LAPORAN PENDAHULUAN
A. Spondilitis Tuberkulosis
1. Pengertian
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa
infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu
mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra
(Abdurrahman, et al 1994; 144). Spondilitis TB adalah peradangan
granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh mikrobakterium TB.
TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus
ditempat lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama
tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
penyakit ini dengan deformitas tulnag belakang yang terjadi, sehingga
penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad, 1998).
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi
atau defisit neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB
biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra (Mansjoer, 2000). Penyakit Pott adalah osteomielitis
tuberculosis yang mengenai tulang belakang. (Brooker. 2001)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa.
Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis
sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan
statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling sering
ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra
lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang
pada vertebra C1-2. Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat
didetekssi karena hanya terasa nyeri punggung atau pinggang yang
ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses
ataupun kifosis.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil
(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang
lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di
Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat
mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile
dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media
egg-enriched dengan periode 6 sampai 8 minggu. Produksi niasin
merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 sampai 95 persen disebabkan
oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2 dari 3 dari tipe human dan 1
dari 3 dari tipe bovin) dan 5 sampai 10 persen oleh mikobakterium
tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman,
tertidur lama selama beberapa tahun. (Rasjad. 1998)
3. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang
sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara
hematogen, diduga terjadinya penyakit tersebut sering karena penyebaran
hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui leksus Batson. Infeksi
TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi
lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari
jaringan yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang
jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses
para vertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum
longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh
karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan
terjadi penyempitan oleh karenadirusak jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis
4. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. (Rasjad.
1998)
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada
atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin
memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks Babinski
bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang
vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang
bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal,
dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang
lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50 persen kasus,
termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan
paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa
ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada
daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang
sudah disebutkan di atas. (Harsono,2003)
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di
daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan
akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan
mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama
gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang
dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.
(Harsono,2003)
5. Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah
Pott’s paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan
tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan
granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut
disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. Mielografi dan
MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini.
Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun
sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke
otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas
penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:
1) Pemberian obat antituberkulosis
2) Dekompresi medulla spinalis
3) Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi
4) Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
b. Terapi Konservatif
1) Tirah baring (bed rest)
2) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra atau
membatasi gerak vertebra
3) Memperbaiki keadaan umum penderita
4) Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB
paru adalah:
a) Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) atau rontgen
(+), diberikan dalam 2 tahap
Tahap 1: Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg dan Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali
seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
b) Kategori 2
Untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang
kambuh atau gagal yang diberikan dalam 2 tahap
Tahap 1: Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin
450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat
ini diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan
pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2: INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten)
selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan
umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun
dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme
berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya
union pada vertebra.
c. Terapi Operatif
Indikasi operasi yaitu:
1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia
atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum
tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
2) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.
3) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi
ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan
langsung pada medulla spinalis.
2) Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a) Pengobatan dengan kemoterapi
b) Laminektomi
c) Kosto-transveresektomi
d) Operasi radikal
e) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
3) Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,.
Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama
pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior
atau melalui operasi radikal.
4) Operasi PSSW
Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan
pengobatan tbc tulang belakang yang disebut total treatment
(1989). Metode ini mengobati TB tulang belakang berdasarkan
masalah dan bukan hanya sebagai infeksi TB yang dapat
dilakukan oleh semua dokter.
B. Spondilitis Ankilosis
1. Pengertian
Spondilitis ankilosis adalah suatu penyakit peradangan kronik
progresif yang terutama menyerang sendi sakroiliaka dan sendi-sendi
tulang belakang. Dengan semakin berkembangnya penyakit pada tulang
belakang, maka jaringan lunak paravertebra dan sendi kostovertebralis
mungkin terserang juga (Price & Wilson, 1985). Sedangkan depkes
(1995) mendefenisikan spondilitis sebagai suatu peradangan kronis yang
menimbulkan kekakuan dan biasanya gangguan bersifat progresif pada
sendi sakro iliaka dan sendi panggul, sendi-sendi sinovial pada spinal dan
jaringan-jaringan lunak di spinal.
2. Etiologi
Meskipun etiologinya masih belum diketahui, tetapi diduga faktor-
faktor keturunan memegang peranan yang penting. Pada penyakit
tersebut ditemukan kasus histokompatibilitas antigen HLA-B 27 yang
cukup tinggi, (lebih dari 95 persen dari semua kasus yang dijumpai).
Spondilitis ankilosis timbul sebagai komplikasi TBC spoon melalui
penyebaran secara hematogen
3. Patofisiologi
Penyakit ini bersifat kronis dan progresif yang menyerang pada
sendi sakro iliaka dan sendi panggul serta sendi-sendi sinovial pada
spinal. Inti kuman biasnya merusak spongiosa korpus vertebra. Bagian-
bagian intervertebra menjado meradang dan akhirnya terjadi fusi atau
kekauan atau persatuan tulang pada sakrroiliaka dan spinal-spinal lain
melalui servikal. Proses fusi terjadi setelah 10 sampai 20 tahun. Penyakit
ini dapat timbul pada usia 10 sampai 30 tahun dan biasanya menjadi
progresif setelah 50 tahun dan lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Penyakit dimulai pada sakroiliaka, yang secara bertahap mengarah ke
lumbal, toraks, dan spina servikal. Deteriorasi tulang dan kartilago
menyebabkan bentukan jaringan fibrosa dan terkadang fusi sendi spinal
atau perifer.
4. Penyebab
a. Tidak diketahui
b. Kecenderungan diturunkan
c. Inflamasi awal dapat diakibatkan oleh pengaktifan sistem imun oleh
infeksi bakteri
5. Insidens
a. Menyerang pria dua sampai tiga kali lebih sering disbanding wanita
b. Tampak jelas pada pria namun umumnya salah atau meleset pada
wanita
c. Keterlibatan sendi lebih perifer pada wanita
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis spondilitis ankilosis berupa kekakuan tulang
belakang yang mengenai sendi sakroiliaka dan spinal dengan osifikasi di
sekelilingnya. Penyakit reumatoid terutama menyerang sendi sakroiliaka,
apofiseal, kostoservikal dan ligamentosa atau tendinosa berdekatan yang
melekat pada tulang. Biasanya terjadi sebagai penyakit primer; dapat
muncul sekunder akibat sindrom Reiter, artritis psoriatik, atau penyakit
radang usus. Disebut juga spondilitis reumatoid atau penyakit Marie-
Strümpell.
Awitan spondilitis ankilosis biasanya timbul perlahan-lahan.
Keluhan rasa lelah dan rasa nyeri pinggang timbul intermiten merupakan
keluhan umum. juga terjadi kekakuan di pagi hari, terutama kekakuan di
pinggang di pagi hari, tetapi gejala tersebut dapat hilang dengan sedikit
kegiatan fisik. Meskipun keluhan dini yang paling umum adalah rasa
nyeri sekitar sendi sakrofliaka, tetapi mungkin sendi perifer juga terasa
nyeri dan bengkak. Sendi perifer yang paling sering terserang adalah
panggul, bahu dan lutut. Kecuali panggul dan balm, maka sendi perifer
yang juga terserang biasanya bersifat sementara dan ringan.
7. Komplikasi
a. Saubluksasi atlantoaksial pada vertebrata servikal
b. Deposit bahan amiloid pada ginjal, yang dapat menyebabkan
kerusakan atau gagal ginjal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju
endap darah ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan
keaktifan penyakit kurang kuat. Serum C reactive protein (CRP) lebih
baik digunakan sebagai petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang,
ditemukan peninggian IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif.
Cairan sendi memberikan gambaran sama pada inflamasi. Anemia
normositik-normositer ringan ditemukan pada 15% kasus.
Pemeriksaan HLA - B27 dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis.
b. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi
aksial, terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial,
kostovertebral, dan kostotransversal. Perubahan pada sendi S2 bersifat
bilateral dan simetrik, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang
subkonral, diikuti erosi yang memberi gambaran mirip pinggir
perangko pos. Kemudian, terjadi penyempitan celah sendi akibat
adanya jembatan interoseus dan osilikasi. Setelah beberapa tahun,
terjadi ankilosis yang komplit. Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5
tingkatan berdasarkan radiologis, yaitu tingkat 0 (normal), tingkat 1
(tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah adanya
sclerosis periartikuler, jembatan sebagian tulang atau pseudo widening,
tingkat 3 (tingkat 2 ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta
tingkat 4 (ankilosa yang lengkap). Akan terlihat
gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada kolumna vertebra dan
osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus fibrosus yang akan
mengakibatkan timbulnya jembatan di antara badan vertebra yang
disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai pada vertebra
servikal, akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi panggul
memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang konsentris,
ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar
permukaan sendi, baik pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya,
terjadi ankilosis tulang dan pada sendi bahu memperlihatkan
penyempitan celah sendi dengan erosi.
9. Penatalaksanaan
a. Umum
1) Postur baik; latihan peregangan dan napas dalam
2) Pembebat (brace) dan penyokong dengan berat ringan bila tepat
3) Stimulasi saraf
4) Diet kaya nutrisi
5) Peningkatan aktivitas sesuai kemampuan
b. Pengobatan
1) Obat anti-inflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen
2) Sulfasalin
3) Metotreksat
4) Kortikosteroid
5) Inhibitor alfa faktor nekrosis tumor
c. Pembedahan
1) Bedah penggantian pinggul dengan keterlibatan pinggul berat
2) Osteotomi baji spinal dengan keterlibatan spinal berat
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Spondilitis Tuberkulosis
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Nama
2) Umur
3) Tanggal Lahir
4) Jenis Kelamin
5) Agama
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
8) Alamat
9) Suku Bangsa
10) Diagnosa Medis
11) No RM
b. Identitas Penanggung Jawab
1) Nama
2) Umur
3) Jenis Kelamin
4) Agama
5) Pendidikan
6) Pekerjaan
7) Alamat
8) Hubungan dengan Pasien
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien spondilitis tuberkulosis terdapat nyeri
punggung bagian bawah
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada awal dapat dijumpai nyeri redikuler yang mengelilingi
dada dan perut, nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan
bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.
Data subjektif yang mungkin adalah badan terasa lemah dan
lesu, nafsu makan berkurang serta sakit pada punggung, pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari,
berat badan menurun, nyeri spinal yang menetap, nyeri radikuler
yang mengelilingi dada atau perut. Data objektif yang mungkin
adalah suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam
hari, paraplegia, paraparesis, kifosis (gibbus), bengkak pada
daerah paravertebrata.
5) Psikososial
Klien akan merasa cemas, sehingga terlihat sedih dengan
kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, pengobatan, dan
perawatannya sehingga membuat emosinya tidak stabil dan
mempengaruhi sosialisasi penderita.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Terlihat lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlilat bentuk
kifosis
b. Palpasi
Sesuai yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat
adanya gibbus pada area tulang yang mengalami infeksi
c. Perkusi
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketuk
d. Auskultasi
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak ditemukan kelainan
e. Review of System (ROS)
1) B1 (Breathing)
2) B2 (Blood)
3) B3 (Brain)
4) B4 (Bladder)
5) B5 (Bone)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah meningkat
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Radiologi
Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior,
sangat jarang menyerang area posterior; terdapat penyempitan
diskus; gambaran abses pada vertebral
2) Tes Tuberkulin
Reaksi tuberkulin biasanya positif
2. Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme
otot servikal
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal dan nyeri
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
d. Ketidakseimbangan nutrisi: nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat
nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
e. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entree luka pasca-bedah
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit, pengobatan, dan perawatan
3. Perencanaan
a. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme
otot servikal
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang
Kriteria hasil: klien melaporkan penurunan nyeri, skala nyeri 0-1,
dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
menurunkan nyeri
No Intervensi Rasional
1 Kaji lokasi, intensitas, dan Nyeri merupakan pengalaman
tipe nyeri sebagai observasi subjek yang hanya dapat
penyebaran nyeri digambarkan oleh klien
sendiri
2 Jelaskan dan bantu klien Pendekatan dengan
dengan tindakan pereda menggunakan relaksasi dan
nyeri non farmakologis dan non farmakologis lainnya
non invasive telah menunjukkan
keefektifan dalam
mengurangi nyeri
3 Istirahatkan leher, atau Posisi fisiologis akan
posisi fisiologis dan pasang mengurangi kompresi saraf
ban leher leher
4 Lakukan masase pada otot Masase ringan dapat
leher meningkatkan aliran darah
dan membantu suplai darah
dan oksigen ke area nyeri
leher
5 Ajarkan teknik distraksi Distraksi dapat menurunkan
pada saat nyeri stimulus nyeri
6 Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan
pernapasan dalam ketika oksigen sehingga
nyeri muncul menurunkan nyeri sekunder
akibat iskemia
7 Berikan analgetik sesuai Analgetik mampu
terapi dokter dan kaji mengurangi rasa nyeri;
keefektivitasannya bagaimana reaksi terhadap
nyeri yang diderita klien
4. Evaluasi
a. Pasien menyatakan nyeri berkurang dan atau hilang
b. Pasien menunjukkan kondisi yang rileks dan dapat beristirahat
c. Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
d. Pasien mendiskusikan perannya dalam mencegah kekambuhan
e. Pasien mampu mengerti penjelasan yang diberikan tentang proses
penyakit dan pengobatannya
f. Pasien mampu mengidentifikasi potensial situasi stress dan
mengambil langkah untuk menghindarinya
g. Pasien dapat menggunakan obat yang diresepkan dengan baik
h. Pasien dapat melakukan poal hidup sehat dengan baik
B. Spondilitis Ankilosis
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Nama
2) Umur
3) Tanggal Lahir
4) Jenis Kelamin
5) Agama
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
8) Alamat
9) Suku Bangsa
10) Diagnosa Medis
11) No RM
b. Identitas Penanggung Jawab
1) Nama
2) Umur
3) Jenis Kelamin
4) Agama
5) Pendidikan
6) Pekerjaan
7) Alamat
8) Hubungan dengan Pasien
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
a. Keluhan utama
i) Nyeri pada tulang belakang bawah dan panggul
ii) Merasa lelah
iii) Berkurangnya kemampuan gerak simetris dan tidak bisa
mengangkat kaki dalam posisi lurus
iv) Konraktur fleksi panggul
v) Perubahan postur tubuh : kifosis, lordosis, lumbal
vi) Keluhan sukar bernapa dan ekspansi dada terbatas
vii) Merasa kaku pada daerah punggung, bokong, dan paha
bagian atas
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Terjadi bilateral sciatica untuk beberapa hari, perubahan di
tubuh klien dan tinggi badan pasien biasanya berkurang
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Memiliki riwayat nyeri yang persisten dengan awitan yang
perlahan dan tidak progresif
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Merupakan penyakit yang bersifat genetik
5) Psikososial
Pasien-pasien spondilitis sering kali merasa malu terhadap
bentuk tubuhnya dan kadang-kadang mengisolasi diri. Perawat
perlu mengkaji diri pasien untuk mendeteksi masalah-masalah
psikososial, antara lain body image, harga diri, dan identitas diri
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji pemetaan antigen HLA menunjukkan temuan serum berupa
HLA-B27 pada sekitar 95% pasien spondilitis ankilosa primer
dan sampai 80% pasien dengan penyakit sekunder
2) Uji faktor reumatoid serum menunjukkan tidak ditemukannya
faktor reumatoid, yang membantu menyingkirkan diagnosis
artritis reumatoid yang memiliki gejala serupa
3) Uji kreatinin kinase dan alkali fosfat serum menunjukkan sedikit
peningkatan laju endap darah, kadar alkali fosfat serum, dan
kadar kreatinin kinase pada penyakit yang aktif
4) Profil imunoglobulin (Ig) serum menunjukkan peningkatan
kadar IgA serum
b. Rontgen
Pemeriksaan rontgen menegaskan perubahan karateristik, seperti
keterlibatan sakroiliaka bilateral (tanda penyakit); margin sendi
tulang yang samar pada awitan awal penyakit; sklerosis bercak
disetai erosi tulang superfisial; terkadang melebarkan badan tulang
belakang; dan “tulang belakang seperti bambu” pada ankilosis
lengkap.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri sendi dan otot b.d proses
peradangan.
b. Gangguan mobilitas fisik b.d fusi vetebra
c. Perubahan konsep diri : Body image atau malu atau rendah diri
b.d kifosis.
d. Kurang pengetahuan tentang perawatan b.d kurang informasi
e. Perencanaan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri sendi dan otot berhubungan dengan
proses peradangan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
pasien merasa nyaman dan terhindar dari nyeri
Kriteria hasil: klien melaporkan penurunan nyeri, skala nyeri 0-1
No Intervensi Rasional
1 Observasi perkembangan Mengetahui tingkat nyeri
nyeri apakah menyebar ke dan penyebarannya
area lain sehingga dapat menentukan
intervensi
2 Kaji status respirasi dan Mengetahui kemampuan
latih untuk nafas dalam respirasi dan merelaksasikan
otot-otot sehingga nyeri
berkurang dan fungsi paru
dapat ditinggkatkan
3 Memeberikan terapi panas Panas mempunyai efek
untuk sendi-sendi meningkatkan sirkulasi, otot-
otot menjadi rileks dan
menurunkan kekakuan serta
merangsang endorphin
4 Kolaborasi dengan dokter Analgetik efektif untuk
pemberian analgetik mengurangi dan mengatasi
rasa nyeri
c. Evaluasi
a. Adanya peningkatan kegiatan sehari-hari (ADL) tanpa menimbulkan
gangguan rasa nyaman
b. Tidak terjadi deformitas spinal lebih lanjut
c. Nyeri dapat teratasi
d. Tidak terjadi komplikasi
e. Memahami cara perawatan di rumah
Daftar Pustaka
Lewis et. al. 2000. Medical Surgical Nursing 5th edition. Mosby, United States of
America
Mitchell, Richard N. dkk. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robins &
Cotran. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC