Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

PENGARUH KECEMBURUAN SEBAGAI SALAH SATU


FAKTOR PEMICU KORBAN KEKERASAN FISIK DALAM
RUMAH TANGGA

Disusun Oleh:

Annisa Aprilia Athira


1102014029

Bidang Kepeminatan Domestic Violence


Kelompok 2

Pembimbing: dr. Endah Purnamasari, Sp.PK


Pengampu: dr. Ferryal Basbeth, Sp.F.DFM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2017
PENGARUH KECEMBURUAN SEBAGAI SALAH SATU
FAKTOR PEMICU KORBAN KEKERASAN FISIK DALAM
RUMAH TANGGA

ABSTRAK

Pendahuluan: Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang menyediakan


ketentraman bagi setiap pasangan suami istri. Namun seringkali terjadi
perselisihan yang terjadi diantara keduanya. Permasalahan yang sering terjadi
pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kecemburuan maupun
perselingkuhan, hal ini dapat memicu hancurnya keutuhan rumah tangga yang
dapat menimbulkan kekerasan fisik maupun verbal oleh suami terhadap istrinya.

Kasus: Ny. N melaporkan suaminya, Tn. M karena telah melakukan Kekerasan


Fisik Dalam Rumah Tangga karena sebelumnya cekcok diakbatkan kecemburuan
Ny. N saat melihat suaminya berpegangan tangan dengan wanita lain.

Diskusi: Kata kekerasan dalam istilah KDRT seringkali dipahami masyarakat


umum terbatas pada kekerasan fisik. Padahal bentuk kekerasan dalam KDRT itu
bermacam-macam diantaranya adalah: fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga pada survivor adalah perselingkuhan, masalah ekonomi,
kecemburuan. Kondisi perkawinan yang tidak menyenangkan dan banyaknya
harapan yang tidak terpenuhi, dapat memicu perselingkuhan, contohnya
kecemburuan. Hukum yang mengatur tentang KDRT adalah Pasal 44 UU RI no.
23 Tahun 2004.

Simpulan: Pada kasus ini, seorang istri, Ny. N sebagai Korban Kekerasan Fisik
Dalam Rumah Tangga karena kecemburuan yang dilakukan Ny. N. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dapat dipicu oleh beberapa factor yaitu masalah ekonomi,
kecemburuan, adu mulut, dan perselingkuhan. Pasal 44 UU RI no. 23 tahun 2004
mengatur tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Islam, apabila istri
melakukan suatu kesalahan, suami perlu memberikan pelajaran secara baik-baik
terlebih dahulu, dan tidak boleh berprasangka buruk seperti cemburu tanpa ada
bukti.

Kata Kunci: domestic violence, kekerasan dalam rumah tangga, kecemburuan,


perselingkuhan
1. PENDAHULUAN

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya memerlukan


pasangan hidup yang membutuhkan keturunan sesuai dengan apa yang
diinginkan. Pernikahan sebagian jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini dimaksudkan, bahwa pernikahan itu hendaknya berlangsung seumur hidup
dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang kekal, bahagia
dan penuh rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain
bahwa setiap keluarga sangat menghendaki dapat membangun kelurga harmoni
dan bahagia yang sering disebut kelurga sakinah, mawaddah wa rahmah itu
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Yuliana M, 2017).

Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang menyediakan ketentraman bagi


setiap pasangan suami istri. Namun seringkali terjadi perselisihan yang terjadi
diantara keduanya. Hal ini diindikasikan menjadi suatu dorongan pasangan suami
istri melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Merujuk kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), KDRT merupakan perbuatan
seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk pula
pemaksaan dan perampasan kemerdekaan serta ancaman untuk melakukan
perbuatan yang melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga (Arifianti L,
2017)

Kata kekerasan dalam istilah KDRT seringkali dipahami masyarakat umum


terbatas pada kekerasan fisik. Padahal bentuk kekerasan dalam KDRT itu
bermacam-macam diantaranya adalah: fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Rofiah N, 2017)

Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada survivor


adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak
ketiga, bermain judi, dan perbedaan prinsip, kecemburuan. Faktor utama yang
menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan yang
dilakukan suami dengan perempuan lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami
oleh survivor adalah kekerasan fisik (ditampar, dijambak, ditempeleng, diinjak-
injak), kekerasan psikis (caci maki,ancaman), dan penelantaran rumah tangga
(Jayanthi E, 2009)

Pada kasus ini, terdapat masalah kecemburuan istri terhadap suami nya yang
terlihat sedang bermesraan dengan wanita lain yang memicu suami untuk
melakukan tindakan kekerasan fisik dalam rumah tangga. Untuk itu, perlu diteliti
lebih lanjut pengaruh yang ditimbulkan oleh kecemburuan terhadap kekerasan
fisik dalam rumah tangga.

2. DESKRIPSI KASUS

Ny. N, 44 tahun datang ke Polres Jakarta Pusat dengan keluhan telah dipukul oleh
suaminya, Tn. M karena sebelumnya terlibat cekcok mulut dirumah. Cekcok
mulut diawali karena Tn. M ketahuan oleh Ny. N berpegangan tangan dengan
seorang wanita di acara kantor. Ny. N mengaku saat membahas hal tersebut, Tn.
M marah dan berkata kasar didepan Ny. N dan kedua anaknya. Setelah beradu
mulut, Tn. M mengusir Ny. N dari rumah dan akhirnya Ny. N meninggalkan
rumah bersama tiga anaknya dengan bajaj. Saat sudah menaiki bajaj, Tn. M
mengejar dan menahan Ny. N untuk pergi dan memukul kepala Ny. N, Ny. N
sempat menangkis dengan tangan kanannya. Setelah memukul, Tn. M meludahi
Ny. N tetapi Ny. N sempat menghindar sehingga terkena anaknya, An. K. Ny. N
mengaku Tn. M sudah melakukan kekerasan fisik sejak 6 tahun yang lalu, dan
kejadian terakhir setahun yang lalu. Kekerasan Verbal telah dilakukan Tn. M
sejak mereka masih pacaran. Setelah dilakukan Visum et Repertum, didapatkan
hasil luka memar dikening dan tangan kanan. Tidak ada masalah ekonomi yang
dialami oleh Ny. N dan Tn. M.

3. DISKUSI
3.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikarenakan Kecemburuan Seorang
Istri

KDRT hanya berlaku dalam perkawinan atau rumah tangga hasil perkawinan
yang diakui oleh negara. Oleh karena itu, sebuah kekerasan hanya bisa diproses
secara hukum negara jika perkawinannya pun sah menurut negara, yakni sesuai
dengan agama masing-masing dan dicatatkan dalam catatan negara yang ditandai
dengan adanya buku nikah resmi dengan nomer registrasi tercatat (Rofiah N,
2017).

Tindakan kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik, melainkan juga perbuatan
nonfisik (psikis).Tindakan fisik langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban,
serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan tindakan nonfisik (psikis) yang bisa
merasakan langsung hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung
menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang. Hal ini berkaitan dengan
kepekaan hati seseorang, karena antara seseorang dengan orang lain tidak sama
karena ada yang mudah tersinggung (mempunyai sifat perasa), ada yang berusaha
mendiamkan saja menerima kata-kata atau sikap yang tidak baik (Yuliani M,
2017)

Ada beberapa faktor umum yang melatarbelakangi seorang suami melakukan


kejahatan KDRT terhadap istri, yaitu :

1. Lemahnya Penghayatan Terhadap Agamanya.


Huwirts mengemukakan bahwa :
“Memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur
diajarkan oleh bimbingan agama dan khusus bersambung pada keyakinan
keagamaan yang sungguh, membangun secara khusus dorongan- dorongan
yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil.”

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dikatakan bahwa jika seseorang tidak


memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan baik, akan
mengakibatkan mentalnya menjadi lemah dan imannya akan mudah
goyah, sehingga ia akan mudah tergelincir dan mengikuti hawa nafsunya,
termasuk melakukan kejahatan KDRT terhadap isterinya.

2. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab seorangterhadap


isterinya. Menurut Aristoteles:

“Kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, kejahatan yang


besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup,
tetapi untuk memperoleh kemewahan”

Dari pendapat ahli di atas, dapat dilihat bahwa seorang suami terdorong
untuk melakukan kejahatan dan memberontak seperti melakukan
kejahatan KDRT terhadap isterinya dikarenakan kemewahan yang selama
ini dia peroleh, tidak diperolehnya lagi dari sang suami.

3. Faktor Kejiwaan

Faktor kejiwaaan juga termasuk faktor yang menyebabkan seorang suami


melakukan kejahatan KDRT terhadap isterinya. Hal ini terkait dengan
pendapat Kartini Kartono bahwa:
“Kekalutan jiwa ini dapat kemudian menyimpan diri dalam tingkah laku
yang tertutup (autis), atau berwujud perilaku melarikan diri dari kenyataan
hidup dan ingin tetap tinggal dalam dunia ilusi, fantasi dan halusinasi,
dapat juga dalam bentuk agresi hebat ditunjukkan keluar kepada orang lain
dengan berbuat kejam dan sadis, menyerang atau membunuh, atau dalam
bentuk agresi ke dalam yaitu berusaha melakukan bunuh diri”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang suamiyang mengalami kekalutan


jiwa dapat menyerang orang lain termasuk isterinya sendiri.

4. Peranan Korban

Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan seseorang untuk


melakukan kejahatan terhadapnya termasuk kejahatan KDRT.
Sebagaimana dikemukakan Von Henting bahwa :

“Ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang untuk


melakukan kejahatan padanya dan membuat orang menjadi penjahat”

Jadi dapat dikatakan bahwa korban dalam hal ini adalah sikap dan
perlakuan isteri sangat berperan penting dalam mendorong seorang suami
untuk melakukan kejahatan KDRT terhadap isterinya tersebut.

5. Faktor Emosi

Bagi seorang lelaki dalam hal ini sebagai suami, kejahatan yang
dilakukan sering disertai dengan dorongan emosi yang sangat tinggi.
Disaat emosi sedang tinggi, mereka jarang menggunakan akal sehatnya.
Dari sekian banyak faktor penyebab, suamilah sering melakukan kejahatan
karena dendam atau jengkel inilah yang paling dominan, karena lelaki
lebih banyak menggunakan perasaan dibanding menggunakan akal
pikirannya. (Afriani T, 2014)

Cemburu adalah reaksi negatif pasangan pada keterlibatan emosional atau seksual
pasangan dengan orang lain, baik secara nyata maupun hanya imajinasi. Cemburu
dapat dikatakan emosi kompleks karena kehadirannya juga ditandai dengan
adanya pengalaman emosi-emosi yang lain. Tiga perasaan yang paling
menggambarkan cemburu adalah hurt, fear, dan anger. Terluka (hurt) timbul dari
persepsi bahwa pasangan kita tidak menghargai komitmen pada hubungan kita,
sedangkan takut (fear) dan cemas (anxiety) timbul dari ketakutan akan diabaikan
dan kehilangan. Marah (angry) timbul dari perasaan dinomorduakan dari orang
lain. (Asriana, 2012).

Kondisi perkawinan yang tidak menyenangkan dan banyaknya harapan yang tidak
terpenuhi, dapat memicu perselingkuhan. Hubungan yang intim dengan orang
ketiga dapat bermula dari pertemanan biasa tetapi kemudian berlanjut semakin
dalam ketika masing-masing membuka diri dan saling menceritakan masalah.
Perselingkuhan yang tidak diketahui oleh pasangan biasanya tidak memberikan
dampak yang negatif. Bahkan mereka yang berselingkuh memperoleh
pengalaman-pengalaman menyenangkan sehingga merasa lebih bahagia. Namun
saat perselingkuhan terungkap, mulailah masa-masa yang amat sulit dalam
perkawinan, baik bagi pasangan yang menjadi korban maupun pasangan yang
berselingkuh. ( Ginanjar A, 2009)

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat (4) bahwa “Perlindungan adalah segala
upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara atau berdasarkan penetapan
pengadilan”. Pengertian perlindungan diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Pasal 1
ayat (6) “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini”.

Ketentuan pidana bagi seseorang yang melakukan tindakan kekerasan dalam


rumah tangga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan


korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan


matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
3.2. ASPEK DALAM AGAMA ISLAM

Kekerasan terhadap perempuan (KTP) merupakan masalah serius yang telah


terjadi selama bertahun-tahun dan dapat ditemukan di berbagai sektor, baik
keluarga, masyarakat maupun negara. Secara nasional, jumlah kasus kekerasan
terhadap perempuan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
sebagaimana yang ditunjukkan dalam laporan Komnas Perempuan yang
menghimpun data kasus KTP dari penyedia layanan di seluruh Indonesia. Bahkan
setelah disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (PKDRT), jumlah kasus KTP yang dilaporkan meningkat
sangat signifikan. Terhitung sejak tahun 2001, yang menjadi permulaan tahun dari
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-
PKTP) sampai dengan tahun 2004, dimana UU ini baru disahkan, Komnas
Perempuan menghimpun sebanyak 30.139 kasus kekerasan terhadap perempuan.
(Sakirman, 2015)

Dalam hal ini, faktor penyebab KDRT ini sebagai berikut:

Pertama, adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di


rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Kedua, ketergantungan istri
terhadap suami secara penuh, terutama untuk masalah ekonomi, yang menjadikan
istri berada di bawah kekuasaan suami. Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat
terhadap KDRT yang cenderung abai dan menganggapnya sebagai persoalan
internal sebuah keluarga. Keempat, pemahaman yang keliru terhadap ajaran
agama. Konsep-konsep keagamaan cenderung disalahartikan oleh pihak-pihak
tertentu untuk melakukan kekerasan. Misalnya konsep nusyuz (Sakirman, 2015)

Islam adalah agama yang selalu menginginkan tegaknya konstruksi dan sistem
kehidupan sosial yang adil, sejahtera, aman dan menghormati martabat manusia
serta tidak menoleransi segala bentuk perendahan martabat manusia. Dengan
begitu dapat dikatakan pula bahwa keputusan syari’ah (agama) apapun bentuknya
yang melahirkan praktik ketidakadilan, diskriminasi dan mereduksi martabat
kemanusiaan bukanlah bagian dari syariah itu sendiri meskipun didukung oleh
penafsiran teks keagamaan (Sakirman, 2015)

Berkaitan dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan, terdapat satu ayat


dalam Alquran yang menjadi dasar kewenangan suami memukul istri, yaitu:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An-
Nisa (4): 34)

Melengkapi penjelasan diatas, al Jurjawi menegaskan hal-hal sebagai berikut;


kewajiban untuk memberikan pelajaran kepada istri adalah apabila ia mulai tidak
taat dan menunjukkan gejala nusyuz kepada suami. Maka si suami wajib
memberikan pelajaran, akan tetapi pmberian pelajaran tersebut dilaksanakan
dengan urutan-urutan, pertama suami wajib memberikan peringatan kepada si istri
dengan lembut dan haslus seperti mengingatkannya untuk takut kepada Allah
SWT apabila si istri sudah taat kembali, maka cukup hanya sampai disitu. Apabila
masih tetap membangkang, maka tinggalkan si istri itu sendirian, dengan
meninggalkannya di tempat tidur, tidak mengumpulinya, lebih-lebih ketika
syahwatnya memuncak. Apabila dia sudah taat, maka cukup sampai disitu dan
kumpulilah istri tersebut seperti sediakala. Namun, apabila tetap, maka si istri
tersebut boleh ‘dipukul’ dengan catatan tidak terlalu keras dan tidak membuat
cedera (Wahed, 2009).

Pada kasus ini, sang istri berprasangka buruk yaitu cemburu terhadap suaminya.
Padahal Islam sangat melarang umatnya bersangka buruk sesama muslim kerana
sangkaan negatif, buruk dan jahat akan mengundang malapetaka kepada
seseorang itu. Setiap bersangka hendaklah berdasarkan bukti yang kukuh dan
bukan sekadar dengar cakap, tuduhan melulu, mengikut tuduhan orang, dan fitnah
semata-mata.

Seperti Firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat


tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata” (Q.S. Al-Ahzab (33): 58)

4. KESIMPULAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak hanya sebatas kekerasan fisik, tetapi juga
bisa psikis, verbal, dan atau penelantaran keluarga. Faktor-faktor yang dapat
memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga berupa masalah kecemburuan,
ekonomi, perselingkuhan, campur tangan pihak ketiga, bahkan adu mulut. Pada
Kasus diatas, istri sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikarenakan
kecemburuan. Kecemburuan dapat dikatakan emosi yang dialami ketika
seseorang merasa hubungan dengan pasangannya terancam dan dapat
mengakibatkan hilangnya kepemilikan, biasanya ini akan timbul apabila ada pihak
ketiga dalam hubungan tersebut. Pada diskusi yang telah dijelaskan diatas,
seorang suami yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur dalam
Pasal 44 UU Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Islam, sebagai seorang suami, apabila
istri melakukan suatu kesalahan baiknya diberikan pelajaran secara baik baik
terlebih dulu, apabila masih terulang lagi, suami boleh memukul dengan catatan
tidak terlalu keras dan tidak membuat cedera. Islam melarang umatnya untuk
berprasangka buruk seperti cemburu, tanpa ada bukti.

5. SARAN

1. Saran yang dapat diberikan pada pasangan suami istri adalah sebaiknya
mengikuti konseling pra-nikah sebelum memutuskan untuk menikah
2. Sebagai umat muslim sebaiknya mendekatkan diri kepada Allah SWT agar
tetap dalam lindungan Allah dan dijauhkan dari sikap-sikap tercela

6. ACKNOWLEDGMENT

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan Ridha Nya saya dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas ini
dengan baik. Penulis berterima kasih kepada Polres Metro Jaya Jakarta Pusat,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkunjung dan
mengumpulkan data serta informasi dari Polres Jakarta Pusat. Ucapan terima
kasih saya berikan kepada dr. Endah Purnamasari, Sp.PK sebagai tutor kelompok
2 Domestic Violence yang telah meluangkan waktunya serta memimbing kami
dengan baik dalam mengerjakan laporan kasus ini sehingga dapat terselesaikan.
Terima kasih juga kepada dr. Ferryal Basbeth, SpF. DFM, selaku dosen
pengampu serta dr. Hj. R. W. Susilowati, M.Kes dan DR. Drh. Hj. Titiek
Djannatum sebagai coordinator blok elektif. Serta kepada teman-teman kelompok
2 Domestic Violence yang selalu kompak dalam proses pembuatan laporan kasus
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Tati. 2014. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang
Dilakukan Suami Terhadap Istri. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 6,
Volume 2, Tahun 2014

Arifianthi, Laily A.A., K. Jayanegara , G.K. Gandhiadi, Eka N. Kencana. 2017.


Identifikasi Faktor-Faktor Pemicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di
Kota Denpasar. E-Jurnal Matematika Vol. 6 (1), Januari 2017, Pp. 83-89

Asriana, Widya. 2012. Kecemburuan pada Laki-laki dan Perempuan dalam


Menghadapi Perselingkuhan Pasangan Melalui Media Internet. Volume 1
No.1, Juni 2012

Ginanjar, Adriana Soekandar. 2009. Proses Healing Pada Istri Yang Mengalami
Perselingkuhan Suami. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli
2009: 66-76

Jayanthi, E T. 2009. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Pada Survivor Yang Ditangani Oleh Lembaga Sahabat
Perempuan Magelang. Dimensia, Volume 3, No. 2, September 2009

Rofiah, N. 2017. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam.


Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 2, 1 (Juni 2017): 31-44

Sakirman. 2015. Islam Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kajian Tafsir
Hukum Qs. An-Nisă’/4: 34). Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni
2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256

Wahed. Abd. MHI. 2009. Analisa Hukum Islam Terhadap Masalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga
Yuliani Mimi, Krisnova Nastasia. 2017. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Terhadap Istri Pada Pasangan Yang Menikah Muda. Jurnal
Psyche 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36

Anda mungkin juga menyukai