Anda di halaman 1dari 7

Tugas Individu

Dosen pengampu “ Dr. Tasrifin Tahara, M.Si

PARADIGMA EVOLUSI KEBUDAYAAN

MOCH. ZUBER SYAMSUDIN


E042172002

PROGRAM STUDI MAGISTER ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KOTA MAKASSAR
2018
Paradigma Antropologi
Semua penelitian antropologi dilakukan dalam paradigma tertentu karena kegiatan ilmiah
apapun tentu menuntut definisi suatu masalah penelitian dan identifikasi prosedur serta cara
yang sesuai untuk memecahkan masalah. Namun, tidak semua penelitian adalah paradigmatik
secara eksplisit. Pembandingan paradigma-paradigma dapat mendorong untuk memilih suatu
paradigma, sedangkan paradigma tertentu mungkin akan digantikan oleh paradigma lain dengan
landasan perkembangan tertentu. Barangkali takan ada paradigma yang terbaik; yang terpenting
bahwa suatu paradigma mungkin lebih baik daripada paradigma lain, tetapi tidak ada paradigma
yang dapat menganalisis semua kemungkinan.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divergensi teori yang semakin
meningkat, dan pola tesebut nampaknya teus berlangsung. Tidak ada kesepakatan tentang
berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh
paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66)

Evolusionisme klasik, paradigma ini beupaya menelusuri perkembangan kebudayaan


sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling
kompleks.

Difusionisme, paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai


kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.

Partikularisme, paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnogafi dan
deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.

Struktural-Fungsionalisme, paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial,


seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan
stabilitas keseluruhan sisitem

Antropologi Psikologi, mengekspresikan dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara
kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan
hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia yakni,
struktur dari poses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas
budaya.

Materalisme Dialektik paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan


dan perkembangan system sosial budaya.

Cultural Materialisme paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan


pebedaan sosial budaya.

Etnosains, paradigma ini juga disebut “etnografi baru”. Perspektif teoritis mendasar dari
paradigma tersebut yerkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan
komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiriuntuk
melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.

Antropologi Simbolik, paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari
makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan
kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya.

Sosiobilogi, paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap


fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak
perilaku kebudayaan.

Teori-teori Antropologi
Keesing (1974: 74-79) mengidentifikasi empat pendekatan terhadap masalah kebudayaan.
Pertama, kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang
fungsi primernya adalah menyesuaikan masyarakat manusia dengan lingkungannya. Kedua,
kebudayaan merupakan sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir
menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan. Ketiga, kebudayaan
merupakan sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi
dengan struktur pemikiran manusia. Keempat. Kebudayaan merupakan sistem simbol yang
terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama yang dapat diidentifikasi, dan
bersifat publik. Seiring makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya
penggunaan akal yang dimiliki manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi
dalam masyarakat. Model pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan
‘tradisional’ sebelum dalam kajian budaya (antropologi) paling awal adalah teori evolusi
kebudayaan dan teori difusi kebudayaan. Kedua teori ini muncul dengan mengusung
karakteristiknya sendiri-sendiri dan masing-masing mengklaim sebagai paradigma yang
seharusnya dipakai untuk melakukan kajian terhadap manusia dan perjalanan
perkembangannya.

Teori Evolusi Kebudayaan

Teori evolusi kebudayaan manusia ini dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor
(1832-1917), seorang ahli antropologi. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Dalam buku yang ditulis tahun 1874, Tylor memaparkan bahwa kebudayaan
manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-
masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan.
Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah savagery, barbarian dan
civilization. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu
dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada
di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju tahap kedua
(barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai
memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat
dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman
tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang
sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang
kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan
manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-
bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya
manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak
boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.
Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor
sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika.

Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun 1877
tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang
melalui lima tingkatan, yaitu:

a. Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,

b. Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,

c. Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan masih
berprofesi sebagai pemburu.

d. Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,

e. Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam, era
barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban purba, dan era masa
kini.

Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan Tylor dan


Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori evolusi
memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan universal yang
dikemukakan oleh Leslie White dan kedua, teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan
oleh Julian Steward.

Teori pertama, White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam
melakukan kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E
x T. Penjelasannya adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy)
sedangkan T adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah
komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan
energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase
perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini,
White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam
sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang
melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep
baru yang diketengahkan White, yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi
energi), energi dan transformasi.

Teori kedua diartikan Steward sebagai teori multilinier. Terjadinya evolusi kebudayaan
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core,
berupa teknologi dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah
kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan
lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori
multilinier juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu
lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.

Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan mengenai
teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah V. Gordon Childe
yang merupakan arkeologis Inggris. Untuk memaparkan pandangannya mengenai evolusi
budaya, Childe menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa apa yang
dikemukakan dalam teori evolusi menunjukkan kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas
manusia. Dari benda-benda yang dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama
beberapa waktu menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa
kemajuan teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan
hewan, irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan
revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.

Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa
keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan manusia
menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase selanjutnya, seperti dari pemburu-peramu
yang berpindah-pindah (nomadik) yang berada pada masa Paleolitik menjadi seorang manusia
yang bercocok tanam (holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di satu tempat
sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas masehi para ahli
antropologo yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia telah memakai kata
kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan
bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta
kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai