang sesuai dengan bertambahnya umur. Serangan pertama
biasanya terjadi dalam 2 tahu pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.
2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh karena pada wanita didapatkan kematangan otak yang lebih cepat
dibanding laki-laki.
3. Suhu badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya
kejang demam. Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan
merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk
setiap anak, berkisar antara 38.3ᵒC – 41.4ᵒC. Adanya perbedaan ambang
kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang anak baru timbul
kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak lainnya
kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang
demam. Beberapa penulis mendapatkan 25 – 50% daripada pada anak
dengan kejang demam mempunyai anggota keluarga yang pernah
mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

D. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui
membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter
dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung
lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan
suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya
aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak
yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi
spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.

E. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama dibedakan menjadi dua
yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana harus memenuhi semua kreteria antara lain : keluarga penderita
tidak ada riwayat epilepsy, sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh
penyebab apapun, serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6
bulan sampai 6 tahun, lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit,
kejang tidak bersifat fokal, tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca
kejang, sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau
abnormal perkembangan, kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila
kejang demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas maka digolongkan
sebagai kejang deman jenis kompleks. Kejang demam kompleks adalah
kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih
daripada 1 kali kejang per episode demam).

F. Manifestasi klinis
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut
ini :
 Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
 Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
 Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
 Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b. Kejang parsial kompleks


 Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
 Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
 Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )


a. Kejang absens
 Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
 Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
 Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh

b. Kejang mioklonik
 Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak.
 Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
 Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
 Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

c. Kejang tonik klonik


 Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
 Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
 Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
 Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal

d. Kejang atonik
 Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
 Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
G. Pemeriksaan diagnostik
a. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi
organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang
setelah kejang.
b. CTSCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema
serebral, dan abses.
c. FungsiLumbal
Fungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada
di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
d. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini
apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam. (Arif Mansyoer,2008)

H. Penatalaksanaan Medis
Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas
agar oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran,
tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi
diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-
0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal
20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan
penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum
dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit
gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak
berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga,
berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa
dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan
fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk
bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara
intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat.
Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan
setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi
200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan
depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna
fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.

b. Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila
ada gejala meningitis atau kejang demam berlangsung lama.

c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2)
profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk
profilaksis intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat
diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg
(BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5ᵒC.
Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus
setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria
(termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
 Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist
atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
 Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologist sementara dan menetap.
 Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara
kandung.
 Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat
jangka panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu
anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping
antipiretik.

I. Diagnosa keperawatan
d. Hipertermi berhubungan proses penyakit ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh ( > 37,5ᵒC ).
e. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan peningkatan frekuensi pernafasan.
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolik
g. Resiko tinggi cedera yabg berhubungan dengan trauma musculoskeletal
dan penurunan tingkat kesadaran sekunder dari kejang
h. Resiko jatuh yang berhubungan dengan aktivitas kejang berulang.
i. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan persepsi tentang kejang
tidak terkontrol
j. Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran
k. Ansietas berhubungan dengan kejang berulang
l. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang tepajannya informasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.j. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.

Doenges, M.E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke-3.


Jakarta :EGC.

Hasan, dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : FKUI.

Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 2.


Jakarta:MediaAesculapius.

Nelson. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Edisi ke-15. Jakarta :


EGC.

Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : FKUI.

Price S.A. (1995). Patofisiologi. Edisi Ke-4. Jakarta : EGC

Soetomenggolo, Taslims. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-


2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai