Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENGANTAR ILMU PERIKANAN

REVIEW JURNAL METODE PENGOLAHAN TRADISIONAL,


MODERN DAN NON-PANGAN

Oleh :
ROSYDA RIZKIA BUDIARTI
141511133124 (KELAS B)

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
METODE PENGOLAHAN TRADISIONAL, MODERN, DAN NON-
PANGAN

Metode pengolahan ikan dapat dilakukan secara tradisional, modern, dan


non-pangan. Metode pengolahan hasil perikanan secara tradisional contohnya
yaitu penggaraman, perebusan, pengasapan, dan fermentasi. Metode pengolahan
ikan secara modern contohnya dengan cara pembekuan (freezing) dan
pengalengan. Penerapan metode pengolahan modern non-pangan contohnya
adalah pembuatan food supplement dari rumput laut, pemanfaatan sponge dalam
bidang farmakologi, pembuatan daging ikan menjadi surimi, abon ikan,
pembuatan limbah krustasea menjadi khitin-khitosan, dan pembuatan kulit dan
tulang ikan menjadi gelatin, penyamakan kulit.
 Fermentasi Peda
Salah satu teknik pengolahan ikan secara tradisional adalah fermentasi,
contohnya fermentasi peda. Peda merupakan produk fermentasi ikan melalui
penambahan garam pada kadar tertentu. Garam berfungsi sebagai pengawet
dimana terjadi pengurangan kadar air bebas dalam bahan pangan melalui proses
osmotik, dan juga berfungsi untuk menyeleksi mikroba tertentu dan menghambat
pertumbuhan mikroba yang menyebabkan kebusukan. mikroba pada saat proses
fermentasi berlangsung. Fermentasi Peda terbentuk karena penguraian senyawa
lemak dan protein kompleks yang terdapat dalam tubuh ikan menjadi senyawa
yang lebih sederhana dengan bantuan enzim dari mikroba fermentor. Selama
proses fermentasi juga terjadi pemecahan protein oleh enzim proteolitik menjadi
molekul-molekul yang lebih sederhana terutama asam glutamat (Thariq dkk.,
2014).
Thariq dkk. (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
perbedaan konsentrasi garam (20%, 30% dan 40 %) terhadap kadar asam glutamat
pada ikan peda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari uji hedonik
menunjukkan bahwa peda dengan konsentrasi garam 20% paling disukai.
Perbedaan konsentrasi garam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P≤0,05)
terhadap nilai kadar asam glutamat, garam dan pH. Perlakuan konsentrasi garam
20% menghasilkan kadar asam glutamat tertinggi. Glutamat adalah penambah
rasa yang sering digunakan dalam makanan untuk meningkatkan rasa gurih suatu
makanan. Peningkatan asam glutamat disebabkan karena semakin rendah kadar
garam maka aktivitas mikroorganisme fermentasi untuk memecah protein menjadi
asam amino khususnya asam glutamat semakin bertambah.
 Pengasapan Ikan
Pengawetan ikan secara tradisional juga dapat dilakukan dengan
pengasapan. Pengawetan ikan dengan pengasapan memiliki daya awet yang
tinggi, rasa dan aroma yang ditimbulkan juga sangat sangat khas. Pengasapan
dengan cara pembakaran langsung, menyebabkan kualitas produk yang dihasilkan
tidak konsisten, terakumulasinya senyawa berbahaya misalnya tar dan benzopiren
pada produk, serta pencemaran udara. Asap cair dari kayu karet dapat digunakan
sebagai bahan pengawet ikan karena mengandung senyawa fenol dan asam
organik yang bersifat sebagai anti bakteri dan antioksidan (Suroso dkk., 2018).
Suroso dkk. (2018) melakukan penelitian untuk menentukan konsentrasi
asap cair kayu karet redestilasi dan lama perendaman ikan terbaik pada
pengasapan ikan kembung. Perlakuan konsentrasi asap cair (10, 15 dan 20%) dan
lama perendaman (10, 15 dan 20 menit). Hasil terbaik yaitu menggunakan
konsentrasi asap cair kayu karet redestilasi 10% dan lama perendaman ikan
selama 15 menit. Konsentrasi dan lama penyimpanan yang semakin meningkat
tidak memberikan hasil penerimaan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan semakin
tinggi konsentrasi asap cair dan semakin lama perendaman ikan maka semakin
banyak senyawa dalam asap cair yang diserap sehingga akan meningkatkan
penerimaan panelis.
 Pembekuan Ikan
Pengolahan hasil perikan secara modern dapat dilakukan dengan cara
pembekuan, supaya mutu ikan terjaga. Suhu produk atau bahan pangan diturunkan
di bawah titik beku, dan sejumlah air berubah bentuk menjadi kristal es. Prinsip
pengawetan dengan suhu rendah adalah mengurangi dan atau menjaga suhu,
perubahan yang merugikan pada bahan makanan dapat dihentikan atau dikurangi
secara signifikan. Perubahan ini dapat bersifat mikrobiologis (yaitu pertumbuhan
mikroorganisme), fisiologis (misalnya pematangan dan respirasi), biokimia
(misalnya reaksi kecoklatan, oksidasi lemak, dan degradasi pigmen), dan atau
fisik (seperti kehilangan air/driploss) (Kusuma dkk., 2017).
Kusuma dkk. (2017) melakukan penelitian untuk menentukan jumlah
nutrisi yang hilang pada bandeng beku non cabut duri dan cabut duri dengan lama
penyimpanan yang berbeda pada suhu rendah 2-5°C. Hasil uji driploss ikan
bandeng beku cabut duri mengalami kerusakan 2 kali lebih besar daripada
bandeng non cabut duri. Ikan bandeng cabut duri mengalami lebih banyak
kehilangan nutrisi (protein, lemak, provitamin A) dibandingkan non cabut duri
selama penyimpanan dingin. Mikrostruktur daging non cabut duri lebih kompak
dan padat dibandingkan dengan bandeng cabut duri setelah penyimpanan 2
minggu. Hal ini karena ketika jaringan dilelehkan ruang antara ekstraseluler
menjadi lebih lebar. Daging ikan dapat mengalami degradasi jaringan ikat per
seluler selama penyimpanan beku.
 Surimi
Surimi merupakan salah satu penerapan metode pengolahan modern non-
pangan berupa lumatan daging yang telah mengalami proses pencucian,
pengepresan, dan pembekuan. Surimi dengan mutu yang paling baik adalah
surimi dengan derajat putih yang paling tinggi dan kekuatan gelnya paling baik.
Proses pencucian akan mempengaruhi karakteristik kekuatan gel dan derajat putih
surimi yang dibuat. Wiradimadja dkk. (2017) melakukan penelitian untuk
mengetahui karakterisasi mutu surimi ikan nila dan aplikasinya terhadap
pembuatan kamaboko berdasarkan perbedaan proses pencucian. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental, dengan A (kontrol), B
(NaCl 0,3%), C (NaHCO3 0,5%) dan D (NaCl 0,3% dan NaHCO3 0,5%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencucian surimi dengan
penambahan NaCl 0,3% dan NaHCO3 0,5% dapat meningkatkan derajat putih
sebesar 61,66% dan kekuatan gel kamaboko yang dihasilkan sebesar 695,1 g.cm,
serta digolongkan ke dalam kelas satu pada sistem penilaian surimi berdasarkan
penilaian kamaboko. Hal ini dikarenakan daging ikan yang dicuci dengan NaCl
akan mempercepat pengurangan air, penghilangan lendir, darah dan kotoran lain
dari daging ikan, serta menghambat aktivitas bakteri sehingga daging tetap di
keadaan yang segar. NaCl juga dapat meningkatkan proses pelepasan protein
miosin dari serat-serat ikan dengan cara meningkatkan interaksi protein miofibril
dengan air. Miosin akan bergabung dengan protein aktin yang akan membentuk
aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel.
Pencucian daging dengan NaHCO3 0,5% dapat menghasilkan karbon
dioksida yang dapat mendegradasi kandungan lemak dan mengurangi kadar air
agar tidak mempengaruhi warna pada ikan yang diolah. Berkurangnya kandungan
lemak dan protein sarkoplasma pada daging ikan yang dicuci NaHCO3 akan
meningkatkan kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Uji gigit pada penelitian ini
untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap tingkat elastisitas dan
kekenyalan kamaboko ikan (Wiradimadja dkk., 2017).
 Kitosan
Penggunaan senyawa anti mikroba yang tepat dapat memperpanjang
umur simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Pada penelitian
Silvia dkk. (2014) ini kitosan yang digunakan sebagai anti mikrobia diekstraksi
dari cangkang rajungan (Portunus sanginolentus L.). Pemilihan rajungan sebagai
bahan baku pembuatan kitosan karena kadar kitin yang tinggi yakni 20-30% dan
bahan yang mudah di dapat. Kitin dan kitosan yang berhasil diekstraksi
dikarakteristik hasilnya, kemudian digunakan sebagai anti mikroba ikan kembung
(Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus). Kitosan dilarutkan dalam asam
asetat 1% dengan variasi konsentrasi kitosan 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%. Lama
waktu penyimpanan ikan: 0 jam, 10 jam, 15 jam, 20 jam, dan 25 jam.
Hasil penelitian kitosan berbentuk butiran/ bubuk, kadar air 5%, kadar
abu 2% serta derajat deasetilasi yakni sebesar 61,08%. Hasil uji larutan kitosan
terhadap ikan menunjukkan bahwa pengawetan ikan dengan cara perendaman
yaitu penambahan kitosan 1,5% merupakan variabel terbaik dan dapat
memperpanjang umur simpan ikan selama lebih dari 5 jam, sedangkan
pengawetan ikan dengan cara penyemprotan variabel terbaik yaitu penambahan
kitosan 2,5% dan dapat memperpanjang umur simpan ikan kurang dari 5 jam.
Dari analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, larutan kitosan dalam asam
asetat mempunyai potensi untuk memperpanjang daya awet ikan karena dapat
bersifat sebagai antibakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat
memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan (Silvia dkk., 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, A. A., E. N. Dewi dan I. Wijayanti. 2017. Perbedaan Jumlah Nutrisi


yang Hilang Pada Bandeng Beku Non Cabut Duri dan Cabut Duri
Selama Penyimpanan Suhu Rendah. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. 20 (1) : 153-163.

Silvia, R., S. W. Waryani dan F. Hanum. 2014. Pemanfaatan Kitosan dari


Cangkang Rajungan (Portonus sanginolentus L.) sebagai Pengawet Ikan
Kembung (Rastrelliger sp.) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus). Jurnal
Teknik Kimia USU. 3 (4) : 18-24.

Suroso, E., T. P. Utomo, S. Hidayati dan A. Nuraini. Pengasapan Ikan Kembung


Menggunakan Asap Cair dari Kayu Karet Hasil Redestilasi. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 21 (1) : 42-53

Thariq, A. S., F. Swastawati dan T. Surti. 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi


Garam Pada Peda Ikan Kembung (Rastrelliger Neglectus) Terhadap
Kandungan Asam Glutamat Pemberi Rasa Gurih (Umami). Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (3) : 104-111.

Wiradimadja, M. M. D., R. I. Pratama dan A. Rizal. 2017. Karakterisasi Mutu


Surimi Segar dan Kamaboko Ikan Nila Berdasarkan Perbedaan Proses
Pencucian Menggunakan NaCl Dan NaHCO3. Jurnal Perikanan dan
Kelautan. 8 (2) : 140-144.

Anda mungkin juga menyukai